Wuri Kartiasih
http://jurnalnasional.com/
Namanya ada di balik konser-konser besar negeri ini.
Dalam sebuah pergelaran besar seperti konser musik, peragaan busana, dan beberapa acara yang membutuhkan panggung spektakuler dengan tatalampu dan tatasuara yang bagus membutuhkan orang-orang dengan ide yang cemerlang.
Beragam persiapan mulai dari yang ringan hingga yang berat dilakukan oleh stage management, dan itu bukan pekerjaan mudah. Walau ribet karena banyak hal harus diperhatikan, namun kegiatan ini merupakan sesuatu yang menarik bagi Inet Leimena. Nyemplung-lah dia ke dunia yang belum banyak dilirik orang itu, berawal dari ketertarikan melihat sibuknya orang-orang di belakang panggung. Dan sekarang sudah 20 tahun Inet jadi stage manager.
Inet memiliki standar tertentu untuk menggarap pertunjukan, yakni artisnya mumpuni dan tidak ada jeda antara artis yang usai tampil dengan artis yang akan tampil. Harus terus, nonstop. "Selain itu, biasanya saya membuat satu acara tidak lebih dari dua jam, paling satu setengah jam. Karena biasanya orang yang datang itu sudah capek," katanya.
Dalam waktu sebulan, Inet membatasi hanya mengerjakan tiga proyek. Di hari H, Inet dan kru bisa seharian berada di lokasi, dari ruangan yang akan digunakan masih kosong, tamu sudah datang, hingga tamu pulang. Apalagi ini bagian produksi, yang bukan hanya menguras ide tetapi juga fisik, karenanya dia harus memikirkan kesehatan.
Inet memberi gambaran kerja stage manager saat konser musik besar yang merupakan gabungan penata musik dan penata lampu. "Kita harus tahu set-up dari awal, mau seperti apa show tersebut. Jantung sebuah konser terdapat di stage management, karena kita yang meng-direct, lighting on, lighting mati, sound mati, sound on, yang ini muncul."
Kru yang terlibat semuanya freelance. Tidak pernah sama jumlahnya dalam setiap show, karena jumlah yang dibutuhkan selalu berbeda. Tergantung dari besar kecilnya show dan juga tergantung situasi dan kondisinya.
Semua krunya pria. "Sebagai perempuan, saya harus bisa memperlihatkan kalau kita ini sama, karena kita ini kerja tim yang dipimpin kebetulan wanita. Saya tidak mau kalau saya dibilang diuntungkan karena saya wanita." Beberapa kru memang sudah sejak awal belajar padanya, sebagian lainnya belajar ke orang lain terlebih dahulu. Meski begitu, pekerjaan ini mengharuskan Inet dan rekan-rekannya terus belajar, karena setiap show selalu memberi pengalaman berbeda.
Stage management adalah sebuah tim kerja, karenanya Inet ingin semuanya berjalan baik, tidak ada satu dari timnya jadi orang yang disalahkan. Itu juga sebabnya Inet mendapat julukan miss meeting karena seringnya rapat agar ia tahu apa yang diinginkan klien. ”Jangan sampai nanti ada kalimat 'Kok kayak gini, Net?' Kesuksesan sebuah acara bukan untuk saya, tetapi untuk mereka.”
Konsep sebuah acara bisa datang dari mana saja. Kadang gabungan, kadang datang dari Inet, kadang dari klien. Yang dirasanya paling berat adalah meyakinkan klien tentang apa yang akan Inet lakukan.
Sebagaimana anggapan bahwa dunia show biz membeli kucing dalam karung, maka tugas berat Inet adalah bagaimana meyakinkan klien bahwa apa yang dilakukan adalah demi klien, bukan demi manajemen. Tak ada juga keinginan untuk menyuguhkan acara yang jelek.
“Memang itu susah, karena kita harus bisa menyelami apa yang mereka inginkan, harus bisa baca otak mereka, dan tidak jarang ikut menyelam bareng dengan klien agar kita bisa mendapatkan yang sesuai. Kalau tidak bisa, kita tidak akan dipakai lagi oleh mereka. Kepercayaan itu penting sekali untuk kita.”
Inet yang memulai karir di tahun 1988 saat sang kakak, Lolita Malaiholo masih menjadi penari di GSP milik Guruh Sukarno Putra. Inet sering melihat Lolita latihan. PHS, event organizer pada masa itu, mendatangkan David Copperfield pertama kali ke Indonesia. Kakak Inet, Ria, yang bekerja EO tersebut, mengajak Inet menjadi usher (petugas yang mengantar tamu ke kursinya). Lalu pada kedatangan David yang ke dua kali, Inet telah menjadi usher coordinator. Posisi barunya ini memungkinkan Inet untuk melihat ke belakang panggung.
Di lain waktu, Inet main ke studio 26 pimpinan Ati Ganda, saat penarinya masih Ari Tulang, Rina Gunawan. ”Dulu, saat mereka habis nari, saya bantu-bantu merapikan baju mereka sehabis pentas. Setelah itu, saya bantu-bantu mba Ati untuk BASF Award.”
Pada gelaran BASF Award tersebut (tahun 1990), kakak ipar Inet, Harvey Malaiholo, memenangi award dan hadiahnya tour ke Jerman. Pada saat itu, untuk para kru yang terlibat dalam acara BASF Award tersebut dapat pergi dengan membayar 50 persen saja.
Saat sedang jalan-jalan di Jerman, Inet bertemu dengan teman yang tergabung dengan GSP yang sedang mengadakan pentas di sana. Dia pun ikut bantu-bantu. Ketika sudah kembali ke Indonesia, Inet dipanggil Guruh untuk bekerja di GSP sebagai kepala divisi Pasaraya.
“Dari situlah saya banyak belajar dari mas Guruh. Mulai dari menghadapi orang, bagaimana kita positive thinking, bagaimana kita menilai orang dari sudut pandang yang lain.”
Inet mengundurkan diri dari GSP pada tahun 1992, setelah dua tahun bekerja. Dia ingin menimba ilmu di tempat lain. Hubungan Inet dan Guruh tetap baik sampai sekarang. Setiap kali Guruh membuat acara, Inet selalu dilibatkan sebagai tenaga freelancer.
“Sampai akhirnya pada tahun 1994 saya bertemu Mas Erwin (Gutawa) dan Jay (Subiyakto), pertama kali untuk memegang konsep konsernya almarhum Mas Chrisye,” kata Inet.
Setelah itu, dia jadi stagehead untuk Kitaro saat datang ke Indonesia, jadi liaison officer (LO) sewaktu Phil Colins datang ke Indonesia. ”Memang jadi turun jabatannya tapi tidak masalah bagi saya. Karena semua itu adalah proses belajar,” katanya.
Inet mempelajari stage management secara otodidak, karenanya selalu membekali diri dengan membaca buku tentang stage serta perkembangan stage management. Semua yang dia kerjakan dianggap sebagai proses belajar.
Mimpinya sekarang adalah Indonesia punya gedung pertunjukan (concert hall) yang memadai. Jakarta Convention Center (JCC) yang selama ini digunakan sebagai gelaran musik sebenarnya bukanlah concert hall, melainkan ruang rapat.
”Sedih, kita main di Malaysia, di Singapura. Padahal yang budayanya lebih banyak adalah Indonesia. Banyak sekali orang budaya membuat pertunjukan di luar. Seperti pertunjukan-pertunjukan di Jerman belum lama ini, tamunya kebanyakan orang Indonesia.”
Biodata
Nama Lengkap: Triana Wyarsih Leimena
Tempat Tanggal Lahir: Jakarta, March 29 1968
Status: Single
Agama: Kristen Protestant
Hobi: Berenang, tenis, traveling, dan mendengarkan musik
Pendidikan: 1986 - 1989 : Hotel & Tourism School
Akademi Pariwisata Trisakti - Jakarta
1983 - 1986 : SMA Ora Et Labora - Jakarta
http://jurnalnasional.com/
Namanya ada di balik konser-konser besar negeri ini.
Dalam sebuah pergelaran besar seperti konser musik, peragaan busana, dan beberapa acara yang membutuhkan panggung spektakuler dengan tatalampu dan tatasuara yang bagus membutuhkan orang-orang dengan ide yang cemerlang.
Beragam persiapan mulai dari yang ringan hingga yang berat dilakukan oleh stage management, dan itu bukan pekerjaan mudah. Walau ribet karena banyak hal harus diperhatikan, namun kegiatan ini merupakan sesuatu yang menarik bagi Inet Leimena. Nyemplung-lah dia ke dunia yang belum banyak dilirik orang itu, berawal dari ketertarikan melihat sibuknya orang-orang di belakang panggung. Dan sekarang sudah 20 tahun Inet jadi stage manager.
Inet memiliki standar tertentu untuk menggarap pertunjukan, yakni artisnya mumpuni dan tidak ada jeda antara artis yang usai tampil dengan artis yang akan tampil. Harus terus, nonstop. "Selain itu, biasanya saya membuat satu acara tidak lebih dari dua jam, paling satu setengah jam. Karena biasanya orang yang datang itu sudah capek," katanya.
Dalam waktu sebulan, Inet membatasi hanya mengerjakan tiga proyek. Di hari H, Inet dan kru bisa seharian berada di lokasi, dari ruangan yang akan digunakan masih kosong, tamu sudah datang, hingga tamu pulang. Apalagi ini bagian produksi, yang bukan hanya menguras ide tetapi juga fisik, karenanya dia harus memikirkan kesehatan.
Inet memberi gambaran kerja stage manager saat konser musik besar yang merupakan gabungan penata musik dan penata lampu. "Kita harus tahu set-up dari awal, mau seperti apa show tersebut. Jantung sebuah konser terdapat di stage management, karena kita yang meng-direct, lighting on, lighting mati, sound mati, sound on, yang ini muncul."
Kru yang terlibat semuanya freelance. Tidak pernah sama jumlahnya dalam setiap show, karena jumlah yang dibutuhkan selalu berbeda. Tergantung dari besar kecilnya show dan juga tergantung situasi dan kondisinya.
Semua krunya pria. "Sebagai perempuan, saya harus bisa memperlihatkan kalau kita ini sama, karena kita ini kerja tim yang dipimpin kebetulan wanita. Saya tidak mau kalau saya dibilang diuntungkan karena saya wanita." Beberapa kru memang sudah sejak awal belajar padanya, sebagian lainnya belajar ke orang lain terlebih dahulu. Meski begitu, pekerjaan ini mengharuskan Inet dan rekan-rekannya terus belajar, karena setiap show selalu memberi pengalaman berbeda.
Stage management adalah sebuah tim kerja, karenanya Inet ingin semuanya berjalan baik, tidak ada satu dari timnya jadi orang yang disalahkan. Itu juga sebabnya Inet mendapat julukan miss meeting karena seringnya rapat agar ia tahu apa yang diinginkan klien. ”Jangan sampai nanti ada kalimat 'Kok kayak gini, Net?' Kesuksesan sebuah acara bukan untuk saya, tetapi untuk mereka.”
Konsep sebuah acara bisa datang dari mana saja. Kadang gabungan, kadang datang dari Inet, kadang dari klien. Yang dirasanya paling berat adalah meyakinkan klien tentang apa yang akan Inet lakukan.
Sebagaimana anggapan bahwa dunia show biz membeli kucing dalam karung, maka tugas berat Inet adalah bagaimana meyakinkan klien bahwa apa yang dilakukan adalah demi klien, bukan demi manajemen. Tak ada juga keinginan untuk menyuguhkan acara yang jelek.
“Memang itu susah, karena kita harus bisa menyelami apa yang mereka inginkan, harus bisa baca otak mereka, dan tidak jarang ikut menyelam bareng dengan klien agar kita bisa mendapatkan yang sesuai. Kalau tidak bisa, kita tidak akan dipakai lagi oleh mereka. Kepercayaan itu penting sekali untuk kita.”
Inet yang memulai karir di tahun 1988 saat sang kakak, Lolita Malaiholo masih menjadi penari di GSP milik Guruh Sukarno Putra. Inet sering melihat Lolita latihan. PHS, event organizer pada masa itu, mendatangkan David Copperfield pertama kali ke Indonesia. Kakak Inet, Ria, yang bekerja EO tersebut, mengajak Inet menjadi usher (petugas yang mengantar tamu ke kursinya). Lalu pada kedatangan David yang ke dua kali, Inet telah menjadi usher coordinator. Posisi barunya ini memungkinkan Inet untuk melihat ke belakang panggung.
Di lain waktu, Inet main ke studio 26 pimpinan Ati Ganda, saat penarinya masih Ari Tulang, Rina Gunawan. ”Dulu, saat mereka habis nari, saya bantu-bantu merapikan baju mereka sehabis pentas. Setelah itu, saya bantu-bantu mba Ati untuk BASF Award.”
Pada gelaran BASF Award tersebut (tahun 1990), kakak ipar Inet, Harvey Malaiholo, memenangi award dan hadiahnya tour ke Jerman. Pada saat itu, untuk para kru yang terlibat dalam acara BASF Award tersebut dapat pergi dengan membayar 50 persen saja.
Saat sedang jalan-jalan di Jerman, Inet bertemu dengan teman yang tergabung dengan GSP yang sedang mengadakan pentas di sana. Dia pun ikut bantu-bantu. Ketika sudah kembali ke Indonesia, Inet dipanggil Guruh untuk bekerja di GSP sebagai kepala divisi Pasaraya.
“Dari situlah saya banyak belajar dari mas Guruh. Mulai dari menghadapi orang, bagaimana kita positive thinking, bagaimana kita menilai orang dari sudut pandang yang lain.”
Inet mengundurkan diri dari GSP pada tahun 1992, setelah dua tahun bekerja. Dia ingin menimba ilmu di tempat lain. Hubungan Inet dan Guruh tetap baik sampai sekarang. Setiap kali Guruh membuat acara, Inet selalu dilibatkan sebagai tenaga freelancer.
“Sampai akhirnya pada tahun 1994 saya bertemu Mas Erwin (Gutawa) dan Jay (Subiyakto), pertama kali untuk memegang konsep konsernya almarhum Mas Chrisye,” kata Inet.
Setelah itu, dia jadi stagehead untuk Kitaro saat datang ke Indonesia, jadi liaison officer (LO) sewaktu Phil Colins datang ke Indonesia. ”Memang jadi turun jabatannya tapi tidak masalah bagi saya. Karena semua itu adalah proses belajar,” katanya.
Inet mempelajari stage management secara otodidak, karenanya selalu membekali diri dengan membaca buku tentang stage serta perkembangan stage management. Semua yang dia kerjakan dianggap sebagai proses belajar.
Mimpinya sekarang adalah Indonesia punya gedung pertunjukan (concert hall) yang memadai. Jakarta Convention Center (JCC) yang selama ini digunakan sebagai gelaran musik sebenarnya bukanlah concert hall, melainkan ruang rapat.
”Sedih, kita main di Malaysia, di Singapura. Padahal yang budayanya lebih banyak adalah Indonesia. Banyak sekali orang budaya membuat pertunjukan di luar. Seperti pertunjukan-pertunjukan di Jerman belum lama ini, tamunya kebanyakan orang Indonesia.”
Biodata
Nama Lengkap: Triana Wyarsih Leimena
Tempat Tanggal Lahir: Jakarta, March 29 1968
Status: Single
Agama: Kristen Protestant
Hobi: Berenang, tenis, traveling, dan mendengarkan musik
Pendidikan: 1986 - 1989 : Hotel & Tourism School
Akademi Pariwisata Trisakti - Jakarta
1983 - 1986 : SMA Ora Et Labora - Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar