Sabtu, 28 Februari 2009

Calon Ibu

Janu Jolang
http://oase.kompas.com/

Saat mendengar dokter kandungan itu berkata bahwa bayiku sungsang, aku berpikir ini pasti operasi sesar. Sembari tangan kiri menunjuk ke arah monitor USG, tangan kanan dokter lelaki muda itu menggeser-geser alat scanner pada perutku yang buncit. Aku sedikit malu ketika kain penutup yang melingkari perutku tergeser ke bawah dan menampakkan sedikit bulu kemaluanku yang menyembul dari cawatku. Beginilah wanita waktu hamil, serba repot. Posisi tulang belakang melengkung ke depan menahan rahim berisi bayi, perutpun melembung seperti balon, menyesaki rongga di bawah pusar. Daerah yang tadinya tertutup rapat akhirnya tersembul. Perutku membesar, cawatku jadi terlalu sempit.


Suamiku yang duduk di depan meja dokter tampak gelisah memperhatikan ucapan dokter. Sepertinya dokter itu penjelmaan dukun-dukun sakti di jaman mitologi, yang kata-katanya merupakan mantra ajaib sebagai penawar keresahan. Tersugesti saran dokter, ia kemudian menguatkan hatiku dan menyuruh aku untuk sering - sering senam nungging. " Iya, siapa tahu si jabang bayi mau muter ke posisi yang sebenarnya untuk lahir ", kata suamiku mengulangi nasehat si dokter. Aku tidak merasa ucapan suamiku itu sebagai penyemangat diriku." Kalau dalam dua minggu posisi bayi masih melintang, tak ada jalan lain kecuali operasi sesar", kata dokter lelaki itu.

Dan masa-masa penantianku membawa ujian mental yang cukup berat bagiku. Hampir setiap orang yang kujumpai, kurasakan selalu bercerita tentang perempuan yang gagal dalam operasi sesar. Mereka seolah - olah menakutiku, si calon ibu kemudian meninggal karena pendarahan hebat, karena tekanan darah ngedrop, karena keteledor dalam penanganan kelahiran, atau salah obat, dan sebab - sebab lainnya. Bahkan saking cemasnya, ibu mertuaku menyarankan agar perutku "diputar" saja oleh dukun bayi, perempuan tua yang tinggal di pinggir kota dan biasa menangani bayi - bayi sungsang dalam kandungan. Suamikupun mengiyakan saran itu.

Ide itu aku tolak mentah-mentah. Aku tidak mau membahayakan bayi dalam kandunganku. Saran dokter untuk senam "nungging" dan didukung suamikupun hanya beberapa kali kulakukan. Bagaimana tidak kuhentikan, naluriku mengatakan bahwa anakku tidak akan "berputar" pada posisi sebenarnya. Tubuhku kecil, panggulkupun kecil. Apalagi setelah aku nungging, bayiku tidak gerak - gerak dalam waktu yang cukup lama. Stop! Jadi aku putuskan no nungging, no pijit. Pokoknya operasi sesar. Apa yang akan terjadi, terjadilah.
****

Hari-hari kelahiran anak pertamaku makin dekat. Aku semakin cemas. Suamikupun kelihatan pontang-panting cari pinjaman uang untuk biaya operasi sesarku. Kemarin dia pinjam ke kantor tempatnya bekerja dan hanya mendapatkan setengah dari keseluruhan biaya operasi. Aku cemas, jangan-jangan sampai waktunya nanti lahir duit belum terkumpul. Coba kuhubungi perusahaan tempatku bekerja, ternyata jawabannya malah berbelit, " Bulan depan baru ada uang," jawaban bosku kurang masuk akal, lagi pelit. Alasannya yang bilang uang kasnya kosong, duitnya dipinjam rekanan, sampai tagihan macet membuat darahku mendidih. Suamiku kemudian menenangkanku. Ia mengambilkan air putih dan membelai - belai perutku.

Aku diam saja. Tak bereaksi.
Kemudian suamiku berbisik sambil tangan masih di perutku. Katanya kalau anak yang kukandung jadi dioperasi tanggal 17 Agustus, maka senanglah ia karena hari itu bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia. Hari itu akan diperingati oleh berjuta-juta rakyat Indonesia. Hari pembebasan dari penindasan penjajah. Semangat kepahlawanan inilah yang diharapkan melekat pada si jabang bayi serta membawa berkah dan inspirasi bagi seisi rumah.

Aku tersulut dengan ucapan suamiku. Apa hubungannya kekurangan uang dengan hari kemerdekaan Indonesia? Kutepiskan tangan suamiku dari perutku. Dengan nada tinggi aku berpendapat, "Di saat kita cemas kekurangan biaya untuk operasi, kau malahan berandai - andai anak kita lahir tanggal 17 Agustus."

Kepalaku tiba-tiba pening, darah seperti mengalir deras ke kepalaku. Muka rasanya kaku. Lantas suamiku buru - buru minta maaf atas kesalah pahaman itu. Suaraku sepertinya masih tinggi. "Yang hamil aku," tersenggal nafasku menyebut," pe-rem-pu-an!!! "Aku yang telah susah payah ke sana kemari membawa 12 kilo beban diperutku. Aku yang merasa mual dan muntah - muntah mencium bau tubuhmu, minyak rambutmu, asap rokokmu. Dan aku yang akan mempertaruhkan nyawaku saat bayi yang ada di dalam perutku ini lahir. Laki - laki memang hanya enaknya saja."

"Stop, cukup, cukup. Kata - katamu selalu menyakitkan," suamiku selalu menyela begitu, barangkali dia memang nggak mau memperpanjang masalah.
"Kata - katamu selalu membuatku emosi."
Ia pergi meninggalkanku dengan membanting pintu. Akhir-akhir ini emosiku semakin memuncak. Barangkali bawaan si jabang bayi. Atau memang aku yang terlalu sensitif, mudah marah.
***

Tanggal 16 Agustus, sehari sebelum jadwal operasi sesar, aku ditemani ibu mertuaku check up di rumah sakit ibu dan anak yang terbaik di kotaku. Suamiku tidak bisa menemani, ia sedang ke rumah pamannya untuk cari pinjaman uang. Setelah itu ia akan ke kantor Palang Merah mencarikan darah untuk kebutuhan operasiku.

"Selamat malam nyonya," seperti biasa dokter kandungan itu menyapaku ramah. Disebelahnya, ada seorang wanita tengah baya berpakaian perawat, berwajah manis, sedang membereskan perkakas prakteknya. Kudengar gosip dari ibu - ibu di luaran, suster itu adalah istri sang dokter. Dahulu istrinya hanya mengurus soal administrasi dan keuangan rumah sakit miliknya itu. Kini setelah mengetahui si dokter main gila dengan beberapa pasiennya di ruang praktek, istrinya ikut mengurusi soal kebidanan.

Dokter kandungan itu mempersilahkanku berbaring. Sementara itu istrinya membantuku naik ke pembaringan, menyiapkan alat tensi darah, stetoskop dan memeriksa denyut nadiku.

Tak lama kemudian suster - istri dokter itu selalu berkata mesra kepada suaminya, "Honey, tensi nyonya ini amat tinggi."

Dokter mendekat ke pembaringan dan bertanya kepadaku, "Nyonya merasa agak stress menjelang kelahiran ini?" Ia lantas mengambil alat seperti corong memanjang dan menempelkan ke perutku, ia sibuk mencari-cari detak jantung jabang bayiku.

Ada suara degup jantung keras keluar dari sebuah kotak di atas pembaringanku. Suaranya berdegup kencang seperti laju kereta meniti rel. "Nyonya, bayinya sudah ingin keluar, " kata si dokter datar, "Saya siapkan kamar rawat sekarang juga. Nanti nyonya bisa istirahat dahulu, sembari saya akan turunkan tekanan darah nyonya."

Aku cemas, "Bagaimana bayinya, dok?"
"Detak jantungnya terlalu cepat," kata si dokter, "kondisi ini kalau terlalu lama bisa membahayakan bayi nyonya. Saya sarankan operasinya dipercepat. Tidak usah khawatir, saya akan persiapkan semuanya yang terbaik buat nyonya dan bayi nyonya."
***

Sebetulnya aku belum siap mental untuk menjalani operasi sesar. Diperberat lagi proses operasinya dipercepat, maka inilah saat - saat yang tidak menyenangkan dalam hidupku. Lambungku terpaksa dikuras karena kurangnya jam puasa sebelum operasi. Selang plastik dimasukkan lewat hidung, susah dan sakitnya minta ampun. Demikian pula bulu kemaluanku dicukur habis. Aku ngeri kalau membayangkan pisau - pisau bedah itu akan menyayat perutku. Sepertinya jarum jam di dinding menggelinding begitu cepat, aku gugup, cemas, dan takut. Akankah aku masih hidup setelah operasi? Atau aku akan mengalami pendarahan hebat? Atau tekanan darahku yang tinggi akan membahayakan jiwaku? Dan aku akan mati? Lantas bagaimana nasib bayiku yang lahir sebelum masanya? Akankah ia normal? Ataukah ia harus masuk inkubator dengan bantuan oksigen di hidungnya? Kemana suamiku? Ia tak kelihatan batang hidungnya. Disaat aku ketakutan, ia selalu tak ada. Aku akan menjadi calon ibu.

Beberapa jam kemudian aku di geledeg menuju ruang operasi. Roda-roda pembaringanku mencicit didorong perawat. Pandanganku kosong ke langit-langit atap lorong rumah sakit. Kubayangkan aku sedang menuju ke suatu tempat yang menakutkan, tempat dimana upacara pengorbanan akan dilakukan. Diujung pintu masuk ruang operasi, kulihat ibu mertuaku menanti sambil menangis, menciumiku serta memelukku. Ini adalah penantian cucu pertamanya. Disebelah terlihat suamiku, dengan pandangan seperti kekhawatiran berlebihan akan diriku dan bayi di perutku. Ia terlihat rapuh. Wah, saat - saat seperti ini yang bikin aku nggak tahan mental. Betul mereka kasih support kepadaku, tetapi bagi kebanyakan orang, cara memberikan support yang demikian pasti tidak begitu membantuku. Mungkin paling baik dengan ucapan dan tindakan yang mencerminkan rasa optimis, jangan malah menangis. Aku akan menjadi calon ibu.

Dan tibalah suasana asing kamar operasi. Begitu mencekam. Bau bauan obat antiseptik, dinding hijau porselen, pisau bedah, jarum suntik, tang penjepit, dan lampu sorot melingkar mengarah padaku. Aku demikian takut melihat pisau - pisau tajam itu. Seolah ia adalah sesuatu yang hidup, bertenaga, berkuasa, untuk mencabik - cabik tubuh tak berdaya. Seolah ia adalah pisau ajimat dalam sebuah upacara pengorbanan, dan aku sebagai korbannya. Sekujur tubuhku gemetar hebat.

Ketiga dokter lelaki dan dua perawat perempuan mulai mengelilingiku. Yang kukenal hanyalah si dokter kandungan dan istrinya. Aku sangat malu ketika salah satu perawat itu mulai melepas baju atas dan kain yang menutup bagian bawah tubuhku. Aku ditelanjangi dalam keadaan masih sadar sesadar - sadarnya. Duh, aku pikir masih bisa mengenakan baju dan kain itu. Aku tak bisa membayangkan apa yang ada dalam benak dokter - dokter itu ketika di depan mereka ada sesosok wanita telanjang tak berdaya. Ketakutanku menguasai segenap tubuhku. Bayangan pisau - pisau tajam itu muncul lagi. Sekujur tubuhku gemetar hebat. Ketika melihat aku yang telanjang, apakah mereka merasa kikuk? Atau malu? Bak malunya anak sholeh melihat wanita yang bukan muhrimnya? Atau barangkali etika kedokteran yang membuat mereka bersikap wajar. Tapi laki - laki, terkadang punya keusilan dalam menilai tubuh perempuan. Biarpun tubuhku tengah hamil tua, barangkali mereka menikmati tubuh yang telanjang ini.

Dokter anestesi kemudian membekapkan selang bius ke hidungku. Sebentar kemudian dia mengajakku ngobrol, tanya macam-macam ini - itu. Mungkin dia ngecek, aku masih sadar atau sudah lelap, tapi semua itu tidak aku gubris. Aku sudah terlanjur malu, emangnya enak dalam keadaan telanjang diajak ngobrol.

Dan lecutan cahaya kemudian menyilaukan mataku. Tiba-tiba pula terang berubah jadi gelap. Aku tersedot dalam pusaran jurang begitu dalam. Itulah saat terakhir aku bisa mengingat sesuatu. Ketakutan dan kecemasan yang aku rasakan sebelumnya hilang begitu saja. Aku tidak ingat lagi wajah cemas mertuaku, kekurangan biaya operasiku, nasib bayiku, sosok suamiku, istri dokter itu, dan perut buncitku. Aku dalam mimpi indah, tenang dan nyaman.
***

Entah sudah berapa lama aku terlelap, tiba-tiba kudengan gemeritik suara pisau bedah. Aku takut, sekujur tubuhku gemetar hebat. Aku coba menggerakkan badan, menghindar dari pisau - pisau itu. Ternyata tidak bisa, terlalu berat. Kucoba membuka kelopak mata juga tak bisa. Aku sadar sesadar - sadarnya bahwa aku masih di meja operasi. Mungkin pengaruh bius itu kurang mempan di tubuhku. Tapi kenapa aku tidak merasa sakit? Aku dengar ada suara tangis bayi di sudut ruangan, itu pasti bayiku. Ya bayiku telah lahir, tapi apakah ini sudah masuk tanggal 17 Agustus? Kudengar suara-suara dokter sibuk menjahitkan benang di perutku. Ya aku sadar tapi tak bisa membuka mataku.

Tiba-tiba kepalaku berputar sangat cepat. Aku mual. Di antara pertengahan sadar aku berteriak sekuat tenaga. Seperti dilempar dari awan gemawan, jatuh menuju lorong gelap dalam kecepatan amat tinggi. Aku meneriakkan nama seseorang, dan (maaf) itu bukan nama suamiku. Dia mantan pacarku, Frans.

Sepersekian detik kemudian gambaran berubah. Aku melewati lorong seperti gua jaman purba, remang berdebu, seingatku berwarna marmer kecoklatan. Tiba-tiba aku melewati tempat yang tinggi jatuh ke tempat yang rendah. Sangat cepat, aku berteriak ketakutan. Ya, rasanya seperti naik roller coaster. Setelah itu seperti tertindih batu sangat besar. Aku tak bisa bernafas.

Kurasakan badanku tersedot susut menjadi kecil. Di ujung lorong gelap, samar - samar kulihat sosok besar berjubah hitam. Mukanya tertutup bayangan, memegang pisau di tangannya. Kakiku gemetar hebat. Suaranya menggema menimbulkan daya angin dahsyat. Aku tercekat, nafasku sesak. Ia mulai mengejarku dengan langkah cepat tak bersuara, sepertinya melayang. Aku berlari kencang melewati lorong - lorong yang bercabang. Kuikuti salah satunya, ternyata buntu. Dan bayangan itu makin mendekat. Aku berbalik arah dan lari. Nyaris bayangan itu mendapatkanku.

Aku terus berlari. Lorong bercabang itu tiada akhirnya. Sepertinya aku terjebak dalam rumah labirin, tak ada jalan keluar, berputar terus berputar. Akhirnya aku terjerembab, tergolek tanpa daya. Ketakutanku kian memuncak. Bayangan berjubah itu kian mendekat dengan pisau terhunus. Aku tak kuasa mengelak, pisau itu akan merenggutku. Dan tiba - tiba semuanya gelap. Aku tak ingat apa-apa.

Samar - samar kurasakan seluruh tubuhku perih. Bagian kemaluanku perih sekali. Terdengar ramai suara orang berdengung seperti di pasar. Tiba - tiba kilau cahaya memasuki mataku yang masih terpejam. Apakah bayangan hitam itu masih di dekatku? Kucoba membuka mata. Walau kabur kulihat ada bayangan di situ. Ia mendekat ke arahku sambil mengulurkan tangannya. Anginnya sampai ke tubuhku. Ternyata bayangan itu mendiang ibuku.

Aku menangis kencang. Aku marah, benci, baur rindu. Ingatanku kembali ke masa kecil. Gerimis sore waktu itu adalah hari terakhir aku melihat ibuku. Beliau meninggalkanku. Aku tidak tahu penyebabnya. Mungkin ia marah padaku? Kala itu ibu bersitegang dengan nenek, tapi aku tidak tahu masalahnya. Barangkali aku biang keladinya? Aku diam meringkuk di kamar seraya mendengar nenek meneriakkan kata - kata kotor. Selanjutnya kudengar isak tangis ibu diantara hardikan nenek. Aku takut sekali.

Berhari - hari aku meratapi kepergian ibuku. Apakah ia marah padaku? Aku sungguh sosok yang rapuh setelah itu. Hari demi hari aku lalui dengan kesedihan mendalam. Ayahku sudah tiada, kini ibu telah meninggalkanku. Tak ada lagi sosok yang memberiku sekedar perhatian, sekedar kasih sayang, dan tempat untuk bergantung. Sebaliknya, semua tiba-tiba memusuhiku. Lebih - lebih nenek, ia adalah figur pemarah. Sering dengan alasan yang tak kumengerti ia marah padaku. Ketika kutanyakan pada nenek kemana ibuku pergi. Ia tak mau menjawab. Sekali lagi aku merajuk ingin bertemu dengan ibu. Nenek malah marah dan menamparku. Hatiku sedih sekali.

Barangkali aku memang anak kecil yang bandel, atau anak yang suka berbantah, atau aku memang menuruni sifat pemarah nenek, aku tak tahu. Pernah suatu hari ia pukulkan gagang sapu berkali - kali ke punggungku hanya karena aku menggambar setangkai bunga mawar di tembok ruang depan. Cara memukulnya kuingat persis seperti memukuli kucing yang mencuri ikan. Setelah itu aku dikunci dalam gudang yang pengap lagi gelap. Entah berapa lama aku di sana, perutku terasa lapar, dan pakde kemudian mengeluarkan aku dari gudang. Hari telah petang.

Lain hari, aku menemukan segepok kertas di laci meja nenek. Kertas itu lalu kubuat main uang - uangan bersama temanku. Peristiwa selanjutnya terjadi, dan itulah awal yang menjadikan aku mengerti apa arti dendam dikemudian hari. Tiba - tiba nenek muncul dari pintu dan menendang perutku sekencang - kencangnya. Aku terjerembab kesakitan. Kulihat sorot mata merah berapi - api, mencengkeram leherku, dan menamparku membabi buta. Dalam ketakutan, aku melihat nenekku seperti orang gila yang mengamuk. Apa salahku? Kenapa membenciku? Belum puas juga rasanya nenek memukuliku, bahkan setelah temanku menjerit-jerit, ia tetap mengayunkan tangannya ke mukaku sambil menghardik dengan kata - kata yang menyakitkan. Ya, sorot mata berapi - api itu, pukulan bertubi-tubi itu, dan kata-kata yang menyakitkan itulah yang terus melekat di batinku. Selalu membayang hingga kini.

Kekerasan demi kekerasan yang diperagakan nenek lama kelamaan mematikan syaraf - syaraf perasaku. Batinku beku. Aku mulai membangun kerajaanku. Setiap dinding benteng kubangun dengan pahit getir pengalamanku. Lantas kusiapkan prajurit berpedang dan berbusur panah sebagai amarahku. Maka kuperangi mereka satu persatu yang membenciku. Satu kata kubalas dua kata, satu pukulan kubalas dua pukulan, dan andaikan aku tak mampu melawannya maka akan kukutuki musuh - musuhku biar mati mengenaskan. Kebenaran adalah pengalamanku, dan pengalamanku adalah panglimaku.

Aku kemudian terhempas ke jurang dengan kecepatan cahaya. Sempat kudekap batang licin untuk menahan hempasan. Kuikuti liukan putaran batang itu sambil menahan ketakutanku yang berdesir - desir. Sampai di pangkalnya ternyata ular yang besar sekali, barangkali Anaconda. Aku menjerit ketakutan.

Dan aku siuman, tapi masih dalam kesadaran yang lemah. Mataku tak bisa kubuka, badanku tak bisa kugerakkan. Rasanya seperti ditindih batu yang sangat besar. Napasku sengal, tercekik, aku merintih. Kudengar suara mertuaku menyebut asma Tuhan, ia menuntunku untuk bersama - sama mengucapkannya. Aku mengikutinya pelan - pelan, sambil merintih ketakutan. Ada tangan hangat menggenggam jemariku, aku merasa nyaman. Tanpa sadar kusebut nama Frans, dan ia bukan suamiku. Berkali - kali nama itu terucap hingga berhenti ketika kudengar suara mertuaku menyebut asma Tuhan. Suara itu menyelinap lirih di telingaku.

Aku lelah, aku letih. Telah berapa lama aku terombang - ambing dalam alam sadar, tidak sadar dan setengah sadar, lewat peristiwa yang begitu cepat berganti. Kukuatkan menyibak kelopak mata, remang - remang kulihat orang - orang mengelilingiku. Aku sudah berada di pembaringan kamar rawat inap. Penglihatanku mulai nampak jelas. Ada suamiku, mama mertuaku, paman suamiku, adik suamiku, bibiku, dan sepupuku. Semua memperhatikanku. Pandangan mereka nampak kosong, tak ada ekspresi sedikitpun. Mungkin kalau ada, sekilat perasaan sedih terlihat di sudut mata mereka. Mama mertuaku menitikkan air mata.

"Anak kita lahir tanggal 17 Agustus kan?" suaraku lirih kepada suamiku.
" Tidak," dia menjawab kelu. " Tanggal 16 Agustus pukul sebelas limapuluh "

Dan wajah orang - orang yang mengelilingiku menundukkan kepalanya.
****

Ruang praktek dokter jiwa itu tampak sepi. Di ruang tunggu, seorang wanita muda berparas ayu sedang menggendong bayinya. Tergambar jelas wanita muda itu punya problem kejiwaan yang berat. Raut wajahnya kuyu, sinar matanya kosong, tarikan nafasnya berat. Ia tampak menanggung beban berton - ton dalam hidupnya. Barangkali pula ia mempunyai problem rumah tangga yang tak mungkin diselamatkan. Hubungan dengan suaminya makin memburuk. Ia tak tahu pasti apa penyebabnya. Dirasakan kejadian demi kejadian mengalir begitu cepat tanpa ia bisa memaknai, tanpa ia bisa meyakini. Rasanya seperti terhanyut arus sungai deras, tanpa ia bisa menggapai tepian. Dalam hati kecil ia ingin memperbaiki hubungan. Ia ingin mengakhiri pertengkaran. Ia tak ingin mereka saling membenci.

"Silakan masuk nyonya," dokter jiwa itu berkata dengan sopan. Wanita muda itu kemudian meletakkan bayinya ke tempat tidur yang telah disediakan. Lantas ia berbalik menuju sofa pembaringan untuk menjalani terapi.

Dokter jiwa itu kemudian memulai percakapan dengan ringan, sopan, dan suara halus yang menyejukkan hati. Terdengar lirih musik instrumentalia mengalun lembut memenuhi ruangan. Wanita muda itu terlihat mulai nyaman dalam pembaringan. Dengan mata terpejam ia mulai menjawab pertanyaan ringan yang diajukan. Kadang ia tertawa lembut, kemudian suaranya berubah manja, dan menceritakan sesuatu dengan lancar tanpa beban. Sepertinya ia adalah pribadi yang periang, manja, dan terbuka. Dokter jiwa itu membiarkan pasien bebas dalam pengembaraan jiwa.

Tak lama entah punya kekuatan magis apa, dengan nada halus dokter jiwa itu mampu membuat tubuh wanita itu menggigil. Barangkali tekanan-tekanan yang ada di kedalaman hati wanita muda itu terkuak. Tubuhnya goncang, ia ingin menolak tapi tak kuasa. Keping - keping trauma wanita muda itu berada di dasar jurang jiwa, tak tersentuh, terkubur, dan tiba - tiba melonjak ingin keluar.

Suasana hening, tiba-tiba ia terisak bercampur takut. Ia bangkit dan memeluk lutut erat - erat. Tubuhnya menggigil, rahang mengencang, mulut terkatup, dan sorot matanya menerawang. Barangkali gambaran yang ia ucapkan telah membangkitkan ingatan lama. Sesuatu yang buruk pernah terjadi. Wanita berparas ayu itu punya trauma masa kecil yang pedih.

Si dokter jiwa itu dengan tekun mencatat. Dalam tumpukan file pasien tertulis bahwa si pasien pada masa kecilnya kerap mengalami penyiksaan jasmani oleh neneknya. Pasien gampang tersinggung, pemarah, bermusuhan, siap bertengkar, dan cenderung anti sosial. Dalam catatan yang ditandai kurung buka tutup, dokter itu menuliskan karakter perlawanan itu sebagai hal yang natural secara keturunan atau karena cara pasien bertahan terhadap perlakuan - perlakuan kasar. Karena setelah itu, si pasien juga mengalami penganiayaan seksual dan sadistis oleh Pakdenya. Tetapi perlawanan itu tak tampak pada diri pasien.

Perbuatan itu terjadi saat dia berusia 6 tahunan. Hal itu sering dilakukan Pakdenya saat rumah kosong atau malam hari ketika suasana sepi. Pasien diancam dengan sebilah pisau dan akan dibunuh jika ia menceritakan kepada nenek atau orang lain. Pasien telah kehilangan ayah dan ibunya, ia kehilangan kasih sayang serta keterlibatan seorang ayah dalam hidupnya. Hal ini dimanfaatkan oleh Pakdenya. Pasien lemah dalam menghadapi eksploitasi yang dilakukan Pakdenya. Pasien membutuhkan kedekatan dan perhatian untuk mengatasi perasaan cemas, rasa takut, rasa nyeri, dan frustasi yang dialami.

Akhir-akhir ini bayangan Pakdenya sering muncul dalam diri suaminya. Perubahan fisik suaminya yang bertambah gendut, keringat yang bau tengik, serta kini memelihara brewok telah mengingatkan wanita muda itu pada Pakdenya yang menjijikkan.

Hanya kepada si ahli jiwa itulah ia bisa melepaskan perasaan dihantu-hantui yang mencekam. Sepertinya si ahli jiwa itu adalah obat mujarab yang harus diminum ketika sakitnya datang. Ia menjadi kecanduan. Kini wanita muda itu terbaring lelah di atas sofa pembaringan, setengah tertidur. Seolah ia baru saja mengakhiri pengembaraan jiwa yang melelahkan. Seolah ia baru saja mengakhiri mimpi buruk yang menakutkan. Dan wanita berparas ayu itu kembali pada kesadaran dunianya.

Tiba-tiba terdengar tangisan bayi di pojok ruangan. Suara bayi itu membuyarkan kenyamanan istirahat wanita muda itu. Dengan reflek ia bangkit dan berkata kepada dokter jiwa itu, " Frans .., bayi kita menangis. Aku akan menyusuinya dulu."

Jakarta, Juli 2004
Washington, DC Desember 2005

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Alexander A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Dahana A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.C. Andre Tanama A.J. Susmana A.S. Laksana A’an Jindan AS Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Rauf Singkil Abdul Walid Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adek Alwi Adhi Pandoyo Adhitia Armitrianto Adhy Rical Adi Faridh Adian Husaini Adin Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrizas Adu Pesona Sang Wakil Presiden RI AF. Tuasikal Afri Meldam Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agit Yogi Subandi Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Rakasiwi Agus Sulton Agus Wibowo Agus Wirawan Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ah. Atok Illah Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Anshori Ahmad Damanik Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Hasan MS Ahmad Jauhari Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad S. Zahari Ahmad Syafii Maarif Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fiah Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Siddiq Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al-Fairish Al-Ma'ruf I Al-Ma'ruf II Alang Khoiruddin Albert Camus Ali Mahmudi Ch Alia Swastika Alvi Puspita Alvin Amien Wangsitalaja Aminah Aming Aminoedhin Ana Mustamin Anam Rahus Anas AG Andhi Setyo Wibowo Andi Gunawan Andry Deblenk Angela Anggie Melianna Anindita S. Thayf Anis Ceha Anitya Wahdini Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anugerah Ronggowarsito Anwar Nuris Aprillia Ika Arida Fadrus Aridus Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Ariel Heryanto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Arwan Aryo Wisanggeni Aryo Wisanggeni Gentong AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Ashadi Ik Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asro Kamal Rokan Astrid Reza Asvi Warman Adam Atafras Atok Witono Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azwar Nazir Baca Puisi Badrus Siroj Bahrul Ulum A. Malik Balada Bambang kempling Bambang Riyanto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berita Utama Bernando J. Sujibto Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Bre Redana Brunel University Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Jay Utomo Budi P. Hatees Budi Palopo Budi Setyarso Budi Sp. Indrajati Budiman S. Hartoyo Budiman Sudjatmiko Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Choirul Rikzqa Christian Heru Cahyo Saputro Cover Buku D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dadang Widjanarko Damiri Mahmud Dani Fuadhillah Daniel Paranamesa Darju Prasetya Dati Wahyuni Dawet Jabung Ponorogo Dedykalee Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Deshinta Arofah Dewi Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan Dewi Anggraeni Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Didik Kusbiantoro Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dorothea Rosa Herliany Dr Andi Irawan Dr Siti Muti’ah Setiawati Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Drs. Solihin Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddi Koben Edeng Syamsul Ma’arif Edy Apriyanto Sudiyono Edy Firmansyah Edy Susanto Efri Ritonga EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hartono Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elita Sitorini Elly Trisnawati Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Em. Syuhada' Emha Ainun Nadjib Encep Abdullah Eni Sulistiyawati Eny Rose Esai Ester Lince Napitupulu Etik Widya Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathan Mubarak Fathul Qodir Fathul Qorib Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Seni Surabaya 2011 Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fikri. MS Fiqih Arfani Firman Daeva Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Forum Santri Nasional (FSN) Free Hearty Galuh Tulus Utama Gandis Uka Ganug Nugroho Adi Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gendut Riyanto Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Pratama Glenn Fredly Goenawan Mohamad Golput Gombloh Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Hadi Napster Hafis Azhari Halim HD Halimi Zuhdy Hamid Dabashi Han Gagas Hardi Hamzah Hari Prasetyo Haris Del Hakim Haris Saputra Hary B Kori’un Hasan Basri Marwah Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Hendro Situmorang Henri Nurcahyo Henry H Loupias Hera Khaerani Heri CS Heri Kris Heri Latief Heri Listianto Herman RN Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Kuntoyo Heru Kurniawan Hikmat Darmawan Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humaidi Humam S Chudori I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I. B. Putera Manuaba IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ichwan Prasetyo Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Munadjat Imam Nawawi Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Herdiana Imron Arlado Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indigo Art Space Madiun Indra Tjahyadi Indrian Koto Ingki Rinaldi Iqmal Tahir Is Faridatul Arifah Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Isra’ Mi’raj Iswadi Pratama Iswara N Raditya Iva Titin Shovia Iwan Awaluddin Yusuf Iwan Gunadi J. Sumardianta Jamrin Abubakar Jansen Sinamo Janu Jolang Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jemie Simatupang Jenny Ang Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jl Simo Jo Batara Surya Jodhi Yudono Joko Budhiarto Joko Sadewo Joko Sandur Joko Widodo Jones Gultom Joni Ariadinata Joresan Mlarak Ponorogo Joseph E. Stiglitz Jual Buku Paket Hemat Junus Satrio Jurnalisme Sastra K. Hirzuddin Hasbullah K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.H. Masrikhan Asy'ari K.H. Mudzakir Ma'ruf Kadjie MM Kajian Kitab Nashoihul 'Ibad Kang Daniel Karanggeneng Kartika Foundation Kasanwikrama Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kekal Hamdani Kemah Budaya Panturan (KBP) Kesenian KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Anwar Khoirul Inayah Khoirul Naim Khoirul Rosyadi Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Koko Sudarsono Komaruddin Hidayat Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopuisi Korban Gempa di Lombok Kospela KPRI IKMAL Lamongan Kris Razianto Mada Kritik Sastra Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kusni Kasdut Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto Lagu Laili Rahmawati Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Latif Fianto Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Listiyono Santoso Liya Izzatul Iffah Liza Wahyuninto Lucky Aditya Ramadhan Ludruk Jawa Timur Lukisan Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lustantini Septiningsih Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Ismail M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Iqbal Dawami M. Irfan Hidayatullah M. Latief M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Mushthafa M. Riza Fahlevi M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Maghfur Munif Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahwi Air Tawar Majelis Ulama Indonesia Makalah Tinjauan Ilmiah Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mantan Pastur Hafidz Al-Qur'an Maqhia Nisima Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Marsel Robot Martin Aleida Martin Hatch Marwan Ja'far Marwita Oktaviana Marzuki Mustamar Mashuri Masjid Tegalsari di Pesantren Gerbang Tinatar Masuki M. Astro Matroni el-Moezany Matroni Muserang Max Arifin Maya Handhini Mbah Kalbakal Medco Media Jawa Timur Medri Osno Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Misbahul Huda Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh Samsul Arifin Moh. Ghufron Cholid Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ghannoe Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Rain Muhammad Taufik Muhammad Yasir Muhammad Zia Ulhaq Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukhsin Amar Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Mun'im Sirry Muntamah Cendani Museum Bikon Blewut Ledalero Musfarayani Musfi Efrizal Musyayana Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nabi Adam Nanang Fahrudin Nandang Darana Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Ni Luh Made Pertiwi F Nindya Herdianti Ninin Nurzalina Wati Nitis Sahpeni Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noorsam Noval Jubbek Novel Pekik Novianti Setuningsih Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Hamzah Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nuswantoro Nyimas Nyoman Tingkat Obrolan Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Opini Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Pameran Seni Rupa Panda MT Siallagan Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit SastraSewu Penerbitan dan Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Pengajian Pengetahuan Perang Peringatan Hari Pahlawan 10 November Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pesantren Kampung Inggris Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Petrik Matanasi Pilang Tejoasri Laren Lamongan Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pilkada Piramid Giza Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pradana Boy ZTF Pradaningrum Mijarto Pramoedya Ananta Toer Prih Prawesti Febriani Pringadi AS Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Hartanto Puji Santosa Puput Amiranti N Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Satria Kusuma Putu Setia Putu Wijaya R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.Ng. Ronggowarsito Rabdul Rohim Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sazaly Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Rengga AP Reni Lismawati Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Rieke Diah Pitaloka Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rizka Halida Rizky Putri Pratimi Robin Al Kautsar Rocky Gerung Rodli TL Rofiqi Hasan Rohmad Hadiwijoyo Rohmah Maulidia Rohman Abdullah Rojiful Mamduh Rosdiansyah Rosi Rosidi Roso Titi Sarkoro Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rumah Literasi Rx King Motor S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Saifur Rohman Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Sardono W Kusumo Sartika Sari Sarworo Sp Sastra Facebook Satmoko Budi Santoso Satrio Lintang Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Savidapius Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Sejarah Sekolah Literasi Gratis SelaSAstra Boenga Ketjil SelaSAstra Boenga Ketjil #23 SelaSAstra Boenga Ketjil #24 Seni Ambeng Ponorogo Senirupa Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Shofiyatuz Zahroh Shohebul Umam JR Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Silfia Hanani Sindu Putra Sita Planasari Aquadini Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Hadi Purnomo Soediro Satoto Soegiharto Soeprijadi Tomodihardjo Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Igustin Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Sriyanto Danoesiswoyo Stefanus P. Elu Stevani Elisabeth STKIP PGRI Ponorogo Student Center Kampus ISI Yogyakarta Subagio Sastrowardoyo Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Ariyadi Sukitman Sumenep Sumiati Anastasia Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungelebak Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Suyadi San Syafrizal Sahrun Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syamsul Rizal Syi'ir Syifa Amori Syifa Aulia T.A. Sakti Tajuddin Noor Ganie Tamrin Bey dan Robin Al Kautsar TanahmeraH ArtSpace Tarpin A. Nasri Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Roda UNISDA Lamongan Teater Sakalintang Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tawon Teater Tewol Teguh LR Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Teori Darwin Teori Fisika Hawking Tgk Abdullah Lam U Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute Theresia Purbandini Thomas Koten Tien Rostini Timur Arif Riyadi Tjahjono Widarmanto Tjut Zakiyah Anshari Toeti Adhitama Tosa Poetra Tri Andhi S Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Tutut Herlina Ucu Agustin Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Uniawati Unieq Awien Universitas Jember Usman Arrumy Ustadz Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vassilisa Agata Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Video Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vita Devi Ajeng Pratiwi W. Haryanto W.S. Rendra Wakos R. Gautama Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Suryandoko William Shakespeare Wisnu Kisawa Wiwik Widiyati Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yayat R. Cipasang Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yulianto Yuliawati Yunanto Sutyastomo Yunus Supriyanto Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf AN Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Yuyuk Sugarman Z. Mustopa Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zarra Martsella Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zen Hae Zii Zuhdi Swt