suarakarya-online.com
Mari kita membuat perbandingan sederhana antara apa yang kita sebut rakyat pada umumnya dan elite yang berkuasa (menguasai sumber-sumber ekonomi, politik, sosial, dan lain-lain). Pada situasi mutakhir di negeri ini tampaklah siapa sebenarnya di antara kedua pihak itu yang tangguh dan perkasa, siapa yang lemah dan tak berdaya.
Dalam soal (modalitas) ekonomi, misalnya. Tekanan kenaikan harga yang hampir tak peduli pada daya tahan publik belakangan ini, benar-benar membuat masyarakat hampir bangkrut. Gambaran gaji pegawai negeri maupun swasta yang 50-70% habis hanya untuk biaya transportasi harian, sudah menggambarkan bagaimana rakyat secara ekonomis bukan lagi kembang-kempis, tapi justru pailit. Penghasilan sepeluk jari tangan, sementara pengeluaran sepeluk kedua lengan.
Berita baru, Telkom juga akan menaikkan tarif dasar hingga 40%, sungguh menunjukkan ketakpedulian elite terhadap rakyat. Yang mereka bela justru raksasa bisnis macam Telkom yang sudah menghasilkan triliunan rupiah laba bersih per tahun. Elite yang diwakili pemerintah lebih membela in-efektivitas, korupsi, dan pemerkayaan segelintir orang (yang sudah sangat kaya) dengan mengorbankan darah rakyat yang sudah mulai kering.
Berita ini adalah bukti ke sekian yahg menunjukkan pemerintah dengan mudahnya melalaikan, meninggalkan, bahkan menipu ketentuan konstitusi yang mewajibkan mereka melindungi dan mengupayakan pemenuhan hajat hidup rakyat banyak. Beberapa komoditas dasar hajat hidup dengan ringannya mereka lepas atau mereka biarkan menjadi tak terjangkau rakyat. Mulai dari bahan bakar minyak (BBM), komoditas Perum Bulog, listrik, komunikasi, sampai pendidikan (tingkat universitas, bukannya diperingan biayanya tetapi justru malah diswastakan dengan akibat biaya melonjak-lonjak tinggi).
Namun apa yang terjadi? Rakyat relatif diam dan menerima dengan kepasrahan yang mungkin telah menjadi frustrasi atau bahkan putus asa. Ajaibnya, rakyat bertahan. Mereka tetap menjadi warga yang relatif baik (walaupun ada satu dua yang devian). Lebih dari itu, mereka survive, tetap dapat hidup, melangsungkan kegiatan, berkembang. Ajaib! Dengan modal ekonomi yang dapat dibilang minus, mereka masih bisa memenuhi kebutuhan primer sehari-hari, bahkan sekunder, tertier, dan sebagian luxury (kebutuhan senggang, leisure, entertainment, dan sebagainya).
Di pihak lain, pihak elite, lewat tata-ekonomi (dunia juga) yang tidak adil, menikmati hasil yang berlebih, kian lebih dan lebih – lewat cara halal maupun ilegal. Itu masih belum cukup. Secara formal mereka berulang kali menaikkan gaji, merekayasa fasilitas pribadi, atau menggunakan dana publik untuk kepentingan kelompoknya. Kenaikan harga yang beruntun hampir tak bisa menyentuh marjin keuntungan pribadi mereka, sebagai pejabat, petinggi, maupun pengusaha.
Ketika harga BBM, gula, beras, material di beberapa daerah melonjak begitu fantastis, justru kalangan elite menikmati kemudahan-kemudahan yang kian memperbukit profit finansial mereka. Pajak penjualan (PPn) barang mewah seperti mobil, justru dikurangi. Lalu harga BBM untuk kelas atas, seperti premix, malah diturunkan. Utang-utang yang mencapai triliunan rupiah, sebagian besar malah diampuni atau dihapuskan.
Kenyataan hasilnya? Semua kemudahan dan fasilitas itu justru tidak membuat mereka kian produktif dan membawa loko ekonomi kita kian kencang bergerak. Jika modal ekonomi rakyat terus dikikis, pihak elite/ penguasa/pemerintah justru minta tambah terus modal segar dari rakyat. Besaran pajak yang terus meningkat, hingga sekitar Rp 300 triliun, tak kunjung juga menjadi jaminan produktivitas yang pada gilirannya membuat rakyat bisa merasakan hasilnya.
Sebagai pengusaha, jika elite dianggap eksekutif, modal sebesar itu setiap tahun tak menciptakan keuntungan berarti. Tidak profit malah defisit. Lagi-lagi rakyat yang diperas untuk menanggungnya. Sungguh gambaran menyedihkan kondisi elite kita. Bertabur fasilitas namun hanya menghasilkan diri yang lemas. Bertentangan dengan rakyat umum, ditekan habis-habisan tapi justru bisa hebat bertahan.
Rakyat yang Berdaya
Persoalan dalam hubungan di antara dua pihak di atas, juga terbalik arahnya. Dalam realitas seperti tergambar di atas, semestinya kaum elite belajar dan bersikap rendah hati bekerja sama dengan rakyat. Memberi respek pada daya survive-nya yang luar biasa. Meneliti bagaimana rakyat mampu keluar dari masalah, menciptakan solusi dari hidup yang sudah begitu terhimpit – dan tidak menjadi cengeng karenanya.
Namun yang masih terus berlangsung adalah performance dan retorika kaum elite dan penguasa yang justru tak henti-hentinya menguliahi, bahkan menyalah-nyalahkan publik. Mereka meminta rakyat melihat ke atas, berkaca pada mereka, dan mengikuti apa yang mereka mau. Filosofi top-down, sabda pandita ratu, dan gaya-gaya feodal atau paternalistik dengan berbagai cara mereka pertahankan.
Memang dengan cara itulah selama ini kaum elite kita bisa mempertahankan diri. Tak heran jika kemudian yang terjadi adalah pembodohan, pembekuan, dan manipulasi moralistik. Sebuah kondisi yang akan mengizinkan terjadi involusi. Kebobrokan serta kemunduran tentu saja menjadi konsekuensi logisnya.
Dalam situasi ini, tak ada cara lain kecuali rakyat menyadari diri, mengetahui kekuatan-kekuatan yang mereka miliki sekaligus mengidentifikasi kelemahan-kelemahan elite yang seharusnya tidak mereka ikuti (walau dibungkus seindah apa pun). Rakyat mesti berdaya, mengupayakan hidup sendiri, hidup bangsa dan negaranya. Ketergantungan pada elite dan pemerintah harus dihentikan.
Rakyat ternyata menjadi kunci dari apa yang sebenarnya harus kita lakukan, kita ubah dan kembangkan. Tapi kesadaran untuk itu harus dimulai dari rakyat sendiri. Kesadaran yang tangguh dan tak mungkin dimanipulasi. Kesadaran yang membuat negeri ini perkasa. Tentu saja, tidak lain, karena rakyatnya memang perkasa.
***
*) Pekerja sastra dan teater, dosen pascasarjana Universitas Indonesia.
http://sastra-indonesia.com/2010/11/rakyat-yang-perkasa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar