Kepada penyabung ayam di kampungku
“Tenang sajalah kau, besok kuganti dengan yang lebih bagus dan mahal. Pokoknya sekarang kau percaya saja pada suamimu ini. Lagi pula kalungmu itu sudah ketinggalan jaman bentuknya. Kau tak cantik lagi memakainya” Pagi itu Bang Teguh merayu istrinya agar mau menjual kalung untuk membeli seekor ayam jago.
“Dari dulu Uda tak pernah berubah. Uda lebih mementingkan ayam dari anak dan istri sendiri. Sampai-sampai Ranti, anak kita satu-satunya tak bersubang. Uda berjanji menggantinya, tapi sampai sekarang tak ada bukti. Sudahlah, jangan mengadu ayam lagi. Bekerja seperti biasa sajalah. Garap sawah ayahku di belakang sana. Lagipula mengadu ayam itu dosa” Ni Mawar yang sudah kehilangan gelang dan cincin yang dijual suaminya untuk membeli ayam jago, kali ini agaknya menolak memberikan kalungnya.
“Ah, tau apa kau soal dosa. Sudahlah, jika kau tak mau tak apa. Dasar pelit” Bang Teguh pergi ke belakang rumah memberi makan ayam jagonya.
Bang Teguh terkenal di kampungnya sebagai penyabung ayam. Ia menyabung ayam kemana-mana. Bahkan sampai ke kota kabupaten.
Di rumahnya banyak ayam jago yang dibeli dengan harga yang relatif mahal. Ada yang ia beli seharga lima ratus ribu rupiah, bahkan lebih. Ada juga yang ditukar. misalnya ditukar dengan sekarung padi. Di rumah Bang Teguh banyak padi, sebab mertuanya banyak sawah. Dan semua sawahnya menjadi.
Bang teguh tak tanggung-tanggung membeli ayam. Ia berani membeli ayam dengan harga yang mahal, asalkan ia suka pada ayam itu. Ia tahu melihat sisik dan bulu ayam. Dari sisik, ia tahu, Mana ayam yang bagus dan mana yang tidak. Mana ayam yang hebat pukulannya dan tak pernah lari kalau diadu. Dan dari bulu, ia melihat, mana ayam yang berbisa pukulannya dan tak berdiri bulu atas kepalanya kalau ditendang oleh ayam lain. Ia tahu ciri-ciri ayam yang bagus, karna dari kecil sudah bergelimang dengan ayam.
Ia juga tahu cara melatih ayam agar menjadi tangguh bila diadu di gelanggang. Bagaimana agar sayapnya kuat, batang lehernya kokoh, kakinya kencang menendang, kapalanya berdiri kalau sedang berlaga dan pandai mengelak kalau dipukul. Persis seperti orang berkelahi.
Hal yang pertama kali ia lakukan ketika bagun pagi adalah pergi ke kandang ayam dan memberi makan 5 ekor ayam jagonya. Tak berselang lama, ia melatih ayamnya. Bila hari sudah agak panas, ia akan memandikan ayamnya dan mengurungnya dengan sangkar bambu kemudian menjemurnya di bawah terik matahari sampai siang. Hal itu dilakukan agar ayam menjadi tahan berlama-lama diadu di gelanggang. Agar nafas ayam tahan, tak cepat letih bila diadu. Karna di gelanggang biasanya ayam diadu sampai 5 ronde. Satu rondenya 5 menit.
Kadang ia ditertawakan orang kampung “lihat Si Teguh, ayamnya sudah mandi, tapi ia sendiri belum mandi”
Di antara ke lima ayamnya, ada seekor yang paling jago. Si puntung namanya. Waktu diadu sebulan yang lalu di gelanggang belakang pasar, si puntung membunuh seekor ayam lawan. Kemenangan itu membuat nama si puntung melangit dan harga jualnya bertambah.
Dua kali seminggu, Bang Teguh membawa dua atau tiga ayamnya ke gelanggang untuk diadu. Ia mengumpulkan uang bersama beberapa temannya untuk bertaruh. Kalau menang, uang itu dipakai untuk membeli makan ayam atau membeli ayam jago lagi. Kalau kalah, ayam yang kepalanya berlumur darah itu akan ditinggal begitu saja. Bang Teguh tak mau membawa pulang ayam yang gagal.
Nanti sore Bang Teguh akan ke gelanggang, membawa Si Puntung yang bertaji panjang dan tajam. Bersama beberapa temannya, ia sudah mengumpulkan uang taruhan sebanyak lima ratus ribu rupiah. Ia yakin benar akan menang. Karna selama ini,si puntung belum pernah kalah.
Bang Teguh begitu asyik dengan dunianya. Ia tak begitu memperhatikan keluarganya. Bekerja saja tidak. Istrinya hidup dari hasil sawah yang pengerjaannya dengan mengupah oranglain. Bang Teguh senang-senang saja. Saban hari ia sibuk dengan ayam. Kalau kehabisan uang, ia merengek pada istrinya. Entah kenapa istrinya masih betah hidup dengan Bang Teguh. Kata orang-orang kampung Ni Mawar diguna-guna oleh ayah Bang teguh yang dukun gadang itu.
Hubungan Bang Teguh dengan tetangga dan orang kampung nyaris terputus. Ia banyak bergaul dengan orang luar. Temannya sesama penyabung ayam saja. Selain sabung ayam, tak ada tema yang menarik untuk ia bicarakan. Bang Teguh benar-benar penyabung ayam sejati.
“Berkacalah, wajah Uda sudah mirip dengan ayam. Tiap hari bergelimang dengan ayam, apa tidak bosan? Ini hari jumat. Uda tidak mandi dan pergi jum’atan? Ni Mawar menyindir Bang Teguh yang tengah menyuapi ayamnya makan.
“Hari ini aku tak enak badan. Jumat depan sajalah. Aku titip absen saja pada malaikat. Absen satu kali tak apalah. Kalau 3 kali baru bahaya” Bang Teguh menganggap agama sebagai bahan lelucon saja.
“Ah, Uda ini. Pemalas. Sudahlah, pusing aku bicara dengan Uda. Terserah Uda, mau jumatan atau tidak, Uda yang menanggung dosanya” Ni mawar masuk ke dalam rumah meninggalkan Bang Teguh yang belum juga selesai memberi makan ayamnya. Sementara orang-orang sudah lalu lalang di depannya berangkat ke mesjid.
Orang-orang itu melihat Bang Teguh sembari sesekali berbisik dengan yang lain “lihat Si Teguh, nanti kalau mati ia jadi ayam. Ia akan disumpahi malaikat, orang jum’atan ia tidak pergi. Masih asyik dengan ayamnya”
Di kampung selalu ada pantangan. Kadang pantangan itu tak masuk akal. Misalnya, suami yang istrinya sedang hamil tak boleh membunuh binatang, nanti anaknya lahir jadi pembunuh. Tak boleh bertengkar di pagi hari, takut nanti malaikat pemberi rezki tak datang, karna biasanya rezki diantarkan malaikat pagi-pagi ke rumah. Atau dilarang menyebut nama binatang yang kita lihat waktu tengah hari, nanti bisa kesurupan. Begitu biasanya larangan-larang tak masuk akal itu sejak lama hadir di tengah-tengah masyarakat. Anehnya, orang-orang kampung masih mempercayai dan tak mau melanggarnya. Seakan pantangan itu lebih ditakuti dari larangan Tuhan yang tersurat dalam kitab suci.
Bang Teguh sering ditegur orang kampung “jangan mengadu ayam waktu azan magrib. Nanti bisa celaka. Sebab senja hari iblis sedang berlari mencari tempat sembunyi karna takut mendengar suara azan”
Tetapi iah tak menghiraukannya. Ia tetap saja mengadu ayam saat azan Magrib berkumandang. Bahkan sampai azan Isya, ia terus saja menyabung ayam jika pertandingan belum selesai. Ia tak percaya pada larangan-larangan tak masuk akal itu.
Sudah banyak orang yang melarang Bang Teguh menyabung ayam. Terutama ibu dan istrinya. Sampai kerabat-kerabatnya. Tapi ia tak mau juga berhenti. Sepertinya sabung ayam sudah mendarah daging di otaknya.
***
Malam. Bulan sabit melukai langit dengan cahanya yang kuning. Beberapa orang mengetuk pintu rumah Ni Mawar.
“Uni.. Uni.. buka pintu”
Tergesa-gesa Ni Mawar membuka pintu. Tak biasanya malam-malam ada orang ramai-ramai mengetuk pintu.
Ni Mawar kaget saat melihat bang teguh dibopong dua temanya masuk ke dalam rumah. Sebelah matanya diperban dan masih terlihat sisa darah sedikit.
“ada apa ini? Kenapa mata Uda?” ni mawar bertanya dengan nada cemas.
“bang teguh terkena taji si puntung, waktu mengadu ayam magrib-magrib di gelanggang belakang pasar” salah seorang temannya berusaha menjelaskannya. Mereka lalu permisi dan meletakkan si puntung di lantai dengan kaki terikat.
Ni mawar memandang si puntung dan Bang Teguh yang terbaring sambil sesekali mengaduh kesakitan memegang matanya, dengan mulut yang seperti terkunci. Tak tahu apa yang akan diucapkan.
Padang, 19 Februari 2011
http://sastra-indonesia.com/2021/04/dilarang-menyabung-ayam-waktu-azan-maghrib/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar