Selasa, 20 April 2021

KRITIK SASTRA LEWAT TELUR DI UJUNG TANDUK

Jawaban untuk bagian C dari esainya (makalahnya) Sofyan RH. Zaid
 
Nurel Javissyarqi
 
Lagi-lagi perhatian Sofyan masih disibukkan gaya bahasa saya pada tataran judul, sub judul, judul bagian, sub judul bagian MMKI, dan tidak sama sekali pada apa yang sudah dibongkar, digagalkan, dibatalkan, dan dengan model apa pula menghabisi sampai akar-akar kejahiliyaan para senior, yang tidak mereka perhatikan, pelajari, mungkin dikira sekadar angin lalu. Perihal itu mengingatkan masa-masa kedirian ini sebelum tahun 1994, saat jasad bersimpan kanuragan, salah satunya bersebut ‘lembu sekilan,’ sehingga jurus-jurus dimainkan lawan tidak sedikit pun menyentuh badan diri, paling jauh, jika musuh memiliki tenaga hebat, hanya mampu menjawil kain baju saya kenakan, meski begitu terasa juga ke dalam, tapi tidak berangsur lama rasanya lenyap hilang. Tinggal yang menghadapi saya; apa kabar? Yakni tak berani lagi bertarung.
 
Mungkin salah satu cara belajar menulis kritik, dengan mencari yang fatal-fatal atau yang dapat dimasukkan ke perkara fatal. Dari sana mulailah berjarak dengan referensi, semacam kuda-kuda mundur beberapa langkah sebelum maju penuh keyakinan, tentu perlu direkam, dicatat, dan baca berulang-ulang ‘sedurung’ diluncurkan, untuk mengetahui model lari-mu, gaya, dan kemampuan telah dilakoni, agar ke depannya lebih baik. Kalau belajar menulis kritik sastra mencari bebagian remang, maka bersiap-siaplah terjungkal, karena dipastikan berhadapan dengan yang lebih sakti, entah kesaktian lantaran titel, dsb, dan saya sadar betul siap diri ini, lalu bagaimana sepatutnya bersikap melalui kata-kata. Sekali lagi carilah yang fatal, boleh juga dikata vital, titik-titik yang bisa melumpuhkan, sudut-sudut mematikan, lantas sorong bersegenap daya termiliki, rangsek terus hingga mencapai ujung jurang kegelapan, tersebab takdirnya di sanalah kesalahan fatal.
 
Barangkali motode belajar menulis kritik di atas agak berperangai licik, licin, cerdik, tapi siapa mau bermain dengan resiko kalah, kecuali dalam keadaan senggang. Dan gegaya itu kebetulan saya dapati tidak sengaja, oleh sebab menemukan kesalahan fatal mereka, yang dapat diungkit, bisa dimainkan sesuka hati. Toh tubuh teks tak lebih seibarat mayat, dan seorang kritikus seperti dokter bedah; teks tergolek pasrah, sesosok peneliti boleh memakai model beberapa gaya dalam mungulik tubuh teks tak bergerak kemana-mana itu, kecuali (ini sedikit, dan bisalah dinamakan tenaga cadangan) teks yang hendak dipahami mempunyai akar-akaran sastrawi kuat bersimpan kedigjayaan ‘ilmu pancasona,’ atau teks tersebut dapat berkembang hidup menerus atas napas-napas sastrawi, sehingga sulit terbantah kecuali dengan jurus dan tenaga yang sama. Gambaran ini menjumput peribahasa, “Takkan lari gunung dikejar” atau “takkan lari teks dikejar.” Disebut pengejaran, tersebab menggali banyak informasi, data, sumber bacaan, dan diusahakan lebih tua sumurnya, semisal dari kitab-kitab babon, pun terpenting jangan tergesa-gesa, atau pastikan teks takkan lari dikejar, bisa dikerjain.
 
Sepertinya paragraf-paragraf awal sudah cukup mewakili pengantar, di sini diistirahatkan dulu sambil merambai beberapa kemungkinan ditambahkan atau tidak, sekaligus melirik yang hendak ditelusuri. Waktu-waktu pemberhentian itu perlu, guna tidak larut dalam nafsu, agar benar-benar yang dihantam bukanlah pribadi penulisnya, tetapi yang ditumpas betul-betul teks atau karyanya. Dan dimasa-masa berhenti itulah kewajiban paling penting tak lain mencurigai diri sendiri (teks yang sudah ditulis), agar berlaku mawas, serta seyogyanya memuliakan musuh (teks-teks yang dihadapi) dengan menempatkan keluaran orang pintar, agar dapat ambil hikmah kecerdasannya. Perihal lain, ini sedikit rerahasia terungkap, bacalah berkali-kali yang hendak diteliti, mungkin panglihatan pertama kagum, tertimpa heran takjub. Karena jarang sekali, teks yang dibaca lebih sepuluh kali, masih bersimpan kemewahan, kecuali datang dari orang-orang berbobot karyanya sekaligus sepak terjang hidupnya, yang terus membekasi tapak hayat pandangan-pandangannya.
 
Seperti gambaran semula, Sofyan tak menyentuh sama sekali pepokok soal, perkara, sedang semua penekanan yang saya kritisi, menurut peribahasa lagi, bagaikan “telur di ujung tanduk.” Maka andai, ini masih tahapan pengandaian, apapun lelangkah sudah terlayarkan, salah jurus sekalipun, misal watak paling jelek ada di diri yakni meremehkan, padahal tak, ‘telur di ujung tanduk’ tersebut, sekali tiupan ngguling dan pecah. Lantas cobalah bayangkan beberapa tahun mengerjakan MMKI, dengan kesungguhan siap hadapi siapapun, di meja sidang pengetahuan apapun (karena sumber referensinya tidak hanya dari belahan sastra). Atau Sofyan telah tahu, betapa tebal nan lembut lelipatan sumber sejarah yang tertuang dalam memperkuat tiupan ke telur, sehingga dipilih menyentuh permukaannya saja. Namun sepertinya tak, dan terlupa jika saya pun menulis puisi, artinya terbiasa mengolah kata. Ataukah begitu kepasrahan di ketiak senior, terlampau menganggap tinggi capaian mereka, dan kesalahan fatalnya dilupa, sambil mengira yang lain tidak bisa apa-apa. Tentu itu keuntungan tersendiri bagi yang suka belajar, membaca, iqro’.
***
 
Sofyan menyebut Napole: “Napoleon pernah berbisik pada Fontanes bahwa hanya ada dua kekuatan di dunia ini, yaitu pedang dan pikiran. Namun dalam sejarahnya, pedang selalu dikalahkan oleh pikiran. Dalam buku ini, Nurel ibarat pendekar yang memiliki pikiran dan pedang bermata dua, sekali serang, bisa mengancam dua sasaran: Ignas dan SCB. Namun serangan Nurel kadang sia-sia, bahkan salah jurus pedang, mungkin karena pikirannya yang sedang tidak fokus. Padahal pendekar sejati adalah mereka yang mampu memainkan pedang sekaligus pikirannya dengan baik.”
 
Mengenai perkataan sia-sia, salah jurus hingga mengira pikiran saya sedang tak fokus, pahami “telur di ujung tanduk” sebelumnya. Lebih kelam pamornya dibanding ketiga perangai itu, dan ini mengingatkan perkataan almarhum sastrawan Iman Budhi Santosa, yang mengibaratkan diri saya selaksa senjata pusaka keramat bersimpan kutukan: “Kau ibarat keris, keris Gandring, Yang bisa membahayakan orang lain, juga dirimu sendiri.” Selepas bedah buku puisi “Takdir Terlalu Dini” di Purna Budaya Yogyakarta 2001 (Endosemen BbTTD, Cet 2, 2006). Di lain waktu dan kesempatan, almarhum kawan Fahrudin Nasrullah menyebut sebagai ‘ludah beracun’ (bertuah). Kalaulah itu suatu penujuman takdir, maka diri saya telah mengenal sejak lama, menyadari jauh sebelum belajar menulis esai sampai separas aura kritik sastra. Lantas bagaimana jikalau MMKI lebih mirip sebuah benteng dengan pola tidak beraturan semisal Al-Qasbah (Alcazaba, alcassaba, Kasbah). Alcazaba de Malaga, dibangun dari tahun 1057-1063 atas instruksi Badis, Raja Berber Taifa berpusat di Granada.
 
Sofyan melanjutkan: “Nurel pada masing-masing bagian buku -selain bagian I- misal bagian II menuliskan: Bagian II Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia (kupasan pertama dari paragraf awal, lewat esainya Dr. Ignas Kleden). Judul bagian buku ini membingungkan karena menggunakan kalimat yang tidak efektif. ‘Kupasan pertama dari paragraf awal, lewat esainya Dr. Ignas Kleden’ mengesankan adanya dua entitas antara ‘kupasan’ dan ‘esai Ignas’, padahal dua hal itu merupakan satu kesatuan, yakni esai Ignas tentang SCB yang dikupas oleh Nurel. Seharusnya Nurel tidak perlu menggunakan kata ‘lewat’ atau ‘nya’, cukup menulis judul bagian bukunya menjadi: Bagian II Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia (kupasan pertama dari paragraf awal esai Dr. Ignas Kleden). Nurel juga bisa membuat alternatif judul bagian misalnya dengan topik yang sedang dikaji pada tiap paragraf untuk mengurangi kepusingan pembaca.”
 
Tengok halaman 76 MMKI, Bagian XIV Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia (kupasan ke nol dari sebelum paragraf ketiga, lewat esainya Dr. Ignas Kleden). Dan kata “lewat” maupun “nya” yang diharapkan Sofyan dihilangkan saja, tidak lain saya gunakan untuk pertegas bahwa esai Ignas Kleden sebagai sketsa dalam merambahi perkara tengah diunggah melalui perbagai persoalan, dari satuan “kata” dalam paragraf, “peribahasa,” dst. Aneh jikalau kemunculan kata “lewat” dan “nya” dianggap suatu perkara yang dapat membingungkan pembaca, kalau sekadar kenes bolehlah. Pun tampak terang usulannya semacam hardikan, lantaran sering memakai kata “seharusnya” yang jauh dari bijak, seolah memaksakan seseorang yang sehat untuk mengenakan tabung oksigen dalam membantu pernapasannya. Padahal hampir seluruh buku-buku karya saya telah lewati hitungan seksama, mulai dari segi angka jumlah halaman, nomor bagian, kata awal pula jumlah paragraf, disamping tanda-tanda alam; musim, gerhana, letusan gunung, waktu dan tempat penggarapan turut dilibatkan; inilah jawaban dari keraguan orang-orang sekelas dirinya.
 
Berikutnya Sofyah menilai: “Kelebihan kata ‘lewat’ dan ‘nya’ dalam buku ini barangkali sesuatu yang sepele, tapi punya dampak yang besar bagi pembaca, apalagi terkait judul bagian buku. Pembaca yang fanatik terhadap kalimat -sebagai alat untuk menjelaskan gagasan seorang penulis- akan langsung menilai: ”Membuat judul bagian bukunya saja membingungkan apalagi isi bukunya!” Bukan tidak menutup kemungkinan buku yang sedang dibacanya akan dilempar ke tempat sampah seperti surat cinta yang ditolak sebelum dibaca sampai akhir. Pada titik ini, kemampuan Nurel berbahasa dan menggunakan kalimat yang efektif mulai meragukan.”
 
Seberapakah bahayanya dampak kata “lewat” dan “nya” bagi pembaca di sana, dibandingkan penyelewengan-penyelewengan para senior yang dibiarkan hingga sekarang? Sofyan terus saja menutup mata, barangkali menganggap sepele perkara perubahan “kata kerja” menjelma “kata benda” dalam mengartikan “Kun Fayakun” oleh Sutardji Calzoum Bachri, misalnya. Mencari sumber rujukan saja tidak mampu sampai keliru, dikelirukan, masih tetap dielu-elukan. Bukan tak menutup kemungkinan, buku MMKI yang belum dibuka bungkus plastiknya sudah dibilang ‘ngawur’ oleh salah satu tokoh sastra Indonesia, dan yang tidak baca jenak berpendapat analisa saya keliru, jadi diri maklumi hal-hal kelewat tersebut. Di titik ini kemampuan mereka dalam mengembangkan ilmu pengetahuan secara jujur obyektif sekaligus terbuka pantas diragukan.
 
Sofyan berbilang ucap: “Menurut Teeuw, sastra sama dengan bahasa, merupakan sebuah sistem yang kemampuannya menjadi syarat mutlak untuk memahami dan mengarang karya sastra. Oleh karena itu, “penulis adalah duta bahasa”, bukanlah slogan kosong. Sebagai duta, seorang penulis memang wajib mampu –setidaknya- membuat kalimat yang efektif dan tidak membingungkan pembaca. Karena menguasai tata bahasa -di mana seseorang menulis- adalah modal dasar seseorang untuk menjadi penulis. Dengan kata lain, kini bukan hanya salah ketik dan kata klise yang menjadi musuh sastrawan beserta pembacanya, tapi juga kalimat tidak efektif. Banyak sastrawan yang belum selesai berurusan dengan tata bahasa, wajar jika Abdul Hadi WM pernah menyinggung jika masalah yang tetap hangat sampai sekarang dalam perkembangan kesusastraan adalah sejauh mana para sastrawan Indonesia mampu menggunakan bahasanya sebagai perantara untuk mengungkapkan nilai-nilai…”
 
Jika karya sastra dan atau sastrawannya sebagai duta bahasa, lantas duta bahasa seperti apakah yang membohongi publik, menggelincirkan tonggak-tongkah pengetahuan pada tempat-tempat lebih rendah sekelas sulapan? Apakah contoh efektif itu ‘kata kerja’ yang dirombak menjadikan ‘kata benda’? Dengan kata lain, bukan salah ketik dan kata klise yang menjadi musuh sastrawan beserta pembacanya, tetapi juga para pembual, kaum penakut menghadapi kenyataan teks yang dikelirukan. Dan ada sastrawan yang tidak selesai berurusan dengan cover buku MMKI, sudah menghakimi lebih dulu. Di sini, saya terpingkal-pingkal mendengar kabar berita tersebut dari salah satu mahasiswanya.
***
 
“Ah, hanya manusia biasa,” begitu ungkapan Beethoven dengan rasa kecewa terhadap Napoleon. Karya Ludwig van Beethoven, Simfoni III dalam tangga nada Es Mayor (Op. 55), dikenal Eroica (bahasa Italia; heroik). Simfoni ini adalah rangkaian dari kesembilan ciptaannya, ditulis langsung setelah yang kedua. Selesai di bulan Agustus 1804, dan pertama diperdengarkan di depan umum tanggal 7 April 1805 di Theater an der Wien di Wina. Awalnya didedikasikan untuk Napoleon Bonaparte, tetapi tidak jadi, setelah tahu Napoleon mengangkat dirinya sendiri menjadi kaisar. Akhirnya dipersembahkan kepada seseorang yang agung, walaupun kemudian diperuntukkan kepada patron utamanya, Pangeran Joseph Franz von Lobkowitz. Karya ini menandai “periode tengah” yang menghasilkan sejumlah karya baru berskala besar, dengan emosi dalam struktur yang ketat. Simfoni yang berekspresi matang atas musik zaman klasik akhir abad 18 sekaligus bergaya romantik, yang selanjutnya mendominasi abad 19. (wikipedia). Di buku MMKI hanya tertulis sampai simfoni V, dan berikut ini yang ke III atas larik puisi saya gubah (hal. 248-249):
 
SIMPHONI III
 
Dengan daya pelahan-lahan
dibangkitkan sisa tenaganya
menghayati makna kecewa.
 
Lengking kedalaman jiwa
setinggi ombak diterima
sehempasan membadai.
 
Hadirlah keberanian diri
betapa tiada tidak mungkin
dilayarkan segenap hati
berbinar-binar mata cerah.
 
Dipandangnya awan dekat
sebumi-langit bersetubuh
dicanangkan harapan jauh.
 
Sebintang-bintang angkasa
biar angin menyapu rambut
lebih akrab dari sebelumnya.
 
Sesekali kenangan berlalu
dianggapnya bayu lumrah.
 
Pikirannya menggunung
naluri jernih menggapai
pekabutan mengandung.
 
Nuraninya memotong
laluan menghadang,
ombak ditaklukkan.
 
Waswas dipendam
kepedihan dilempar
dihanyutkan pebekalan.
 
Makin intim percaya
musik bathin pribadi
pergumulan alam diri.
 
Dan suara-suara agung
ke derajat kemakmuran.
***
 
Kekecewaan Beethoven hampir sama diri alami, yang saya tempatkan di Bagian XVI, MMKI Buku Pertama, seperti tertera dalam laguan pembukaannya: “Awalnya masih menaruh pikiran positif, di kepala saya seakan tertera kata-kata, “pasti pidatonya mbeneh (benar), bukan awut-awutan (ngawur),” namun nyata tebakan itu meleset. Pun ingin husnudzon (berbaik sangka), mungkin tidak tahu sumber aslinya. Namun apakah mungkin, sastrawan terkenal yang banyak mendapatkan penghargaan, cuntel (dangkal) keilmuannya?”
***
 
Sambil mendengar dentaman Mehter, akan diakhiri bagian ini. Mehter atau mahter (ini diambil dari wikipedia): merupakan marching band Utsmani, marching band tertua dalam dunia militer. Mehteran (mahtaran, bahasa Persia). Band ini digunakan atas rombongan wazir atau pangeran, disebut mehterhane (pertemuan para mehters). Di Turki modern, keseluruhan dinamai takımı mehter (peleton mehter). Di Barat, yang disajikan ini berlabel Musik Janisari, karena Janisari pembentuk inti band. Istilah Mehter ada pada Prasasti Orkhon abad ke 8, tetapi lebih merujuk permainan instrumen individual. Mehter disebutkan secara definitif di abad 13, ketika Sultan Seljuk Alaeddin III memberi hadiah band tersebut kepada Osman Ghazi, sebagai ucapan atas negara yang baru dibentuknya (Osmanoglu, kelak menjadi Kekaisaran Ottoman, Utsmaniyah Imperatoroglu, atau Kesultanan Utsmani). Sejak saat itu, Mehter resmi bermain bagi penguasa Utsmani, pemainnya dari pasukan khusus Utsmani, Janisari (Janissary, YeniCeri, Inkisyariyah).
 
Sejak abad 16, gagasan marching band militer yang dimulai Mehter, diperkenalkan ke seluruh kesatuan militer di dunia. Musik Mehter jadi inspirasi beberapa komposer klasik Eropa, Joseph Haydn, Mozart, hingga Beethoven. Tahun 1826, Mehter meredup dikarena Janisari dibubarkan Sultan Mahmud II, dan mencapai puncaknya pertengahan hingga akhir abad 19, ketika Utsmani dianggap menjadi “Sick Man of Europe”. Tahun 1911, ketika kesultanan mulai runtuh, Direktur Museum Militer Istanbul mencoba membangkitkan tradisi Mehter, dan akhirnya tampil penuh di tahun 1953 untuk merayakan 500 tahun Jatuhnya Konstantinople ke tangan Sultan Muhammad al-Fatih dari Kesultanan Utsmani. Sekarang, Mehter ialah marching band Angkatan Bersenjata Republik Turki. Mehter banyak digunakan pada upacara negara dan kemiliteran bagi pengingat heroisme masa lalu kejayaan Turki Utsmani. Kesatuan Mehter, jadi band Angkatan Bersenjata Turki, dan ditampilkan di Museum Militer (Askeri Muze) di Istanbul.
***
 
Alhamdulillah, meski usia saya telah masuki angka dua digit akhir tahun kemerdekaan NKRI, kondisi tubuh masih baik; ketika merasa atau mendekati sakit, keadaan perut terus terasa lapar dan tatkala tubuh sehat, makan seperlunya ketika dirasa lapar. Begitu juga lidah bersama filter rokok masih bisa mendiagnosa, apa sedang kurang enak badan, berangsur menuju kesembuhan ataupun sudah segar bugar. Kini, marilah memasuki dentum-dentaman musik Mehter (Janisari):
 
MEHTER: Ada ribuan, jutaan, triliunan kemungkinan, itulah sayap-sayap malaikat membawai Rahmat-Nya ke hadirat seluruh makhluk-makhluk ciptaan-Nya, tak terkecuali para insan, kurnia-Nya menembus ke luar jangkauan wewarna logika, senada-nada kesembuhan, suara-suara bakti kebangkitan, niat-niat terpuji dikerahkan, irama-irama kekal dilesatkan, meringkus kekhilafan, menghardik kepengecutan, merebut peta-peta kosong menjelma lelangkah kepastian, kenyataan, kemurungan dilucuti, kegundahan dilempar ke pojok-pojok kesekaratan, keindahan disongsong bagai menyambut bulan purnama di tengah malam tanpa hujan pun sebersit awan. Bala tentara Ottoman berjabat erat keyakinan, berangkul peluk sedekat kematian di leher jenjang, demikian derap kuda para tentara, suara-suara teriakan takbir terus dikumandangkan, tiada lagi was-was hantu keraguan, setan-setan memasuki liang, mengubur dirinya bersama nasib malang, lantas panji-panji kebajikan diterbitkan di pucuk-pucuk nyali paling tinggi kepada Sang Ilahi Rabby.
 
Getaran ini genderang perang, suara-suara terompet bagai sangkakala malaikat maut pencabut suka, rasa merinding setubuh duka, wewaktu terhimpun kekhusyukan mengabdi, peribadatan tidak habis selesai, senantiasa membuka napas-napas kelonggaran, kesempatan baik juga cita-cita agung berdirinya tonggak gilang gemilang. Begitulah yang mereka lewatkan, yang sengaja dilalaian, dilupakan, terciumlah sedap maut, kejahiliyaan ditampakkan, kemerosotan terungkap, rupa-rupa keburukan mendapati wajah sebenarnya. Di sini ribuan kemungkinan, jutaan rahmat mendesak bebijian nurani dicukulkan, bergerak hasrat besar bangkitkan makna kemerdekaan, kepala-kepala dapati pencerahan, penalaran terang atas kilatan cahaya keimanan, kesungguhan peroleh daya-dinaya imbalan tiada terkirakan, kesuntukan beningkan pekerti, bahwa kebenaran ditegakkan, dari tapa brata bertemu kemakmuran, maknawi kebahagiaan, sebagaimana keringat menderas, kemenangan bermandikan cahaya, dinaungi kepastian tunggal Ilahiah, maka teruslah berdecak dalam dadamu, dihantui kesalahan-kesalahan yang tidak dituntaskan lewat pertaubatan.
 
Kemarilah mengikuti tarian pedang bersama kilatan ruh bersarung badan, dan apa yang tergurat tak lain limpahan syukur Alhamdulillah, melebur bagai bunga sedap malam, atau kalian tengah diruapi ketakwaan seorang hamba atas pengajaran-pengajaran terdahulu, yang menjadikan diri memantabkan hidup dalam kehidupan; darah kesucian, air bening berkah ketulusan, hujan deras menyapu kekhusyukan. Maka bersyukurlah kehadirat-Nya, dan kembalilah kepada dirimu paling tenang, setelah mengakui langkah keliru, tindak kesalahan, serupa kabar dilesatkan angin bebatu, “buah maja berfaedah, ketika kau mengetahuinya.”
***
 
Berikut ini teks musik Mehter (Janissary), marching band (tertua) atas militer Ottoman:
 
Leluhurmu, kakekmu, keturunanmu, ayahmu
bangsa Turki selalu gagah berani
tentara Anda, berkali-kali, telah terkenal di seluruh dunia
 
Bangsa Turki bangsa Turki
cintai bangsamu dengan penuh semangat
terkutuklah musuh negerimu
mereka akan merasakan kehinaan.
***
 
Lamongan, 19 Maret 2021
 
Link terkait:
Bagian A:
http://sastra-indonesia.com/2021/03/penghilangan-kata-dalam-kritik-sastra-indonesia-i-ii/
http://sastra-indonesia.com/2021/03/penghilangan-kata-dalam-kritik-sastra-indonesia-iii/
http://sastra-indonesia.com/2021/03/penghilangan-kata-dalam-kritik-sastra-indonesia-iv/
http://sastra-indonesia.com/2021/03/penghilangan-kata-dalam-kritik-sastra-indonesia-v/
Bagian B:
http://sastra-indonesia.com/2021/04/komodo-ataukah-kadal/
Bagian C:
http://sastra-indonesia.com/2021/04/kritik-sastra-lewat-telur-di-ujung-tanduk/

Esainya Sofyan RH. Zaid: http://sastra-indonesia.com/2018/07/mengintip-nurel-membongkar-mitos-kesusastraan-indonesia/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Alexander A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Dahana A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.C. Andre Tanama A.J. Susmana A.S. Laksana A’an Jindan AS Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Rauf Singkil Abdul Walid Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adek Alwi Adhi Pandoyo Adhitia Armitrianto Adhy Rical Adi Faridh Adian Husaini Adin Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrizas Adu Pesona Sang Wakil Presiden RI AF. Tuasikal Afri Meldam Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agit Yogi Subandi Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Rakasiwi Agus Sulton Agus Wibowo Agus Wirawan Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ah. Atok Illah Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Anshori Ahmad Damanik Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Hasan MS Ahmad Jauhari Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad S. Zahari Ahmad Syafii Maarif Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fiah Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Siddiq Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al-Fairish Al-Ma'ruf I Al-Ma'ruf II Alang Khoiruddin Albert Camus Ali Mahmudi Ch Alia Swastika Alvi Puspita Alvin Amien Wangsitalaja Aminah Aming Aminoedhin Ana Mustamin Anam Rahus Anas AG Andhi Setyo Wibowo Andi Gunawan Andry Deblenk Angela Anggie Melianna Anindita S. Thayf Anis Ceha Anitya Wahdini Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anugerah Ronggowarsito Anwar Nuris Aprillia Ika Arida Fadrus Aridus Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Ariel Heryanto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Arwan Aryo Wisanggeni Aryo Wisanggeni Gentong AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Ashadi Ik Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asro Kamal Rokan Astrid Reza Asvi Warman Adam Atafras Atok Witono Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azwar Nazir Baca Puisi Badrus Siroj Bahrul Ulum A. Malik Balada Bambang kempling Bambang Riyanto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berita Utama Bernando J. Sujibto Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Bre Redana Brunel University Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Jay Utomo Budi P. Hatees Budi Palopo Budi Setyarso Budi Sp. Indrajati Budiman S. Hartoyo Budiman Sudjatmiko Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Choirul Rikzqa Christian Heru Cahyo Saputro Cover Buku D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dadang Widjanarko Damiri Mahmud Dani Fuadhillah Daniel Paranamesa Darju Prasetya Dati Wahyuni Dawet Jabung Ponorogo Dedykalee Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Deshinta Arofah Dewi Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan Dewi Anggraeni Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Didik Kusbiantoro Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dorothea Rosa Herliany Dr Andi Irawan Dr Siti Muti’ah Setiawati Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Drs. Solihin Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddi Koben Edeng Syamsul Ma’arif Edy Apriyanto Sudiyono Edy Firmansyah Edy Susanto Efri Ritonga EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hartono Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elita Sitorini Elly Trisnawati Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Em. Syuhada' Emha Ainun Nadjib Encep Abdullah Eni Sulistiyawati Eny Rose Esai Ester Lince Napitupulu Etik Widya Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathan Mubarak Fathul Qodir Fathul Qorib Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Seni Surabaya 2011 Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fikri. MS Fiqih Arfani Firman Daeva Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Forum Santri Nasional (FSN) Free Hearty Galuh Tulus Utama Gandis Uka Ganug Nugroho Adi Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gendut Riyanto Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Pratama Glenn Fredly Goenawan Mohamad Golput Gombloh Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Hadi Napster Hafis Azhari Halim HD Halimi Zuhdy Hamid Dabashi Han Gagas Hardi Hamzah Hari Prasetyo Haris Del Hakim Haris Saputra Hary B Kori’un Hasan Basri Marwah Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Hendro Situmorang Henri Nurcahyo Henry H Loupias Hera Khaerani Heri CS Heri Kris Heri Latief Heri Listianto Herman RN Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Kuntoyo Heru Kurniawan Hikmat Darmawan Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humaidi Humam S Chudori I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I. B. Putera Manuaba IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ichwan Prasetyo Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Munadjat Imam Nawawi Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Herdiana Imron Arlado Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indigo Art Space Madiun Indra Tjahyadi Indrian Koto Ingki Rinaldi Iqmal Tahir Is Faridatul Arifah Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Isra’ Mi’raj Iswadi Pratama Iswara N Raditya Iva Titin Shovia Iwan Awaluddin Yusuf Iwan Gunadi J. Sumardianta Jamrin Abubakar Jansen Sinamo Janu Jolang Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jemie Simatupang Jenny Ang Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jl Simo Jo Batara Surya Jodhi Yudono Joko Budhiarto Joko Sadewo Joko Sandur Joko Widodo Jones Gultom Joni Ariadinata Joresan Mlarak Ponorogo Joseph E. Stiglitz Jual Buku Paket Hemat Junus Satrio Jurnalisme Sastra K. Hirzuddin Hasbullah K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.H. Masrikhan Asy'ari K.H. Mudzakir Ma'ruf Kadjie MM Kajian Kitab Nashoihul 'Ibad Kang Daniel Karanggeneng Kartika Foundation Kasanwikrama Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kekal Hamdani Kemah Budaya Panturan (KBP) Kesenian KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Anwar Khoirul Inayah Khoirul Naim Khoirul Rosyadi Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Koko Sudarsono Komaruddin Hidayat Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopuisi Korban Gempa di Lombok Kospela KPRI IKMAL Lamongan Kris Razianto Mada Kritik Sastra Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kusni Kasdut Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto Lagu Laili Rahmawati Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Latif Fianto Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Listiyono Santoso Liya Izzatul Iffah Liza Wahyuninto Lucky Aditya Ramadhan Ludruk Jawa Timur Lukisan Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lustantini Septiningsih Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Ismail M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Iqbal Dawami M. Irfan Hidayatullah M. Latief M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Mushthafa M. Riza Fahlevi M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Maghfur Munif Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahwi Air Tawar Majelis Ulama Indonesia Makalah Tinjauan Ilmiah Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mantan Pastur Hafidz Al-Qur'an Maqhia Nisima Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Marsel Robot Martin Aleida Martin Hatch Marwan Ja'far Marwita Oktaviana Marzuki Mustamar Mashuri Masjid Tegalsari di Pesantren Gerbang Tinatar Masuki M. Astro Matroni el-Moezany Matroni Muserang Max Arifin Maya Handhini Mbah Kalbakal Medco Media Jawa Timur Medri Osno Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Misbahul Huda Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh Samsul Arifin Moh. Ghufron Cholid Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ghannoe Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Rain Muhammad Taufik Muhammad Yasir Muhammad Zia Ulhaq Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukhsin Amar Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Mun'im Sirry Muntamah Cendani Museum Bikon Blewut Ledalero Musfarayani Musfi Efrizal Musyayana Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nabi Adam Nanang Fahrudin Nandang Darana Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Ni Luh Made Pertiwi F Nindya Herdianti Ninin Nurzalina Wati Nitis Sahpeni Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noorsam Noval Jubbek Novel Pekik Novianti Setuningsih Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Hamzah Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nuswantoro Nyimas Nyoman Tingkat Obrolan Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Opini Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Pameran Seni Rupa Panda MT Siallagan Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit SastraSewu Penerbitan dan Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Pengajian Pengetahuan Perang Peringatan Hari Pahlawan 10 November Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pesantren Kampung Inggris Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Petrik Matanasi Pilang Tejoasri Laren Lamongan Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pilkada Piramid Giza Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pradana Boy ZTF Pradaningrum Mijarto Pramoedya Ananta Toer Prih Prawesti Febriani Pringadi AS Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Hartanto Puji Santosa Puput Amiranti N Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Satria Kusuma Putu Setia Putu Wijaya R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.Ng. Ronggowarsito Rabdul Rohim Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sazaly Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Rengga AP Reni Lismawati Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Rieke Diah Pitaloka Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rizka Halida Rizky Putri Pratimi Robin Al Kautsar Rocky Gerung Rodli TL Rofiqi Hasan Rohmad Hadiwijoyo Rohmah Maulidia Rohman Abdullah Rojiful Mamduh Rosdiansyah Rosi Rosidi Roso Titi Sarkoro Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rumah Literasi Rx King Motor S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Saifur Rohman Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Sardono W Kusumo Sartika Sari Sarworo Sp Sastra Facebook Satmoko Budi Santoso Satrio Lintang Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Savidapius Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Sejarah Sekolah Literasi Gratis SelaSAstra Boenga Ketjil SelaSAstra Boenga Ketjil #23 SelaSAstra Boenga Ketjil #24 Seni Ambeng Ponorogo Senirupa Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Shofiyatuz Zahroh Shohebul Umam JR Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Silfia Hanani Sindu Putra Sita Planasari Aquadini Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Hadi Purnomo Soediro Satoto Soegiharto Soeprijadi Tomodihardjo Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Igustin Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Sriyanto Danoesiswoyo Stefanus P. Elu Stevani Elisabeth STKIP PGRI Ponorogo Student Center Kampus ISI Yogyakarta Subagio Sastrowardoyo Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Ariyadi Sukitman Sumenep Sumiati Anastasia Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungelebak Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Suyadi San Syafrizal Sahrun Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syamsul Rizal Syi'ir Syifa Amori Syifa Aulia T.A. Sakti Tajuddin Noor Ganie Tamrin Bey dan Robin Al Kautsar TanahmeraH ArtSpace Tarpin A. Nasri Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Roda UNISDA Lamongan Teater Sakalintang Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tawon Teater Tewol Teguh LR Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Teori Darwin Teori Fisika Hawking Tgk Abdullah Lam U Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute Theresia Purbandini Thomas Koten Tien Rostini Timur Arif Riyadi Tjahjono Widarmanto Tjut Zakiyah Anshari Toeti Adhitama Tosa Poetra Tri Andhi S Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Tutut Herlina Ucu Agustin Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Uniawati Unieq Awien Universitas Jember Usman Arrumy Ustadz Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vassilisa Agata Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Video Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vita Devi Ajeng Pratiwi W. Haryanto W.S. Rendra Wakos R. Gautama Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Suryandoko William Shakespeare Wisnu Kisawa Wiwik Widiyati Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yayat R. Cipasang Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yulianto Yuliawati Yunanto Sutyastomo Yunus Supriyanto Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf AN Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Yuyuk Sugarman Z. Mustopa Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zarra Martsella Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zen Hae Zii Zuhdi Swt