Marhalim Zaini *
riaupos.com
“….sebuah mawar akan tetap sebuah mawar juga,
delapan puluh tahun yang akan datang.” (Yukio Mishima).
Dua titik cahaya api yang menyulut ujung dua batang rokok itulah yang memulai sebuah peristiwa teater di malam itu. Pendar cahayanya membias temaram, sebelum sorot lampu menajam ke arah dua sosok tokoh yang dari mulutnya kini mengepulkan asap. Dua sosok, lelaki muda dan perempuan (sangat) renta, yang seakan sedang direkatkan oleh sebuah tarikan waktu, sebuah kekuatan nasib. Ada kesunyian yang hanyut dalam hitungan detik, mengambang dalam lengang, dalam malam yang diam. Tapi tak lama, dua sosok itu pun berpendar, meregang jarak, menyibak tabir-tabir dalam ruang-ruang panggung yang sunyi. Dan nampaknya, percakapan harus segera dimulai, untuk memberi tanda bagi sepi yang usai: “Satu ditambah satu, dua; dua ditambah dua empat…”
Apa makna hitungan yang diucapkan oleh tokoh perempuan renta berumur sembilan puluh sembilan tahun itu? Ia menghitung puntung rokok yang berserakan di sebuah taman kota yang usang. Ia, boleh jadi seorang pemulung. Tapi berapa harga sebuah puntung rokok? Apakah ia sedang menghitung keuntungan? Tidak pasti. Bukankah seorang pemulung tidak semestinya bicara tentang keuntungan, tapi lebih baik berpikir tentang keberuntungan? Atau boleh jadi dia memang sedang menghitung waktu, yang satu persatu gugur bagai daun-daun kering yang ikut terserak di taman itu. Pun, menghitung gugur rambut putihnya dalam kenangan, dalam usia yang bergerak menggapai satu abad.
Tapi di malam itu, di taman yang kusam itu, tempat ia kerap mengusir para pasangan kekasih yang memadu cinta di atas bangku-bangku kayu, ia harus kembali bertemu untuk keseratus kalinya dengan seseorang yang masih muda, yang dipanggil sebagai penyair. Maka ia, mau tak mau, harus kembali bercakap dan berdebat dengan sang penyair tentang hidup, tentang pergulatan eksistensial, tentang individu-individu yang rapuh dan rumpang, tentang romantisme, dan tentang kematian. Perempuan renta itu bilang, “Kau beranggapan bahwa bangku-bangku itu menjadi hidup jika ada seorang pemuda tolol bersama pacarnya duduk di atasnya? Janganlah begitu bodoh! Mereka saling memeluk di atas makam mereka. Lihat betapa pucatnya mereka, betapa pucat-lesinya mereka, dalam cahaya hijau yang melalui daun-daunan menyelinap dari jalan. Mata mereka terpejam. Tidakkah mereka kelihatan sebagai mayat? Mereka mati selagi bercumbu.”
Demikianlah, peristiwa bagian awal pertunjukan teater yang disuguhkan oleh Teater Selembayung selama tiga malam berturut-turut (2, 3, 4 Januari 2009) di Gedung Olah Seni Taman Budaya Pekanbaru. Lakon yang diangkat adalah Malam Terakhir karya salah seorang pengarang Jepang terpenting di abad kedua puluh bernama Yukio Mishima (1925-1970) yang diterjemahkan Toto Sudarto Bachtiar. Lakon dengan judul asli Sotoba Komachi ini memang melukiskan pertemuan seorang penyair dengan perempuan tua, bernama Komachi (nama ini oleh sutradara, Fedli Aziz, kelak diubah menjadi Dang Dara). Pada masa mudanya Komachi adalah seorang perempuan yang cantik jelita, dan dicintai oleh seorang kapten pengawal istana. Tapi anehnya, pada pertemuan mereka yang keseratus, sang kekasihnya itu meninggal ketika mengatakan bahwa Komachi cantik. Sejak itu, berturut-turut kekasih Komachi yang lain juga meninggal setelah menyebut Komachi cantik pada malam keseratus pertemuan mereka. Si Penyair, dalam kisah lakon ini, juga akhirnya menemukan ajalnya ketika di malam keseratus pertemuannya juga tak kuasa untuk tidak mengatakan bahwa Komachi adalah perempuan yang sangat cantik, meski saat itu Komachi justru telah berusia sembilan puluh sembilan tahun.
Secara kronologis, kisah yang dirangkai Yukio Mishima (nama pena dari Kimitake Hiraoka) sesungguhnya bersifat realistik. Setiap perempuan cantik pasti “disukai” oleh banyak laki-laki. Laki-laki yang bertemu dengan perempuan cantik itu, rasanya tidaklah salah (dan sekali lagi sangat realistis) jika harus jujur mengatakan bahwa apa yang dia lihat memang cantik. Yang jadi tidak realistik secara logika adalah ketika sang laki-laki yang mengatakan kejujurannya tentang kecantikan perempuan itu harus mati. Dan harus pula pada sebuah malam, di hari yang keseratus. Dan anehnya lagi, laki-laki yang mengetahui prihal peristiwa ini, justru tak sanggup mengalahkan keinginannya untuk tidak mengatakan, bahkan lebih memilih untuk siap mati.
Apa yang hendak disampaikan oleh Yukio sebenarnya dalam lakon ini? Kenapa harus kematian yang disuguhkan Yukio untuk sebuah soal yang bagi banyak orang dianggap sangat sepele: mengatakan cantik? Ada dua hal yang mengemuka: kecantikan dan kematian. Demikian berbahayakah “kecantikan” hingga taruhannya adalah “kematian?” Dari sini, saya kira, kita segera harus memeriksa kembali, bahwa benarkah untuk mengatakan seseorang/sesuatu itu cantik adalah satu hal yang sepele, tanpa ada tendensi ideologis? Tentu, sampai di sini, ketika menyebut ideologi, maka seketika kita harus mendudukkan kisah Malam Terakhir ini dalam konteks yang lebih luas, dalam berbagai kajian tentang sosial, kebudayaan, politik, psikologis, filsafat, dan entah apa lagi. Maka di sinilah letak kekayaan karya sastra, yang sangat diyakini, tercipta tidak dari ruang kosong, tapi dari sebuah realitas kompleks dan rumit dari sebuah peradaban.
Agaknya perjalanan hidup Yukio Mishima yang dramatis itu, dapat setidaknya memberikan laluan kita untuk menengok lebih “dalam” makna yang tersirat dari lakon Malam Terakhir ini. Misalnya, apakah jalan kematian Yukio dengan melakukan harakiri (bunuh diri) di hadapan para pengikutnya pada akhir November 1970, setelah menyelesaikan halaman terakhir buku keempat tetraloginya itu, adalah sebuah realitas absurd tentang hidup dan kematian sebagaimana yang terjadi dalam Malam Terakhir? Meski di lain pihak, kita segera mengetahui bahwa demikianlah kiranya cara Yukio menggapai puncak hidupnya, puncak karyanya: dengan bunuh diri. Bahwa kematian, kita tahu, kerap “dipakai” dalam banyak pemikiran filosofis yang terkait dengan makna hidup itu sendiri.
Saya tertarik untuk mengaitkan prihal dunia absurditas (hidup-mati) ini dalam sejumlah pandangan Albert Camus dalam esai panjangnya yang terkenal, The Myth of Sisyphus (terbit tahun 1942), selain juga dalam berbagai karyanya yang lain, semisal drama Le Malentendu (Salah Paham) atau novel L’etranger (Orang Luar Garis). Camus memandang bahwa alasan untuk hidup adalah juga sebuah alasan untuk mati. Salah satu jalannya bisa dengan bunuh diri. Tapi bunuh diri yang bermakna. Camus bilang, “bunuh diri adalah pemecahan situasi absurd.” Bunuh diri yang dilakukan oleh Yukio Mishima, meski sesungguhnya juga bukan hal yang terlampau luar biasa dalam khazanah tradisi di Jepang, tetap mengandung situasi absurd itu. Dalam konteks lakon Malam Terakhir, bukankah laki-laki yang memilih mati dari pada tidak mengatakan kebenaranan/kejujuran tentang “kecantikan” adalah juga sebentuk bunuh diri? Dan laki-laki itu pun mati berkali-kali, bunuh diri berkali-kali, sebagaimana juga tokoh bernama Sisyphus yang diciptakan Camus yang mendorong sebongkah batu besar ke puncak bukit yang tidak pernah dicapainya. Titik capaian di sini menjadi demikian relatif, dan tidak mutlak ditentukan oleh sebuah puncak (gunung, misalnya). Kematian pun dalam hal ini adalah sesuatu yang sangat wajar dan tidak boleh tidak harus dihadirkan untuk memecahkan situasi absurditas hidup itu sendiri. Jika tidak, maka kecantikan si perempuan hanya berada dalam kosmetika-luaran belaka. Kecantikan yang akan segera pudar oleh gerusan waktu. Sementara yang dikehendaki oleh Yukio adalah kecantikan yang “kekal”, yang “abadi.” Maka kalimat dialog yang saya kutip di awal tulisan ini, dapat menandaskan hal itu, “….sebuah mawar akan tetap sebuah mawar juga, delapan puluh tahun yang akan datang.” Yukio Mishima, nampaknya memang hendak mengekalkan waktu di malam keseratus, di Malam Terakhir.
Tafsir Ulang Teks Lakon ke Teks Panggung
Teks lakon Malam Terakhir yang bernilai absurd ini, rupanya ditafsirkan oleh Fedli Aziz selaku sutradara dalam teks panggung sebagai sesuatu yang mengandung nilai magis. Hal ini demikian dapat dirasakan sejak awal sampai di akhir pertunjukan. Hemat saya, memang terasa demikian tipis pembatas antara suasana magis dan suasana absurd itu. Sebab keduanya memang mengandung situasi ambang dalam berbagai pertanyaan-pertanyaan spiritual. Situasi yang tanpa disadari membawa kita berada dalam kesadaran yang lain, yang lebih subtil. Sebagaimana juga banyak pakar mendudukkan karya-karya Ionesco dan Beckett sebagai karya peralihan dari tema sosiologis ke tema-tema metafisik, maka Yukio agaknya berada dalam ketegangan serupa. Atau dapat pula ditengok dari model atau teknik penulisan stream of consciousness (dialog para tokohnya yang menuntun kepada suara-suara perjalanan batin) untuk menghadirkan absurditas. Apalagi situasi kemanusian yang cenderung “absurd” pasca Perang Dunia, bagi Yukio, menyimpan kompleksitas traumatik yang tak gampang untuk diurai. Perang, adalah identik dengan kematian. Maka, perang, kerap menghadirkan situasi yang hampir serupa pada banyak pengarang yang lahir dan hidup di masa-masa pancaroba macam itu. Namun begitu, tidak serta merta membuat sebuah pertunjukan teater demikian suram, dalam tikungan-tikungan tangga dramatik yang magis. Malam Terakhir saya kira bisa saja tampil dalam visual yang elegan, bahkan komikal. Sebab, bentuk teksnya realistik, meski konsepsi nilainya asburd. Sebagaimana juga misalnya dapat kita telisik ulang dalam teks naskah Petang di Taman karya Iwan Simatupang.
Upaya tafsir teks panggung dari teks lakon yang dilakukan Fedli semacam ini beresiko mengalihkan titik pandang penonton kepada ruang mistis. Meski tidak juga sepenuhnya demikian. Saya tetap percaya, bahwa potensi setiap teks lakon memang demikian besar untuk diolah dalam berbagai tafsir sesuai “obsesi” sang sutradara. Dalam konteks itu, upaya Fedli yang lain, yang dapat pula diperdebatkan lebih lanjut adalah penghadiran “nuansa lokal (Melayu)” dalam pertunjukan. Selaku sutradara, tugasnya memang harus melakukan “tafsir ulang” terhadap teks lakon untuk menemukan formula dan bentuk pemanggungan yang sesuai dengan konsep yang diinginkan. Jadi, dia (sutradara) punya hak yang cukup besar untuk dapat menghidupkan teks lakon sedemikian rupa, sehingga teks lakon juga adalah “kendaraan ideologis” sang sutradara. Akan tetapi, apakah Fedli juga bertindak sebagai penfasir ulang teks lakon dalam tataran adaptatif atau transformatif?
Dalam pengamatan saya, Fedli telah melakukan tugas penyutradaraan yang demikian rapi dengan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Saya mengapresiasi itu sebagai sebuah kerja yang serius. Pola blocking dan garis-garis ruang yang dinamis. Suspensi yang kadang mengejutkan. Tempo yang cukup terjaga. Komposisi musik (digarap oleh Rino De Zapati) yang hemat saya sangat mendukung pertunjukan. Porsinya tepat dengan nuansa percampuran antara Jepang dan dunia Melayu. Nah, soal percampuran inilah yang saya maksudkan bahwa kerja pengadaptasian (mungkin dalam konteks ini lebih tepat menyebutnya transfromasi) adalah kerja yang sebaiknya tidak dianggap sebagai kerja pragmatis. Ia, adalah kerja penggalian intensif tak hanya soal linguistik tapi juga soal latar belakang sosio-kultural sebuah teks sumber, menuju teks baru. Teks baru ini, entah macam apapun bentuknya, juga harus memiliki kekuatan yang lain, yang eloknya tak lebih “rendah” dibanding teks sumber.
Apa yang dilakukan Fedli misalnya dengan mencoba “mencampurkan” dua entitas (Jepang dan Melayu) ke dalam sebuah sajian pertunjukan masih tampak dan terasa sebagai “pelengkap” dari identifikasi yang tanggung. Saya katakan dalam diskusi malam terakhir pertunjukan, bahwa kenapa mesti “terjebak” kepada menggapai-gapai “Melayu”. Apakah kebudayaan Jepang yang ada dalam teks Yukio Mishima kalah menarik dengan teks-teks Melayu? Apakah kita menjadi tidak lagi Melayu, jika kita dengan sangat serius menggeluti, menggali, dan memainkan teks lakon Jepang yang (mendekati) asli. Yang setelahnya, kita pun segera tahu dan ikut menyandingkan kebesaran atau bahkan kekerdilan dari masing-masing kebudayaan tersebut. Maka penukaran nama Komachi menjadi Dang Dara pun tak menemukan substansi dan signifikansi dalam tataran simbol maupun semiotis. Tari Olang-olang-nya suku Sakai yang dipakai menggantikan dansa berirama wals pun kemudian tak saling “melengkapi” bahkan saling memungungi. Tarian itu seolah datang begitu saja dari hutan Sakai dan hadir menyelinap dalam pertunjukan Malam Terakhir. Meski tentu upaya Fedli ini, harus diberi apresiasi. Sebab, dalam perspektif lain, saya justru melihat keberhasilan yang lain yang dicapai Fedli. Yakni meniadakan ruang sosio-kultural itu sendiri dalam tarik-menarik berbagai konflik eksistensial. Bukankah kini sesungguhnya kita juga sedang berada dalam “ketiadaan” yang semacam itu? Sungguh, sebuah situasi absurd yang lain…
Inilah Aktor Kita
Terlepas dari soal konsepsi pemanggungan, saya melihat justru telah lahir aktor Riau yang baru dan pantas dicatat dalam buku besar teater Riau. Tokoh Penyair yang diperankan oleh M Paradison dan tokoh perempuan tua diperankan oleh Tri Sepnita, tampak sedang masuk ke dalam model permainan yang mendekati karikatural, dan non-realisme. Pilihan untuk membuat gestur-gestur yang tegas dan ekspresif memang memungkinkan untuk mengidentifikasi kehendak teks naskah lebih fleksibel. Tidak kaku dalam ketengangan-ketegangan suasana yang terlanjur diplot dalam suasana magis oleh sutradara. Satu lagi, komposisi garis permainan yang cukup dinamis dapat pula membantu mencairkan “ruang magis” itu menjadi ruang-ruang pergumulan “eksistensial” dua tokoh utama ini. Saya kira, dua aktor ini bermain cukup intens, meski sempat “lepas” pada saat-saat pergantian adegan. Faktor lain, agaknya adalah tradisi pementasan lebih dari satu malam yang di Riau masih sangat tidak biasa, juga ikut berpengaruh pada stamina aktor. Di luar itu, dalam hal ini, saya hendak meralat pernyataan Taufik Ikram Jamil dalam sesi diskusi pada malam terakhir pementasan, yang menyatakan bahwa sejak tahun 80-an baru kali ini (maksudnya Teater Selembayung) yang berani mementaskan selama tiga malam berturut-turut. Sebab faktanya, Opera Melayu Tun Teja yang melibatkan pemain ratusan orang itu telah lebih dulu memulai pementasan selama tiga malam beruturut-turut, 29, 30, 31 Agustus 2007. Sebagai sebuah sejarah, ia tak bisa dipungkiri.
Para pendukung lain pertunjukan ini, juga telah bermain secara maksimal, sesuai peran yang dibebankan pada mereka. Mereka, selain anggota Teater Selembayung adalah juga mahasiswa di Jurusan Teater Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR), termasuk dua tokoh utama di atas. Artinya, bahwa saya (sebagai pengajar di Jurusan Teater AKMR) cukup mengetahui dan mengikuti proses mereka dalam berbagai aktivitas dan kreativitas yang dijalani. Meski sudah barang tentu, bangku akademis, tak dapat sepenuhnya memberi “kepuasan proses” berkesenian yang sesungguhnya. Maka sanggar, adalah sebuah ruang lain untuk “mempraktekkan” atau menuangkan kegelisahan kreatif seorang (calon) seniman. Artinya juga, bahwa permainan mereka di atas panggung perlu terus diuji untuk meningkatkan “jam terbang” mereka, terutama dalam menemukan potensi-potensi keaktorannya.
Sesungguhnya, masih banyak hal yang perlu kita perbincangkan. Akan tetapi, ruang yang terbatas ini, membuat saya harus mengakhiri tulisan ini dengan mengutip satu kalimat diaolog lagi milik Yukio Mishima, “Kalau aku berpendapat bahwa sesuatu cantik, maka aku harus mengatakannya, sekalipun aku harus mati karenanya.” Adakah di antara kita yang sanggup begitu? Termasuk untuk berani mengatakan yang tidak cantik, yang tidak baik, yang tidak benar, yang tidak ideal, di sekitar kita? Maka kita tunggu pementasan Teater Selembayung berikutnya. Tahniah!
***
*) Adalah penonton teater, tinggal di Pekanbaru. http://sastra-indonesia.com/2009/02/yukio-mishima-mengekalkan-waktu-di-malam-terakhir/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar