Djoko Saryono *
Salah satu perubahan atau pergeseran mencolok sekaligus penting mengenai citra sosok perempuan Indonesia di dalam novel-novel Indonesia sebelum dan sesudah perang adalah semakin terbuka dan luasnya ruang publik bagi perempuan-perempuan Indonesia. Dibandingkan dengan ruang publik perempuan di dalam novel-novel Indonesia sebelum perang, ruang publik perempuan di dalam novel-novel Indonesia sesudah perang jauh lebih luas dan terbuka. Jika di dalam novel-novel Indonesia sebelum perang (pada umumnya) banyak dikisahberitakan tentang perjuangan-pergulatan perempuan-perempuan terpelajar dan terdidik dari golongan menengah dan menengah-atas dalam memperoleh ruang publik yang luas dan terbuka, maka di dalam novel-novel Indonesia sesudah perang justru banyak dikisahberitakan tentang kiprah perempuan-perempuan terpelajar dan terdidik dari golongan menengah dan menengah-atas menikmati ruang publik yang sudah dimilikinya secara luas dan terbuka.
Hal tersebut menandakan, ruang publik bagi perempuan Indonesia digambarkan masih sempit-tertutup dalam novel sebelum perang, sedangkan ruang publik bagi perempuan Indonesia digambarkan sudah luas-terbuka dalam novel-novel sesudah perang. Demikianlah, ruang publik bagi Sitti Nurbaya dalam Sitti Nurbaya, Tuti dalam Layar Terkembang, Tini dalam Belenggu, Hayati dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijk dan Rapiah dalam Salah Asuhan tergolong masih harus diperju-angkan dan terma¬suk sempit-tertutup, sedangkan ruang publik bagi Fifi dalam Merahnya Merah, Sri dalam Pada Sebuah Kapal, Atik dalam Burung-burung Manyar, Ni dalam Canting, Manen dalam Raumanen, dan Neti dalam Burung-burung Rantau termasuk sudah diperoleh dengan baik dan tergolong luas-terbuka.
Di dalam novel-novel sebelum perang, kesempita¬n-ketertutup¬an ruang publik bagi perempuan terutama disebabkan oleh kuatnya kebudayaan patriarkis yang berada di bawah hegemoni maskulinitas. Hegemoni maskulinitas atas kebudayaan patriarkis itu belum dapat dibongkar oleh para perempuan seperti Sitti Nurbaya, Tuti, Tini, Rapiah, dan Hayati meskipun sudah mereka sadari kebu¬rukannya dan kekurangannya. Maskulinitas masih berkuasa menentukan dan mengatur sikap, perilaku, dan seperangkat nilai kebudayaan, termasuk menentukan dan mengatur sikap, perilaku, dan seperangkat nilai kebudayaan yang dikenakan kepada perempuan. Begitulah, nilai, sikap, dan perilaku Sitti Nurbaya, Tuti, Tini, dan Rapiah yang dianggap baik dikuasai dan ditentukan oleh laki-laki: oleh Sutan Mahmud, Baginda Sulaiman, dan Datuk Meringgih dalam Sitti Nurbaya;oleh Sukartono dalam Belenggu;oleh Syafei dan Hanafi dalam Salah Asuhan.
Berdasarkan pendidikannya, mereka memang sudah menyadari keburukan dan kekurangan hal tersebut, tetapi mereka belum bisa membongkarnya. Tampaknya, dalam novel-novel Indonesia sebelum perang memang baru direpresentasikan kesadaran kritis perempuan terhadap ruang kehi¬dupan mereka di sektor publik. Di samping itu, juga direpresentasikan protes dan perjuangan mereka membongkar kebudayaan patriarkis yang mendasari kesempitan ruang publik bagi mereka.
Integrasi kultural mereka terhadap kemodernan ternyata belum mampu menunjang secara kukuh kesadaran, protes, dan perjuangan mereka. Kemo¬dernan yang dipahami dan dicita-citakan oleh Sitti Nurbaya, Tuti, dan Tini -- sebagai contoh -- belum menunjang secara kukuh kesadaran, protes, dan perjuangan mereka. Setidak-tidaknya hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, pada masa sebelum perang atau pada saat teks-teks novel Indonesia ditulis, kemodernan relatif masih merupakan barang baru bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat luas belum memahami makna dan sosok kemodernan. Hanya kalangan tertentu -- terutama kalangan menengah dan menengah atas yang berhasil mengenyam pendidikan formal -- yang dapat menangkap dan memahami makna dan sosok kemodernan. Hal ini menandakan bahwa keberterimaan kemodernan belumlah luas dan meresap ke dalam masyarakat.
Kemudian kedua, pada masa sebelum perang, keberakaran dan kemelemba¬gaan kemodernan di dalam masyarakat luas relatif lambat. Akibatnya, kemodernan belum didukung secara luas oleh masyarakat. Di samping itu, kemodernan menjadi belum fungsional untuk menyangga sebuah gerakan moral atau budaya -- termasuk gerakan Sitti Nurbaya, Tuti, Tini, dan lain-lain untuk mendapat keadilan gender khususnya keluasan-keterbukaan ruang pu¬blik bagi perempuan.
Kemodernan semakin berterima, berkembang, berakar, dan melembaga dengan pesat dan cepat pada masa sesudah perang. Teks-teks novel Indonesia yang terbit sesudah perang menggambarkan hal tersebut, misalnya teks novel Canting, Burung-burung Manyar, Durga Umayi, Burung-burung Rantau, Para Priyayi, Tirai Menurun, dan Telegram. Kepesatan dan kecepatan keberteri¬maan, keberakaran, dan kemelembagaan tersebut didorong oleh adanya pemodernan dan pembangunan. Dalam teks-teks novel sesudah perang, rata-rata digambarkan bahwa pemodernan dan pembangunan ini mendorong kemodernan dengan cepat karena diiringi oleh modernisme dan pembangunanisme (developmentalism).
Itu menunjukkan bahwa sesudah perang kemodernan berkembang dan melembaga secara cepat berkat masuknya modernisme dan pembangunanisme ke dalam budaya Indonesia. Hal ini berarti, modernisme dan pembangunanisme menjadi tulang punggung kemodernan. Selanjutnya, kemodernan tersebut membuka peluang dan kesempatan lebih luas dan ter¬buka kepada perempuan untuk berkiprah di ruang publik atau ruang sosial. Jadi, sebagaimana digambarkan di dalam teks-teks novel yang terbit sesudah¬perang, keluasan-keterbukaan ruang publik bagi perempuan makin luas dan ter¬buka pada masa sesudah perang terutama pada masa orde pembangunan yang tidak lain adalah sosok formatif modernisme dan pembangunanisme.
Wajarlah bilamana perempuan-perempuan Indonesia terutama dari golongan menengah dan menengah-atas di dalam teks novel-novel sesudah perang digambarkan dapat dengan leluasa dan bebas berkiprah di ruang publik atau sosial yang relatif sangat luas. Digambarkan di dalam berbagai teks novel Indonesia yang terbit sesudah perang, para perempuan golongan menengah dan menengah mampu memasuki lembaga pendidikan tinggi modern, lembaga ekonomi, lembaga politik, kegiatan ekonomi modern, kegiatan kenegaraan, dan lain-lain dengan peran yang relatif berarti: ruang-ruang publik ini tidak mungkin atau jarang dimasuki oleh perempuan-perempuan sebelum perang.
Di dalam Burung-burung Manyar yang diterbitkan pertama kali tahun 1981, dikisahberitakan bahwa Bu Antana meraih gelar sarjana, menjadi ahli botani, dan bekerja di sebuah de-partemen pemerintah. Dalam teks novel yang sama juga digambarkan, Larasati atau Atik menjadi asisten perdana menteri pemerintah Indonesia, bekerja di kementerian luar negeri, dan meraih gelar doktor biologi. Di dalam teks novel Canting yang terbit pertama kali tahun 1986, digambarkan bahwa Ni (Subandini) dapat meraih gelar sarjana apoteker dan mengelola perusahaan batik dengan manajemen modern di samping memiliki kemandirian serta kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri.
Demikian juga di dalam teks novel Durga Umayi yang terbit pertama kali tahun 1991, digambarkan bahwa Nyonya Nusamusbida alias Iin Sulinda mampu bermain atau berkiprah di bidang politik dan ekonomi kapitalistis secara aktif dan progresif. Dia pernah terjun di dalam perang kemerdekaan di bidang politik, sedangkan di bidang ekonomi-bisnis dia tergolong konglomerat yang menangani megaproyek properti. Dia pun memiliki mobilitas keruangan (spa¬sial) yang sangat luas: pergi-pulang ke berbagai belahan dunia. Hal yang sama juga terlihat di dalam teks novel Burung-burung Rantau yang terbit pertama kali tahun 1993. Dalam teks novel ini, Ny. Anggraini digambarkan sebagai janda kaya raya yang berbisnis secara transnasional. Bisnisnya sudah masuk ke dalam kapitalisme global.
Kapitalisme global memang tampak menjadi tulang punggung penting modernisme dan pembangunanisme di Indonesia. Maksudnya, modernisme dan pembangunanisme menjadi kuat di Indonesia karena didukung oleh penetrasi kapitalisme global yang semakin kuat pada masa sesudah perang -- sesuatu yang masih samar-samar pada masa sebelum perang. Pada teks novel Sitti Nurbaya dan Belenggu yang terbit sebelum perang, kapitalisme -- dalam hal ini kapitalisme agraris-kolonial -- memang digambarkan sudah masuk meskipun masih dalam tahap dini dan samar sehingga belum menjadi pendukung kuat modernisme dan pembangunanisme. Sementara itu, pada teks novel Burung-burung Manyar, Durga Umayi, Burung-burung Rantau, Para Priyayi, dan Canting digambarkan merasuknya kapitalisme global secara kuat di bumi Indonesia sehingga mampu menjadi pendu-kung utama modernisme dan pembangunanisme di Indonesia.
Sebab itu, dapat dikatakan di sini bahwa kapitalisme global secara tidak langsung telah ikut menciptakan ruang-ruang publik bagi perempuan pada masa sesudah perang. Dengan kata lain, berkat kapitalisme global juga ruang publik bagi perempuan semakin luas dan terbuka. Hal ini memungkinkan perempuan memasuki sektor-sektor publik yang pada masa sebelum perang sukar atau belum memungkinkan memasuikinya. Demikianlah, Sitti Nurbaya tidak pernah digambarkan terlibat dalam kegiatan bisnis ayahandanya Baginda Sulaiaman atau Datuk Meringgih di dalam teks novel Sitti Nurbaya. Begitu juga Tini digambarkan mendapat tentangan suamianya Tono pada waktu bergiat di luar di dalam teks novel Belenggu.
Akan tetapi, Zaitun digambarkan dapat menjadi pegawai bank di dalam teks novel Pasar (1976). Ni (Subandini) digambarkan menjadi manajer perusahaan pembatikan dengan gaya kepemimpinan modern di dalam teks novel Canting (1986). Bahkan Iin Sulinda atau Nyonya Nusamusbida digambarkan menjadi konglomerat trans¬nasional yang biasa menggarap megaproyek properti di dalam teks novel Durga Umayi (1991). Demikian juga Ny Anggraini digambarkan sebagai perempuan karier sekaligus janda kaya raya yang memiliki mobilitas keruangan ke berbagai belahan dunia untuk mengurus bisnisnya di dalam teks novel Burung-burung Rantau.
Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa di dalam teks-teks novel sesudah perang, kapitalisme global bersama dengan modernisme dan pembangunanisme dipandang sebagai faktor yang memungkinkan para perempuan golongan menengah dan menengah-atas memasuki ruang publik secara ekstensif.
Bersambung...
(Mohammad Rafi Azzamy bersama Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd dengan KOPUISI)
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
http://sastra-indonesia.com/2020/12/citra-perempuan-dalam-sastra-9/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar