(Catatan HUT W.S. Rendra, 7 November)
Muhammad Muhibbuddin *
“Mana itu seniman Islam? Islam ‘kan tak punya Beethoven,
tak punya Mozart, Picasso?’, begitulah ledekan Rendra terhadap seniman Muslim,
Syu’bah Asa, sekitar 1970-an. Mendengar ledekan penyair Si Burung Merak itu,
Syu’bah Asa, yang saat itu menjadi mahasiswa IAIN (sekarang UIN) Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, hanya diam saja. Selama bergaul dengan Syu’bah, Rendra
mengaku sendiri sering meledek, mencandai dan mem-bully seniman Muslim itu,
namun orang yang di-bully itu nampak tidak merespon; cuek; tidak menunjukkan
reaksi apa-apa. Sikap Syu’bah yang pasif dan cuek itulah yang membuat Rendra
justru penasaran.
Namun siapa sangka Rendra masuk Islam justru terinspirasi
oleh karya Syu’bah Asa. Saat itu, Syu’bah Asa sedang menerjemahkan kitab
al-Barzanji, Syaroful Anam—sebuah kitab yang berisi tentang sejarah dan
puji-pujian terhadap Nabi Muhammad Saw. Hasil terjemahan Syu’bah ini lalu menarik perhatian Rendra; dibacanya
kitab itu dan tertariklah Rendra dengan sosok Nabi Muhammad Saw. Kecintaannya
pada sosok Rasulullah Saw.yang terlukiskan dalam al-Barzanji yang diterjemahkan
Syu’bah itu menginspirasi Rendra untuk masuk Islam.
“Ketertarikan saya
pada Islam bermula pada syair-syair Syaraful ‘Anam dan Al-Barzanji yang
diterjemahkan Syu’bah. Syair-syair ini adalah kasidah puji-pujian terhadap Nabi
Muhammad. Di situ, Nabi Muhammad digambarkan menambal gamisnya sendiri; jika
berjalan dengan sahabat-sahabatnya beliau berjalan paling belakang; beliau juga
amat menyukai anak-anak. Dan, jika tangan seorang sahabat berbau wangi, orang
akan berkata, ‘Tangan ini pasti baru disentuh Nabi.’ Bukankah ini berarti Nabi
suka bergaul? Saya amat terharu membaca syair-syair itu, dan saya berpikir,
‘Boleh, kan, bila saya ikut terharu? Dan ikut numpang kagum pada
Muhammad?”begitulah pengakuan Rendra saat diwawancarai oleh Majalah Ummat No.1,
1994.
Kitab al-Barzanji yang berisi tentang sosok mulia
Rasulullah Saw. dan yang telah diterjemahkan Syu’bah itu kemudian dipentaskan
Rendra ke dalam pertunjukan teaternya dengan judul “Kasidah Barzanji”. Pada
saat itu Rendra sudah menjadi dramawan terkenal di seantero Indonesia melalui
Bengkel Teater yang dipimpinnya. Pementasan Kasidah Barzanji ini menjadi salah
satu karya Rendra yang sangat melegenda hingga saat ini. Karya ini dipentaskan
berulang kali, termasuk pada 2014, ketika Rendra sudah enam tahun meninggalkan
dunia ini.
Saat masih suka meledek Syu’bah itu, Rendra secara formal
masih beragama Katolik. Rendra sejak kecil memang lahir dari keluarga Katolik
dan dididik dalam lembaga pendidikan Katolik. Sejak TK hingga SMU, penyair yang
kelahiran Solo, 7 November 1935 itu menempuh pendidikannya di yayasan Katolik.
Semasa masih Katolik ini, Rendra mengaku agak sinis dengan Islam.
Dalam pandangan Rendra saat itu, umat Islam itu kasar,
tidak ramah dan tidak begitu kreatif. Karenanya, meski telah terpesona dengan
Rasulullah Saw. dan telah mementaskan al-Barzanji, Rendra mengaku tidak
langsung tertarik masuk Islam. “…bahkan ketika itu saya masih belum tertarik
untuk masuk Islam: saya takut jika daya cipta saya lalu mati!, begitulah alasan
Rendra untuk tidak segera masuk Islam setelah berhasil mementaskan al-Barzanji.
Dari pernyataannya itu, bisa dibayangkan bahwa Rendra saat itu memandang umat
Islam sebagai komunitas yang jumud dan tidak memberikan peluang bagi
tumbuh-kembangnya kreativitas seseorang.
Penyair Pemberontak
Rendra, yang nama lengkapnya Willibrordus Surendra Broto
(disingkat W.S.Rendra), seperti dikatakan oleh Syu’bah Asa adalah seniman
pemberontak. Jiwa pemberontakan Rendra dalam kesenimanan dan kepenyairannya ini
jika dirunut dari sejarah kehidupannya merupakan bagian dari eksistensinya yang
sejak remaja memang sering mengalami pergolakan.
Tentang pergolakan eksistensinya yang sudah dialaminya
sejak remaja itu dikisahkan sendiri dalam video dokumenternya yang berjudul,
“Rendra: Si Burung Merak” produksi Lontar Foundation. Di bagian awal video itu,
Rendra mengisahkan, bahwa ketika masih di SMA, dirinya mengalami semacam
absurditas dan disorientasi; goncangan eksistensial; yang membuat ia dilanda
kebingungan akut. Ia pun mengkonsultasikan persoalan ini ke sejumlah orang termasuk
pada guru-gurunya. Namun, gurunya justru menilai, apa yang dialaminya itu bagus
dan sangat cocok dengan bakat dirinya di jurusan bahasa. Jawaban gurunya ini
tetap tidak memuaskan dirinya.
Dalam kondisi dirundung absurditas itu, Rendra merasa
buntu. Blong. Tidak tahu apa yang hendak dikerjakan. Ia merasa tidak bisa
berdamai dengan kelahirannya ke dunia. Karenanya, ketika perasaan absurditas
ini semakin mengoyak jiwanya, Rendra saat itu mulai ada kecenderungan untuk
berprilaku brutal. Namun, daripada ia menunjukkan prilaku buruk terhadap
orangtua, guru-guru dan teman-temannya, ia lebih memilih “minggat” dari rumah.
Saat itu juga ia mempunyai niat kuat untuk berpuasa 9 hari. Puasa ini
digunakannya untuk bertanya dan mengadu kepada Tuhan. Dalam bahasa Jawa: Neges
ing ngarsaning jawoto. Melalui laku spiritualnya itu Rendra ingin bertanya, apa
kehendak Tuhan atas dirinya, sebab ia merasa bahwa dirinya sudah tidak
mempunyai kehendak apa-apa.
Selain itu, jiwa pemberontakan Rendra juga nampak pada
gaya hidupnya yang tidak mau diatur dan suka keluyuran hingga tak kenal waktu.
Ayahnya sendiri, Raden Cyprianus Soegeng Brotoatmodjo (dipanggil Pak Broto)
bilang, “Bahkan aku pernah mengusir Willy (panggilan akrab Rendra—pen) dari
rumah karena kerjanya keluyuran tak mengeal waktu”. Pak Broto juga mengakui, untuk mengajar
Rendra soal seni drama dan sastra lumayan mudah karena otak anaknya itu memang
encer. Namun mendidik Rendra untuk disiplin dan tertib bersekolah, bagi Pak Broto,
sungguh perjuangan berat.
Sejak remaja Rendra sendiri mengakui sangat suka menonton
seni pertunjukan seperti wayang kulit, lenong, gambang kromong, ketoprak, reog,
ludruk, besut, wayang potehi dan sebagainya. Untuk menyalurkan hobinya menonton
seni pertunjukan ini, ia sering berjalan jauh dan mencari-cari kesempatan.
Hobinya berburu seni pertunjukan ini, yang membuat Rendra suka keluyuran ke
mana-mana. Namun berkat hobinya ini pula barangkali yang membuat dirinya kelak
selain sebagai seorang penyair besar, juga sebagai dramawan ulung.
Latar belakang hidupnya yang penuh pergolakan seperti itu
sangat mungkin mempengaruhi karya-karya Rendra, baik di bidang sastra maupun
teater yang sarat dengan pemberontakan dan perlawanan. Kebanyakan karya-karya
Rendra berisi tentang kritikan, perlawanan dan pemberontakannya terhadap sistem
sosial yang kacau dan timpang. Hal ini terutama menyangkut sistem kehidupan
sosial, politik dan agama. Rendra melalui karya-karyanya itu tak segan melabrak segala otoritas yang menindas.
Sajak-sajaknya tentang Pamflet, Menghisap Sebatang
Lisong, Bersatulkah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta, Orang-Orang Rankasbitung,
Nyanyian Angsa, Khotbah dan yang lainnya sarat dengan kritik dan
gugatannya terhadap realitas dan otoritas sosial. Begitu juga dengan
karya-karyanya di bidang teater seperti Mastodon dan Burung Kondor, Panembahan
Reso, Oedipus Rex,Sekda, Perang Troya dan yang lainnya juga berisi pesan moral
dan sosial yang hampir sama.
Melalui karya-karyanya inilah, Rendra tak lelah
melancarkan perlawanannya dan kritik-kritiknya terhadap penguasa dan otoritas
sosial lainnya. Apa yang diperjuangkan oleh Rendra melalui pemberontakannya itu
adalah hidupnya akal sehat kolektif dan keadilan bagi seluruh elemen
masyarakat. Dari sini Rendra meneguhkan keberpihakannya, termasuk dalam aktivitas
berkeseniannya. Melalui sajak-sajak perlawanannya itu, dirinya berusaha untuk
berpihak kepada kepentingan rakyat secara keseluruhan, terutama bagi
orang-orang kecil yang tertindas dan tak berdaya.
Atas dasar itu, Rendra berpendapat bahwa sebuah maksud
baik tidaklah cukup jika tidak didasarkan pada keberpihakan yang jelas kepada
mereka yang tertindas. Apa yang disebut dengan “maksud baik”, bagi Rendra,
tidak ada nilai dan manfaatnbya jika hanya digunakan untuk mendukung penguasa
yang menindas dan merampas hak-hak rakyat. Hal ini nampak dalam sajaknya yang
berjudul, Sajak Pertemuan Mahasiswa:
...
Orang berkata “Kami adalah maksud baik”
Dan kita bertanya: ”Maksud baik untuk siapa?”
Ya! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka
Ada yang duduk, ada yang diduduki
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras
Dan kita di sini bertanya:
“Maksud baik saudara untuk siapa?”
“Saudara berdiri di pihak yang mana?”
Kenapa maksud baik dilakukan
Tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota
Perkebunan yang luas
Hanya menguntungkan segolongan kecil saja
Alat-alat kemajuan yang diimpor
Tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya
Tentu kita bertanya: “Lantas maksud baik saudara untuk
siapa?”
Atas tindakannya yang cenderung memberontak dan menggugat
segala ketimpangan dan ketidakadilan sosial itu, Rendra harus berhadapan dengan
penguasa dan keluar masuk penjara. Bukan hanya itu pementasan keseniannya juga
seringkali dilarang oleh aparat keamanan. Hal seperti ini ia alami baik ketika
di masa Orde Lama maupun di masa Orde Baru. Meski demikian, Rendra adalah
Rendra. Ia tidak pernah surut untuk menciptakan karya-karya perlawanan meski
dirinya sering diteror, dilempar gas amoniak bahkan ditangkap dan dimasukkan ke
dalam jeruji besi.”Dilarang dan tidak itu urusan pemerintah. Urusan saya adalah
mencipta dan mencipta”, begitulah kata Rendra saat menghadapi pelarangan
pementasan karya-karyanya oleh aparat sebagaimana dikutip oleh sahabat
karibnya, Emha Ainun Nadjib (Kompas, 22/4/1975).
Seni dan Politik
Rendra memang tergolong sastrawan dan seniman yang
menolak prinsip “seni untuk seni” (art for art’s sake). Seni bagi Rendra
haruslah menjadi media refleksi kritis terhadap problematika sosial yang ada.
Sebagaimana juga dijelaskan oleh Ignas Kleden, dalam tulisannya, Rendra, Ilmu
Silat, Ilmu Surat (2009:xii) bahwa melalui sajak-sajak dan teaternya Rendra
menyatakan dengan tegas: estetika tidak bisa membenarkan penyairnya melarikan
diri dan mengisolasi dari persoalan-persoalan sosial dan politik; sajak dan
puisi bukanlah alat dan ruang untuk mencari kesunyian dan kesendirian,
melainkan sebagai medium yang perlu dilibatkan dalam perjuangan demi
terciptanya perbaikan kehidupan. Rendra dalam puisinya Menghisap Sebatang
Lisong, mengutuk keras,“Para penyair salon //, yang bersajak tentang anggur dan
rembulan//, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya”.
Meski demikian, Rendra berbeda dengan para seniman Lekra
(Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang menjadikan politik sebagai panglima. Politik
bagi Rendra bukanlah panglima, melainkan sebuah tugas. Semangat kerakyatan dan
kemanusiaan yang diusung Rendra dikatakan berbeda dengan Lekra, karena apa yang
dilakukan Rendra itu bukan manifestasi dari program partai dan ideologi. Hal
ini berbeda dengan konsep kerakyatan yang diusung Lekra, yang atas dasar
politik sebagai panglima, semangat kerakyatan lebih merupakan representasi dari
program partai (PKI).
Dengan semangat kerakyatannya itu, Rendra mengutuk keras
segala tindakan kediktatoran dan otoritarianisme yang cenderung membungkam
kebebasan berekspresi dan daya kritis dengan dalih apapun, termasuk demi
“Revolusi” sebagaimana yang kerap terdengar ketika politik masih menjadi
panglima. Begitu juga, ia melawan keras terhadap segala penindasan dan
absolutisme kekuasaan dengan dalih untuk “Pembangunan” ketika ekonomi sebagai
panglima.
Segala persoalan yang diakibatkan oleh politik dan/atau
ekonomi sebagai panglima ini menjadi concern dan pemberontakan Rendra yang
membuatnya sering berurusan dengan aparat keamanan. Dalam kondisi kehidupan
sosial yang tidak ideal itulah, Rendra menegaskan bahwa kesenian bukanlah
barang “eksklusif dan mewah” yang harus terlepas dan jauh dari pergumulan
sosial dan kehidupan. Seni bagi Rendra adalah pekerjaan yang menjadi panggilan
hidup sehari-hari seperti belajar, menulis, bekerja di sawah, berdagang,
mengolah ladang dan sebagainya. Karenanya seni haruslah sangat berkaitan dan
saling berhubungan dengan sektor-sektor kehidupan lain,termasuk politik. Seni
bagi Rendra harus turut andil melahirkan perubahan dalam masyarakat terhadap
segala tatanan yang tidak ideal.
Namun, Rendra menolak segala perubahan yang penuh
anarkhis dan revolusioner. Apa yang dikehendaki Rendra adalah perubahan secara
gradual dengan tetap mengedepankan akal sehat dan hati nurani. Hal ini terlihat
jelas dalam pementasan karyanya, Mastodon dan Burung Kondor. Pentas teater
Rendra ini terilhami oleh gerakan revolusi di Amerika Latin. Dalam pentas
teater ini dikisahkan bahwa ada sebuah rezim dengan segala aparatus represifnya
yang benar-benar menindas rakyat. Rezim penindas inilah yang kemudian menjadi
simbol Mastodon. Lahirnya Mastodon kemudian melahirkan banyak Burung Kondor
yaitu rakyat kecil, tertindas dan tak berdaya yang menjadi korban kediktatoran
dan penindasan si Mastodon.
Dalam kondisi yang penuh represifitas itulah muncul kaum
intelektual, para profesor dan mahasiswa yang merancang sebuah gerakan revolusi
untuk menumbangkan sistem yang diktator tersebut. Namun sebelum mereka
mewujudkan aksi revolusionernya, muncul seorang sastrawan yang memberikan
masukan tentang bahaya revolusi. Sang penyair ini berpendapat bahwa perubahan
kebudayaan yang ditempuh dengan jalan kekerasan dan revolusioner tidak akan
pernah berhasil. Para pejuang revolusi jika berhasil menggulingkan rezim lama
lalu meneguhkan dirinya sebagai penguasa baru maka mereka juga cenderung
menjadi diktator baru. Rezim yang ditegakkan melalui hasil revolusi dan gerakan
anarkhisme, cenderung memaksakan program-programnya atas nama pemerintahan
revolusioner. “Yang beda namanya saja,” begitulah kata sang penyair.
Lewat karyanya ini Rendra sebenarnya sangat pro dengan
semangat transformasi, perubahan, progresifitas dan dinamika, namun semua ini
harus ditempuh dengan cara-cara yang humanis, gradual dan elegan, dengan tetap
mengendepankan akal sehat dan mempertimbangkan kebutuhan. Perubahan yang
serentak, radikal dan revolusioner bagi Rendra justru hanya menghadirkan
persoalan baru yang tingkat negatifitasnya bisa jadi lebih parah dari yang
sebelumnya.
Itulah sepercik eksistensialisme Rendra dalam dunia
kesenian dan kepenyairan. Akhirnya, Rendra boleh saja telah lama wafat, tetapi
semangat dan idealismenya dalam berkesenian itu tidak boleh padam. Problematika
sosial, ketidakadilan dan ketimpangan struktural masih terus berlangsung hingga
detik ini. Di sinilah diperlukan sebuah seni “yang membebaskan” bagi seluruh
elemen masyarakat dari berbagai kungkungan struktur yang menindas.
Ketidakadilan dan ketimpangan sosial inilah yang selalu digugat dan disoal oleh
Rendra, sebagaimana dalam sajaknya yang berjudul Sajak Sebotol Bir:“Hiburan
kota besar dalam semalam//,sama dengan biaya pembangunan sepuluh
desa//,peradaban apakah yang kita pertahankan?”
*) Muhammad Muhibbuddin adalah penulis lepas, tinggal di
Krapyak, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar