Djoko Saryono *
/1/
Sejak kapankah sastra hadir dalam kehidupan manusia? Ini pertanyaan klasik yang jelas-jelas membosankan. Tetapi terus muncul karena tidak ada jawaban yang pasti. Berdasarkan tradisi lisan dan peninggalan naskah yang ada, secara hipotetis dapat dikatakan bahwa sejak abad-abad Sebelum Masehi sastra sudah hadir dalam kehidupan manusia. Kalau naskah epik wiracarita Gilgamesh dari Sumeria/Mesopotamia dijadikan titik tolak, paling tidak karya sastra sudah hadir abad ke-30 Sebelum Masehi.
Karya-karya sastra Yunani, misalnya Oeidipus Sang Raja, Oeidipus di Colonus, dan Oeidipus Berpulang karya Sopochles, telaah-telaah kesastraan oleh Aristoteles dan Plato, dan syair-syair Homerus diketahui diciptakan pada abad-abad Sebelum Masehi. Konon karya puncak Homerus, yakni Illiad dan Odyssey, dipengaruhi oleh Gilgamesh.Demikian juga karya Ramayana dan Mahabharata, yang di Indonesia sangat dikenal, digubah lumayan jauh pada abad-abad Sebelum Masehi.
Naskah-naskah kakawin, kidung, dan macapat yang sangat terkenal di Jawa, Bali, dan Lombok telah ditulis berabad-abad lalu. Sastra-sastra lisan yang banyak tersebar di berbagai daerah Indonesia diduga sudah berumur beribu-ribu tahun. Dapat dikatakan, sejak Sebelum Masehi sampai dengan sekarang sastra selalu hadir dalam kehidupan manusia meskipun batasan, jenis, dan coraknya berbeda-beda atau tidak sama.
Sastra dapat selalu hadir dalam kehidupan manusia karena selalu dibutuhkan manusia dalam hidup. Sastra dinikmati atau dibaca oleh manusia demi kepenuhan dan kelengkapan selaku manusia. Agar dapat dinikmati atau dibaca oleh khalayak, sastra harus selalu dikomunikasikan. Ini berarti ada komunikasi sastra supaya sastra menjangkau atau mencapai penikmat¬nya (baik pendengar/penonton mau-pun pembaca). Bagaimanakah sosok komunikasi sastra itu? Ini dapat dibayangkan dengan memperhatikan gejala komunikasi sastra pada zaman dahulu (sebelum Abad XX) dan pada zaman sekarang (sejak Abad XX).
/2/
Bagaimanakah gejala komunikasi sastra pada zaman dahulu sejak Sebelum Masehi sampai dengan Abad XIX Masehi? Jika diperhatikan benar, secara kasar bisa dikatakan bahwa komunikasi sastra pada zaman dahulu pada umumnya melalui dua cara, yaitu cara tulis dan cara lisan. Dengan kata lain, melalui tradisi tulis (yang dilisankan) dan tradisi lisan. Tradisi tulis yang dilisankan ada karena adanya karya sastra tulis yang pada hakikatnya perlu dilisankan. Kakawin-kakawin, kidung-kidung, tembang-tembang macapat, dan lain-lain adalah karya sastra tulis karena tertulis dalam suatu bahan baik lontar, kertas maupun bukan, tetapi penikmatannya pada umumnya dikerjakan dengan secara lisan. Dalam kata-kata Walter J. Ong dalam Literacy and Orality, pembacaan dimungkinkan karena sastra berupa naskah, bukan cetak(an).
Di samping berkembang penikmatan individual pada sekelompok kecil manusia, berkembang pula tradisi penikmatan kolektif yang unsur pelisanannya sa-ngat kuat. Di Jawa dikenal macapatan, di budaya Sunda dikenal mamaca, dan di Bali dikenal mabebasan yang sebenarnya merupakan penikmatan kolektif karya sastra. Di daerah-daerah lain di Indonesia juga dikenal pelisanan sastra seperti mabebasan dan macapatan dengan nama berbeda.
Bisa dibilang, komunikasi sastra melalui tradisi tulis yang dilisankan tidak berkem¬bang luas di masyarakat. Tradisi ini hanya berkembang di lingkungan terbatas pada abad-abad lampau. Pada umumnya perkembangan tradisi ini di lingkungan keraton, bangsawan, priyayi, dan kaum terpelajar yang memiliki keistimewaan istiadat dan budaya. Pada perkembangannya kemudian, ketika kemampuan baca-tulis cetakan (printed) dan kepemilikan naskah bukan monopoli sekelompok manusia lagi, yang sudah tampak pada Abad XIX, tradisi ini memang berkembang luas di masyarakat. Masyarakat di pedesaan atau kebanyakan dapat menikmati tradisi ini.
Pada umumnya masyarakat pedesaan atau kebanyakan berkomuni¬kasi sastra melalui tradisi lisan. Tradisi lisan ini memiliki dua pola. Yang pertama, ada pencerita yang bertutur tentang suatu cerita di satu pihak dan di pihak lain ada penikmat yang mendengarkan tuturan pen-cerita. Contohnya terdapat pada pertunjukan wayang kulit, jemblung, dan kentrung. Pada pertunjukan kesenian ini, sang dalang bercerita tentang suatu cerita, sedang penonton mendengarkan cerita sang dalang.
Yang kedua, masing-masing penikmat secara dialogis saling bertutur dan menikmati. Di sini kedudukan masing-masing penikmat sejajar dan setara, tidak ada dalang yang sangat kuasa dan penikmat yang pasif. Contohnya terdapat pada tradisi berbalas pantun di Melayu, parikan di Jawa (Timur), dan sisindiran di Sunda. Tentu kantong-kantong budaya sastra lainnya ada dengan nama berbeda, misalnya di kantong budaya Banjar, Bugis, Buton, dan Ternate.
Dua pola komunikasi sastra tersebut ditopang dan disangga oleh corak sastra dan tradisi budaya tertentu. Komunikasi sastra melalui tradisi tulis yang dilisankan ditopang dan disangga kuat oleh sastra tulis-naskah yang kuat sekali unsur kelisanannya dan tradisi budaya lisan yang berakar kuat di masyarakat luas. Dengan perkataan lain, didukung oleh sastra tulis berunsur kuat kelisanan dan masyarakat lisan, bukan masyarakat lisan. Demikian juga komunikasi sastra melalui tradisi lisan ditopang dan disangga sepenuhnya oleh adanya sastra lisan dan tradisi budaya lisan. Jadi, keadaan budaya beserta masyara-kat pendukungnya yang masih berada taraf lisan membuat komunikasi sastra seperti tersebut berkem bang pada masa lalu.
/3/
Bagaimanakah gejala komunikasi sastra pada zaman sekarang, sejak awal Abad XX sampai dengan dasawarsa kedua Abad XXI? Adakah perbedaan hakiki dan mencolok dengan komunikasi sastra pada zaman dahulu? Hilangkah pola komunikasi sastra zaman dahulu pada zaman seka¬rang? Dapat dikatakan bahwa pola komunikasi sastra zaman dahulu tidak hilang pada zaman sekarang.
Meskipun semakin surut dan berada di pinggiran, pertunjukan wayang kulit, jemblung dan kentrung masih ada di tempat-tempat tertentu. Tradisi mabebasan di Bali dan macapatan di Jawa juga masih hidup walaupun makin rendah kekerap¬annya dan kecil pe-minatnya. Demikian juga tradisi berbalas pantun, parikan dan sisindiran masih dapat ditemukan di masyarakat meskipun makin kalah melawan televisi, film, dan jenis-jenis media modern. Bahkan sekarang komunikasi sastra berlangsung secara digital dengan medium-medium seni baru. Di media sosial komunikasi sastra menggunakan medium baru yang dimungkinkan oleh budaya digital.
Tidak berarti komunikasi sastra pada zaman sekarang tidak berbeda secara hakiki dan mencolok dengan pada zaman dahulu. Pada zaman sekarang tumbuh dan berkembang pola komunikasi sastra yang berbeda secara hakiki dan mencolok dengan zaman dahulu walaupun pola komunikasi sastra zaman dahulu masih tetap hidup. Mengapa terjadi perbedaan hakiki dan mencolok? Bagaimanakah pola komunika¬si sastra pada zaman sekarang?
Zaman sekarang yang umum disebut zaman modern, pascamodern, dan atau zaman disrupsi digital dicirikan oleh lima hal. Kelimanya adalah (i) berkembangnya secara pesat dan luar biasa industri kertas, (ii) tumbuhnya industri percetakan dan penerbitan secara besar-besaran, (iii) berkembangnya tradisi baca-tulis di masyarakat luas, dan (iv) tumbuh-kembangnya keberaksaraan di samping kelisanan sekunder, serta (v) tumbuh-kembangnya secara luas biasa kelisanan kedua akibat digitalisasi yang masif dan budaya digital yang kian dominan. Hal ini mengakibatkan munculnya dan tersebar luasnya sastra tulis dan sastra digital. Sastra tulis yang dibukukan atau yang dimuat di majalah dengan mudah dapat dijangkau dan dinikmati oleh masyarakat luas dari berbagai lapisan sosial. Apalagi sastra digital, dengan mudah dapat diakses dan dibaca oleh pembaca.
Sejalan dengan itu, pola komunikasi sastra menjadi lebih banyak melalui tradisi tulis dan belakangan ini kemudian tradisi digital. Berhubung sastra tulis dicetak dalam lumayan jumlah besar dan disebarluaskan secara besar-besaran hingga pribadi-pribadi anggota masyarakat dapat menjangkau atau memilikinya secara individual, maka tiap-tiap anggota masyarakat bisa berkomunikasi sastra secara individual, bukan kolektif. Membaca sastra secara individual menjadi pola komunikasi sastra tulis.
Dalam bentuk konkretnya, tiap-tiap masyarakat dapat membaca karya sastra secara invidual. Tanpa bergantung pada individu lain dan kepemilikan cerita atau tukang tutur. Puisi, cerpen, novel, dan novela dapat dengan mudah dijangkau atau dimiliki oleh anggota masyarakat dan selanjutnya dibacanya secara individual. Pola komunikasi sastra seperti agaknya sangat dominan pada zaman sekarang. Gelora gerakan literasi belakangan menyokong kebiasaan membaca sastra secara individual dan senyap.
Selain itu, pada zaman sekarang ternyata juga tumbuh dan berkembang satu pola komunikasi sastra melalui tradisi lisan, yang berbeda dengan pola komunikasi sastra melalui tradisi lisan pada zaman dahulu. Dikatakan demikian sebab kemasan dan ciri-ciri penanda keberadaannya tidak sama. Pola komunikasi sastra melalui jalur tradisi lisan pada zaman sekarang dikemas dan disa-jikan dengan mengikuti kaidah-kaidah seni pertunjukan modern dan tunduk pada hukum-hukum pertunjukan modern. Dengan kata lain, pada zaman sekarang berkembang pelisanan sastra yang dikemas mengikuti hukum pertunjukan.
Sejak awal dasawarsa 1970-an pola komunikasi sastra tersebut sudah tumbuh dan berkembang di Indonesia. Hal ini terlihat, misalnya, pada peristiwa (Rendra membaca (lisan) Bibbop dan Orang-orang Miskin pada permulaan dasawarsa 1970-an, dan Darmanto Yatman membaca lisan puisi dalam acara Musik Puisi di Senisono Art Gallery, Yogyakarta, pada tahun 1979. Di samping itu, juga Linus Suryadi membacakan novel Pengakuan Pariyem pada tahun 1980 dan 1981 di Universitas Gajah Mada dan Universitas Airlangga. Pada waktun itu pula Emha Ainun Nadjib beserta Kelompok DINASTI membaca puisi diiringi musik tradisio nal di Bentara Budaya, Jakarta, pada tahun 1984. Tan Lioe Ie dikenal dengan pembacaan puisi secara musikal dan teatrikal. Sekarang sudah marak pembacaan lisan puisi sebagai seni pertunjukan seperti ini sudah lazim dan umum ditemukan dalam berbagai pembacaan puisi.
Belakangan seiring dengan maraknya digitalisasi dan budaya digital, pola komunikasi sastra secara digital, yang mengombinasikan berbagai pola pembacaan sebelumnya, makin mencuat dan menguat di Indonesia. Digitalisasi sistem komunikasi dan dominannya media digital khususnya media sosial mengubah atau menggeser cara membaca atau menikmati sastra. Individu dapat membaca secara individual dengan mengakses laman-laman sastra digital, Youtube, dan sebagainya. Kita bisa membaca sastra melalui laman Apresiasi Sastra, BasaBasi, Sastra Papua, dan sebagainya. Lahirnya sastra digital terutama puisi digital telah memunculkan cara membaca secara digital. Cara menikmati atau membaca sastra digital ini menyatukan pandang, dengar, dan suara. Kita bisa menikmati pembacaan puisi Tan Lioe Ie dan Hasan Aspahani, misalnya, melalui Youtube. Media digital termasuk media sosial benar-benar telah mengubah, dalam hal ini memperluas, pola komunikasi sastra.
/4/
Beberan di atas mengisyaratkan tiga hal. Pertama, komunikasi sastra melalui jalur tradisi tulis dan lisan sudah ada sejak zaman dulu. Pada zaman dahulu jalur tradisi tulis terbatas dan jalur tradisi lisan memasyarakat kuat. Pada zaman sekarang jalur tradisi tulis justru sangat dominan dan jalur tradisi lisan menjadi terbatas. Kedua, membaca puisi/sastra secara individual sebagai bentuk tradisi tulis komunikasi sastra sudah ada sejak zaman dulu. Pada zaman dulu terbatas, sedang pada zaman sekarang dominan dan memasyarakat.
Ketiga, melisankan sastra atau membaca sastra secara kolektif sudah ada sejak dulu. Pada zaman dahulu sangat dominan dan memasyarakat, pada sekarang jauh lebih berkurang meskipun kemasannya lebih bagus. Belakangan berkat masifnya digitalisasi dan menguatnya budaya digital, membaca secara individual sekaligus kolektif berlangsung secara digital, yang merangkum semua pola pembacaan yang telah ada sebelumnya. Ini semua menandakan bahwa tradisi membaca sastra baik sebagai kegiatan pemahaman-individual-intelektual maupun kegiatan penikmatan-performatif-kolektif ada sejak dulu hingga sekarang meskipun perubahan-perubahan ciri khas dan format terjadi.
____________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
http://sastra-indonesia.com/2020/03/pola-membaca-sastra/
/1/
Sejak kapankah sastra hadir dalam kehidupan manusia? Ini pertanyaan klasik yang jelas-jelas membosankan. Tetapi terus muncul karena tidak ada jawaban yang pasti. Berdasarkan tradisi lisan dan peninggalan naskah yang ada, secara hipotetis dapat dikatakan bahwa sejak abad-abad Sebelum Masehi sastra sudah hadir dalam kehidupan manusia. Kalau naskah epik wiracarita Gilgamesh dari Sumeria/Mesopotamia dijadikan titik tolak, paling tidak karya sastra sudah hadir abad ke-30 Sebelum Masehi.
Karya-karya sastra Yunani, misalnya Oeidipus Sang Raja, Oeidipus di Colonus, dan Oeidipus Berpulang karya Sopochles, telaah-telaah kesastraan oleh Aristoteles dan Plato, dan syair-syair Homerus diketahui diciptakan pada abad-abad Sebelum Masehi. Konon karya puncak Homerus, yakni Illiad dan Odyssey, dipengaruhi oleh Gilgamesh.Demikian juga karya Ramayana dan Mahabharata, yang di Indonesia sangat dikenal, digubah lumayan jauh pada abad-abad Sebelum Masehi.
Naskah-naskah kakawin, kidung, dan macapat yang sangat terkenal di Jawa, Bali, dan Lombok telah ditulis berabad-abad lalu. Sastra-sastra lisan yang banyak tersebar di berbagai daerah Indonesia diduga sudah berumur beribu-ribu tahun. Dapat dikatakan, sejak Sebelum Masehi sampai dengan sekarang sastra selalu hadir dalam kehidupan manusia meskipun batasan, jenis, dan coraknya berbeda-beda atau tidak sama.
Sastra dapat selalu hadir dalam kehidupan manusia karena selalu dibutuhkan manusia dalam hidup. Sastra dinikmati atau dibaca oleh manusia demi kepenuhan dan kelengkapan selaku manusia. Agar dapat dinikmati atau dibaca oleh khalayak, sastra harus selalu dikomunikasikan. Ini berarti ada komunikasi sastra supaya sastra menjangkau atau mencapai penikmat¬nya (baik pendengar/penonton mau-pun pembaca). Bagaimanakah sosok komunikasi sastra itu? Ini dapat dibayangkan dengan memperhatikan gejala komunikasi sastra pada zaman dahulu (sebelum Abad XX) dan pada zaman sekarang (sejak Abad XX).
/2/
Bagaimanakah gejala komunikasi sastra pada zaman dahulu sejak Sebelum Masehi sampai dengan Abad XIX Masehi? Jika diperhatikan benar, secara kasar bisa dikatakan bahwa komunikasi sastra pada zaman dahulu pada umumnya melalui dua cara, yaitu cara tulis dan cara lisan. Dengan kata lain, melalui tradisi tulis (yang dilisankan) dan tradisi lisan. Tradisi tulis yang dilisankan ada karena adanya karya sastra tulis yang pada hakikatnya perlu dilisankan. Kakawin-kakawin, kidung-kidung, tembang-tembang macapat, dan lain-lain adalah karya sastra tulis karena tertulis dalam suatu bahan baik lontar, kertas maupun bukan, tetapi penikmatannya pada umumnya dikerjakan dengan secara lisan. Dalam kata-kata Walter J. Ong dalam Literacy and Orality, pembacaan dimungkinkan karena sastra berupa naskah, bukan cetak(an).
Di samping berkembang penikmatan individual pada sekelompok kecil manusia, berkembang pula tradisi penikmatan kolektif yang unsur pelisanannya sa-ngat kuat. Di Jawa dikenal macapatan, di budaya Sunda dikenal mamaca, dan di Bali dikenal mabebasan yang sebenarnya merupakan penikmatan kolektif karya sastra. Di daerah-daerah lain di Indonesia juga dikenal pelisanan sastra seperti mabebasan dan macapatan dengan nama berbeda.
Bisa dibilang, komunikasi sastra melalui tradisi tulis yang dilisankan tidak berkem¬bang luas di masyarakat. Tradisi ini hanya berkembang di lingkungan terbatas pada abad-abad lampau. Pada umumnya perkembangan tradisi ini di lingkungan keraton, bangsawan, priyayi, dan kaum terpelajar yang memiliki keistimewaan istiadat dan budaya. Pada perkembangannya kemudian, ketika kemampuan baca-tulis cetakan (printed) dan kepemilikan naskah bukan monopoli sekelompok manusia lagi, yang sudah tampak pada Abad XIX, tradisi ini memang berkembang luas di masyarakat. Masyarakat di pedesaan atau kebanyakan dapat menikmati tradisi ini.
Pada umumnya masyarakat pedesaan atau kebanyakan berkomuni¬kasi sastra melalui tradisi lisan. Tradisi lisan ini memiliki dua pola. Yang pertama, ada pencerita yang bertutur tentang suatu cerita di satu pihak dan di pihak lain ada penikmat yang mendengarkan tuturan pen-cerita. Contohnya terdapat pada pertunjukan wayang kulit, jemblung, dan kentrung. Pada pertunjukan kesenian ini, sang dalang bercerita tentang suatu cerita, sedang penonton mendengarkan cerita sang dalang.
Yang kedua, masing-masing penikmat secara dialogis saling bertutur dan menikmati. Di sini kedudukan masing-masing penikmat sejajar dan setara, tidak ada dalang yang sangat kuasa dan penikmat yang pasif. Contohnya terdapat pada tradisi berbalas pantun di Melayu, parikan di Jawa (Timur), dan sisindiran di Sunda. Tentu kantong-kantong budaya sastra lainnya ada dengan nama berbeda, misalnya di kantong budaya Banjar, Bugis, Buton, dan Ternate.
Dua pola komunikasi sastra tersebut ditopang dan disangga oleh corak sastra dan tradisi budaya tertentu. Komunikasi sastra melalui tradisi tulis yang dilisankan ditopang dan disangga kuat oleh sastra tulis-naskah yang kuat sekali unsur kelisanannya dan tradisi budaya lisan yang berakar kuat di masyarakat luas. Dengan perkataan lain, didukung oleh sastra tulis berunsur kuat kelisanan dan masyarakat lisan, bukan masyarakat lisan. Demikian juga komunikasi sastra melalui tradisi lisan ditopang dan disangga sepenuhnya oleh adanya sastra lisan dan tradisi budaya lisan. Jadi, keadaan budaya beserta masyara-kat pendukungnya yang masih berada taraf lisan membuat komunikasi sastra seperti tersebut berkem bang pada masa lalu.
/3/
Bagaimanakah gejala komunikasi sastra pada zaman sekarang, sejak awal Abad XX sampai dengan dasawarsa kedua Abad XXI? Adakah perbedaan hakiki dan mencolok dengan komunikasi sastra pada zaman dahulu? Hilangkah pola komunikasi sastra zaman dahulu pada zaman seka¬rang? Dapat dikatakan bahwa pola komunikasi sastra zaman dahulu tidak hilang pada zaman sekarang.
Meskipun semakin surut dan berada di pinggiran, pertunjukan wayang kulit, jemblung dan kentrung masih ada di tempat-tempat tertentu. Tradisi mabebasan di Bali dan macapatan di Jawa juga masih hidup walaupun makin rendah kekerap¬annya dan kecil pe-minatnya. Demikian juga tradisi berbalas pantun, parikan dan sisindiran masih dapat ditemukan di masyarakat meskipun makin kalah melawan televisi, film, dan jenis-jenis media modern. Bahkan sekarang komunikasi sastra berlangsung secara digital dengan medium-medium seni baru. Di media sosial komunikasi sastra menggunakan medium baru yang dimungkinkan oleh budaya digital.
Tidak berarti komunikasi sastra pada zaman sekarang tidak berbeda secara hakiki dan mencolok dengan pada zaman dahulu. Pada zaman sekarang tumbuh dan berkembang pola komunikasi sastra yang berbeda secara hakiki dan mencolok dengan zaman dahulu walaupun pola komunikasi sastra zaman dahulu masih tetap hidup. Mengapa terjadi perbedaan hakiki dan mencolok? Bagaimanakah pola komunika¬si sastra pada zaman sekarang?
Zaman sekarang yang umum disebut zaman modern, pascamodern, dan atau zaman disrupsi digital dicirikan oleh lima hal. Kelimanya adalah (i) berkembangnya secara pesat dan luar biasa industri kertas, (ii) tumbuhnya industri percetakan dan penerbitan secara besar-besaran, (iii) berkembangnya tradisi baca-tulis di masyarakat luas, dan (iv) tumbuh-kembangnya keberaksaraan di samping kelisanan sekunder, serta (v) tumbuh-kembangnya secara luas biasa kelisanan kedua akibat digitalisasi yang masif dan budaya digital yang kian dominan. Hal ini mengakibatkan munculnya dan tersebar luasnya sastra tulis dan sastra digital. Sastra tulis yang dibukukan atau yang dimuat di majalah dengan mudah dapat dijangkau dan dinikmati oleh masyarakat luas dari berbagai lapisan sosial. Apalagi sastra digital, dengan mudah dapat diakses dan dibaca oleh pembaca.
Sejalan dengan itu, pola komunikasi sastra menjadi lebih banyak melalui tradisi tulis dan belakangan ini kemudian tradisi digital. Berhubung sastra tulis dicetak dalam lumayan jumlah besar dan disebarluaskan secara besar-besaran hingga pribadi-pribadi anggota masyarakat dapat menjangkau atau memilikinya secara individual, maka tiap-tiap anggota masyarakat bisa berkomunikasi sastra secara individual, bukan kolektif. Membaca sastra secara individual menjadi pola komunikasi sastra tulis.
Dalam bentuk konkretnya, tiap-tiap masyarakat dapat membaca karya sastra secara invidual. Tanpa bergantung pada individu lain dan kepemilikan cerita atau tukang tutur. Puisi, cerpen, novel, dan novela dapat dengan mudah dijangkau atau dimiliki oleh anggota masyarakat dan selanjutnya dibacanya secara individual. Pola komunikasi sastra seperti agaknya sangat dominan pada zaman sekarang. Gelora gerakan literasi belakangan menyokong kebiasaan membaca sastra secara individual dan senyap.
Selain itu, pada zaman sekarang ternyata juga tumbuh dan berkembang satu pola komunikasi sastra melalui tradisi lisan, yang berbeda dengan pola komunikasi sastra melalui tradisi lisan pada zaman dahulu. Dikatakan demikian sebab kemasan dan ciri-ciri penanda keberadaannya tidak sama. Pola komunikasi sastra melalui jalur tradisi lisan pada zaman sekarang dikemas dan disa-jikan dengan mengikuti kaidah-kaidah seni pertunjukan modern dan tunduk pada hukum-hukum pertunjukan modern. Dengan kata lain, pada zaman sekarang berkembang pelisanan sastra yang dikemas mengikuti hukum pertunjukan.
Sejak awal dasawarsa 1970-an pola komunikasi sastra tersebut sudah tumbuh dan berkembang di Indonesia. Hal ini terlihat, misalnya, pada peristiwa (Rendra membaca (lisan) Bibbop dan Orang-orang Miskin pada permulaan dasawarsa 1970-an, dan Darmanto Yatman membaca lisan puisi dalam acara Musik Puisi di Senisono Art Gallery, Yogyakarta, pada tahun 1979. Di samping itu, juga Linus Suryadi membacakan novel Pengakuan Pariyem pada tahun 1980 dan 1981 di Universitas Gajah Mada dan Universitas Airlangga. Pada waktun itu pula Emha Ainun Nadjib beserta Kelompok DINASTI membaca puisi diiringi musik tradisio nal di Bentara Budaya, Jakarta, pada tahun 1984. Tan Lioe Ie dikenal dengan pembacaan puisi secara musikal dan teatrikal. Sekarang sudah marak pembacaan lisan puisi sebagai seni pertunjukan seperti ini sudah lazim dan umum ditemukan dalam berbagai pembacaan puisi.
Belakangan seiring dengan maraknya digitalisasi dan budaya digital, pola komunikasi sastra secara digital, yang mengombinasikan berbagai pola pembacaan sebelumnya, makin mencuat dan menguat di Indonesia. Digitalisasi sistem komunikasi dan dominannya media digital khususnya media sosial mengubah atau menggeser cara membaca atau menikmati sastra. Individu dapat membaca secara individual dengan mengakses laman-laman sastra digital, Youtube, dan sebagainya. Kita bisa membaca sastra melalui laman Apresiasi Sastra, BasaBasi, Sastra Papua, dan sebagainya. Lahirnya sastra digital terutama puisi digital telah memunculkan cara membaca secara digital. Cara menikmati atau membaca sastra digital ini menyatukan pandang, dengar, dan suara. Kita bisa menikmati pembacaan puisi Tan Lioe Ie dan Hasan Aspahani, misalnya, melalui Youtube. Media digital termasuk media sosial benar-benar telah mengubah, dalam hal ini memperluas, pola komunikasi sastra.
/4/
Beberan di atas mengisyaratkan tiga hal. Pertama, komunikasi sastra melalui jalur tradisi tulis dan lisan sudah ada sejak zaman dulu. Pada zaman dahulu jalur tradisi tulis terbatas dan jalur tradisi lisan memasyarakat kuat. Pada zaman sekarang jalur tradisi tulis justru sangat dominan dan jalur tradisi lisan menjadi terbatas. Kedua, membaca puisi/sastra secara individual sebagai bentuk tradisi tulis komunikasi sastra sudah ada sejak zaman dulu. Pada zaman dulu terbatas, sedang pada zaman sekarang dominan dan memasyarakat.
Ketiga, melisankan sastra atau membaca sastra secara kolektif sudah ada sejak dulu. Pada zaman dahulu sangat dominan dan memasyarakat, pada sekarang jauh lebih berkurang meskipun kemasannya lebih bagus. Belakangan berkat masifnya digitalisasi dan menguatnya budaya digital, membaca secara individual sekaligus kolektif berlangsung secara digital, yang merangkum semua pola pembacaan yang telah ada sebelumnya. Ini semua menandakan bahwa tradisi membaca sastra baik sebagai kegiatan pemahaman-individual-intelektual maupun kegiatan penikmatan-performatif-kolektif ada sejak dulu hingga sekarang meskipun perubahan-perubahan ciri khas dan format terjadi.
____________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
http://sastra-indonesia.com/2020/03/pola-membaca-sastra/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar