Mashuri *
Saya pernah ngebet mencari tahu tentang tradisi bersastra di desa saya, di LA (Lamongan Asolole), alias Lampung (Lamongan Kampung). Dulu, tahun 2000-an awal, saya mulai mencoba mengulik asal-usul kesusastraan dalam lingkup yang sangat spesifik, yaitu desa sendiri. Tentu, saya tidak menukik ke sastra modern, karena itu terlalu wah. Alhasil, yang saya telusuri adalah sastra tradisi, baik berupa tradisi sastra lisan semacam macapatan, maupun tradisi tulis berupa tinggalan manuskrip kuno. Ternyata, hasilnya mencengangkan.
“Apakah di sini, dulu, pernah ada orang menembang macapatan, misalnya pas tingkeban atau lainnya?” tanya saya, pada ibu, suatu hari pada 2001. Hal itu karena sepanjang hayat, saya belum pernah mendengar tradisi tembang Jawa di desa saya, kecuali pagelaran wayang kulit semata dan tayub di desa tetangga.
“Ada! Istilahnya, dulu, tukang moco! Biasanya untuk tingkeban atau kaul,” jawab ibu.
“Yang dibaca?” tanya saya.
“Serat Yusuf,” seru ibu.
“Siapa orangnya? Kok tidak pernah mendengarnya?” tanya saya.
“Buyutmu!” jawab ibu, kalem.
Saya langsung terdiam. Buyut yang dimaksud adalah kakek ibu. Saya biasa memanggilnya Buyut Ngali. Saya sama sekali tidak pernah melihatnya, karena beliau sudah wafat ketika ibu masih kecil. Pun tidak ada fotonya. Dapat diperkirakan Buyut Ngali wafat pada tahun 1960, karena ibu mengaku pada saat Buyut Ngali wafat, ia berusia 6 tahun. Dapat pula ditebak sejak itu tradisi pembacaan Serat Yusuf tidak ada lagi di desa, karena tidak ada anak-anak Buyut Ngali, alias kakek'nenek saya, yang meneruskannya. Warisan naskah Serat Yusuf pun tidak diketahui rimbanya.
Adapun soal keberadaan manuskrip kuno, saya mendapatkan jawaban yang lebih mencengangkan. Jawaban ini berdasarkan hasil studi tentang tradisi keagamaan di desa saya. Sahdan, desa saya termasuk salah satu desa di Lamongan yang kaya dengan manuskrip kuno. Sebuah penelitian yang dilakukan Om Sjamsudduha, peneliti dan dosen IAIN di Surabaya yang wafat pada 2004, mencatat hal itu. Berdasarkan wawancara dengan beberapa sesepuh dan perangkat desa (1994) terdapat sebuah realitas sejarah yang sama sekali tidak saya ketahui. Sayangnya, mereka yang menjadi narasumber, yang masih terbilang famili, sudah meningga dunia semua.
Dijelaskan, pada saat terjadi clash Agresi Militer Belanda pada 1949, banyak gerilyawan yang ngumpet di desa saya. Belanda melakukan strategi mencari satu tikus, dengan menghancurkan sarangnya. Desa saya pun dibakar. Rumah-rumah penduduk hangus. Di antara rumah yang hancur menjadi abu, ada yang menjadi semacam tempat penyimpanan naskah kuno, bahkan skriptorium (tempat penyalinan atau penulisan)
“Ada 159 naskah kuno yang ikut terbakar,” tulis Sjamsudduha.
Sungguh, saya tidak tahu hal-ihwal manuskrip tersebut ketika saya masih ngendon di kampung. Namun, saya pernah mendengar cerita dari kakek saya dari pihak ibu bahwa desa saya memang pernah menjadi karang-abang.
“Cocok dengan nama desanya, Wanar. Jadi desa ini pernah menjadi hutan api karena dibakar Belanda!” seru kakek saya, yang berpulang pada 2008.
“Penduduknya aman?” tanya saya, waktu itu.
“Kalau siang, penduduk mengungsi ke tegal dan sawah. Kejadiannya pas siang. Saya ingat karena saya menjelang menikah. Saya termasuk bungsu dari 11 bersaudara. Yang menikahkan adalah kakak perempuan yang sulung karena kedua orang tua sudah wafat,” tutur kakek.
“Semua rumah di desa habis?” tanya saya.
“Di antara rumah-rumah yang dibakar, ada satu rumah yang tidak terbakar sama sekali. Rumahnya hingga kini masih utuh. Di sebelah utara masjid desa persis. Ada tumbalnya yang hebat,” tutur kakek saya.
Kakek memang tidak menyinggung sama sekali hal-ihwal manuskrip kuno. Tapi pada masa kecil, saya seringkali menyaksikan ada orang yang menemukan manik-manik, kalung emas, perhiasan, dan uang receh tempo doeloe dari sebuah lahan kosong yang sering saya jadikan sebagai tempat sepak kaki, eh sepak bola. Namun, tentu kini, di lahan itu sudah berdiri rumah. Adapun rumah yang kalis dari api Belanda, beberapa waktu lalu pernah dikontrak seorang bidan karena anak-anak ahli warisnya tidak ada yang menempatinya.
Adapun soal manuskrip kuno dari kawasan desa saya, saya hanya mendengar keberadaan sebuah manuskrip kuno yang dimiliki Om Sjamsudduha, berjudul ‘Babad Walisanga-Badu Wanar’ yang bercerita tentang sejarah walisanga. Ia mendapatkannya dari Mbah Sulaiman, warga Dusun Badu, dusun satelit desa saya. Naskah kuno tersebut, berdasar studinya, isinya hampir sama dengan manuskrip ‘Babad Walisanga’ koleksi Drajat, tetapi lebih tua yang Badu Wanar.
“Karena naskah koleksi Badu Wanar berbahan dari dluwang, sedangkan naskah koleksi Drajat berbahan kertas,” tulis Sjamsudduha.
Selain manuskrip tersebut, kiranya tinggalan manuskrip lainnya lenyap tak berbekas. Namun, kini, di desa saya sudah bercokol penulis dari tradisi sastra modern, meskipun beliau import dari desa lain. Namanya Pak Ahmad Zaini.
On Sidokepung, 2020
_______________
*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018, bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya.
http://sastra-indonesia.com/2020/05/tradisi-sastra-di-desa-saya/
Saya pernah ngebet mencari tahu tentang tradisi bersastra di desa saya, di LA (Lamongan Asolole), alias Lampung (Lamongan Kampung). Dulu, tahun 2000-an awal, saya mulai mencoba mengulik asal-usul kesusastraan dalam lingkup yang sangat spesifik, yaitu desa sendiri. Tentu, saya tidak menukik ke sastra modern, karena itu terlalu wah. Alhasil, yang saya telusuri adalah sastra tradisi, baik berupa tradisi sastra lisan semacam macapatan, maupun tradisi tulis berupa tinggalan manuskrip kuno. Ternyata, hasilnya mencengangkan.
“Apakah di sini, dulu, pernah ada orang menembang macapatan, misalnya pas tingkeban atau lainnya?” tanya saya, pada ibu, suatu hari pada 2001. Hal itu karena sepanjang hayat, saya belum pernah mendengar tradisi tembang Jawa di desa saya, kecuali pagelaran wayang kulit semata dan tayub di desa tetangga.
“Ada! Istilahnya, dulu, tukang moco! Biasanya untuk tingkeban atau kaul,” jawab ibu.
“Yang dibaca?” tanya saya.
“Serat Yusuf,” seru ibu.
“Siapa orangnya? Kok tidak pernah mendengarnya?” tanya saya.
“Buyutmu!” jawab ibu, kalem.
Saya langsung terdiam. Buyut yang dimaksud adalah kakek ibu. Saya biasa memanggilnya Buyut Ngali. Saya sama sekali tidak pernah melihatnya, karena beliau sudah wafat ketika ibu masih kecil. Pun tidak ada fotonya. Dapat diperkirakan Buyut Ngali wafat pada tahun 1960, karena ibu mengaku pada saat Buyut Ngali wafat, ia berusia 6 tahun. Dapat pula ditebak sejak itu tradisi pembacaan Serat Yusuf tidak ada lagi di desa, karena tidak ada anak-anak Buyut Ngali, alias kakek'nenek saya, yang meneruskannya. Warisan naskah Serat Yusuf pun tidak diketahui rimbanya.
Adapun soal keberadaan manuskrip kuno, saya mendapatkan jawaban yang lebih mencengangkan. Jawaban ini berdasarkan hasil studi tentang tradisi keagamaan di desa saya. Sahdan, desa saya termasuk salah satu desa di Lamongan yang kaya dengan manuskrip kuno. Sebuah penelitian yang dilakukan Om Sjamsudduha, peneliti dan dosen IAIN di Surabaya yang wafat pada 2004, mencatat hal itu. Berdasarkan wawancara dengan beberapa sesepuh dan perangkat desa (1994) terdapat sebuah realitas sejarah yang sama sekali tidak saya ketahui. Sayangnya, mereka yang menjadi narasumber, yang masih terbilang famili, sudah meningga dunia semua.
Dijelaskan, pada saat terjadi clash Agresi Militer Belanda pada 1949, banyak gerilyawan yang ngumpet di desa saya. Belanda melakukan strategi mencari satu tikus, dengan menghancurkan sarangnya. Desa saya pun dibakar. Rumah-rumah penduduk hangus. Di antara rumah yang hancur menjadi abu, ada yang menjadi semacam tempat penyimpanan naskah kuno, bahkan skriptorium (tempat penyalinan atau penulisan)
“Ada 159 naskah kuno yang ikut terbakar,” tulis Sjamsudduha.
Sungguh, saya tidak tahu hal-ihwal manuskrip tersebut ketika saya masih ngendon di kampung. Namun, saya pernah mendengar cerita dari kakek saya dari pihak ibu bahwa desa saya memang pernah menjadi karang-abang.
“Cocok dengan nama desanya, Wanar. Jadi desa ini pernah menjadi hutan api karena dibakar Belanda!” seru kakek saya, yang berpulang pada 2008.
“Penduduknya aman?” tanya saya, waktu itu.
“Kalau siang, penduduk mengungsi ke tegal dan sawah. Kejadiannya pas siang. Saya ingat karena saya menjelang menikah. Saya termasuk bungsu dari 11 bersaudara. Yang menikahkan adalah kakak perempuan yang sulung karena kedua orang tua sudah wafat,” tutur kakek.
“Semua rumah di desa habis?” tanya saya.
“Di antara rumah-rumah yang dibakar, ada satu rumah yang tidak terbakar sama sekali. Rumahnya hingga kini masih utuh. Di sebelah utara masjid desa persis. Ada tumbalnya yang hebat,” tutur kakek saya.
Kakek memang tidak menyinggung sama sekali hal-ihwal manuskrip kuno. Tapi pada masa kecil, saya seringkali menyaksikan ada orang yang menemukan manik-manik, kalung emas, perhiasan, dan uang receh tempo doeloe dari sebuah lahan kosong yang sering saya jadikan sebagai tempat sepak kaki, eh sepak bola. Namun, tentu kini, di lahan itu sudah berdiri rumah. Adapun rumah yang kalis dari api Belanda, beberapa waktu lalu pernah dikontrak seorang bidan karena anak-anak ahli warisnya tidak ada yang menempatinya.
Adapun soal manuskrip kuno dari kawasan desa saya, saya hanya mendengar keberadaan sebuah manuskrip kuno yang dimiliki Om Sjamsudduha, berjudul ‘Babad Walisanga-Badu Wanar’ yang bercerita tentang sejarah walisanga. Ia mendapatkannya dari Mbah Sulaiman, warga Dusun Badu, dusun satelit desa saya. Naskah kuno tersebut, berdasar studinya, isinya hampir sama dengan manuskrip ‘Babad Walisanga’ koleksi Drajat, tetapi lebih tua yang Badu Wanar.
“Karena naskah koleksi Badu Wanar berbahan dari dluwang, sedangkan naskah koleksi Drajat berbahan kertas,” tulis Sjamsudduha.
Selain manuskrip tersebut, kiranya tinggalan manuskrip lainnya lenyap tak berbekas. Namun, kini, di desa saya sudah bercokol penulis dari tradisi sastra modern, meskipun beliau import dari desa lain. Namanya Pak Ahmad Zaini.
On Sidokepung, 2020
_______________
*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018, bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya.
http://sastra-indonesia.com/2020/05/tradisi-sastra-di-desa-saya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar