MENGUSIR HANTU DARI ANGKA SATU
Imam Nawawi
Anda tahu kan angka 1 ? Mungkin kita semua akan bilang
bahwa kita memang tahu angka 1. Tapi sebenarnya, kita tidak benar-benar tahu.
Karena ada hantu-hantu yang hinggap di lidah manusia juga pikiran. Lalu
ragu-ragu bilang apa adanya.
Angka 1 yang dihinggapi dan digelayuti oleh hantu maka
hasilnya menjadi "kemungkinan 1" atau nyaris 1 atau juga lebih dari
satu. Karena otak manusia lebih tertarik sesuatu yang tidak pasti, terlebih
menyangkut urusan politik, maka angka 1 diberi porsi sedikit dalam pembahasan.
Padahal, jika kita mau jujur dalam ilmu dan pengetahuan,
membahas angka 1 secara matematis dan mengusir hantu-hantu yang bergelayut
padanya, itu jauh lebih menarik juga jauh lebih menguntungkan publik.
Kenapa saya memilih berbicara tentang angka 1 dan bukan
angka 2 atau 3 atau selain angka 1 ? Jawabannya karena tahun ini adalah tahun
politik. Di tahun politik, banyak orang (terutama timses) jauh lebih
berbusa-busa membahas hantu-hantu dari pada angka 1 itu sendiri.
Katakanlah sebuah kabupaten semua orang berebut menjadi
orang nomor 1, dan para timses berjuang siang-malam agar jagoannya muncul
sebagai juara 1. Sejak sebelum masa kampanye, semua pembicaraan berputar-putar
di luar angka 1.
Misalnya: "tokoh A layak memimpin kota kita",
"tokoh B adalah calon pemimpin masa depan," "tokoh C memang
berbudi luhur, amanah, dan jujur," "tokoh D mewakili suara
milenial," dan lain sebagainya. Semua itu Hantu yang goib.
Kenapa kita lebih tertarik bicara perkara-perkara yang
samar-samar dan tidak terukur, seperti: jujur, amanah, berbudi luhir, baik, dan
sejenisnya? Mengapa kita tidak fokus bicara angka yang pasti seperti angka 1 ?
Bukankah kabupaten kita itu berjumlah 1 ? Sebagaimana
angka satu bisa dipecah menjadi ½ ⅓ ¼ ⅕ ⅙ dan seterusnya tentang angka-angka yang pasti, tentu sebuah kabupaten juga
bisa dipecah dan dibagi ke dalam bagian-bagian yang jauh lebih kecil namun
dengan ukuran kuantitas yang pasti.
Katakanlah 1 kabupaten terdiri dari 27 kecamatan, dan 27
kecamatan itu bisa dibagi lagi ke dalam 330 desa. Katakanlah 1 kabupaten
memiliki luas wilayah 2.000.000 km² atau populasi 1.000.000 jiwa. Atau
katakanlah sex rasio 9% jumlah laki-laki lebih kecil dari jumlah perempuan.
Bukankah perkara-perkara matematis semacam ini jauh lebih pasti, dan kepastian
itu terangkum dalam angka 1, yakni 1 kabupaten?
Setelah mencapai kata sepakat dalam angka matematis
sederhana, yakni tentang luas wilayah, jumlah populasi penduduk, rasio seks,
baru kita melangkah ke pembicaraan matematis lain, yang masih di wilayah
kepastian, semisal berapa jumlah pendapatan regional dan regional perkapita,
berapa angka produk domestik, produk regional, atau juga produk domestik
regional. Semua pembicaraan itu masih terangkum dalam apa yang kita sebut
sebagai 1, yakni 1 kabupaten tertentu.
Mungkin ilustrasi sederhananya begini: kabupaten tempat
Anda tinggal itu dihuni (sekedar contoh sederhana) 10 orang. Dengan penduduk 10
orang itu, hitungan laporan tahunan terakhir menunjukkan angka produk
domestiknya, jika dirupiahkan, menjadi 100 juta. Nah, para calon pemimpin yang
memperebutkan kursi jabatan nomor 1 tentu saja tidak akan berbeda pendapat
dalam hal ini. Selain itu, seluruh rakyat di kabupaten tersebut juga dapat
informasi bahwa ternyata kabupaten mereka punya uang 100 juta.
Seandainya (kita sederhanakan lagi), uang 100 juta itu
dibagi populasi penduduk yang berjumlah 10 orang maka akan didapati 10 juta
untuk setiap 1 kepala. Artinya pendapatan perkapita 10 juta. Sampai di sini,
semua calon bupati dan wakil bupati juga tidak akan saling beda pendapat.
Lalu di mana peluang terjadi beda pendapat? Inilah yang
saya maksudkan agar semua timses dan terutama pasangan calon kepala daerah
harus berhenti berbicara hantu dan fokus bicara angka 1. Hal ini hanya tercapai
bila arah diskusi di ruang publik mengarah pada metodologi pasangan calon,
bukan ontologi mereka. Maksudnya begini:
Jika semua pasangan calon sudah sependapat bahwa
pendapatan perkapita rakyat di satu kabupaten 10 juta, maka sia-sia bicara
tentang hantu-hantu bahwa sosok calon pemimpin ini jujur amanah, sedangkan
sosok calon lainnya adil dan peduli rakyat. Semua sifat dan atribut yang
dipasang oleh timses di baliho-baliho itu abstrak. Amanah, jujur, adil, tampan,
gagah, seksi, menggairahkan, merangsang, dan lain-lain, semua itu abstrak atau
goib atau hantu.
Promosi calon bupati dan wakilnya harus digeser ke topik
yang konkrit dan matematis. Misal: jika periode kepemimpinan bupati lama dari
tahun 2015 ke 2020 itu adalah 10 juta perkapita, maka pertanyaannya: bagaimana
metodologi masing-masing calon mampu mengangkat pendapatan perkapita di tahun
2020-2025 menjadi 20 juta perkapita?
Jawaban para pasangan calon juga jangan kualitatif lagi.
Misal: "karena saya berkepribadiah amanah, jujur, adil, taat hukum,
anti-korupsi, pembela rakyat, pejuang bangsa dan negara, jika saya diberi
amanah memimpin kabupaten ini, saya akan menaikkan pendapatan perkapita rakyat
saya dari 10 juta menjadi 20 juta.!!"
Anda tidak dibutuhkan mengglorifikasi diri sedemikian
rupa. Para timses juga tidak perlu mendewakan pasangan calon jagoannya. Ingat:
politik bukan soal kakuasaan tapi soal nalar kekuasaan. Berpolitik bukan soal
kepercayaan tetapi soal investasi kepercayaan. Misalnya, jika saya selama 1 tahun
mampu berhasil meraih pendapatan 10 juta di bawah kepemimpinan bupati
sebelumnya, jika saya menginvestasikan kepercayaan saya dengan mencoblos gambar
Anda di dalam bilik suara nanti, maka apa ide Anda agar saya nanti meraih
pendapatan 20 juta pertahun?
Saat nanti Anda berhasil menjabat jabatan bupati dan Anda
akan meminpin penduduk yang jumlahnya 10 orang, sejauh mana ide Anda di kala
berkampanye itu mampu meyakinkan 10 kepala penduduk itu? Itu pun jika 10 orang
rakyat Anda itu satu jenis profesi, bagaimana jika berbeda-beda, misalnya:
petani, pedagang, nelayan, buruh, pengangguran, pelajar, balita, lansia,
pejabat, dan pengajar? Apakah ide anda itu aplikatif dan bagaimana caranya?
Jawaban-jawaban metodologis dari Anda sangat dibutuhkan.
Sebaliknya, tentu tidak dibutuhkan jika Anda dan timses anda hanya glorifikasi
diri. Misal: "saya ini adalah satu-satu calon yang amanah dan idealis,
saya pasti mampu meningkatkan pendapatan perkapita semua rakyat saya. Pilihlah
saya!"
Jawaban-jawaban dan promosi pada baliho-baliho yang
isinya hanya glorifikasi semacam itu sama seperti berbicara tentang hantu-hantu
yang goib walaupun nyata dan memang ada.
Saya pribadi khawatir, ketika debat publik nanti, semua
calon bupati dan wakilnya tidak paham berapa luas wilayahnya, berapa jumlah
penduduknya, berapa pendapatan regional dan perkapitanya, dan apa saja jenis
produk domestiknya.
Jika pun para pasangan calon itu nanti berhasil menghapal
semua angka matematis sebagaimana, minimal, laporan Badan Pusat Statistika,
saya masih khawatir: solusi-solusi alternatif untuk peningkatan kesejahteraan
di masa depan malah merosot dan sekedar glorifikasi diri, memuji-muji pikiran
sendiri jauh lebih baik dibanding ide kubu lawan politik. Saya khawatir, masa-masa
kampanye lebih dipenuhi pembicaraan publik yang emosional dan minus perhitungan
matematis.
***
Tulisan ini saya
buat setelah melihat sepanjang perjalanan memasuki kota Sumenep sampai ke desa
saya, ada banyak baliho-baliho calon pemimpin masa depan dengan narasi-narasi
yang absurd, abstrak, dan tampak lebih cocok disebut sebagai puisi politik.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar