Judul: Filosofi Kopi
Penulis: Dewi Lestari (Dee)
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: I, Januari 2012
Tebal: 152 halaman
Peresensi: M. Iqbal Dawami
http://resensor.blogspot.com
Nama Dewi Lestari (yang akrab dipanggil Dee) masih harum. Seharum buku ini yang sesungguhnya terbit pada 2006. Meski karya paling anyarnya adalah Madre (2011), lantaran keharumannya, buku ini diterbitkan kembali oleh penerbit yang berbeda. Bak aroma kopi dalam cangkir, buku ini juga nampak harumnya masih belum pudar. Pembaca masih merasakan sensasinya. Buku ini adalah kumpulan cerita dan prosa satu dekade, rentang 1995 hingga 2005. Judulnya diambil dari salah satu judul tulisan di dalamnya. Barangkali ini menjadi tulisan andalan dari tulisan lainnya.
Seorang lelaki bernama Ben, peracik kopi yang mencari cita rasa kopi yang sempurna. Saat mendapatkan kesempurnaan, maka saat itu pula akan mendapatkan ketidaksempurnaannya. Ya, Ben memang tergila-gila pada kopi. Dia berkeliling dunia demi mendapatkan kopi-kopi terbaik dari seluruh negeri serta berkonsultasi dengan para ahli peracik kopi. Walhasil, dia termasuk salah satu peramu kopi handal. Dia membuka kedai kopi dengan nama Kedai Koffie. Dia mengajak kawannya, Jody, sebagai manajernya.
Dia tidak sekadar meramu, mengecap rasa, tapi juga merenungkan kopi yang dia buat. Ben menarik arti, membuat analogi, hingga terciptalah satu filosofi untuk setiap jenis ramuan kopi. Baginya, setiap kopi punya karakter masing-masing. Mulai dari cafe latte, cappucino, hingga kopi tubruk. Lalu dia mengganti nama kedainya menjadi Filosofi Kopi, berikut slogannya, ‘Temukan Diri Anda di Sini.’ Semua racikannya punya arti.
Kedainya menjadi magnet, banyak orang betah tinggal di situ. Hingga suatu hari ada seorang pengusaha kaya mencari kopi yang punya arti : kesuksesan adalah wujud kesempurnaan hidup. Berhubung kopi tersebut tidak ada, maka lelaki itu menantang Ben untuk membuatnya, dengan bayaran 50 juta, apabila Ben berhasil menemukan racikan sesuai dengan arti tersebut. Ben tertantang. Berminggu-minggu Ben melakukan uji coba. Kedainya berubah menjadi laboratorium.
Ben berhasil menemukan racikannya. Kopi tersebut berhasil memenangkan taruhannya. Sang pengusaha terkagum-kagum sembari memberikan cek senilai 50 juta. kopi tersebut dinamakan Ben’s Perfecto; sukses adalah wujud kesempurnaan hidup. Keuntungan kedai meningkat dan berlipat ganda sejak hadirnya kopi tersebut. Namun, tak lama kemudian kebanggaannya pudar seketika, saat dia menemukan warung kopi sederhana di puncak Merapi. Cita rasanya sungguh aduhai. Barangkali itulah refleksi manusia modern. Idealisme dibenturkan dengan kapitalisme. Haus kesempurnaan dan pengakuan. Mengejar kemapanan dalam arti holistik.
Karya yang “Dipaksakan”
Membaca “Filosofi Kopi” dan Mencari Herman” adalah dua kisah tentang obsesi. Yang pertama obsesi perihal kopi yang punya cita rasa sempurna, dan yang kedua obsesi akan sosok bernama Herman. Dua-duanya mendapatkan jawaban dari ketidaksengajaan dan kesederhanaan. Sama halnya “Filosofi Kopi”, “Mencari Herman” juga kisah tentang pencarian kesempurnaan. Hera, perempuan remaja, terobsesi mencari lelaki bernama Herman hingga dewasa. Namun tidak kunjung menemuinya. Hingga Hera mati mengenaskan.
Buku ini sebenarnya mempunyai potensi kumpulan cerpen, jika saja beberapa tulisan prosa dikembangkan seperti halnya Filosofi Kopi, Mencari Herman, dan Rico de Coro. Maka, dengan berat hati saya katakan bahwa karya ini terlalu dipaksakan untuk menjadi sebuah buku. Jadi, sebenarnya hanya beberapa tulisan saja yang pantas dijadikan peran penting dalam buku ini. Selebihnya pelengkap saja, sekadar mempertebal halaman agar dijadikan sebuah buku.
Kaver menjadi kelebihan tersendiri untuk buku ini. Meski agak spekulatif juga dengan mempertebal kata “Kopi” dari yang lainnya. Karena, bagi pembaca yang tidak tahu kalau ini adalah karya sastra, boleh jadi menganggap buku ini tentang kopi atau filsafat. Dan, bisa jadi, buku ini ditaruh di rak toko buku bagian tanaman atau filsafat apabila karyawan toko buku buta atas isi buku ini.
Keegoisan penulis untuk memaksakan kehendak dengan memasukkan tulisan-tulisan pendeknya sungguh sebentuk pemaksaan kepada khalayak pembaca. Saya merasa terganggu oleh tulisan-tulisan tersebut. Secara tidak langsung hal itu memengaruhi rasa suka saya pada karya lainnya yang luar biasa, seperti Supernova dan Perahu Kertas yang berkualitas prima itu. “Mumpungisme” telah dipraktikkan oleh penulisnya. Seolah semua tulisan pasti disukai oleh pembaca.
Mestinya dia tidak memaksakan kehendak untuk memilah dan memilih tulisan sesuai kategorisasi. Jika tulisan prosanya masih sedikit, sabarlah sebentar, tulis dulu prosa yang lainnya, sehingga ketika sudah banyak bisa diterbitkan secara mandiri. Tulisan yang tidak mesti dimasukan ke dalam buku, yang terkesan dipaksakan di antaranya: Salju Turun, Kunci Hati, Selagi Kau Lelap, Jembatan Zaman, Kuda Liar, Diam, Cuaca, Lilin Merah, Spasi, dan Cetak Biru.
Meski tulisan-tulisan itu pendek namun harus diakui, bahasanya begitu nyastra dan padat makna. Dalam Lilin Merah, misalnya, Dee menulis dengan indah sekali. Adakalanya kesendirian menjadi hadiah ulang tahun yang terbaik. Keheningan menghadirkan pemikiran yang bergerak ke dalam, menembus rahasia terciptanya waktu. Lilin merah berdiri megah di atas glazur, kilau apinya menerangi usia yang baru berganti. Namun, seusai disembur napas, lilin tersungkur mati di dasar tempat sampah. Hangat nyalanya sebatas sumbu dan usailah sudah. Sederet doa tanpa api menghangatkanmu di setiap kue hari, kalori bagi kekuatan hati yang tak habis dicerna usus. Lilin tanpa sumbu menyala dalam jiwa, menerangi jalan setapakmu ketika dunia terlelap dalam gelap. Berbahagialah, sesungguhnya engkau mampu berulang tahun setiap hari.
Dee juga piawai dalam bermetafora. Dalam Spasi, bisa kita lihat. Dee mengatakan, Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi? Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.
Saya berharap Dewi Lestari bisa menulis lebih bagus lagi, meski sudah mapan. Biasanya, godaan seorang penulis yang sudah terkenal, karyanya menjadi dangkal. Idealisme sudah tidak dibangun lagi. Dia telah memasuki ranah industri, yang notabene-nya mengutamakan keuntungan ketimbang kualitas karya. Saya rindu karya-karya Dee semisal Supernova yang mengundang pro-kontra dan Perahu Kertas yang asyik, kocak, namun tetap memerhatikan cita rasa sastranya. Kedua karya itu sama-sama menjaga kedalaman makna dan kedetailannya.
M. IQBAL DAWAMI, penikmat sastra, tinggal di Pati.
Dijumput dari: http://resensor.blogspot.com/2012/03/sastra-dalam-secangkir-kopi.html
Penulis: Dewi Lestari (Dee)
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: I, Januari 2012
Tebal: 152 halaman
Peresensi: M. Iqbal Dawami
http://resensor.blogspot.com
Nama Dewi Lestari (yang akrab dipanggil Dee) masih harum. Seharum buku ini yang sesungguhnya terbit pada 2006. Meski karya paling anyarnya adalah Madre (2011), lantaran keharumannya, buku ini diterbitkan kembali oleh penerbit yang berbeda. Bak aroma kopi dalam cangkir, buku ini juga nampak harumnya masih belum pudar. Pembaca masih merasakan sensasinya. Buku ini adalah kumpulan cerita dan prosa satu dekade, rentang 1995 hingga 2005. Judulnya diambil dari salah satu judul tulisan di dalamnya. Barangkali ini menjadi tulisan andalan dari tulisan lainnya.
Seorang lelaki bernama Ben, peracik kopi yang mencari cita rasa kopi yang sempurna. Saat mendapatkan kesempurnaan, maka saat itu pula akan mendapatkan ketidaksempurnaannya. Ya, Ben memang tergila-gila pada kopi. Dia berkeliling dunia demi mendapatkan kopi-kopi terbaik dari seluruh negeri serta berkonsultasi dengan para ahli peracik kopi. Walhasil, dia termasuk salah satu peramu kopi handal. Dia membuka kedai kopi dengan nama Kedai Koffie. Dia mengajak kawannya, Jody, sebagai manajernya.
Dia tidak sekadar meramu, mengecap rasa, tapi juga merenungkan kopi yang dia buat. Ben menarik arti, membuat analogi, hingga terciptalah satu filosofi untuk setiap jenis ramuan kopi. Baginya, setiap kopi punya karakter masing-masing. Mulai dari cafe latte, cappucino, hingga kopi tubruk. Lalu dia mengganti nama kedainya menjadi Filosofi Kopi, berikut slogannya, ‘Temukan Diri Anda di Sini.’ Semua racikannya punya arti.
Kedainya menjadi magnet, banyak orang betah tinggal di situ. Hingga suatu hari ada seorang pengusaha kaya mencari kopi yang punya arti : kesuksesan adalah wujud kesempurnaan hidup. Berhubung kopi tersebut tidak ada, maka lelaki itu menantang Ben untuk membuatnya, dengan bayaran 50 juta, apabila Ben berhasil menemukan racikan sesuai dengan arti tersebut. Ben tertantang. Berminggu-minggu Ben melakukan uji coba. Kedainya berubah menjadi laboratorium.
Ben berhasil menemukan racikannya. Kopi tersebut berhasil memenangkan taruhannya. Sang pengusaha terkagum-kagum sembari memberikan cek senilai 50 juta. kopi tersebut dinamakan Ben’s Perfecto; sukses adalah wujud kesempurnaan hidup. Keuntungan kedai meningkat dan berlipat ganda sejak hadirnya kopi tersebut. Namun, tak lama kemudian kebanggaannya pudar seketika, saat dia menemukan warung kopi sederhana di puncak Merapi. Cita rasanya sungguh aduhai. Barangkali itulah refleksi manusia modern. Idealisme dibenturkan dengan kapitalisme. Haus kesempurnaan dan pengakuan. Mengejar kemapanan dalam arti holistik.
Karya yang “Dipaksakan”
Membaca “Filosofi Kopi” dan Mencari Herman” adalah dua kisah tentang obsesi. Yang pertama obsesi perihal kopi yang punya cita rasa sempurna, dan yang kedua obsesi akan sosok bernama Herman. Dua-duanya mendapatkan jawaban dari ketidaksengajaan dan kesederhanaan. Sama halnya “Filosofi Kopi”, “Mencari Herman” juga kisah tentang pencarian kesempurnaan. Hera, perempuan remaja, terobsesi mencari lelaki bernama Herman hingga dewasa. Namun tidak kunjung menemuinya. Hingga Hera mati mengenaskan.
Buku ini sebenarnya mempunyai potensi kumpulan cerpen, jika saja beberapa tulisan prosa dikembangkan seperti halnya Filosofi Kopi, Mencari Herman, dan Rico de Coro. Maka, dengan berat hati saya katakan bahwa karya ini terlalu dipaksakan untuk menjadi sebuah buku. Jadi, sebenarnya hanya beberapa tulisan saja yang pantas dijadikan peran penting dalam buku ini. Selebihnya pelengkap saja, sekadar mempertebal halaman agar dijadikan sebuah buku.
Kaver menjadi kelebihan tersendiri untuk buku ini. Meski agak spekulatif juga dengan mempertebal kata “Kopi” dari yang lainnya. Karena, bagi pembaca yang tidak tahu kalau ini adalah karya sastra, boleh jadi menganggap buku ini tentang kopi atau filsafat. Dan, bisa jadi, buku ini ditaruh di rak toko buku bagian tanaman atau filsafat apabila karyawan toko buku buta atas isi buku ini.
Keegoisan penulis untuk memaksakan kehendak dengan memasukkan tulisan-tulisan pendeknya sungguh sebentuk pemaksaan kepada khalayak pembaca. Saya merasa terganggu oleh tulisan-tulisan tersebut. Secara tidak langsung hal itu memengaruhi rasa suka saya pada karya lainnya yang luar biasa, seperti Supernova dan Perahu Kertas yang berkualitas prima itu. “Mumpungisme” telah dipraktikkan oleh penulisnya. Seolah semua tulisan pasti disukai oleh pembaca.
Mestinya dia tidak memaksakan kehendak untuk memilah dan memilih tulisan sesuai kategorisasi. Jika tulisan prosanya masih sedikit, sabarlah sebentar, tulis dulu prosa yang lainnya, sehingga ketika sudah banyak bisa diterbitkan secara mandiri. Tulisan yang tidak mesti dimasukan ke dalam buku, yang terkesan dipaksakan di antaranya: Salju Turun, Kunci Hati, Selagi Kau Lelap, Jembatan Zaman, Kuda Liar, Diam, Cuaca, Lilin Merah, Spasi, dan Cetak Biru.
Meski tulisan-tulisan itu pendek namun harus diakui, bahasanya begitu nyastra dan padat makna. Dalam Lilin Merah, misalnya, Dee menulis dengan indah sekali. Adakalanya kesendirian menjadi hadiah ulang tahun yang terbaik. Keheningan menghadirkan pemikiran yang bergerak ke dalam, menembus rahasia terciptanya waktu. Lilin merah berdiri megah di atas glazur, kilau apinya menerangi usia yang baru berganti. Namun, seusai disembur napas, lilin tersungkur mati di dasar tempat sampah. Hangat nyalanya sebatas sumbu dan usailah sudah. Sederet doa tanpa api menghangatkanmu di setiap kue hari, kalori bagi kekuatan hati yang tak habis dicerna usus. Lilin tanpa sumbu menyala dalam jiwa, menerangi jalan setapakmu ketika dunia terlelap dalam gelap. Berbahagialah, sesungguhnya engkau mampu berulang tahun setiap hari.
Dee juga piawai dalam bermetafora. Dalam Spasi, bisa kita lihat. Dee mengatakan, Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi? Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.
Saya berharap Dewi Lestari bisa menulis lebih bagus lagi, meski sudah mapan. Biasanya, godaan seorang penulis yang sudah terkenal, karyanya menjadi dangkal. Idealisme sudah tidak dibangun lagi. Dia telah memasuki ranah industri, yang notabene-nya mengutamakan keuntungan ketimbang kualitas karya. Saya rindu karya-karya Dee semisal Supernova yang mengundang pro-kontra dan Perahu Kertas yang asyik, kocak, namun tetap memerhatikan cita rasa sastranya. Kedua karya itu sama-sama menjaga kedalaman makna dan kedetailannya.
M. IQBAL DAWAMI, penikmat sastra, tinggal di Pati.
Dijumput dari: http://resensor.blogspot.com/2012/03/sastra-dalam-secangkir-kopi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar