Vassilisa Agata
http://www.kompasiana.com/vassilisa
Seksualitas itu cantik bukan? Siapapun akan tergoda untuk melakukannya. Terutama ketika ia telah dibalut dalam keindahan kata – kata sastra yang mengundang selera. Potongan demi potongan adegan erotis digambarkan sedemikian rupa hingga seksualitas tak menjadi hal yang tabu. Adegan itu kini menghiasi hampir sebagian besar sastra dewasa kita. Menggelitik hati nurani kita untuk bertanya, betulkah seks tanpa komitmen itu nikmat?
Adat timur kita mengajarkan bahwa seks adalah hal yang tabu, tidak patut diumbar kepada publik. Namun perlahan, ketabuan itu dipecahkan melalui sastra. Penulis demi penulis menggoreskan pena mereka di atas kertas, memasukkan sepotong seks menjadi ramuan penarik untuk karya mereka. Literasi menyebutkan Ayu Utami dengan ‘Saman’ dan ‘Larung’ adalah yang mendobrak benteng tabu tersebut[i]. Kisah demi kisah seks digambarkan secara vulgar.
”Dan aku menamainya klenit karena serupa kontol yang kecil. Namun liang itu tidak diberinya sebuah nama. Melainkan, dengan ujung jarinya ia merogoh. Dan dengan penisnya ia menembus” (Saman, Ayu Utami)
Kemudian, penulis sastra lainnya pun muncul, seperti Fira Basuki, Dewi Lestari, Djenar Maesa Ayu yang membawakan seks dengan cara yang anggun. Muncullah istilah sastra wangi yang sarat dengan kevulgaran, serupa bacaan seks kelas rendah. Namun sastra ini, di luar dugaan, sarat akan makna. Perempuan digambarkan dalam lingkup patriarki yang kental. Sosok yang berusaha mendobrak paradigma kaku mengenai seksualitas, perkawinan, dan kehidupan melalui seksualitas. Penyampaian ini berada pada tataran sastra serius.
Tak berhenti di mereka, muncullah genre Metropolis, yang dimulai dengan Indiana karya Clara Ng[ii]. Perempuan pun bertransformasi menjadi sosok wanita karir independen, sukses, namun kadang jatuh bangun dalam relasinya dengan makhluk bernama pria. Mereka bebas memilih pria, meniduri pria manapun, dan seks tak lagi berelasi positif dengan perkawinan. Perempuan tak terkekang patriarki. Seksualitas tak lagi diseriusi lewat sastra, tetapi juga disampaikan dengan bahasa mengalir khas budaya Jakarta.
Bercermin Pada Seks
Manusia selalu mencari cara untuk bersuara, tanpa bisa dikekang oleh sistem tertentu, dan sastra adalah salah satu medianya[iii]. Seni kontemporer yang kini tengah melanda kaum seniman Indonesia tengah membanjiri ruang publik dengan berbagai karya mengenai realitas masyarakat. Seks adalah salah satunya.
Goenawan Mohamad mengatakan bahwa seni kontemporer saat ini adalah perwujudan masyarakat yang gelisah terhadap perubahan jaman, ketidakpastian, ketimpangan sosial yang mengukung mereka[iv]. Lantas, gelisah itu tertuang dalam sastra. Dalam kasus sastra wangi, perempuanlah yang gelisah terhadap tatanan sosial.
Budaya patriarki yang dipupuk sejarah bertahun – tahun silam telah menimbulkan banyak ketidakadilan bagi perempuan. Perempuan yang tidak teredukasi, manut sama suami, mendekam di rumah, warga kelas dua yang hanya mendapatkan ijin bersuara dari sang pria. Seks pun muncul sebagai reaksi akan kegelisahan perempuan. Meski tabu dan kontroversial, ia adalah bahasa universal yang dimengerti oleh semua orang. Melalui sastra yang sarat akan seks, penulis perempuan mencoba membalikkan ketimpangan yang sementara ini mendera mereka. Seperti yang diungkapkan Clara Ng, seks tak semata – mata dimunculkan penulis untuk menarik pembaca[v].
Melalui seks, perempuan mencoba menunjukkan eksistensi mereka. Perempuan itu ada dan mampu mengambil kendali. Hasrat yang sama juga diungkapkan oleh Helen Gurley Brown dalam karya fiksinya “Sex and The Single Girl”, perempuan bebas berhubungan seks dengan siapapun yang mereka senangi[vi]. Ideologi ini kemudian terwujud dalam Cosmopolitan, the fun fearless female magazine. Helen Gurley Brown, memotivasi wanita untuk meraih apapun yang mereka inginkan, termasuk di tempat tidur[vii]. Seks tak hanya menjadi kekuasaan lelaki, tetapi juga perempuan[viii].
Layaknya media yang lain, seks adalah sebuah media yang tak lepas dari konstuksi. Pertanyaan konstruksi realitas memunculkan ide telur dan ayam: manakah yang lebih dulu, masyarakat atau media? Apakah penggambaran seks bebas di media adalah realita yang kini dihadapi oleh perempuan saat ini kemudian terangkat ke media? Ataukah media menyentilkan ide tersebut dan kini tengah menjadi gaya hidup?
Menerima Seks Tanpa Komitmen
Lantas, bisakah kita, sebagai pembaca, turut bergabung dalam euforia ini? Hubungan seks seolah dilegalkan, tanpa dosa, dan lazim dilakukan oleh orang yang tidak menikah sekalipun. Komersialisasi kondom bertebaran di mana – mana, membuat seks menjadi kegiatan yang aman. Dapatkah kita menerima seks tanpa komitmen seperti itu?
Seks dalam media, tidak bisa semata – mata dimaknai sebagai degradasi moral. Berangkat pada konsep semiotika, setiap tanda dan lambang memiliki makna. Setiap penggambaran seks pada media, terutama sastra adalah sebuah kulit dari realita yang sedang terjadi. Maraknya seks di kalangan beberapa penulis (tentu bukan pengarang pornografi), memiliki alternatif makna sebagai ungkapan keprihatinan perempuan terhadap ketimpangan sosial. Seks tak bisa dimaknai dengan perspektif sempit.
Topik mengenai seks juga membawa pembaca pada tahap yang lebih tinggi, yakni kesucian seks. Bertolak belakang dengan konsep seks yang membabi buta, ada makna ganda yang disampaikan oleh para penulis. Serbuan seks bebas selalu disertai dengan kritik dan pernyataan moral untuk membenarkan bahwa seks sesungguhnya adalah sesuatu yang sakral. Goenawan Mohamad menyebut hal ini sebagai penebusan dosa para penulis[ix]. Namun di sisi lain, serbuan seks bebas tersebut justru membuat pembaca menyadari betapa indahnya hubungan seks bila dilakukan hanya dengan satu orang saja. Melakukannya berkali – kali hanya menurunkan nilai kesakralannya. Bukankah nilai ini yang menjadi titik ideal bagi setiap pasangan?
Goenawan Mohamad juga menegaskan bahwa seks dalam kesusastraan bukanlah serangan terhadap kehidupan seks tradisional yang tak bebas, namun justru mempertegas nilai tersebut[x]. Dengan memberikan gambaran yang negatif, akan membawa pesan positif yang lebih kuat. Tentu, kita sebagai pembaca tak bisa selalu polos menerima terpaan media. Sudah menjadi tugas pembaca untuk selalu kritis, membedah kata demi kata pada media menggunakan perspektif yang benar. Dengan demikian, kritik yang termunculkan melalui seks bisa mendapatkan tujuan yang benar. Bila tidak, masyarakat sungguh – sungguh terpuruk pada seks bebas tanpa aturan.
***
[i] Agus Sulton, “Sastra Wangi Aroma Selangkangan”, Kompas Oase 01 April 2010, (http://oase.kompas.com/read/2010/04/01/01481963/Sastra.Wangi.Aroma.Selangkangan).
[ii] Dalam sebuah seminar “I want to be a storyteller” di Universitas Kristen petra, 21 Oktober 2011.
[iii] Rinaldi Ridwan, “Pengobyekan Perempuan Dalam karya Sastra”, Jurnal Perempuan, 2011 (http://jurnalperempuan.com/2011/06/pengobyekan-perempuan-dalam-karya-sastra/).
[iv] Goenawan Mohamad, “Seks, Sastra, dan Kita”, Sinar Harapan, 1980, hal.1 – 14.
[v] Dalam sebuah seminar “I want to be a storyteller” di Universitas Kristen petra, 21 Oktober 2011.
[vi] Jennifer Benjamin, How Cosmo Change The World, www.comsmopolitan.com
[vii] Ibid.
[viii] Agus Sulton, “Sastra Wangi Aroma Selangkangan”, Kompas Oase 01 April 2010, (http://oase.kompas.com/read/2010/04/01/01481963/Sastra.Wangi.Aroma.Selangkangan).
[ix] Goenawan Mohamad, “Seks, Sastra, dan Kita”, Sinar Harapan, 1980, hal.1 – 14.
[x] Ibid.
Dijumput dari: http://sosbud.kompasiana.com/2012/09/25/seks-dalam-balutan-sastra-496715.html
http://www.kompasiana.com/vassilisa
Seksualitas itu cantik bukan? Siapapun akan tergoda untuk melakukannya. Terutama ketika ia telah dibalut dalam keindahan kata – kata sastra yang mengundang selera. Potongan demi potongan adegan erotis digambarkan sedemikian rupa hingga seksualitas tak menjadi hal yang tabu. Adegan itu kini menghiasi hampir sebagian besar sastra dewasa kita. Menggelitik hati nurani kita untuk bertanya, betulkah seks tanpa komitmen itu nikmat?
Adat timur kita mengajarkan bahwa seks adalah hal yang tabu, tidak patut diumbar kepada publik. Namun perlahan, ketabuan itu dipecahkan melalui sastra. Penulis demi penulis menggoreskan pena mereka di atas kertas, memasukkan sepotong seks menjadi ramuan penarik untuk karya mereka. Literasi menyebutkan Ayu Utami dengan ‘Saman’ dan ‘Larung’ adalah yang mendobrak benteng tabu tersebut[i]. Kisah demi kisah seks digambarkan secara vulgar.
”Dan aku menamainya klenit karena serupa kontol yang kecil. Namun liang itu tidak diberinya sebuah nama. Melainkan, dengan ujung jarinya ia merogoh. Dan dengan penisnya ia menembus” (Saman, Ayu Utami)
Kemudian, penulis sastra lainnya pun muncul, seperti Fira Basuki, Dewi Lestari, Djenar Maesa Ayu yang membawakan seks dengan cara yang anggun. Muncullah istilah sastra wangi yang sarat dengan kevulgaran, serupa bacaan seks kelas rendah. Namun sastra ini, di luar dugaan, sarat akan makna. Perempuan digambarkan dalam lingkup patriarki yang kental. Sosok yang berusaha mendobrak paradigma kaku mengenai seksualitas, perkawinan, dan kehidupan melalui seksualitas. Penyampaian ini berada pada tataran sastra serius.
Tak berhenti di mereka, muncullah genre Metropolis, yang dimulai dengan Indiana karya Clara Ng[ii]. Perempuan pun bertransformasi menjadi sosok wanita karir independen, sukses, namun kadang jatuh bangun dalam relasinya dengan makhluk bernama pria. Mereka bebas memilih pria, meniduri pria manapun, dan seks tak lagi berelasi positif dengan perkawinan. Perempuan tak terkekang patriarki. Seksualitas tak lagi diseriusi lewat sastra, tetapi juga disampaikan dengan bahasa mengalir khas budaya Jakarta.
Bercermin Pada Seks
Manusia selalu mencari cara untuk bersuara, tanpa bisa dikekang oleh sistem tertentu, dan sastra adalah salah satu medianya[iii]. Seni kontemporer yang kini tengah melanda kaum seniman Indonesia tengah membanjiri ruang publik dengan berbagai karya mengenai realitas masyarakat. Seks adalah salah satunya.
Goenawan Mohamad mengatakan bahwa seni kontemporer saat ini adalah perwujudan masyarakat yang gelisah terhadap perubahan jaman, ketidakpastian, ketimpangan sosial yang mengukung mereka[iv]. Lantas, gelisah itu tertuang dalam sastra. Dalam kasus sastra wangi, perempuanlah yang gelisah terhadap tatanan sosial.
Budaya patriarki yang dipupuk sejarah bertahun – tahun silam telah menimbulkan banyak ketidakadilan bagi perempuan. Perempuan yang tidak teredukasi, manut sama suami, mendekam di rumah, warga kelas dua yang hanya mendapatkan ijin bersuara dari sang pria. Seks pun muncul sebagai reaksi akan kegelisahan perempuan. Meski tabu dan kontroversial, ia adalah bahasa universal yang dimengerti oleh semua orang. Melalui sastra yang sarat akan seks, penulis perempuan mencoba membalikkan ketimpangan yang sementara ini mendera mereka. Seperti yang diungkapkan Clara Ng, seks tak semata – mata dimunculkan penulis untuk menarik pembaca[v].
Melalui seks, perempuan mencoba menunjukkan eksistensi mereka. Perempuan itu ada dan mampu mengambil kendali. Hasrat yang sama juga diungkapkan oleh Helen Gurley Brown dalam karya fiksinya “Sex and The Single Girl”, perempuan bebas berhubungan seks dengan siapapun yang mereka senangi[vi]. Ideologi ini kemudian terwujud dalam Cosmopolitan, the fun fearless female magazine. Helen Gurley Brown, memotivasi wanita untuk meraih apapun yang mereka inginkan, termasuk di tempat tidur[vii]. Seks tak hanya menjadi kekuasaan lelaki, tetapi juga perempuan[viii].
Layaknya media yang lain, seks adalah sebuah media yang tak lepas dari konstuksi. Pertanyaan konstruksi realitas memunculkan ide telur dan ayam: manakah yang lebih dulu, masyarakat atau media? Apakah penggambaran seks bebas di media adalah realita yang kini dihadapi oleh perempuan saat ini kemudian terangkat ke media? Ataukah media menyentilkan ide tersebut dan kini tengah menjadi gaya hidup?
Menerima Seks Tanpa Komitmen
Lantas, bisakah kita, sebagai pembaca, turut bergabung dalam euforia ini? Hubungan seks seolah dilegalkan, tanpa dosa, dan lazim dilakukan oleh orang yang tidak menikah sekalipun. Komersialisasi kondom bertebaran di mana – mana, membuat seks menjadi kegiatan yang aman. Dapatkah kita menerima seks tanpa komitmen seperti itu?
Seks dalam media, tidak bisa semata – mata dimaknai sebagai degradasi moral. Berangkat pada konsep semiotika, setiap tanda dan lambang memiliki makna. Setiap penggambaran seks pada media, terutama sastra adalah sebuah kulit dari realita yang sedang terjadi. Maraknya seks di kalangan beberapa penulis (tentu bukan pengarang pornografi), memiliki alternatif makna sebagai ungkapan keprihatinan perempuan terhadap ketimpangan sosial. Seks tak bisa dimaknai dengan perspektif sempit.
Topik mengenai seks juga membawa pembaca pada tahap yang lebih tinggi, yakni kesucian seks. Bertolak belakang dengan konsep seks yang membabi buta, ada makna ganda yang disampaikan oleh para penulis. Serbuan seks bebas selalu disertai dengan kritik dan pernyataan moral untuk membenarkan bahwa seks sesungguhnya adalah sesuatu yang sakral. Goenawan Mohamad menyebut hal ini sebagai penebusan dosa para penulis[ix]. Namun di sisi lain, serbuan seks bebas tersebut justru membuat pembaca menyadari betapa indahnya hubungan seks bila dilakukan hanya dengan satu orang saja. Melakukannya berkali – kali hanya menurunkan nilai kesakralannya. Bukankah nilai ini yang menjadi titik ideal bagi setiap pasangan?
Goenawan Mohamad juga menegaskan bahwa seks dalam kesusastraan bukanlah serangan terhadap kehidupan seks tradisional yang tak bebas, namun justru mempertegas nilai tersebut[x]. Dengan memberikan gambaran yang negatif, akan membawa pesan positif yang lebih kuat. Tentu, kita sebagai pembaca tak bisa selalu polos menerima terpaan media. Sudah menjadi tugas pembaca untuk selalu kritis, membedah kata demi kata pada media menggunakan perspektif yang benar. Dengan demikian, kritik yang termunculkan melalui seks bisa mendapatkan tujuan yang benar. Bila tidak, masyarakat sungguh – sungguh terpuruk pada seks bebas tanpa aturan.
***
[i] Agus Sulton, “Sastra Wangi Aroma Selangkangan”, Kompas Oase 01 April 2010, (http://oase.kompas.com/read/2010/04/01/01481963/Sastra.Wangi.Aroma.Selangkangan).
[ii] Dalam sebuah seminar “I want to be a storyteller” di Universitas Kristen petra, 21 Oktober 2011.
[iii] Rinaldi Ridwan, “Pengobyekan Perempuan Dalam karya Sastra”, Jurnal Perempuan, 2011 (http://jurnalperempuan.com/2011/06/pengobyekan-perempuan-dalam-karya-sastra/).
[iv] Goenawan Mohamad, “Seks, Sastra, dan Kita”, Sinar Harapan, 1980, hal.1 – 14.
[v] Dalam sebuah seminar “I want to be a storyteller” di Universitas Kristen petra, 21 Oktober 2011.
[vi] Jennifer Benjamin, How Cosmo Change The World, www.comsmopolitan.com
[vii] Ibid.
[viii] Agus Sulton, “Sastra Wangi Aroma Selangkangan”, Kompas Oase 01 April 2010, (http://oase.kompas.com/read/2010/04/01/01481963/Sastra.Wangi.Aroma.Selangkangan).
[ix] Goenawan Mohamad, “Seks, Sastra, dan Kita”, Sinar Harapan, 1980, hal.1 – 14.
[x] Ibid.
Dijumput dari: http://sosbud.kompasiana.com/2012/09/25/seks-dalam-balutan-sastra-496715.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar