Jones Gultom
http://www.analisadaily.com/
BAGIAN klasik dari diskursus sastra adalah menyangkut perannya di tengah gejolak sosial. Bukan soal kontekstual atau tidak, tetapi apakah sebuah karya sastra masih cukup mampu memberi harapan di saat kehidupan sosial-politik sebuah bangsa berantakan, seperti yang terjadi pada negeri ini? Dimanakah sastra kita tempatkan, ketika mendapati masyarakat yang sudah putus asa dengan hidupnya? Saya kira, pertanyaan dan keprihatinan inilah yang mendasari perdebatan tentang politik sastra di Rebana, beberapa waktu lalu. Kini, patut direnungkan lagi, sambil kita menghadapi kenaikan harga BBM, April 2012 ini.
Sayang, tak ada penelitian menjelaskan, seperti apa sebenarnya pengaruh sastra terhadap pembacanya. Tak seperti survey politik yang lazim dilakukan, terutama menjelang pemilu. Mungkin ini yang membuat banyak sastrawan kita gamang, tak percaya diri, lantas tak berani bicara sosial-politik. Lantas berapologi, sastra harus tak berpihak. Dengan sikap seperti ini, wajarlah jika kemudian sebagian besar akhirnya beralih profesi, walau tetap mengaku sebagai sastrawan.
Sejarah perkembangan sastra di Indonesia, setidaknya diklasifikasikan atas beberapa bagian, antara lain; Angkatan Pujangga Lama, Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 2000 dan Angkatan Reformasi. Pengelompokan ini lebih didasari fokus garapan dan kurun waktu yang berlangsung. Ada juga versi yang memilah berdasarkan ketokohan sastrawannya. Sebut saja Angkatan 45 dan 66 yang populer karena kehadiran Chairil Anwar dan Taufik Ismail. Masing-masing angkatan menyuguhkan ciri khasnya sendiri. Angkatan Pujangga Lama misalnya, lahir untuk memberontaki mitos-mitos yang berlaku dalam sistem masyarakat tradisi. Seperti yang diangkat dalam novel Siti Nurbaya, oleh Marah Rusli. Fungsinya kemudian berkembang di masa Angkatan Balai Pustaka. Seiring mulai terbentuknya konsep negara kesatuan, rasa nasionalisme pun mulai tumbuh di kalangan cendikiawan.
Di fase itu sastra mengambil peran ganda, karena juga dijadikan sebagai alat perlawanan terhadap kolonialisme. Meski ada berpendapat sebaliknya; angkatan ini merupakan underbow Belanda, sehingga memunculkan Angkatan Pujangga Baru sebagai tandingan, yang kemunculannya sekurun waktu dengan Angkatan Balai Pustaka.
Selanjutnya, seiring masuknya peradaban millennium yang dirayakan di segala penjuru dunia, menandai kelahiran Angkatan 2000 dengan cirinya yang postmo, walau sebagian sastrawannya adalah Angkatan Pujangga Baru. Di masa ini, karya-karya sastra bermunculan dengan ragam warna dan corak. Babakan masing-masing angkatan ini bukanlah rentang waktu proses kreatif sastrawannya, namun setidaknya boleh dianggap sebagai fase “puncak” kemunculan mereka.
Dari perjalanan sejarah ini, setidaknya kita menemukan beberapa hal. Pertama, bersastra juga merupakan cara untuk melibatkan diri dalam situasi sosial perpolitikan. Dengan begitu sastrawan juga adalah seorang sosiolog bahkan politikus. Kedua, karena memadukan realita dengan kedalaman insight yang dimiliki, sastrawan bahkan setingkat lebih tinggi dari seorang ilmuwan. Ketiga, karena kebiasaannya yang reflektif, sastrawan pun dianggap sebagai “ahli nujum” yang tahu membaca masa depan. Syarat-syarat inilah yang menjadikan karya seorang sastrawan menjadi penting untuk dibaca. Sejarah Indonesia juga membuktikan, para sastrawanlah yang membangun bangsa ini. Atau setidaknya dia juga melakukan kerja-kerja politis.
Sejak Ronggowarsito sampai M. Yamin. Dari AA. Navis sampai Mukhtar Lubis. Pramoedia, Goenawan Muhammad, Rendra, Arief Budiman, Fuad Hassan, bahkan Gusdur. Tokoh-tokoh ini didengar bukan semata-mata karena karya sastranya, tapi juga kerja politiknya yang didasari atas karakter kesastrawanannya. Tak heran jika Soekarno pernah menyitir; “jika fakultas kedokteran ditutup, maka 3-5 tahun ke depan kita akan kekurangan dokter. Begitu juga jika fakultas hukum ditutup, maka 3-5 tahun lagi kita akan kekuranagn hakim dan pengacara. Jika fakultas sastra ditutup, bahkan di seluruh universitas dunia, sastrawan tetap akan muncul dengan sendirinya.” Karena seorang sastrawan bisa saja lahir dari gejolak sosial, ekonomi, budaya, terutama politik.
Angkatan Reformasi (?)
Sama dengan angkatan-angkatan sebelumnya, Angkatan Reformasi lahir juga mengusung semangatnya sendiri. Terbukanya kran berkreativitas sebebas-bebasnya, disambut para sastrawan di penjuru nusantara. Tidak jelas siapa yang pertama kali memunculkan istilah ini. Angkatan ini digawangi oleh sejumlah sastrawan yang mencuat serta didasari oleh semangat reformasi. Sayangnya Angkatan Reformasi ini tidak setangguh angkatan-angkatan sebelumnya, terutama jika dikaitkan dengan moment yang melahirkan mereka. Bahkan angkatan ini nyaris tak memunculkan satupun sastrawannya, kecuali Wiji Thukul. Momentum reformasi gagal membesarkan angkatan ini. Dia kalah progresif dengan dunia sosial dan politik yang sukses besar melahirkan tokoh-tokoh politik yang kini menjadi icon. Tak heran, hampir tak ada karya sastra yang terbilang penting, bagi keindonesiaan, lahir di fase ini. Sampai kemudian tetralogi Laskar Pelangi, Andrea Hirata pun berkibar.
Dalam kaitannya dengan sosial-politik, dunia sastra di masa sekarang ini, boleh dibilang gagal, karena tak memberi sumbangan yang cukup berarti. Ketika korupsi dimana-mana, harga-harga melambung tinggi, konspirasi yang merajalela, masyarakat yang berubah anarkis, kemiskinan, pembohongan publik, seperti yang berlangsung sekarang, dimanakah suara sastrawan?
Saya termasuk rajin mengamati opini-opini yang dimuat di media massa lokal dan nasional. Hanya ada 1-2 sastrawan yang rajin memberikan pemikirannya, termasuk sekedar menunjukkan simpati. Padahal ketika kongres sastrawan diadakan, pesertanya bisa sampai membludak.
Menurut saya, banyak hal yang menyebabkan ketimpangan ini. Pertama, para sastrawan kita tak mampu dan tak terbiasa mengangkat isu-isu sosial-politik dalam karyanya. Ketika reformasi meletus, para sastrawan gagal menangkap momentum itu. Dinamika sosial-politik bergerak ibarat bola salju, dunia sastra kita masih terjebak dengan indetitas angkatan sebelum-sebelumnya. Akhirnya sastrawan kita tak mampu mengejar isu dengan perwujudannya yang kontekstual. Wajar jika kemudian masyarakat yang sempat betah membaca karya sastra, pergi menjauh. Ditambah lagi dengan bergesernya perhatian industri penerbitan dari karya sastra.
Saya kira, inilah efek dari kebiasaan para sastrawan yang terdogma dengan sentralisme media. Para sastrawan “mati-matian” bermanuver, membahas bahkan menduga-duga seperti apa ciri yang diminati media yang dinilai prestius itu. Alhasil, proses kreatifitasnya hanya sekedar ambisi-publikasi. “Semangat” itupula yang membuatnya lupa dengan dunia di luar sastra yang semakin “panas” itu.
Kedua, eforia Angkatan 2000 yang belum selesai. Seperti disinggung sebelumnya, keanekaragaman karya sastra kita memuncak di Angkatan 2000. Afrizal Malna muncul dengan puisi instalasi urbannya. Joko Pinurbo menyuguhkan puisi filsafat eksitensi yang mengkontruksi benda-benda keseharian. Pada cerpen ada Seno Gumira Aji Darma, yang gemar mendramatisir sesuatu yang realita maupun fiksi dengan penekanan pskilogis. Begitu juga Hudan Hidayat yang sukses mendekonstruksi teori-teori psikologi, termasuk pewayangan. Di novel yang cenderung didasari semangat feminis, berhasil melahirkan novelis-novelis bermutu semisal Ayu Utami, Djenar, Dewi Lestari yang menghadirkan “keharuman” karyanya masing-masing.
Pengaruh para sastrawan ini masih cukup kuat sekaligus menghipnotis para sastrawan Angkatan Reformasi. Alhasil Angkatan Reformasi sampai ini belum menemukan jati diri di zamannya sendiri.
Kalah Langkah
Tulisan ini tidak hendak mendiskreditkan para sastrawan Angkatan Reformasi maupun karya-karyanya. Kenyataannya, sastra kita sekarang ini tak mampu berbuat apa-apa bagi masyarakat, khususnya pembaca, adalah hal penting yang harus dijawab.
Sebagai perbandingan, ketika gejolak sosial-politik melanda Bangsa Indonesia, setidaknya satu dekade ini, hampir tak didapati karya-karya sastra yang mengangkat situasi ini. Justru kiblat sastra semakin liar, bahkan, mengutip istilah Yulhasni- konteks-teksnya makin semu. Bilapun kearifan lokal yang coba digagas kembali sebagai alternatif postmodrenisme, justru terperangkap pada kedangkalan tafsirnya sendiri.
Kemampuan dialektis sastrawan yang dangkal menjerumuskan sastrawan ke dalam mahzab yang sempit; sekedar penanda identitas kelompok-kelompok masyarakat. Sebaliknya, agresivitas sosial-politik yang makin tak terbendung itu, kini makin merangsek ke seluruh sendi kehidupan masyarakat. Saya khawatir, adakah situasi ini menjadi kekhawatiran para sastrawan?
08 Apr 2012
http://www.analisadaily.com/
BAGIAN klasik dari diskursus sastra adalah menyangkut perannya di tengah gejolak sosial. Bukan soal kontekstual atau tidak, tetapi apakah sebuah karya sastra masih cukup mampu memberi harapan di saat kehidupan sosial-politik sebuah bangsa berantakan, seperti yang terjadi pada negeri ini? Dimanakah sastra kita tempatkan, ketika mendapati masyarakat yang sudah putus asa dengan hidupnya? Saya kira, pertanyaan dan keprihatinan inilah yang mendasari perdebatan tentang politik sastra di Rebana, beberapa waktu lalu. Kini, patut direnungkan lagi, sambil kita menghadapi kenaikan harga BBM, April 2012 ini.
Sayang, tak ada penelitian menjelaskan, seperti apa sebenarnya pengaruh sastra terhadap pembacanya. Tak seperti survey politik yang lazim dilakukan, terutama menjelang pemilu. Mungkin ini yang membuat banyak sastrawan kita gamang, tak percaya diri, lantas tak berani bicara sosial-politik. Lantas berapologi, sastra harus tak berpihak. Dengan sikap seperti ini, wajarlah jika kemudian sebagian besar akhirnya beralih profesi, walau tetap mengaku sebagai sastrawan.
Sejarah perkembangan sastra di Indonesia, setidaknya diklasifikasikan atas beberapa bagian, antara lain; Angkatan Pujangga Lama, Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 2000 dan Angkatan Reformasi. Pengelompokan ini lebih didasari fokus garapan dan kurun waktu yang berlangsung. Ada juga versi yang memilah berdasarkan ketokohan sastrawannya. Sebut saja Angkatan 45 dan 66 yang populer karena kehadiran Chairil Anwar dan Taufik Ismail. Masing-masing angkatan menyuguhkan ciri khasnya sendiri. Angkatan Pujangga Lama misalnya, lahir untuk memberontaki mitos-mitos yang berlaku dalam sistem masyarakat tradisi. Seperti yang diangkat dalam novel Siti Nurbaya, oleh Marah Rusli. Fungsinya kemudian berkembang di masa Angkatan Balai Pustaka. Seiring mulai terbentuknya konsep negara kesatuan, rasa nasionalisme pun mulai tumbuh di kalangan cendikiawan.
Di fase itu sastra mengambil peran ganda, karena juga dijadikan sebagai alat perlawanan terhadap kolonialisme. Meski ada berpendapat sebaliknya; angkatan ini merupakan underbow Belanda, sehingga memunculkan Angkatan Pujangga Baru sebagai tandingan, yang kemunculannya sekurun waktu dengan Angkatan Balai Pustaka.
Selanjutnya, seiring masuknya peradaban millennium yang dirayakan di segala penjuru dunia, menandai kelahiran Angkatan 2000 dengan cirinya yang postmo, walau sebagian sastrawannya adalah Angkatan Pujangga Baru. Di masa ini, karya-karya sastra bermunculan dengan ragam warna dan corak. Babakan masing-masing angkatan ini bukanlah rentang waktu proses kreatif sastrawannya, namun setidaknya boleh dianggap sebagai fase “puncak” kemunculan mereka.
Dari perjalanan sejarah ini, setidaknya kita menemukan beberapa hal. Pertama, bersastra juga merupakan cara untuk melibatkan diri dalam situasi sosial perpolitikan. Dengan begitu sastrawan juga adalah seorang sosiolog bahkan politikus. Kedua, karena memadukan realita dengan kedalaman insight yang dimiliki, sastrawan bahkan setingkat lebih tinggi dari seorang ilmuwan. Ketiga, karena kebiasaannya yang reflektif, sastrawan pun dianggap sebagai “ahli nujum” yang tahu membaca masa depan. Syarat-syarat inilah yang menjadikan karya seorang sastrawan menjadi penting untuk dibaca. Sejarah Indonesia juga membuktikan, para sastrawanlah yang membangun bangsa ini. Atau setidaknya dia juga melakukan kerja-kerja politis.
Sejak Ronggowarsito sampai M. Yamin. Dari AA. Navis sampai Mukhtar Lubis. Pramoedia, Goenawan Muhammad, Rendra, Arief Budiman, Fuad Hassan, bahkan Gusdur. Tokoh-tokoh ini didengar bukan semata-mata karena karya sastranya, tapi juga kerja politiknya yang didasari atas karakter kesastrawanannya. Tak heran jika Soekarno pernah menyitir; “jika fakultas kedokteran ditutup, maka 3-5 tahun ke depan kita akan kekurangan dokter. Begitu juga jika fakultas hukum ditutup, maka 3-5 tahun lagi kita akan kekuranagn hakim dan pengacara. Jika fakultas sastra ditutup, bahkan di seluruh universitas dunia, sastrawan tetap akan muncul dengan sendirinya.” Karena seorang sastrawan bisa saja lahir dari gejolak sosial, ekonomi, budaya, terutama politik.
Angkatan Reformasi (?)
Sama dengan angkatan-angkatan sebelumnya, Angkatan Reformasi lahir juga mengusung semangatnya sendiri. Terbukanya kran berkreativitas sebebas-bebasnya, disambut para sastrawan di penjuru nusantara. Tidak jelas siapa yang pertama kali memunculkan istilah ini. Angkatan ini digawangi oleh sejumlah sastrawan yang mencuat serta didasari oleh semangat reformasi. Sayangnya Angkatan Reformasi ini tidak setangguh angkatan-angkatan sebelumnya, terutama jika dikaitkan dengan moment yang melahirkan mereka. Bahkan angkatan ini nyaris tak memunculkan satupun sastrawannya, kecuali Wiji Thukul. Momentum reformasi gagal membesarkan angkatan ini. Dia kalah progresif dengan dunia sosial dan politik yang sukses besar melahirkan tokoh-tokoh politik yang kini menjadi icon. Tak heran, hampir tak ada karya sastra yang terbilang penting, bagi keindonesiaan, lahir di fase ini. Sampai kemudian tetralogi Laskar Pelangi, Andrea Hirata pun berkibar.
Dalam kaitannya dengan sosial-politik, dunia sastra di masa sekarang ini, boleh dibilang gagal, karena tak memberi sumbangan yang cukup berarti. Ketika korupsi dimana-mana, harga-harga melambung tinggi, konspirasi yang merajalela, masyarakat yang berubah anarkis, kemiskinan, pembohongan publik, seperti yang berlangsung sekarang, dimanakah suara sastrawan?
Saya termasuk rajin mengamati opini-opini yang dimuat di media massa lokal dan nasional. Hanya ada 1-2 sastrawan yang rajin memberikan pemikirannya, termasuk sekedar menunjukkan simpati. Padahal ketika kongres sastrawan diadakan, pesertanya bisa sampai membludak.
Menurut saya, banyak hal yang menyebabkan ketimpangan ini. Pertama, para sastrawan kita tak mampu dan tak terbiasa mengangkat isu-isu sosial-politik dalam karyanya. Ketika reformasi meletus, para sastrawan gagal menangkap momentum itu. Dinamika sosial-politik bergerak ibarat bola salju, dunia sastra kita masih terjebak dengan indetitas angkatan sebelum-sebelumnya. Akhirnya sastrawan kita tak mampu mengejar isu dengan perwujudannya yang kontekstual. Wajar jika kemudian masyarakat yang sempat betah membaca karya sastra, pergi menjauh. Ditambah lagi dengan bergesernya perhatian industri penerbitan dari karya sastra.
Saya kira, inilah efek dari kebiasaan para sastrawan yang terdogma dengan sentralisme media. Para sastrawan “mati-matian” bermanuver, membahas bahkan menduga-duga seperti apa ciri yang diminati media yang dinilai prestius itu. Alhasil, proses kreatifitasnya hanya sekedar ambisi-publikasi. “Semangat” itupula yang membuatnya lupa dengan dunia di luar sastra yang semakin “panas” itu.
Kedua, eforia Angkatan 2000 yang belum selesai. Seperti disinggung sebelumnya, keanekaragaman karya sastra kita memuncak di Angkatan 2000. Afrizal Malna muncul dengan puisi instalasi urbannya. Joko Pinurbo menyuguhkan puisi filsafat eksitensi yang mengkontruksi benda-benda keseharian. Pada cerpen ada Seno Gumira Aji Darma, yang gemar mendramatisir sesuatu yang realita maupun fiksi dengan penekanan pskilogis. Begitu juga Hudan Hidayat yang sukses mendekonstruksi teori-teori psikologi, termasuk pewayangan. Di novel yang cenderung didasari semangat feminis, berhasil melahirkan novelis-novelis bermutu semisal Ayu Utami, Djenar, Dewi Lestari yang menghadirkan “keharuman” karyanya masing-masing.
Pengaruh para sastrawan ini masih cukup kuat sekaligus menghipnotis para sastrawan Angkatan Reformasi. Alhasil Angkatan Reformasi sampai ini belum menemukan jati diri di zamannya sendiri.
Kalah Langkah
Tulisan ini tidak hendak mendiskreditkan para sastrawan Angkatan Reformasi maupun karya-karyanya. Kenyataannya, sastra kita sekarang ini tak mampu berbuat apa-apa bagi masyarakat, khususnya pembaca, adalah hal penting yang harus dijawab.
Sebagai perbandingan, ketika gejolak sosial-politik melanda Bangsa Indonesia, setidaknya satu dekade ini, hampir tak didapati karya-karya sastra yang mengangkat situasi ini. Justru kiblat sastra semakin liar, bahkan, mengutip istilah Yulhasni- konteks-teksnya makin semu. Bilapun kearifan lokal yang coba digagas kembali sebagai alternatif postmodrenisme, justru terperangkap pada kedangkalan tafsirnya sendiri.
Kemampuan dialektis sastrawan yang dangkal menjerumuskan sastrawan ke dalam mahzab yang sempit; sekedar penanda identitas kelompok-kelompok masyarakat. Sebaliknya, agresivitas sosial-politik yang makin tak terbendung itu, kini makin merangsek ke seluruh sendi kehidupan masyarakat. Saya khawatir, adakah situasi ini menjadi kekhawatiran para sastrawan?
08 Apr 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar