Sumber: http://www1.kompas.com/
Membaca puisi-puisi Hanna Fransisca tak hanya menimbulkan rasa iri pada diri sendiri untuk kembali bersyair, tapi juga melihat cermin yang terpasang di berbagai sudut. Lewat puisi-puisinya dengan tema yang kurang dijamah oleh penyair lain, seperti tema kuliner, ia melihatnya dari perspektif yang berbeda tapi menarik.
“Saya iri dengan puisinya”, ujar Joko Pinurbo, penyair ternama yang dikenal dengan puisi “celana” dan “kibaran sarung”nya saat mengomentari karya Hanna Fransisca, perempuan kelahiran Singkawang, Kalimantan Barat yang meluncurkan kumpulan puisinya “Konde Penyair Han” di Gothe Haus, Jakarta, Jumat (07/05). Selain Joko Pinurbo, pembicara lainnya adalah Sapardi Djoko Damono yang sangat dikenal dengan puisi romantisnya seperti “Hujan Bulan Juni” dan “Aku Ingin”.
Tidak hanya Joko Pinurbo dan Sapardi saja yang menjadi saksi lahirnya seorang Hanna sebagai penyair, tapi juga sastrawan dan pelaku seni lainnya yang membuat ruangan dingin dan sesak itu bagai bertabur bintang. Tampak Acep Zamzam Noor, Ratna Sarumpaet, Abdul Hadi WM, Diah Hadaning, Ahmadun Yosi Herfanda, Hardho Sayoko, Endo Senggono, Jodhi Yudono, Dimas Arika Mihardja, Linda Christanty, Kurnia Effendi, Agus Noor, dan kalangan penulis muda lainnya Hanna ikut merayakan penahbisan itu. Iman Soleh dari Bandung dan Sitok Srengenge tampil membaca beberapa puisi Hanna.
Beberapa teman Hanna juga datang dari Malang, Singkawang, Kendal, Bandung dan beberapa kota lainnya, termasuk Walikota Singkawang, Hasan Karman yang memberikan sambutannya, aktivis Partai Indonesia Baru, anggota DPRD Singkawang serta teman-teman diskusinya di facebook dan komunitas sastra seperti Sastra Reboan.
Peluncuran “Kode Penyair Han” yang sampulnya didominasi warna merah dan Hanna dengan lampion yang terbang melintasi sebuah gurun, dengan Hanna berpakaian tradisional Tionghoa dikemas dengan warna yang berbeda. Tanjidor mengawali pertunjukan sebelum Agus R.Sarjono sebagai moderator memulai diskusi dengan Sapardi dan Joko Pinurbo.
Dalam diskusi singkat tapi menarik ini Hanna tak menjelaskan apa arti atau siapa Penyair Han yang menjadi judul karya perdananya dalam sebuah buku ini. Ambiguitas, kata Jokpin. Hibrid, kata Sapardi. Ia lebih banyak bercerita tentang masa lalunya yang getir dan diungkapkan dengan jujur juga dalam pengantar buku itu, terutama saat kedua pembicara itu senada mengungkapkan warna kriminal terutama dalam tema-tema “kuliner”nya.
“Pada usia saya 7 tahun, sudah diwajibkan memasak oleh Ibu. Mau tak mau harus bisa. Peristiwa paling menyedihkan adalah ketika beras pinjaman yang hendak ditanak tumpah ke pasir. Saya harus memisahkan butiran beras itu dari pasir satu per satu. Begitu takutnya saya membayangkan marahnya Ibu. Lalu pernah saya membuat satu keluarga tidak makan karena beras yang saya tanak gosong, padahal itu beras pinjaman”, ujarnya berlinang air mata.
Kemiskinan yang dialami oleh Hanna kecil itu memang menjadi potret Singkawang sejak dulu, seperti diakui sendiri oleh Walikota Hasan Karman. “Namun, meski kini Hanna telah menjadi pengusaha yang sukses, ia tak pernah lupa tanah kelahirannya”, katanya.
Potret masa buram di masa kecil Hanna dituangkannya dalam “Puisi Roda Pedati”. Ketika itu ia tak mampu melanjutkan sekolah ke SMA, karena ibunya kecelakaan persis di hari ujian akhir SMP. Tabungannya yang dikumpulkan selama beberapa tahun harus dipecahkan untuk menebus biaya rumah sakit. Lalu ia pun bekerja bersama orang-orang Dayak, berdagang karet mentah dengan belajar memilih kualitas melalui kebasahan dan bau cuka yang menyengat. Kemudian tekadnya yang kuat untuk maju membawanya ke Jakarta, tanpa pernah melupakan Singkawang yang dicintainya.
Namun puisi yang dibacakannya malam itu adalah “Air Mata Tanah Air”, sebuah puisi yang dipersembahkannya untuk Gus Dur, pahlawan baginya yang membela orang Tionghoa. Diiringi gesekan dan petikan cello, ia meratapi peristiwa Mei yang hingga kini tidak pernah tuntas pengadilannya.
Dramatisasi puisi dan pembacaan dengan iringan music kecapi China menutup acara peluncuran buku yang diterbitkan oleh KataKita itu. Hanna telah mengetuk pintu dunia kepenyairan. Selamat datang, penyair. (gie)
11 Mei 2010
Membaca puisi-puisi Hanna Fransisca tak hanya menimbulkan rasa iri pada diri sendiri untuk kembali bersyair, tapi juga melihat cermin yang terpasang di berbagai sudut. Lewat puisi-puisinya dengan tema yang kurang dijamah oleh penyair lain, seperti tema kuliner, ia melihatnya dari perspektif yang berbeda tapi menarik.
“Saya iri dengan puisinya”, ujar Joko Pinurbo, penyair ternama yang dikenal dengan puisi “celana” dan “kibaran sarung”nya saat mengomentari karya Hanna Fransisca, perempuan kelahiran Singkawang, Kalimantan Barat yang meluncurkan kumpulan puisinya “Konde Penyair Han” di Gothe Haus, Jakarta, Jumat (07/05). Selain Joko Pinurbo, pembicara lainnya adalah Sapardi Djoko Damono yang sangat dikenal dengan puisi romantisnya seperti “Hujan Bulan Juni” dan “Aku Ingin”.
Tidak hanya Joko Pinurbo dan Sapardi saja yang menjadi saksi lahirnya seorang Hanna sebagai penyair, tapi juga sastrawan dan pelaku seni lainnya yang membuat ruangan dingin dan sesak itu bagai bertabur bintang. Tampak Acep Zamzam Noor, Ratna Sarumpaet, Abdul Hadi WM, Diah Hadaning, Ahmadun Yosi Herfanda, Hardho Sayoko, Endo Senggono, Jodhi Yudono, Dimas Arika Mihardja, Linda Christanty, Kurnia Effendi, Agus Noor, dan kalangan penulis muda lainnya Hanna ikut merayakan penahbisan itu. Iman Soleh dari Bandung dan Sitok Srengenge tampil membaca beberapa puisi Hanna.
Beberapa teman Hanna juga datang dari Malang, Singkawang, Kendal, Bandung dan beberapa kota lainnya, termasuk Walikota Singkawang, Hasan Karman yang memberikan sambutannya, aktivis Partai Indonesia Baru, anggota DPRD Singkawang serta teman-teman diskusinya di facebook dan komunitas sastra seperti Sastra Reboan.
Peluncuran “Kode Penyair Han” yang sampulnya didominasi warna merah dan Hanna dengan lampion yang terbang melintasi sebuah gurun, dengan Hanna berpakaian tradisional Tionghoa dikemas dengan warna yang berbeda. Tanjidor mengawali pertunjukan sebelum Agus R.Sarjono sebagai moderator memulai diskusi dengan Sapardi dan Joko Pinurbo.
Dalam diskusi singkat tapi menarik ini Hanna tak menjelaskan apa arti atau siapa Penyair Han yang menjadi judul karya perdananya dalam sebuah buku ini. Ambiguitas, kata Jokpin. Hibrid, kata Sapardi. Ia lebih banyak bercerita tentang masa lalunya yang getir dan diungkapkan dengan jujur juga dalam pengantar buku itu, terutama saat kedua pembicara itu senada mengungkapkan warna kriminal terutama dalam tema-tema “kuliner”nya.
“Pada usia saya 7 tahun, sudah diwajibkan memasak oleh Ibu. Mau tak mau harus bisa. Peristiwa paling menyedihkan adalah ketika beras pinjaman yang hendak ditanak tumpah ke pasir. Saya harus memisahkan butiran beras itu dari pasir satu per satu. Begitu takutnya saya membayangkan marahnya Ibu. Lalu pernah saya membuat satu keluarga tidak makan karena beras yang saya tanak gosong, padahal itu beras pinjaman”, ujarnya berlinang air mata.
Kemiskinan yang dialami oleh Hanna kecil itu memang menjadi potret Singkawang sejak dulu, seperti diakui sendiri oleh Walikota Hasan Karman. “Namun, meski kini Hanna telah menjadi pengusaha yang sukses, ia tak pernah lupa tanah kelahirannya”, katanya.
Potret masa buram di masa kecil Hanna dituangkannya dalam “Puisi Roda Pedati”. Ketika itu ia tak mampu melanjutkan sekolah ke SMA, karena ibunya kecelakaan persis di hari ujian akhir SMP. Tabungannya yang dikumpulkan selama beberapa tahun harus dipecahkan untuk menebus biaya rumah sakit. Lalu ia pun bekerja bersama orang-orang Dayak, berdagang karet mentah dengan belajar memilih kualitas melalui kebasahan dan bau cuka yang menyengat. Kemudian tekadnya yang kuat untuk maju membawanya ke Jakarta, tanpa pernah melupakan Singkawang yang dicintainya.
Namun puisi yang dibacakannya malam itu adalah “Air Mata Tanah Air”, sebuah puisi yang dipersembahkannya untuk Gus Dur, pahlawan baginya yang membela orang Tionghoa. Diiringi gesekan dan petikan cello, ia meratapi peristiwa Mei yang hingga kini tidak pernah tuntas pengadilannya.
Dramatisasi puisi dan pembacaan dengan iringan music kecapi China menutup acara peluncuran buku yang diterbitkan oleh KataKita itu. Hanna telah mengetuk pintu dunia kepenyairan. Selamat datang, penyair. (gie)
11 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar