Catatan Kecil Sajak Samsudin Adlawi
Imamuddin SA
http://sastra-indonesia.com/
Waktu itu, kira-kira sehabis Isya’, saya menguhubungi kawan saya. Saya bermaksud mau ngobrol-ngobrol denganya. Seketika itu saya lansung mengambil motor dan memacunya ke rumah kawanku tadi. Bukan sekedar kawan, tapi lebih dari itu. Entah apalah, yang jelas dia istimewa bagi saya. Namanya Nurel Javissyarqi.
Sesampainya di rumahnya, saya langsung bertemu dengannya. Seperti biasa, saya menemukannya sedang khusyuk dengan leptopnya. Membuat esai dan berkutat dengan facebook.
Kami ngobrol-ngobrol panjang lebar tentang face book dan sastra. Kami berbicara masalah pempublikasian karya sastra lewat facebook. Tampaknya akhir-akhir ini karya sastra ramai diperbincangkan di face book. Padahal beberapa saat yang lalu, bloog-lah yang meramaikannya. Sungguh perputaran peristiwa yang begitu cepat.
Selain ngobrol tentang facebook, kami juga nyentil sedikit masalah memudarnya media cetak dalam kalangan sastra, khususnya puisi. Baik di surat kabar maupun perbukuan. Peredaran puisi dalam perbukuan perlu diperhatikan. Pasalnya pihak penerbit enggan menerimanya untuk dilakukan penerbitan. Alasnnya, puisi pangsa pasarnya sedikit. Konsumennya terbatas. Hawatir pihak penerbit mengalami kerugian. Ini tidak jauh berbeda dengan nasib cerpen dan novel serius. Penerbit enggan menerimannya sebab mereka mengikuti selera pasar. Dan dalam realitasnya, pasar menghendaki karya-karya picisan, tenlit, dan teklit. Hal itu menyebabkan para sastrawan harus ekstra memutar otak agar dapat mempublikasikan karya-karyanya. Hanya mereka yang memiliki kemauan kuat dan modal vinansial yang cukuplah yang pada akhirnya dapat menerbitkan karya-karyanya. Apalagi bagi sastrawan regenerasi.
Begitu juga dengan surat kabar. Staf redaksi kerap meng-cut karya-karya sastrawan regenerasi yang ingin berkembang. Konon ada seorang penulis yang tengah mengirimkan karya-karyanya hingga mencapai ratusan karya, namun tak kunjung dimuat juga. Entah alasannya bagaiman. Mendengar kabar burung, katanya ada ungkapan baru; kalau tak kenal, maka tak saya-terbitkan. Kalau tak semadzhab, maka tak usah dihiraukan. Kalau tidak selera, maka tak perlu saya cantumkan. Tampaknya tiga ungkapan ini yang berdasarkan kabar burung melingkupi pempublikasian karya-karya sastrawan regenerasi. Padahal jika mau jujur dan objektif, tidak sedikit karya-karya sastrawan regenerasi memiliki kekuatan dan enak dinikmati. Perlu rasanya bagi sastrawan regenerasi untuk merapatkan barisan agar namanya muncul dalam khasanah kesusastraan. Tapi kini sastrawan regenerasi bisa sedikit bernafas dengan lega. Nasib karyanya sedikit terselamatkan oleh adanya blog dan face book. Tinggal seberapa kuat mereka dapat on line di sana.
Beberapa saat setelah perbincangan kami, kawan saya, Mas Nurel, begitu saya akrab memanggilnya, beranjak dari leptopnya. Ia menuju kamar bacanya. Tak lama kemudian ia balik lagi kepada saya. Ia membawakan saya dua buah buku terbitan terbaru PUstaka puJAngga. Salah satu dari dua buku itu karya Samsudin Adlawi. Seorang wartawan Jawa Pos kelahiran Banyuwangi.
Buku itu merupakan suatu antologi tunggal dari Samsudin. Hati saya langsung terpikat ketika melihat cover buku tersebut. Cover yang mencerminkan judul antologinya. Yaitu Jaran Goyang. Dengan ilustrasi dua kuda bersayap, yang saling mengaitkat kaki depanya satu sama lain. Yang satu berwarna kuning keemasan, satu lainnya berwarna biru lembayung.
Saya lalu membuka buku itu. Dan membaca-baca kandungan isinya. Hati saya sempat bergoyang. Apalagi saat melihat para komentatornya. Yang memberi komentar adalah para penulis dan kritikus terkenal. Bahkan di antara mereka ada yang berasal dari luar negeri. Saya sempat minder dan berkecil hati dengan mereka. Mereka tengah menunjukkan antusiasme yang tinggi terhadap karya Samsudin.
Daisuke Miyoshi telah menyatakan bahwa puisi-puisi Samsudin adalah puisi yang sukses sebab maknanya telah sampai pada pembaca. Ini bukan puisi kosong dan layak dimaknai semua orang yang bertuhan. Anett Tapai mengatakan kalau dengan karya ini Samsudin layaknya Jalaluddin Rumi yang lahir di Banyuwangi. Ada lagi Ilham Zoebazary yang menegaskan bahwa puisi-puisi Samsudin segar, menaikan gairah, dan tak terkira kaya nuansa. Tengsoe Tjahjono juga menyatakan hal yang serupa, puisi-puisi Samsudin adalah puisi yang berhasil sebab tidak harus disusun dalam wacana yang rumit dan pilihan kata yang pelik, namun cukup diksi biasa yang oleh kecermatan merangkai jadilah teks yang menimbulkan gigil pada rasa, kenyang pada makna. Rida K Liamsi juga menyatakan bahwa membaca puisi-puisi Samsudin adalah membaca renungan yang dalam tentang hidup, tetapi dengan semangat yang nakal, kritis, sinis, bahkan bercanda. Samsudin berhasil menyampaikan renungannya dengan menggunakan simbol-simbol yang sangat ragam, ragam juga dalam tema sehingga sehingga dalam pesona kata, diksi, sehingga puisi-puisinya selain enak untuk direnungkan di dalam kesendirian, juga enak untuk dibaca dengan ekspresif.
Dengan adanya komentar-komentar semacam itu, antologi puisi ini tampak begitu hebatnya. Dahsyat. Sebab para komentatornya adalah orang-orang hebat dan orang-orang besar. Memang saya akui, saya juga menangkap hal yang sama seperti mereka ketika melakukan proses pembacaan antologi ini. Diksinya sederhana, tidak pelik, kritis, nakal, simbolnya beragam, temanya juga beragam. Tapi ada sedikit pesona sajak yang mengganggu pikiran saya. Saya dalam penyelaman, seolah-olah diajak kembali pada nuansa klasik persajakan. Ada beberapa puisi yang mengingatkan saya pada gaya angkatan Balaipustaka. Suasan seperti itu tampak terlihat dari sajak Air, Dansa Akar, Gua, Rokok, Rubaiyat Cinta, Sel Imut, dan Teman Sejati. Entah ini suatu kemunduran atau sebatas rotasi selera estetika persajakan. Gaya lama terhapus gaya yang baru, gaya baru kembali pada gaya yang lama. Seperti siang dan malam, berotasi seiring perjalanan zaman. Seperti manusia, kadang susah, kadang bahagia, kembali susah, dan bahagia lagi. Sesekali kaya, sesekali jatuh miskin, dan bangkit lagi. Ah namun ini hanya sisi kecil dari keragaman saja-sajak Samsudin saja.
Puisi-puisi Samsudin sangat variatif. Bisa dibilang yang diusung Samsudin dalam puisinya adalah kompleksitas masalah hidup dan kehidup. Hal itu tampaknya terpengaruh dari mobilitas Samsudin sendiri, yaitu sebagai seorang wartawan. Bisa jadi ia diilhami oleh peristiwa-peristiwa yang tengah digelutinya saban hari. Ia kerap bersinggungan dengan masyarakat yang lebih komplek dengan problematika hidup. Sehingga tema yang diangkat dalam puisinya turut beragam pula. Namun dalam pengungkapannya, sajak-sajak Samsudin terasa hambar dan kurang permenungan. Benar atau tidak, subjektivitas pembaca sendirilah yang merasakannya.
Saat membaca judul antologi ini, Jaran Goyang, memori saya kembali dibawa pada khasanah kejawen. Saya teringat akan mantra pengasihan orang Jawa. Konon dikisahkan, jika seseorang ingin menggaet hati lawan jenisnya, bagi orang Jawa bias merapal mantra pengasihan Jaran Goyang yang ditujukan langsung kepada orang yang dikehendaki. Usut punya usut, orang tersebut pun akan jatuh hati. Gandrung. Dan kesengsem.
Tampaknya citra mantra pengasihan itu melingkupi hadirnya antologi Samsudin ini. Samsudin bermaksud ingin menggaet hati setiap orang yang melihat dan membaca antologi puisinya. Dan itu terbukti dengan adanya komentar-komentar dari tokoh-tokoh kesusastraan di atas. Mereka pada gandrung dengan puisi-puisi Samsudin. Mungkin mereka juga tidak punya azimat penangkal Jaran Goyang Samsudin. Tapi entah dengan pembaca yang lain, punya azimat penangkal atau tidak. Yang jelas Jaran Goyangnya Samsudin begitu membius. Entah dari sisi apanya, pembacalah yang bakal menemukan daya usik di dalamnya.
Fenomena judul antologi ini dimantabkan dengan judul puisi yang berjudul Jaran Goyang. Dalam puisi tersebut diejawantahkan praktik ritual pengasihan jaran goyang. Dikisahkan bahwa ritual ini dilakukan pada waktu tengah malam. Orang yang melakukannya dalam kondisi telanjang bulat. Tanpa sehelai benang pun. Ini bukan berarti semata-mata telanjang fisik, melainkan juga mengarah pada kepolosan dan keikhlasan batin.
ini upacara malam // upacaranya badan tanpa sehelai benang // seperti malam yang senantiasa telanjang (Jaran Goyang, hal:45, bait 1).
Suasana yang dimunculkan pada upacara ini harus benar-benar dalam kondisi sunyi. Sepi. Senyap. Tanpa ada suatu suara pun yang mengusiknya. Suasana seperti itu tidak hanya tercipta dari lingkungan sekitar saja, melainkan kesunyian yang membawa pada kekhusukan batin pelakunya juga harus tercipta.
ini upacara sunyi // berjalan tanpa bunyi // berkata tanpa bunyi // menembus tembok sepi (Jaran Goyang, hal:45, bait 2).
Upacara ini adalah upacara yang bersifat pribadi. Jadi ritualnya harus dilakukan seorang diri. Yang muncul dalam upacara ini hanyalah hasrat dan kehendak batin pelakunya yang tertuju kepada hati orang yang dituju. Menebarkan mahabah atas nama cinta pada perjalanan hidup anak manusia.
ini upacara angin // tarik nafas hembus ingin (Jaran Goyang, hal:45, bait 3).
Ritual ini berusaha keras untuk mempengaruhi pikiran seseorang. Membutakan cara pandangnya sehingga yang terpikirkan dan tertuju hanyalah si dia. Orang yang terkena pengasihan jaran goyang biasanya akan bersifat lupa dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya. Bahkan lupa pada dirinya sendiri. Ia hanya gandrung dan kepikiran pada orang yang memantrainya. Hatinya akan menjadi luluh. Yang diingat hanya si dia. Bayang-bayang wajah si dia akan melingkupi seluruh jiwanya.
dengan mantra kucuci otaknya // dengan mantra kutusuk matanya // dengan mantra kuganti hatinya (Jaran Goyang, hal:45, bait 4).
Orang yang tengah terpikat dengan mantra jaran goyang, tanpa sadar dalam batinnya tumbuh benih-benih cinta. Suasana kasmaran akan membias tanpa batas. Sebagaimana Davis menyatakan fenomena orang yang kasmaran. Orang kasmaran selalu beranggapan bahwa; “semua harapan di kepala hanya tahu namamu, lembaran putih hatiku mengenalmu, jerit tubuhku agar utuh, tangis itu milikmu, darahku mencucurkan namamu, mengalir, deras, namamu, namamu”.
Ketika seseorang dalam suatu malam telah merapal mantra pengasihan, dalam sajak Samsudin dikisahkan bahwa keesokan harinya orang yang jadi sasaran mantra akan gelap mata. Yang terpikir hanyalah orang yang merapal mantra saja. Hati dan pikirannya gelap. Ia terhipnotis. Seolah-olah yang ada dalam batinnya hanyalah nama si dia. Pesonanya meruang dalam kepribadiannya.
matahari menjelang // menggendong sekeranjang // otak mata dan hati yang // di dalamnya aku meruang (Jaran Goyang, hal:45, bait 5).
Gambaran puisi yang berjudul Jaran Goyang begitu jelas memberi isyarah bahwa daya magis yang terpancar dari mantra jaran goyang dapat menjadikan batiniah seseorang luluh-lantak. Hati seseorang dapat dengan seketika menjadi gandrung dan benih-benih cinta pun semakin bermekaran di sana. Semoga dengan adanya penyematan judul antologi ini, yaitu Jaran Goyang, seluruh hati orang yang memandang dan membacanya jadi turut bergoyang. Layaknya anting-anting, gontai dan bergelayutan, jika tak tergenggam kedalamannya. Laksana sang kembara gurun yang haus kejernihan air telaga maknanya.
Imamuddin SA
http://sastra-indonesia.com/
Waktu itu, kira-kira sehabis Isya’, saya menguhubungi kawan saya. Saya bermaksud mau ngobrol-ngobrol denganya. Seketika itu saya lansung mengambil motor dan memacunya ke rumah kawanku tadi. Bukan sekedar kawan, tapi lebih dari itu. Entah apalah, yang jelas dia istimewa bagi saya. Namanya Nurel Javissyarqi.
Sesampainya di rumahnya, saya langsung bertemu dengannya. Seperti biasa, saya menemukannya sedang khusyuk dengan leptopnya. Membuat esai dan berkutat dengan facebook.
Kami ngobrol-ngobrol panjang lebar tentang face book dan sastra. Kami berbicara masalah pempublikasian karya sastra lewat facebook. Tampaknya akhir-akhir ini karya sastra ramai diperbincangkan di face book. Padahal beberapa saat yang lalu, bloog-lah yang meramaikannya. Sungguh perputaran peristiwa yang begitu cepat.
Selain ngobrol tentang facebook, kami juga nyentil sedikit masalah memudarnya media cetak dalam kalangan sastra, khususnya puisi. Baik di surat kabar maupun perbukuan. Peredaran puisi dalam perbukuan perlu diperhatikan. Pasalnya pihak penerbit enggan menerimanya untuk dilakukan penerbitan. Alasnnya, puisi pangsa pasarnya sedikit. Konsumennya terbatas. Hawatir pihak penerbit mengalami kerugian. Ini tidak jauh berbeda dengan nasib cerpen dan novel serius. Penerbit enggan menerimannya sebab mereka mengikuti selera pasar. Dan dalam realitasnya, pasar menghendaki karya-karya picisan, tenlit, dan teklit. Hal itu menyebabkan para sastrawan harus ekstra memutar otak agar dapat mempublikasikan karya-karyanya. Hanya mereka yang memiliki kemauan kuat dan modal vinansial yang cukuplah yang pada akhirnya dapat menerbitkan karya-karyanya. Apalagi bagi sastrawan regenerasi.
Begitu juga dengan surat kabar. Staf redaksi kerap meng-cut karya-karya sastrawan regenerasi yang ingin berkembang. Konon ada seorang penulis yang tengah mengirimkan karya-karyanya hingga mencapai ratusan karya, namun tak kunjung dimuat juga. Entah alasannya bagaiman. Mendengar kabar burung, katanya ada ungkapan baru; kalau tak kenal, maka tak saya-terbitkan. Kalau tak semadzhab, maka tak usah dihiraukan. Kalau tidak selera, maka tak perlu saya cantumkan. Tampaknya tiga ungkapan ini yang berdasarkan kabar burung melingkupi pempublikasian karya-karya sastrawan regenerasi. Padahal jika mau jujur dan objektif, tidak sedikit karya-karya sastrawan regenerasi memiliki kekuatan dan enak dinikmati. Perlu rasanya bagi sastrawan regenerasi untuk merapatkan barisan agar namanya muncul dalam khasanah kesusastraan. Tapi kini sastrawan regenerasi bisa sedikit bernafas dengan lega. Nasib karyanya sedikit terselamatkan oleh adanya blog dan face book. Tinggal seberapa kuat mereka dapat on line di sana.
Beberapa saat setelah perbincangan kami, kawan saya, Mas Nurel, begitu saya akrab memanggilnya, beranjak dari leptopnya. Ia menuju kamar bacanya. Tak lama kemudian ia balik lagi kepada saya. Ia membawakan saya dua buah buku terbitan terbaru PUstaka puJAngga. Salah satu dari dua buku itu karya Samsudin Adlawi. Seorang wartawan Jawa Pos kelahiran Banyuwangi.
Buku itu merupakan suatu antologi tunggal dari Samsudin. Hati saya langsung terpikat ketika melihat cover buku tersebut. Cover yang mencerminkan judul antologinya. Yaitu Jaran Goyang. Dengan ilustrasi dua kuda bersayap, yang saling mengaitkat kaki depanya satu sama lain. Yang satu berwarna kuning keemasan, satu lainnya berwarna biru lembayung.
Saya lalu membuka buku itu. Dan membaca-baca kandungan isinya. Hati saya sempat bergoyang. Apalagi saat melihat para komentatornya. Yang memberi komentar adalah para penulis dan kritikus terkenal. Bahkan di antara mereka ada yang berasal dari luar negeri. Saya sempat minder dan berkecil hati dengan mereka. Mereka tengah menunjukkan antusiasme yang tinggi terhadap karya Samsudin.
Daisuke Miyoshi telah menyatakan bahwa puisi-puisi Samsudin adalah puisi yang sukses sebab maknanya telah sampai pada pembaca. Ini bukan puisi kosong dan layak dimaknai semua orang yang bertuhan. Anett Tapai mengatakan kalau dengan karya ini Samsudin layaknya Jalaluddin Rumi yang lahir di Banyuwangi. Ada lagi Ilham Zoebazary yang menegaskan bahwa puisi-puisi Samsudin segar, menaikan gairah, dan tak terkira kaya nuansa. Tengsoe Tjahjono juga menyatakan hal yang serupa, puisi-puisi Samsudin adalah puisi yang berhasil sebab tidak harus disusun dalam wacana yang rumit dan pilihan kata yang pelik, namun cukup diksi biasa yang oleh kecermatan merangkai jadilah teks yang menimbulkan gigil pada rasa, kenyang pada makna. Rida K Liamsi juga menyatakan bahwa membaca puisi-puisi Samsudin adalah membaca renungan yang dalam tentang hidup, tetapi dengan semangat yang nakal, kritis, sinis, bahkan bercanda. Samsudin berhasil menyampaikan renungannya dengan menggunakan simbol-simbol yang sangat ragam, ragam juga dalam tema sehingga sehingga dalam pesona kata, diksi, sehingga puisi-puisinya selain enak untuk direnungkan di dalam kesendirian, juga enak untuk dibaca dengan ekspresif.
Dengan adanya komentar-komentar semacam itu, antologi puisi ini tampak begitu hebatnya. Dahsyat. Sebab para komentatornya adalah orang-orang hebat dan orang-orang besar. Memang saya akui, saya juga menangkap hal yang sama seperti mereka ketika melakukan proses pembacaan antologi ini. Diksinya sederhana, tidak pelik, kritis, nakal, simbolnya beragam, temanya juga beragam. Tapi ada sedikit pesona sajak yang mengganggu pikiran saya. Saya dalam penyelaman, seolah-olah diajak kembali pada nuansa klasik persajakan. Ada beberapa puisi yang mengingatkan saya pada gaya angkatan Balaipustaka. Suasan seperti itu tampak terlihat dari sajak Air, Dansa Akar, Gua, Rokok, Rubaiyat Cinta, Sel Imut, dan Teman Sejati. Entah ini suatu kemunduran atau sebatas rotasi selera estetika persajakan. Gaya lama terhapus gaya yang baru, gaya baru kembali pada gaya yang lama. Seperti siang dan malam, berotasi seiring perjalanan zaman. Seperti manusia, kadang susah, kadang bahagia, kembali susah, dan bahagia lagi. Sesekali kaya, sesekali jatuh miskin, dan bangkit lagi. Ah namun ini hanya sisi kecil dari keragaman saja-sajak Samsudin saja.
Puisi-puisi Samsudin sangat variatif. Bisa dibilang yang diusung Samsudin dalam puisinya adalah kompleksitas masalah hidup dan kehidup. Hal itu tampaknya terpengaruh dari mobilitas Samsudin sendiri, yaitu sebagai seorang wartawan. Bisa jadi ia diilhami oleh peristiwa-peristiwa yang tengah digelutinya saban hari. Ia kerap bersinggungan dengan masyarakat yang lebih komplek dengan problematika hidup. Sehingga tema yang diangkat dalam puisinya turut beragam pula. Namun dalam pengungkapannya, sajak-sajak Samsudin terasa hambar dan kurang permenungan. Benar atau tidak, subjektivitas pembaca sendirilah yang merasakannya.
Saat membaca judul antologi ini, Jaran Goyang, memori saya kembali dibawa pada khasanah kejawen. Saya teringat akan mantra pengasihan orang Jawa. Konon dikisahkan, jika seseorang ingin menggaet hati lawan jenisnya, bagi orang Jawa bias merapal mantra pengasihan Jaran Goyang yang ditujukan langsung kepada orang yang dikehendaki. Usut punya usut, orang tersebut pun akan jatuh hati. Gandrung. Dan kesengsem.
Tampaknya citra mantra pengasihan itu melingkupi hadirnya antologi Samsudin ini. Samsudin bermaksud ingin menggaet hati setiap orang yang melihat dan membaca antologi puisinya. Dan itu terbukti dengan adanya komentar-komentar dari tokoh-tokoh kesusastraan di atas. Mereka pada gandrung dengan puisi-puisi Samsudin. Mungkin mereka juga tidak punya azimat penangkal Jaran Goyang Samsudin. Tapi entah dengan pembaca yang lain, punya azimat penangkal atau tidak. Yang jelas Jaran Goyangnya Samsudin begitu membius. Entah dari sisi apanya, pembacalah yang bakal menemukan daya usik di dalamnya.
Fenomena judul antologi ini dimantabkan dengan judul puisi yang berjudul Jaran Goyang. Dalam puisi tersebut diejawantahkan praktik ritual pengasihan jaran goyang. Dikisahkan bahwa ritual ini dilakukan pada waktu tengah malam. Orang yang melakukannya dalam kondisi telanjang bulat. Tanpa sehelai benang pun. Ini bukan berarti semata-mata telanjang fisik, melainkan juga mengarah pada kepolosan dan keikhlasan batin.
ini upacara malam // upacaranya badan tanpa sehelai benang // seperti malam yang senantiasa telanjang (Jaran Goyang, hal:45, bait 1).
Suasana yang dimunculkan pada upacara ini harus benar-benar dalam kondisi sunyi. Sepi. Senyap. Tanpa ada suatu suara pun yang mengusiknya. Suasana seperti itu tidak hanya tercipta dari lingkungan sekitar saja, melainkan kesunyian yang membawa pada kekhusukan batin pelakunya juga harus tercipta.
ini upacara sunyi // berjalan tanpa bunyi // berkata tanpa bunyi // menembus tembok sepi (Jaran Goyang, hal:45, bait 2).
Upacara ini adalah upacara yang bersifat pribadi. Jadi ritualnya harus dilakukan seorang diri. Yang muncul dalam upacara ini hanyalah hasrat dan kehendak batin pelakunya yang tertuju kepada hati orang yang dituju. Menebarkan mahabah atas nama cinta pada perjalanan hidup anak manusia.
ini upacara angin // tarik nafas hembus ingin (Jaran Goyang, hal:45, bait 3).
Ritual ini berusaha keras untuk mempengaruhi pikiran seseorang. Membutakan cara pandangnya sehingga yang terpikirkan dan tertuju hanyalah si dia. Orang yang terkena pengasihan jaran goyang biasanya akan bersifat lupa dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya. Bahkan lupa pada dirinya sendiri. Ia hanya gandrung dan kepikiran pada orang yang memantrainya. Hatinya akan menjadi luluh. Yang diingat hanya si dia. Bayang-bayang wajah si dia akan melingkupi seluruh jiwanya.
dengan mantra kucuci otaknya // dengan mantra kutusuk matanya // dengan mantra kuganti hatinya (Jaran Goyang, hal:45, bait 4).
Orang yang tengah terpikat dengan mantra jaran goyang, tanpa sadar dalam batinnya tumbuh benih-benih cinta. Suasana kasmaran akan membias tanpa batas. Sebagaimana Davis menyatakan fenomena orang yang kasmaran. Orang kasmaran selalu beranggapan bahwa; “semua harapan di kepala hanya tahu namamu, lembaran putih hatiku mengenalmu, jerit tubuhku agar utuh, tangis itu milikmu, darahku mencucurkan namamu, mengalir, deras, namamu, namamu”.
Ketika seseorang dalam suatu malam telah merapal mantra pengasihan, dalam sajak Samsudin dikisahkan bahwa keesokan harinya orang yang jadi sasaran mantra akan gelap mata. Yang terpikir hanyalah orang yang merapal mantra saja. Hati dan pikirannya gelap. Ia terhipnotis. Seolah-olah yang ada dalam batinnya hanyalah nama si dia. Pesonanya meruang dalam kepribadiannya.
matahari menjelang // menggendong sekeranjang // otak mata dan hati yang // di dalamnya aku meruang (Jaran Goyang, hal:45, bait 5).
Gambaran puisi yang berjudul Jaran Goyang begitu jelas memberi isyarah bahwa daya magis yang terpancar dari mantra jaran goyang dapat menjadikan batiniah seseorang luluh-lantak. Hati seseorang dapat dengan seketika menjadi gandrung dan benih-benih cinta pun semakin bermekaran di sana. Semoga dengan adanya penyematan judul antologi ini, yaitu Jaran Goyang, seluruh hati orang yang memandang dan membacanya jadi turut bergoyang. Layaknya anting-anting, gontai dan bergelayutan, jika tak tergenggam kedalamannya. Laksana sang kembara gurun yang haus kejernihan air telaga maknanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar