Udo Z. Karzi
http://www.lampungpost.com/
Saya membaca sebuah artikel Abdullah Khusairi di rubrik buku berjudul Membangun Malayu dengan Buku (Padang Ekspres, 30 November 2009). Isinya tentang sebuah pesta. Bukan pesta bir atau hura-hura. Tapi, pesta buku.
Malam Anugerah Sagang yang digelar Yayasan Sagang di Hotel Ibis, Pekan Baru, pertengahan bukan Oktober lalu. Sebanyak 13 kategori anugerah diserahkan kepada lembaga dan persona yang layak menerimanya. Tapi yang paling penting dari acara ini adalah bagaimana enam buku diluncurkan.
Enam buku itu, Perjalanan Kelekatu (kumpulan sajak) karya Rida K. Liamsi, Tamsil Syair Api (sajak pilihan Riau Pos 2008), Bulu Mata Susu (kumpulan puisi) karya Ramon Damora, Dunia Melayu dalam Novel Bulang Cahaya dan Tempuling kumpulan sajak karya Rida K. Liamsi, kritik sastra oleh UU Hamidy, Pipa Air Mata (kumpulan cerpen Riau Pos 2008), dan Kampung Kusta (kumpulan karya jurnalistik) Rida Award 2008.
Semuanya diterbitkan Yayasan Sagang. Yayasan yang didirikan Seniman Perdana Rida K. Liamsi.
Membaca artikel ini, pikiran saya "kembali pulang" ke Lampung. Karena ingatan saya tidak lekang dari Negeribatin di ujung selatan Pulau Sumatera itu, saya modifikasi saja judul tulisan itu menjadi Membangun Lampung dengan Buku.
Agak malu hati juga sebenarnya kalau membicarakan dunia perbukuan di Lampung. Apalagi hendak membandingkan dengan Riau; jangan dikata Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta.
***
Berdasarkan data--dokumentasi ala kadarnya dari berbagai berita koran, Lampung Post terutama--sepanjang dua tahun (2007-2008), Lampung menghasilkan tidak sampai tidak sampai 20 buku yang ditulis orang Lampung (setidaknya yang mengaku orang Lampung), baik yang berdomisili di Lampung maupun tinggal di luar Lampung, baik diterbitkan penerbit di Lampung maupun penerbit luar Lampung.
Tahun 2007, terdapat buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung (Fadilasari), 100 M Dari Gardu Pos Kota (antologi puisi, Dewan Kesenian Metro/DKM), Kumpulan Dongeng dari Kalianda (Rudi Suhaimi Kalianda), Setengah Abad Alzier (Himawan Ali Imron, Hasanuddin Z. Arifin, dan Hermansyah), Peri Kecil di Sungai Nipah (novel Dyah Merta) Bau Betina (kumpulan sajak, Binhad Nurrohmat), Sastra Perkelaminan (kumpulan esai Binhad Nurrohmat), Laut Akhir (kumpulan sajak Isbedy Stiawan Z.S.), Lelaki yang Membawa Matahari (kumpulan sajak Isbedy Stiawan Z.S.), Goran (novel Imelda A. Sanjaya), dan Mak Dawah Mak Dibingi (kumpulan sajak Lampung Udo Z. Karzi).
Tahun ini, sampai dengan pertengahan Desember 2008, terdapat buku-buku Demonstran Sexy (kumpulan sajak Binhad Nurrohmat), The Bed Horse, Kuda Ranjang (kumpulan sajak dwibahasa Inggris-Indonesia Binhad Nurrohmat), Setiap Baris Hujan (kumpulan sajak Isbedy Stiawan Z.S.), 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional (Heri Wardoyo dkk.), Depo Manggarai (novel Nazaruddin), Luka di Champs Elysees (novel Rosita Sihombing), dan Gema Secuil Batu (kumpulan sajak Iswadi Pratama). Sebuah buku lagi, Menuju visi Indonesia 2030, Konstruksi Lampung Prespective (Mustafa), saya tidak tahu penerbit dan tahun terbitnya.
Lalu, Dewan Kesenian Bandar Lampung (DKBL) diberitakan (Lampung Post, 3-2) akan menerbitkan buku legenda yang berkembang dalam masyarakat. Waktu itu, yang sedang dipersiapkan, Legenda Sumur Putri. Tapi, sudah terbit atau belum, saya tidak tahu kabarnya.
Dari jauh, saya mendengar kabar dalam waktu dekat ini Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Teknokra Universitas Lampung (Unila) tengah mempersiapkan buku sejarah Teknokra. Dan, BE Press, sebuah penerbitan di Bandar Lampung memiliki perhatian khusus terhadap khazanah lokal Lampung mempersiapkan dua buku berbahasa Lampung, yaitu Cerita-Cerita jak Bandar Negeri Semuong (kumpulan cerita Asarpin Aslami) dan Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan (kumpulan sajak Oky Sanjaya).
Dalam pengetahuan saya, setidaknya ada dua lagi nama penulis kelahiran Lampung yang produktif melahirkan buku, yaitu Anjar (Bandung) dan Eko Sugiarto (Semarang). Beberapa rekan asal Lampung, kabarnya, meski tidak berdomisili di Lampung juga menjadi penulis, bahkan memiliki penerbit sendiri.
Dari buku-buku yang disebut tadi, saya hanya menemukan nama Matakata, BE Press, dan Sijado sebagai penerbit buku di Lampung. Sebelumnya, beberapa penerbit Lampung sempat melahirkan buku: Universitas Lampung Press, Teknokra, Dewan Kesenian Lampung (DKL), Bumilada, Pustaka Melayu, Warna, Jung Foundation, dan beberapa LSM. Data ini tidak memasukkan penerbitan proyek yang diselenggarakan pemerintah karena tidak beredar di masyarakat umum, tidak dijual, dan distribusi yang terbatas.
Data ini, boleh jadi, jauh dari akurat. Selain saya tidak memiliki buku-buku tersebut, saya juga tidak memiliki akses informasi yang memadai. Tapi, apa pun, tulisan ini sebenarnya hanya semacam ingatan dan/atau untuk mengingatkan saja.
***
Kembali kepada gagasan membangun Lampung dengan buku, agaknya pikiran ini jauh dari populer. Sepanjang tahun 2008 dan 2009, energi orang Lampung sepertinya telah dan akan terkuras untuk hal-hal yang lebih konkrit dan lebih praktis. Pemilihan kepada daerah (pilkada) tahun 2008 dan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 lebih jelas kontribusinya untuk kehidupan dan penghidupan bagian sebagian orang. Proyek-proyek fisik yang menelan jutaan bahkan miliaran rupiah tentu lebih nyata juntrungannya. Jangan kata ada momentum pilkada dan pemilu, dalam kondisi normal sekalipun, sedikit sekali yang konsen dengan kerja-kerja budaya dan intelektual.
Namun sekecil apa pun, saya masih berharap ada pihak-pihak yang sedikit peduli dengan kerja-kerja budaya dan intelektual semacam menerbitkan buku. Masyarakat Lampung, saya pikir, harus berterima kasih banyak kepada Isbedy Stiawan Z.S. yang produktif menghasilkan buku-buku karya sastra. Secara tidak langsung, Isbedy telah memperkenalkan (kebudayaan) Lampung ke berbagai belahan bumi dan menyumbang pemikiran yang tidak sedikit bagi pembangunan Lampung melalui karyanya (baca: buku).
Selebihnya, ada juga Panji Utama, Binhad Nurrohmat, M. Arman A.Z., Dyah Merta, Y. Wibowo, Dina Oktaviani, dan lain-lain yang tadi sudah disebut-sebut. Dan, yang paling anyar, Iswadi Pratama (dengan gegap gempita saya sambut buku puisi perdanamu, Gema Secuil Batu). Yang lain, semoga menyusul melahirkan buku.
Pertanyaannya, mengapa harus buku? Soalnya, intelektualitas--tanpa harus mengutip sesiapa pun--sangat lekat dengan pemikiran dalam bidang apa pun (sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya). Pemikiran yang komprehensif, sistematis, dan tentu saja gampang dikutip adalah pemikiran yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Tulisan pendek (sebuah artikel, sebuah puisi, sebuah cerpen), hanyalah sepercik pemikiran dari sebuah gagasan yang luas dari si penulis. Maka, agar pemikiran seorang menjadi utuh, setidaknya berupaya mencapai utuh, dia harus dibukukan.
Membangun Lampung dengan buku, dengan demikian, sebuah upaya membangun Lampung dengan pemikiran yang lebih komprehensif, sistematis, dan utuh; yang dilakukan seorang penulis, sastrawan, budayawan, pemikir, intelektual atau cendekiawan. Semua profesi ini dalam tataran yang setara: menulis dan menerbitkan buku.
Bagi kebanyakan orang (biasanya disebut awam) mungkin sama sekali tidak terpikirkan untuk membangun Lampung dengan buku. Intelektualitas dan buku memang sebuah upaya untuk tidak menjadi awam, menjadi orang kebanyakan. Upaya menulis buku secara kasat mata memang tidak menguntungkan, tetapi Lampung akan mendapatkan manfaat yang lebih besar dari gagasan-gagasan yang dielaborasi dalam buku. Dalam bahasa yang sekarang populer: menjadi inspirasi (inspiring) bagi pembangunan Lampung.
***
Secara khusus, saya hendak menyinggung sedikit tentang sebuah tradisi baru. Setelah Hadiah Sastera Rancage 2008 diberikan sastra Lampung, tidak bisa tidak setiap tahun harus ada buku sastra Lampung yang masuk penilaian Rancage. Sebab, sejak 2008 Yayasan Kebudayaan Rancage akan rutin memberikan Hadiah Rancage untuk sastra empat bahasa Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung. Dengan kata lain, tidak ada pilihan lain, Lampung harus menerbitkan buku sasta Lampung minimal satu buku satu tahun. Tidak boleh putus. Ini serius.
Dalam sebuah wawancara (The Jakarta Post, 11 Februari 2008), saya mengatakan kondisi ini sebagai kabar gembira untuk sastra dan sastrawan Lampung sekaligus tantangan yang tidak mudah. Soalnya menerbitkan buku sastra Lampung jelas tak untung. Karena itu, pemerintah daerah, penerbit buku, perguruan tinggi, usahawan, sastrawan, dan masyarakat Lampung harus benar-benar mau menyisihkan waktu, tenaga, dan dana untuk membangun tradisi baru bahasa dan sastra Lampung: menulis dan menerbitkan sastra Lampung!
***
Upaya membangun dunia perbukuan di Lampung dan sekaligus juga mendorong kemajuan Lampung melalui dunia pemikiran (buku) memang tidak mudah. Tapi, bukan hal yang utopis. Pengembangan perbukuan di Lampung harus melibatkan banyak pihak. Mari memajukan Lampung dengan buku.
*)Editor pada BE Press, Bandar Lampung, sementara ini tinggal di Pangkalan Bun, Kalteng
http://www.lampungpost.com/
Saya membaca sebuah artikel Abdullah Khusairi di rubrik buku berjudul Membangun Malayu dengan Buku (Padang Ekspres, 30 November 2009). Isinya tentang sebuah pesta. Bukan pesta bir atau hura-hura. Tapi, pesta buku.
Malam Anugerah Sagang yang digelar Yayasan Sagang di Hotel Ibis, Pekan Baru, pertengahan bukan Oktober lalu. Sebanyak 13 kategori anugerah diserahkan kepada lembaga dan persona yang layak menerimanya. Tapi yang paling penting dari acara ini adalah bagaimana enam buku diluncurkan.
Enam buku itu, Perjalanan Kelekatu (kumpulan sajak) karya Rida K. Liamsi, Tamsil Syair Api (sajak pilihan Riau Pos 2008), Bulu Mata Susu (kumpulan puisi) karya Ramon Damora, Dunia Melayu dalam Novel Bulang Cahaya dan Tempuling kumpulan sajak karya Rida K. Liamsi, kritik sastra oleh UU Hamidy, Pipa Air Mata (kumpulan cerpen Riau Pos 2008), dan Kampung Kusta (kumpulan karya jurnalistik) Rida Award 2008.
Semuanya diterbitkan Yayasan Sagang. Yayasan yang didirikan Seniman Perdana Rida K. Liamsi.
Membaca artikel ini, pikiran saya "kembali pulang" ke Lampung. Karena ingatan saya tidak lekang dari Negeribatin di ujung selatan Pulau Sumatera itu, saya modifikasi saja judul tulisan itu menjadi Membangun Lampung dengan Buku.
Agak malu hati juga sebenarnya kalau membicarakan dunia perbukuan di Lampung. Apalagi hendak membandingkan dengan Riau; jangan dikata Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta.
***
Berdasarkan data--dokumentasi ala kadarnya dari berbagai berita koran, Lampung Post terutama--sepanjang dua tahun (2007-2008), Lampung menghasilkan tidak sampai tidak sampai 20 buku yang ditulis orang Lampung (setidaknya yang mengaku orang Lampung), baik yang berdomisili di Lampung maupun tinggal di luar Lampung, baik diterbitkan penerbit di Lampung maupun penerbit luar Lampung.
Tahun 2007, terdapat buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung (Fadilasari), 100 M Dari Gardu Pos Kota (antologi puisi, Dewan Kesenian Metro/DKM), Kumpulan Dongeng dari Kalianda (Rudi Suhaimi Kalianda), Setengah Abad Alzier (Himawan Ali Imron, Hasanuddin Z. Arifin, dan Hermansyah), Peri Kecil di Sungai Nipah (novel Dyah Merta) Bau Betina (kumpulan sajak, Binhad Nurrohmat), Sastra Perkelaminan (kumpulan esai Binhad Nurrohmat), Laut Akhir (kumpulan sajak Isbedy Stiawan Z.S.), Lelaki yang Membawa Matahari (kumpulan sajak Isbedy Stiawan Z.S.), Goran (novel Imelda A. Sanjaya), dan Mak Dawah Mak Dibingi (kumpulan sajak Lampung Udo Z. Karzi).
Tahun ini, sampai dengan pertengahan Desember 2008, terdapat buku-buku Demonstran Sexy (kumpulan sajak Binhad Nurrohmat), The Bed Horse, Kuda Ranjang (kumpulan sajak dwibahasa Inggris-Indonesia Binhad Nurrohmat), Setiap Baris Hujan (kumpulan sajak Isbedy Stiawan Z.S.), 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional (Heri Wardoyo dkk.), Depo Manggarai (novel Nazaruddin), Luka di Champs Elysees (novel Rosita Sihombing), dan Gema Secuil Batu (kumpulan sajak Iswadi Pratama). Sebuah buku lagi, Menuju visi Indonesia 2030, Konstruksi Lampung Prespective (Mustafa), saya tidak tahu penerbit dan tahun terbitnya.
Lalu, Dewan Kesenian Bandar Lampung (DKBL) diberitakan (Lampung Post, 3-2) akan menerbitkan buku legenda yang berkembang dalam masyarakat. Waktu itu, yang sedang dipersiapkan, Legenda Sumur Putri. Tapi, sudah terbit atau belum, saya tidak tahu kabarnya.
Dari jauh, saya mendengar kabar dalam waktu dekat ini Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Teknokra Universitas Lampung (Unila) tengah mempersiapkan buku sejarah Teknokra. Dan, BE Press, sebuah penerbitan di Bandar Lampung memiliki perhatian khusus terhadap khazanah lokal Lampung mempersiapkan dua buku berbahasa Lampung, yaitu Cerita-Cerita jak Bandar Negeri Semuong (kumpulan cerita Asarpin Aslami) dan Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan (kumpulan sajak Oky Sanjaya).
Dalam pengetahuan saya, setidaknya ada dua lagi nama penulis kelahiran Lampung yang produktif melahirkan buku, yaitu Anjar (Bandung) dan Eko Sugiarto (Semarang). Beberapa rekan asal Lampung, kabarnya, meski tidak berdomisili di Lampung juga menjadi penulis, bahkan memiliki penerbit sendiri.
Dari buku-buku yang disebut tadi, saya hanya menemukan nama Matakata, BE Press, dan Sijado sebagai penerbit buku di Lampung. Sebelumnya, beberapa penerbit Lampung sempat melahirkan buku: Universitas Lampung Press, Teknokra, Dewan Kesenian Lampung (DKL), Bumilada, Pustaka Melayu, Warna, Jung Foundation, dan beberapa LSM. Data ini tidak memasukkan penerbitan proyek yang diselenggarakan pemerintah karena tidak beredar di masyarakat umum, tidak dijual, dan distribusi yang terbatas.
Data ini, boleh jadi, jauh dari akurat. Selain saya tidak memiliki buku-buku tersebut, saya juga tidak memiliki akses informasi yang memadai. Tapi, apa pun, tulisan ini sebenarnya hanya semacam ingatan dan/atau untuk mengingatkan saja.
***
Kembali kepada gagasan membangun Lampung dengan buku, agaknya pikiran ini jauh dari populer. Sepanjang tahun 2008 dan 2009, energi orang Lampung sepertinya telah dan akan terkuras untuk hal-hal yang lebih konkrit dan lebih praktis. Pemilihan kepada daerah (pilkada) tahun 2008 dan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 lebih jelas kontribusinya untuk kehidupan dan penghidupan bagian sebagian orang. Proyek-proyek fisik yang menelan jutaan bahkan miliaran rupiah tentu lebih nyata juntrungannya. Jangan kata ada momentum pilkada dan pemilu, dalam kondisi normal sekalipun, sedikit sekali yang konsen dengan kerja-kerja budaya dan intelektual.
Namun sekecil apa pun, saya masih berharap ada pihak-pihak yang sedikit peduli dengan kerja-kerja budaya dan intelektual semacam menerbitkan buku. Masyarakat Lampung, saya pikir, harus berterima kasih banyak kepada Isbedy Stiawan Z.S. yang produktif menghasilkan buku-buku karya sastra. Secara tidak langsung, Isbedy telah memperkenalkan (kebudayaan) Lampung ke berbagai belahan bumi dan menyumbang pemikiran yang tidak sedikit bagi pembangunan Lampung melalui karyanya (baca: buku).
Selebihnya, ada juga Panji Utama, Binhad Nurrohmat, M. Arman A.Z., Dyah Merta, Y. Wibowo, Dina Oktaviani, dan lain-lain yang tadi sudah disebut-sebut. Dan, yang paling anyar, Iswadi Pratama (dengan gegap gempita saya sambut buku puisi perdanamu, Gema Secuil Batu). Yang lain, semoga menyusul melahirkan buku.
Pertanyaannya, mengapa harus buku? Soalnya, intelektualitas--tanpa harus mengutip sesiapa pun--sangat lekat dengan pemikiran dalam bidang apa pun (sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya). Pemikiran yang komprehensif, sistematis, dan tentu saja gampang dikutip adalah pemikiran yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Tulisan pendek (sebuah artikel, sebuah puisi, sebuah cerpen), hanyalah sepercik pemikiran dari sebuah gagasan yang luas dari si penulis. Maka, agar pemikiran seorang menjadi utuh, setidaknya berupaya mencapai utuh, dia harus dibukukan.
Membangun Lampung dengan buku, dengan demikian, sebuah upaya membangun Lampung dengan pemikiran yang lebih komprehensif, sistematis, dan utuh; yang dilakukan seorang penulis, sastrawan, budayawan, pemikir, intelektual atau cendekiawan. Semua profesi ini dalam tataran yang setara: menulis dan menerbitkan buku.
Bagi kebanyakan orang (biasanya disebut awam) mungkin sama sekali tidak terpikirkan untuk membangun Lampung dengan buku. Intelektualitas dan buku memang sebuah upaya untuk tidak menjadi awam, menjadi orang kebanyakan. Upaya menulis buku secara kasat mata memang tidak menguntungkan, tetapi Lampung akan mendapatkan manfaat yang lebih besar dari gagasan-gagasan yang dielaborasi dalam buku. Dalam bahasa yang sekarang populer: menjadi inspirasi (inspiring) bagi pembangunan Lampung.
***
Secara khusus, saya hendak menyinggung sedikit tentang sebuah tradisi baru. Setelah Hadiah Sastera Rancage 2008 diberikan sastra Lampung, tidak bisa tidak setiap tahun harus ada buku sastra Lampung yang masuk penilaian Rancage. Sebab, sejak 2008 Yayasan Kebudayaan Rancage akan rutin memberikan Hadiah Rancage untuk sastra empat bahasa Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung. Dengan kata lain, tidak ada pilihan lain, Lampung harus menerbitkan buku sasta Lampung minimal satu buku satu tahun. Tidak boleh putus. Ini serius.
Dalam sebuah wawancara (The Jakarta Post, 11 Februari 2008), saya mengatakan kondisi ini sebagai kabar gembira untuk sastra dan sastrawan Lampung sekaligus tantangan yang tidak mudah. Soalnya menerbitkan buku sastra Lampung jelas tak untung. Karena itu, pemerintah daerah, penerbit buku, perguruan tinggi, usahawan, sastrawan, dan masyarakat Lampung harus benar-benar mau menyisihkan waktu, tenaga, dan dana untuk membangun tradisi baru bahasa dan sastra Lampung: menulis dan menerbitkan sastra Lampung!
***
Upaya membangun dunia perbukuan di Lampung dan sekaligus juga mendorong kemajuan Lampung melalui dunia pemikiran (buku) memang tidak mudah. Tapi, bukan hal yang utopis. Pengembangan perbukuan di Lampung harus melibatkan banyak pihak. Mari memajukan Lampung dengan buku.
*)Editor pada BE Press, Bandar Lampung, sementara ini tinggal di Pangkalan Bun, Kalteng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar