Sabtu, 26 Februari 2011

WATU PRAHU

Jayaning S.A
http://sastra-indonesia.com/

Kata ibuku, batu itu sudah ada di sana sejak pertama kali ibuku datang ke daerah ini. Ya, sebuah batu hitam memanjang berbentuk seperti perahu tertangkup yang ada di kaki bukit, tak sampai berjarak puluhan meter dari pintu rumahku.

Batu itu bisa kulongok tiap saat dari jendela depan rumah, asalkan bukan malam hari. Tampak jelas di antara pohon-pohon kurus yang tumbuh jarang di sekitarnya.


Saat kecil dulu, aku pernah beberapa kali bermain di sekitarnya, bersama teman-teman sepermainanku. Kami duduk sambil sesekali menggosok-gosok permukaannya yang tampak berkilat saking halusnya. Kau tahu, halusnya seperti hasil tatahan tangan-tangan ahli yang mengerti benar seperti isi hati si batu, hingga pahatannyapun jadi sedemikian sempurna.

Hingga suatu kali, kami yang penasaran berunding untuk menentukan siapa yang dapat giliran. Temanku yang kena giliran bertanya begini pada ibunya, “Lihat Bu, kenapa ada batu sebagus itu di bukit sana?” sambil telunjuknya mengarah pada batu itu.

“Husy, jangan tunjuk-tunjuk. Nanti jin penunggu bukitnya marah, bisa kuwalat,” kata si ibu sambil menampik tangan putra kecilnya.

Temanku langsung diam. Kami yang sedang duduk di pelataran rumahnya, di dekat anak-beranak itu, sempat mendengar. Sejak itu, walaupun sering bermain di bukit, kami tak pernah mendekati batu itu. Kami hanya memandangnya, lalu cepat-cepat menjauh.

Sampai terakhir kali kami bermain bersama di bukit, kami saling menyalahkan kenapa dulu tertarik mempertanyakan batu itu. Seandainya tak pernah bertanya, kami tak perlu kehilangan salah satu tempat singgah sehabis bermain.

Dan sekarang, ketika adik bungsuku dan teman-temannya asyik bermain di sekitar batu hitam itu, aku hanya bisa melihat dari balik jendela. Sebenarnya aku ingin mengingatkan, karena aku takut terjadi apa-apa. Tapi bagaimana ya, aku sendiri juga tak terlalu percaya.

Akhirnya, aku diam saja.
Entah kenapa aku selalu lupa bertanya pada ayahku yang mungkin lebih tahu. Dan sayangnya, aku terlalu takut untuk mencari tahu sendiri.
***

Seorang lelaki muda memacu kudanya kencang-kencang ke barat, melintasi kerimbunan hutan yang makin menipis. Keringatnya mengembun, wajahnya pias. Ia tak menatap manapun kecuali ke depan. Nanar. Sang kuda tungganganpun sepertinya paham kegelisahan tuannya. Ia melesat, semata-mata menuruti kehendak tuannya.

“Demi keselamatan Raden Pancanaka, kita harus cepat, Jabrik.” Pria muda itu mengelus kudanya, sambil tetap memacunya kencang-kencang.

Maka sang kuda tunggangan makin cepat melesat.
Lelaki muda itu tersenyum. Sekilat binar tampak di matanya. Tatapannya bertumpu pada setitik bayangan gapura nun jauh di sana. Beberapa orang menyunggi pikulan lewat di pinggir jalan setapak yang dilewatinya.

Ditepuknya leher kudanya, “Perdikan sudah dekat. Kau bisa istirahat sepuasnya di istal nanti.”

Si kuda meringkik, mengibaskan ekornya. Laju larinya sedikit melambat. Makin banyak orang berseliweran melintas.

Dua lelaki memalangkan tombak di tengah gapura. Tubuh mereka berisi, wajah mereka garang. Si lelaki muda turun dari kudanya, kemudian terlibat pembicaraan singkat dengan dua pemilik wajah garang.

Dua orang itu minggir, memberi jalan. Segera saja, si lelaki muda melesat dengan tunggangannya.

Ia memacu tunggangannya ke kediaman sang junjungan, Raden Pancanaka. Ia menepuk leher tunggangannya. Kudanya meringkik keras, sambil mengangkat kaki-kaki depannya ke atas. Sekejap, kemudian melesat masuk ke halaman pendopo terbesar di tengah perdikan.

Seorang penjaga berusia paruh baya menyambut kedatangannya. Dan si lelaki meyerahkan kudanya.

“Apa Raden Pancanaka ada di kediamannya?”
“Inggih, Gusti. Gusti Raden Pancanaka baru saja pulang dari meninjau keadaan perdikan,” sahut si penjaga sambil menghaturkan sembah.

“Saya akan sampaikan kedatangan Raden pada Gusti Raden Pancanaka.” Sekali lagi lelaki itu menghaturkan sembah.

“Tidak perlu, Ki,” lelaki muda itu tersenyum. “Raden Pancanaka sudah tahu kedatanganku.”

Penjaga itu berbalik, menghaturkan sembah ketika pandangannya jatuh pada lelaki bersahaja yang berdiri di tangga paling atas pendopo. Lelaki muda itu merunduk, berjalan mendekat pada sang lelaki priyayi.

“Sembah hamba Gusti, hamba datang untuk menyampaikan kabar dari ibukota.”

Sang lelaki priyayi yang tak lain adalah Raden Pancanaka diam. Dia berjalan tenang ke singgasananya. Si lelaki muda beringsut mengikutinya.

Tak ada orang lain di pendopo itu.
“Kabar apa yang kau bawa, Panca?”
“Sembah hamba Gusti, hamba ingin menyampaikan kabar tentang tanah perdikan kita.”

Lelaki muda itu, sekali lagi, menghaturkan sembah.
Sinar mentari makin meredup. Namun, belum ada seorangpun yang datang ke pendopo untuk menyalakan dian. Bayang-bayang dua orang itu jatuh ke timur, menambah kesan suwung pendopo itu.

“Katakan Panca, kabar apa yang kau bawa dari ibukota,” suara berat Raden Pancanaka menggetarkan sunyi di pendopo itu.

“Ampun Raden, kakanda Gusti sudah mengetahui bahwa Gusti sekeluarga bersembunyi di perdikan ini. Kakanda Gusti berencana mengerahkan pasukan kemari dalam waktu dekat ini.”

Lelaki yang disebut Panca itu menghaturkan sembah.
Raden Pancanaka turun dari singgasananya, berjalan bolak-balik di pendopo perdikan yang makin temaram.

“Mereka pasti takkan segan menghabisi nyawa seluruh penduduk untuk menemukanku, Panca.”

“Inggih Gusti.”
“Rakyat perdikan ini sudah terlalu berjasa padaku. Aku tak bisa membiarkan mereka berkorban lebih banyak lagi.”

Pandangan Raden Pancanaka menerawang.
“Menurutmu, apa yang harus kulakukan Panca?”

“Ampun Gusti, mungkin lebih bijaksana jika gusti memerintahkan seluruh rakyat untuk pindah ke kadipaten lain secara terpencar. Agar orang-orang tak curiga bahwa mereka datang dari perdikan ini.”

“Kau benar Panca. Tapi apakah kau yakin mereka akan mau menuruti titahku ini?”

“Ampun Gusti, menurut pemikiran hamba, seorang abdi yang setia akan taat dengan titah junjungannya.”

“Kau benar Panca, tapi tidakkah seorang abdi yang setia itu yang mengikuti kemanapun junjungannya pergi?”

“Sembah hamba Gusti, hamba yakin Gusti lebih mengerti.”
“Kumpulkan para abdiku, Panca. Kumpulkan juga seluruh rakyat perdikan ini. Kita akan berikan pilihan ini, dan biarlah mereka memilih sendiri.”

“Sendiko dawuh Gusti.”
Panca beringsut meninggalkan pendopo. Meninggalkan Raden Pancanaka yang termenung sendirian.
***

Rek-erek kambil endhek,
Wong Nggalek tudung cowek,
Coweke mambu telek,
……………

Dadaku terasa penuh. Sungguh. Mungkin sebentar lagi meledak, jadi debu. Sial!
Aku baru tahu jika ada lagu daerah yang bunyinya begitu. Kemarin ayahku yang memberitahu tentang lagu itu, ketika beliau sedang bercerita tentang masa kecilnya. Sungguh, aku tidak bisa terima. Apalagi Mbah Buyut yang mengajarkan itu.

Siapa yang membuat lagu seperti itu. Merendahkan sekali.
Ibuku pernah berspekulasi tentang sebab musabab kenapa sebegitu konservatifnya masyarakat daerahku terhadap perubahan adalah perasaan takut dan tertekan yang dialami turun temurun karena peristiwa kudeta di jaman Kerajaan Mataram dulu. Orang terkudeta yang lari ke daerahku itu selalu dibayangi ketakutan bahwa prajurit si pengkudeta senantiasa berjaga di balik lingkar pegunungan, menanti kami keluar dan siap menghabisi. Hingga akhirnya si terkudeta dan para pengikutnya memilih untuk tidak pernah keluar dari lingkar pegunungan ini dan melarang anak-anaknya untuk merantau terlalu jauh.

Ketakutan itu ditanam dan tertanamkan turun temurun generasi demi generasi, menjadi ketakutan yang terwariskan.

Ada bukti sejarah yang mengatakan bahwa si terkudeta itu memang lari ke daerah kami, kemudian mengirimkan teliksandinya untuk selalu mengawasi gerak-gerik kami. Tapi tak pernah ada spekulasi tafsir sejarah yang membahas sampai sedetail itu.

Seandainya aku grusa-grusu menelan mentah-mentah spekulasi Ibuku, mungkin aku akan membenci leluhurku, orang-orang yang telah membawa kami –keturunannya- terlahir di tanah ini. Menyalahkan mereka dan mengecam keputusan mereka yang membuat kehidupan kami seperti ini.

Dan lagu erek erek kambil endhek itu, harus dihapus sebersih-bersihnya dari ingatan sejarah. Tak boleh lagi ada yang tahu, apalagi mengajarkan itu.
***

Lelaki muda itu tercenung. Sorot matanya layu, sendu, sesendu hutan yang tak bersedia tertembus sinar surya.

“Jika engkau sudah sampai di lingkaran gunung yang dibelah rawa di salah satu sisinya, masuklah dengan mendaki salah satu gunung. Di baliknya, itulah tempat yang kalian tuju.”

Kata-kata itu terus saja terngiang.
Ya, akhirnya Raden Pancanaka memilih untuk tinggal dan menyambut kedatangan prajurit utusan Raden Balungan. Sedang lelaki muda itu, ia diutus untuk mengungsikan penduduk perdikan ke tanah di timur sana, tempat yang dikatakan Raden Pancanaka lebih menjanjikan keamanan.

Sang junjungan memang berjanji untuk segera menyusul rombongan penduduk. Namun lelaki muda itu gelisah, semua orang yang dekat dengan Raden Balungan pasti mengerti bahwa bukan wataknya untuk mengampuni orang yang dianggap mengancam kuasanya.

Ia tak yakin Raden Pancanaka akan menyusul.
Ia sudah tahu mengapa Raden Pancanaka memilih untuk tinggal. Ya, junjungannya itu pasti berfikiran bahwa tetap tinggal akan membuat pengungsian penduduk perdikan lepas dari incaran prajurit saudara tirinya itu.

Pandangannya tak lepas dari bocah kecil yang berjalan di depannya. Raut mudanya sama sekali tak menampakkan kekalutan akan perpisahan dengan ayah bundanya.

Ah, Raden Trijata, betapa bersahajanya engkau, desis sang pria muda. Seandainya Raden Balungan tahu bahwa putra tunggal Raden Pancanaka ini ada bersama kami, pengorbanan ayahanda dan ibundamu mungkin tak berarti apa-apa. Dia takkan lepaskan.

“Paman Panca, lihat batu itu?”
Pandangan pria muda itu beralih, pada sesuatu yang ditunjuk jari-jari mungil Trijata.

“Mengapa di sekeliling batu itu berkabut, Paman?” Trijata menarik-narik tangannya.

Kening lelaki muda itu berkerut. Pegunungan memang dingin. Tapi hari masih sore, dan pastinya tak terlalu dingin hingga membentuk kabut putih tebal. Diikutinya Trijata yang berjalan ke sana.

Semakin dekat, lapisan kabut itu semakin tipis. Pepohonan di baliknya tampak jarang. Padahal hutan ini, yang di lereng gunung ini, seharusnya pepohonannya lebat.

Sesosok tubuh samar-samar mendekat dari kejauhan. Lalu berhenti. Trijata dan sang pria muda, melangkah lebih jauh dalam kabut.

Bayangan itu mengitari batu, melewati mereka. Sikapnya seolah-olah tak sadar pada kehadiran dua orang itu.

“Paman, kenapa dia tak menoleh pada kita?” Trijata menarik tangan si lelaki muda.
“Hamba tidak tahu Raden.”

Tanpa menunggu si lelaki muda, Trijata mendekat. Lebih dekat, sampai seonggok batu hitam berbentuk perahu menghalangi langkahnya. Diulurkannya tangannya melewati atas batu itu, berupaya meraih bayangan yang kemudian tampak sebagai sosok perempuan. Tapi sosok itu malah diam, tak bergerak. Si lelaki muda yang ikut merasakan keanehan turut mengulurkan tangan.

Sosok itu masih terpaku. Matanya menyipit, hingga satu sentakan membuatnya terjengkang ke belakang.
***

Untuk kesekian kalinya aku memandangi batu hitam itu dari kejauhan. Batu hitam yang sama dengan batu hitam yang kulihat lima tahun lalu, juga masih di tempat yang sama. Tak berpindah. Hanya saja, sekelilingnya tak lagi ditumbuhi pohon jati yang sering menyumbang bentol-bentol di kulitku saat musim ulat. Tergantikan dengan tanah meranggas yang jadi jalan bagi si mobil pribadi menuju garasi.

Untungnya, garasi untuk mobil pribadi itu dibangun agak ke selatan. Sehingga hobiku memandanginya itu tak terhalang.

Ah, sudah bertahun-tahun rupanya sejak pikiran tentang batu itu pertama kali muncul. Bertahun-tahun pula kubiarkan terbenam di satu sudut tersembunyi di dalam rongga otakku, karena tak pernah kucari jawabannya. Tentang alasannya, aku sendiri juga tak tahu. Padahal jaraknya hanya beberapa meter dari rumahku.

Tapi, he..he..he.. Sepertinya aku salah satu korban cerita ibu temanku waktu dulu.
Fiuh, batu ya batu. Tak lebih dari itu.

Sekarang aku sudah dewasa. Sudah lebih banyak belajar tentang masyarakatku. Dan yang harus kuyakini : batu ya batu. Tak lebih dari itu. Meskipun dinamai Watu Prahu, batu berlian, batu akik, terserahlah. Kecuali sebuah kenyataan bahwa batu juga ciptaan Tuhan yang menjadi bagian dari alam. Jin penunggu atau apapun sejenis itu, juga makhluk Tuhan. Punya alamnya masing-masing. Percayalah, mereka tidak akan mengganggu selama kita tak mengganggu.

“Dongeng biar saja jadi dongeng. Tak usah dipikirkan. Orang modern kok percaya begituan.”

Yap, benar sekali. Kukenakan alas kaki, kemudian melangkah mantap –sebenarnya ragu, tapi sedikit saja- ke arah batu itu.

Batu itu tinggal berjarak satu meter dariku.
“Lihat, sama dengan batu-batu lainnya. Aku malah tak tahu dilihat darimana batu ini sehingga disebut-sebut berbentuk perahu,” desisku agak keras.

Kukelilingi batu itu, kuamati pelan-pelan tanpa menyentuh. Tak berubah. Hanya kelihatan lebih kecil. Mungkin terkikis air, hujan, panas, atau segala macam proses alam yang terjadi secara terus menerus. Aku jongkok, kuraba permukaanmu. Halus seperti dulu. Aku berdiri lagi.

“Lihat baik-baik sekali lagi, Lia. Tak ada apa-apa. Orang-orang dewasa saat kau kecil dulu hanya menciptakan mitos supaya anak-anaknya tak keluyuran keluar masuk hutan tanpa ditemani orang dewasa. Oke, finish. Sekarang, out.”

Mentari menjelma oranye di barat sana. Aku hampir berbalik ketika kusadari sesuatu yang agak aneh. Ada kabut tipis.

Pohon-pohon di belakang batu itu menjadi lebih besar, lebih teduh, lebih rapat. Tampak dua bayangan samar manusia di antara kabut.

Kukucek-kucek mataku. Bayangan dua orang itu makin jelas. Berjalan ke arahku. Kukucek mataku sekali lagi. Tak berubah, mereka masih disana.

Seorang pria muda dan anak kecil seumuran adik bungsuku. Si anak tersenyum, lalu mengulurkan tangan mungilnya. Kulihat pria muda yang berdiri di belakang anak itu. Keningnya berkerut. Sedikit keterkejutan terpancar di wajahnya.

Di tengah kebingunganku, samar-samar kudengar anak kecil itu bicara. Aku tak paham yang dikatakannya. Entah karena degub jantungku yang tak karuan, atau ketakutanku yang memuncak. Hanya satu kata yang sempat singgah di telingaku.

”…..Trijata…”
Tangan anak lelaki itu masih terulur, seakan menungguku menyambutnya. Dan aku, tubuhku kaku. Lidahku kelu.

Pria muda itu diam. Lalu menyentuh pundak si anak. Kelihatannya ia juga bicara, namun tak tertangkap telingaku.

Aku betul-betul panik ketika sayup-sayup terdengar seseorang melantunkan lagu yang dulu kerapkali didendangkan oleh kakekku. Bersahutan.

Kutho Trenggalek, Kutho Trenggalek
Kinubengan gunung-gunung,
Tepung gelang bumine
………………………………………….

Mentari makin oranye, namun kabut semakin tipis.
***

Malang, 4 Mei 2008

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Alexander A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Dahana A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.C. Andre Tanama A.J. Susmana A.S. Laksana A’an Jindan AS Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Rauf Singkil Abdul Walid Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adek Alwi Adhi Pandoyo Adhitia Armitrianto Adhy Rical Adi Faridh Adian Husaini Adin Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrizas Adu Pesona Sang Wakil Presiden RI AF. Tuasikal Afri Meldam Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agit Yogi Subandi Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Rakasiwi Agus Sulton Agus Wibowo Agus Wirawan Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ah. Atok Illah Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Anshori Ahmad Damanik Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Hasan MS Ahmad Jauhari Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad S. Zahari Ahmad Syafii Maarif Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fiah Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Siddiq Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al-Fairish Al-Ma'ruf I Al-Ma'ruf II Alang Khoiruddin Albert Camus Ali Mahmudi Ch Alia Swastika Alvi Puspita Alvin Amien Wangsitalaja Aminah Aming Aminoedhin Ana Mustamin Anam Rahus Anas AG Andhi Setyo Wibowo Andi Gunawan Andry Deblenk Angela Anggie Melianna Anindita S. Thayf Anis Ceha Anitya Wahdini Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anugerah Ronggowarsito Anwar Nuris Aprillia Ika Arida Fadrus Aridus Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Ariel Heryanto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Arwan Aryo Wisanggeni Aryo Wisanggeni Gentong AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Ashadi Ik Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asro Kamal Rokan Astrid Reza Asvi Warman Adam Atafras Atok Witono Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azwar Nazir Baca Puisi Badrus Siroj Bahrul Ulum A. Malik Balada Bambang kempling Bambang Riyanto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berita Utama Bernando J. Sujibto Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Bre Redana Brunel University Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Jay Utomo Budi P. Hatees Budi Palopo Budi Setyarso Budi Sp. Indrajati Budiman S. Hartoyo Budiman Sudjatmiko Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Choirul Rikzqa Christian Heru Cahyo Saputro Cover Buku D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dadang Widjanarko Damiri Mahmud Dani Fuadhillah Daniel Paranamesa Darju Prasetya Dati Wahyuni Dawet Jabung Ponorogo Dedykalee Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Deshinta Arofah Dewi Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan Dewi Anggraeni Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Didik Kusbiantoro Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dorothea Rosa Herliany Dr Andi Irawan Dr Siti Muti’ah Setiawati Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Drs. Solihin Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddi Koben Edeng Syamsul Ma’arif Edy Apriyanto Sudiyono Edy Firmansyah Edy Susanto Efri Ritonga EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hartono Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elita Sitorini Elly Trisnawati Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Em. Syuhada' Emha Ainun Nadjib Encep Abdullah Eni Sulistiyawati Eny Rose Esai Ester Lince Napitupulu Etik Widya Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathan Mubarak Fathul Qodir Fathul Qorib Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Seni Surabaya 2011 Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fikri. MS Fiqih Arfani Firman Daeva Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Forum Santri Nasional (FSN) Free Hearty Galuh Tulus Utama Gandis Uka Ganug Nugroho Adi Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gendut Riyanto Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Pratama Glenn Fredly Goenawan Mohamad Golput Gombloh Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Hadi Napster Hafis Azhari Halim HD Halimi Zuhdy Hamid Dabashi Han Gagas Hardi Hamzah Hari Prasetyo Haris Del Hakim Haris Saputra Hary B Kori’un Hasan Basri Marwah Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Hendro Situmorang Henri Nurcahyo Henry H Loupias Hera Khaerani Heri CS Heri Kris Heri Latief Heri Listianto Herman RN Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Kuntoyo Heru Kurniawan Hikmat Darmawan Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humaidi Humam S Chudori I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I. B. Putera Manuaba IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ichwan Prasetyo Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Munadjat Imam Nawawi Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Herdiana Imron Arlado Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indigo Art Space Madiun Indra Tjahyadi Indrian Koto Ingki Rinaldi Iqmal Tahir Is Faridatul Arifah Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Isra’ Mi’raj Iswadi Pratama Iswara N Raditya Iva Titin Shovia Iwan Awaluddin Yusuf Iwan Gunadi J. Sumardianta Jamrin Abubakar Jansen Sinamo Janu Jolang Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jemie Simatupang Jenny Ang Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jl Simo Jo Batara Surya Jodhi Yudono Joko Budhiarto Joko Sadewo Joko Sandur Joko Widodo Jones Gultom Joni Ariadinata Joresan Mlarak Ponorogo Joseph E. Stiglitz Jual Buku Paket Hemat Junus Satrio Jurnalisme Sastra K. Hirzuddin Hasbullah K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.H. Masrikhan Asy'ari K.H. Mudzakir Ma'ruf Kadjie MM Kajian Kitab Nashoihul 'Ibad Kang Daniel Karanggeneng Kartika Foundation Kasanwikrama Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kekal Hamdani Kemah Budaya Panturan (KBP) Kesenian KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Anwar Khoirul Inayah Khoirul Naim Khoirul Rosyadi Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Koko Sudarsono Komaruddin Hidayat Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopuisi Korban Gempa di Lombok Kospela KPRI IKMAL Lamongan Kris Razianto Mada Kritik Sastra Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kusni Kasdut Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto Lagu Laili Rahmawati Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Latif Fianto Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Listiyono Santoso Liya Izzatul Iffah Liza Wahyuninto Lucky Aditya Ramadhan Ludruk Jawa Timur Lukisan Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lustantini Septiningsih Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Ismail M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Iqbal Dawami M. Irfan Hidayatullah M. Latief M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Mushthafa M. Riza Fahlevi M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Maghfur Munif Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahwi Air Tawar Majelis Ulama Indonesia Makalah Tinjauan Ilmiah Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mantan Pastur Hafidz Al-Qur'an Maqhia Nisima Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Marsel Robot Martin Aleida Martin Hatch Marwan Ja'far Marwita Oktaviana Marzuki Mustamar Mashuri Masjid Tegalsari di Pesantren Gerbang Tinatar Masuki M. Astro Matroni el-Moezany Matroni Muserang Max Arifin Maya Handhini Mbah Kalbakal Medco Media Jawa Timur Medri Osno Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Misbahul Huda Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh Samsul Arifin Moh. Ghufron Cholid Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ghannoe Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Rain Muhammad Taufik Muhammad Yasir Muhammad Zia Ulhaq Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukhsin Amar Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Mun'im Sirry Muntamah Cendani Museum Bikon Blewut Ledalero Musfarayani Musfi Efrizal Musyayana Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nabi Adam Nanang Fahrudin Nandang Darana Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Ni Luh Made Pertiwi F Nindya Herdianti Ninin Nurzalina Wati Nitis Sahpeni Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noorsam Noval Jubbek Novel Pekik Novianti Setuningsih Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Hamzah Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nuswantoro Nyimas Nyoman Tingkat Obrolan Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Opini Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Pameran Seni Rupa Panda MT Siallagan Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit SastraSewu Penerbitan dan Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Pengajian Pengetahuan Perang Peringatan Hari Pahlawan 10 November Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pesantren Kampung Inggris Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Petrik Matanasi Pilang Tejoasri Laren Lamongan Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pilkada Piramid Giza Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pradana Boy ZTF Pradaningrum Mijarto Pramoedya Ananta Toer Prih Prawesti Febriani Pringadi AS Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Hartanto Puji Santosa Puput Amiranti N Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Satria Kusuma Putu Setia Putu Wijaya R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.Ng. Ronggowarsito Rabdul Rohim Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sazaly Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Rengga AP Reni Lismawati Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Rieke Diah Pitaloka Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rizka Halida Rizky Putri Pratimi Robin Al Kautsar Rocky Gerung Rodli TL Rofiqi Hasan Rohmad Hadiwijoyo Rohmah Maulidia Rohman Abdullah Rojiful Mamduh Rosdiansyah Rosi Rosidi Roso Titi Sarkoro Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rumah Literasi Rx King Motor S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Saifur Rohman Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Sardono W Kusumo Sartika Sari Sarworo Sp Sastra Facebook Satmoko Budi Santoso Satrio Lintang Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Savidapius Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Sejarah Sekolah Literasi Gratis SelaSAstra Boenga Ketjil SelaSAstra Boenga Ketjil #23 SelaSAstra Boenga Ketjil #24 Seni Ambeng Ponorogo Senirupa Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Shofiyatuz Zahroh Shohebul Umam JR Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Silfia Hanani Sindu Putra Sita Planasari Aquadini Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Hadi Purnomo Soediro Satoto Soegiharto Soeprijadi Tomodihardjo Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Igustin Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Sriyanto Danoesiswoyo Stefanus P. Elu Stevani Elisabeth STKIP PGRI Ponorogo Student Center Kampus ISI Yogyakarta Subagio Sastrowardoyo Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Ariyadi Sukitman Sumenep Sumiati Anastasia Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungelebak Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Suyadi San Syafrizal Sahrun Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syamsul Rizal Syi'ir Syifa Amori Syifa Aulia T.A. Sakti Tajuddin Noor Ganie Tamrin Bey dan Robin Al Kautsar TanahmeraH ArtSpace Tarpin A. Nasri Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Roda UNISDA Lamongan Teater Sakalintang Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tawon Teater Tewol Teguh LR Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Teori Darwin Teori Fisika Hawking Tgk Abdullah Lam U Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute Theresia Purbandini Thomas Koten Tien Rostini Timur Arif Riyadi Tjahjono Widarmanto Tjut Zakiyah Anshari Toeti Adhitama Tosa Poetra Tri Andhi S Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Tutut Herlina Ucu Agustin Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Uniawati Unieq Awien Universitas Jember Usman Arrumy Ustadz Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vassilisa Agata Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Video Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vita Devi Ajeng Pratiwi W. Haryanto W.S. Rendra Wakos R. Gautama Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Suryandoko William Shakespeare Wisnu Kisawa Wiwik Widiyati Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yayat R. Cipasang Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yulianto Yuliawati Yunanto Sutyastomo Yunus Supriyanto Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf AN Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Yuyuk Sugarman Z. Mustopa Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zarra Martsella Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zen Hae Zii Zuhdi Swt