Jayaning S.A
http://sastra-indonesia.com/
Kata ibuku, batu itu sudah ada di sana sejak pertama kali ibuku datang ke daerah ini. Ya, sebuah batu hitam memanjang berbentuk seperti perahu tertangkup yang ada di kaki bukit, tak sampai berjarak puluhan meter dari pintu rumahku.
Batu itu bisa kulongok tiap saat dari jendela depan rumah, asalkan bukan malam hari. Tampak jelas di antara pohon-pohon kurus yang tumbuh jarang di sekitarnya.
Saat kecil dulu, aku pernah beberapa kali bermain di sekitarnya, bersama teman-teman sepermainanku. Kami duduk sambil sesekali menggosok-gosok permukaannya yang tampak berkilat saking halusnya. Kau tahu, halusnya seperti hasil tatahan tangan-tangan ahli yang mengerti benar seperti isi hati si batu, hingga pahatannyapun jadi sedemikian sempurna.
Hingga suatu kali, kami yang penasaran berunding untuk menentukan siapa yang dapat giliran. Temanku yang kena giliran bertanya begini pada ibunya, “Lihat Bu, kenapa ada batu sebagus itu di bukit sana?” sambil telunjuknya mengarah pada batu itu.
“Husy, jangan tunjuk-tunjuk. Nanti jin penunggu bukitnya marah, bisa kuwalat,” kata si ibu sambil menampik tangan putra kecilnya.
Temanku langsung diam. Kami yang sedang duduk di pelataran rumahnya, di dekat anak-beranak itu, sempat mendengar. Sejak itu, walaupun sering bermain di bukit, kami tak pernah mendekati batu itu. Kami hanya memandangnya, lalu cepat-cepat menjauh.
Sampai terakhir kali kami bermain bersama di bukit, kami saling menyalahkan kenapa dulu tertarik mempertanyakan batu itu. Seandainya tak pernah bertanya, kami tak perlu kehilangan salah satu tempat singgah sehabis bermain.
Dan sekarang, ketika adik bungsuku dan teman-temannya asyik bermain di sekitar batu hitam itu, aku hanya bisa melihat dari balik jendela. Sebenarnya aku ingin mengingatkan, karena aku takut terjadi apa-apa. Tapi bagaimana ya, aku sendiri juga tak terlalu percaya.
Akhirnya, aku diam saja.
Entah kenapa aku selalu lupa bertanya pada ayahku yang mungkin lebih tahu. Dan sayangnya, aku terlalu takut untuk mencari tahu sendiri.
***
Seorang lelaki muda memacu kudanya kencang-kencang ke barat, melintasi kerimbunan hutan yang makin menipis. Keringatnya mengembun, wajahnya pias. Ia tak menatap manapun kecuali ke depan. Nanar. Sang kuda tungganganpun sepertinya paham kegelisahan tuannya. Ia melesat, semata-mata menuruti kehendak tuannya.
“Demi keselamatan Raden Pancanaka, kita harus cepat, Jabrik.” Pria muda itu mengelus kudanya, sambil tetap memacunya kencang-kencang.
Maka sang kuda tunggangan makin cepat melesat.
Lelaki muda itu tersenyum. Sekilat binar tampak di matanya. Tatapannya bertumpu pada setitik bayangan gapura nun jauh di sana. Beberapa orang menyunggi pikulan lewat di pinggir jalan setapak yang dilewatinya.
Ditepuknya leher kudanya, “Perdikan sudah dekat. Kau bisa istirahat sepuasnya di istal nanti.”
Si kuda meringkik, mengibaskan ekornya. Laju larinya sedikit melambat. Makin banyak orang berseliweran melintas.
Dua lelaki memalangkan tombak di tengah gapura. Tubuh mereka berisi, wajah mereka garang. Si lelaki muda turun dari kudanya, kemudian terlibat pembicaraan singkat dengan dua pemilik wajah garang.
Dua orang itu minggir, memberi jalan. Segera saja, si lelaki muda melesat dengan tunggangannya.
Ia memacu tunggangannya ke kediaman sang junjungan, Raden Pancanaka. Ia menepuk leher tunggangannya. Kudanya meringkik keras, sambil mengangkat kaki-kaki depannya ke atas. Sekejap, kemudian melesat masuk ke halaman pendopo terbesar di tengah perdikan.
Seorang penjaga berusia paruh baya menyambut kedatangannya. Dan si lelaki meyerahkan kudanya.
“Apa Raden Pancanaka ada di kediamannya?”
“Inggih, Gusti. Gusti Raden Pancanaka baru saja pulang dari meninjau keadaan perdikan,” sahut si penjaga sambil menghaturkan sembah.
“Saya akan sampaikan kedatangan Raden pada Gusti Raden Pancanaka.” Sekali lagi lelaki itu menghaturkan sembah.
“Tidak perlu, Ki,” lelaki muda itu tersenyum. “Raden Pancanaka sudah tahu kedatanganku.”
Penjaga itu berbalik, menghaturkan sembah ketika pandangannya jatuh pada lelaki bersahaja yang berdiri di tangga paling atas pendopo. Lelaki muda itu merunduk, berjalan mendekat pada sang lelaki priyayi.
“Sembah hamba Gusti, hamba datang untuk menyampaikan kabar dari ibukota.”
Sang lelaki priyayi yang tak lain adalah Raden Pancanaka diam. Dia berjalan tenang ke singgasananya. Si lelaki muda beringsut mengikutinya.
Tak ada orang lain di pendopo itu.
“Kabar apa yang kau bawa, Panca?”
“Sembah hamba Gusti, hamba ingin menyampaikan kabar tentang tanah perdikan kita.”
Lelaki muda itu, sekali lagi, menghaturkan sembah.
Sinar mentari makin meredup. Namun, belum ada seorangpun yang datang ke pendopo untuk menyalakan dian. Bayang-bayang dua orang itu jatuh ke timur, menambah kesan suwung pendopo itu.
“Katakan Panca, kabar apa yang kau bawa dari ibukota,” suara berat Raden Pancanaka menggetarkan sunyi di pendopo itu.
“Ampun Raden, kakanda Gusti sudah mengetahui bahwa Gusti sekeluarga bersembunyi di perdikan ini. Kakanda Gusti berencana mengerahkan pasukan kemari dalam waktu dekat ini.”
Lelaki yang disebut Panca itu menghaturkan sembah.
Raden Pancanaka turun dari singgasananya, berjalan bolak-balik di pendopo perdikan yang makin temaram.
“Mereka pasti takkan segan menghabisi nyawa seluruh penduduk untuk menemukanku, Panca.”
“Inggih Gusti.”
“Rakyat perdikan ini sudah terlalu berjasa padaku. Aku tak bisa membiarkan mereka berkorban lebih banyak lagi.”
Pandangan Raden Pancanaka menerawang.
“Menurutmu, apa yang harus kulakukan Panca?”
“Ampun Gusti, mungkin lebih bijaksana jika gusti memerintahkan seluruh rakyat untuk pindah ke kadipaten lain secara terpencar. Agar orang-orang tak curiga bahwa mereka datang dari perdikan ini.”
“Kau benar Panca. Tapi apakah kau yakin mereka akan mau menuruti titahku ini?”
“Ampun Gusti, menurut pemikiran hamba, seorang abdi yang setia akan taat dengan titah junjungannya.”
“Kau benar Panca, tapi tidakkah seorang abdi yang setia itu yang mengikuti kemanapun junjungannya pergi?”
“Sembah hamba Gusti, hamba yakin Gusti lebih mengerti.”
“Kumpulkan para abdiku, Panca. Kumpulkan juga seluruh rakyat perdikan ini. Kita akan berikan pilihan ini, dan biarlah mereka memilih sendiri.”
“Sendiko dawuh Gusti.”
Panca beringsut meninggalkan pendopo. Meninggalkan Raden Pancanaka yang termenung sendirian.
***
Rek-erek kambil endhek,
Wong Nggalek tudung cowek,
Coweke mambu telek,
……………
Dadaku terasa penuh. Sungguh. Mungkin sebentar lagi meledak, jadi debu. Sial!
Aku baru tahu jika ada lagu daerah yang bunyinya begitu. Kemarin ayahku yang memberitahu tentang lagu itu, ketika beliau sedang bercerita tentang masa kecilnya. Sungguh, aku tidak bisa terima. Apalagi Mbah Buyut yang mengajarkan itu.
Siapa yang membuat lagu seperti itu. Merendahkan sekali.
Ibuku pernah berspekulasi tentang sebab musabab kenapa sebegitu konservatifnya masyarakat daerahku terhadap perubahan adalah perasaan takut dan tertekan yang dialami turun temurun karena peristiwa kudeta di jaman Kerajaan Mataram dulu. Orang terkudeta yang lari ke daerahku itu selalu dibayangi ketakutan bahwa prajurit si pengkudeta senantiasa berjaga di balik lingkar pegunungan, menanti kami keluar dan siap menghabisi. Hingga akhirnya si terkudeta dan para pengikutnya memilih untuk tidak pernah keluar dari lingkar pegunungan ini dan melarang anak-anaknya untuk merantau terlalu jauh.
Ketakutan itu ditanam dan tertanamkan turun temurun generasi demi generasi, menjadi ketakutan yang terwariskan.
Ada bukti sejarah yang mengatakan bahwa si terkudeta itu memang lari ke daerah kami, kemudian mengirimkan teliksandinya untuk selalu mengawasi gerak-gerik kami. Tapi tak pernah ada spekulasi tafsir sejarah yang membahas sampai sedetail itu.
Seandainya aku grusa-grusu menelan mentah-mentah spekulasi Ibuku, mungkin aku akan membenci leluhurku, orang-orang yang telah membawa kami –keturunannya- terlahir di tanah ini. Menyalahkan mereka dan mengecam keputusan mereka yang membuat kehidupan kami seperti ini.
Dan lagu erek erek kambil endhek itu, harus dihapus sebersih-bersihnya dari ingatan sejarah. Tak boleh lagi ada yang tahu, apalagi mengajarkan itu.
***
Lelaki muda itu tercenung. Sorot matanya layu, sendu, sesendu hutan yang tak bersedia tertembus sinar surya.
“Jika engkau sudah sampai di lingkaran gunung yang dibelah rawa di salah satu sisinya, masuklah dengan mendaki salah satu gunung. Di baliknya, itulah tempat yang kalian tuju.”
Kata-kata itu terus saja terngiang.
Ya, akhirnya Raden Pancanaka memilih untuk tinggal dan menyambut kedatangan prajurit utusan Raden Balungan. Sedang lelaki muda itu, ia diutus untuk mengungsikan penduduk perdikan ke tanah di timur sana, tempat yang dikatakan Raden Pancanaka lebih menjanjikan keamanan.
Sang junjungan memang berjanji untuk segera menyusul rombongan penduduk. Namun lelaki muda itu gelisah, semua orang yang dekat dengan Raden Balungan pasti mengerti bahwa bukan wataknya untuk mengampuni orang yang dianggap mengancam kuasanya.
Ia tak yakin Raden Pancanaka akan menyusul.
Ia sudah tahu mengapa Raden Pancanaka memilih untuk tinggal. Ya, junjungannya itu pasti berfikiran bahwa tetap tinggal akan membuat pengungsian penduduk perdikan lepas dari incaran prajurit saudara tirinya itu.
Pandangannya tak lepas dari bocah kecil yang berjalan di depannya. Raut mudanya sama sekali tak menampakkan kekalutan akan perpisahan dengan ayah bundanya.
Ah, Raden Trijata, betapa bersahajanya engkau, desis sang pria muda. Seandainya Raden Balungan tahu bahwa putra tunggal Raden Pancanaka ini ada bersama kami, pengorbanan ayahanda dan ibundamu mungkin tak berarti apa-apa. Dia takkan lepaskan.
“Paman Panca, lihat batu itu?”
Pandangan pria muda itu beralih, pada sesuatu yang ditunjuk jari-jari mungil Trijata.
“Mengapa di sekeliling batu itu berkabut, Paman?” Trijata menarik-narik tangannya.
Kening lelaki muda itu berkerut. Pegunungan memang dingin. Tapi hari masih sore, dan pastinya tak terlalu dingin hingga membentuk kabut putih tebal. Diikutinya Trijata yang berjalan ke sana.
Semakin dekat, lapisan kabut itu semakin tipis. Pepohonan di baliknya tampak jarang. Padahal hutan ini, yang di lereng gunung ini, seharusnya pepohonannya lebat.
Sesosok tubuh samar-samar mendekat dari kejauhan. Lalu berhenti. Trijata dan sang pria muda, melangkah lebih jauh dalam kabut.
Bayangan itu mengitari batu, melewati mereka. Sikapnya seolah-olah tak sadar pada kehadiran dua orang itu.
“Paman, kenapa dia tak menoleh pada kita?” Trijata menarik tangan si lelaki muda.
“Hamba tidak tahu Raden.”
Tanpa menunggu si lelaki muda, Trijata mendekat. Lebih dekat, sampai seonggok batu hitam berbentuk perahu menghalangi langkahnya. Diulurkannya tangannya melewati atas batu itu, berupaya meraih bayangan yang kemudian tampak sebagai sosok perempuan. Tapi sosok itu malah diam, tak bergerak. Si lelaki muda yang ikut merasakan keanehan turut mengulurkan tangan.
Sosok itu masih terpaku. Matanya menyipit, hingga satu sentakan membuatnya terjengkang ke belakang.
***
Untuk kesekian kalinya aku memandangi batu hitam itu dari kejauhan. Batu hitam yang sama dengan batu hitam yang kulihat lima tahun lalu, juga masih di tempat yang sama. Tak berpindah. Hanya saja, sekelilingnya tak lagi ditumbuhi pohon jati yang sering menyumbang bentol-bentol di kulitku saat musim ulat. Tergantikan dengan tanah meranggas yang jadi jalan bagi si mobil pribadi menuju garasi.
Untungnya, garasi untuk mobil pribadi itu dibangun agak ke selatan. Sehingga hobiku memandanginya itu tak terhalang.
Ah, sudah bertahun-tahun rupanya sejak pikiran tentang batu itu pertama kali muncul. Bertahun-tahun pula kubiarkan terbenam di satu sudut tersembunyi di dalam rongga otakku, karena tak pernah kucari jawabannya. Tentang alasannya, aku sendiri juga tak tahu. Padahal jaraknya hanya beberapa meter dari rumahku.
Tapi, he..he..he.. Sepertinya aku salah satu korban cerita ibu temanku waktu dulu.
Fiuh, batu ya batu. Tak lebih dari itu.
Sekarang aku sudah dewasa. Sudah lebih banyak belajar tentang masyarakatku. Dan yang harus kuyakini : batu ya batu. Tak lebih dari itu. Meskipun dinamai Watu Prahu, batu berlian, batu akik, terserahlah. Kecuali sebuah kenyataan bahwa batu juga ciptaan Tuhan yang menjadi bagian dari alam. Jin penunggu atau apapun sejenis itu, juga makhluk Tuhan. Punya alamnya masing-masing. Percayalah, mereka tidak akan mengganggu selama kita tak mengganggu.
“Dongeng biar saja jadi dongeng. Tak usah dipikirkan. Orang modern kok percaya begituan.”
Yap, benar sekali. Kukenakan alas kaki, kemudian melangkah mantap –sebenarnya ragu, tapi sedikit saja- ke arah batu itu.
Batu itu tinggal berjarak satu meter dariku.
“Lihat, sama dengan batu-batu lainnya. Aku malah tak tahu dilihat darimana batu ini sehingga disebut-sebut berbentuk perahu,” desisku agak keras.
Kukelilingi batu itu, kuamati pelan-pelan tanpa menyentuh. Tak berubah. Hanya kelihatan lebih kecil. Mungkin terkikis air, hujan, panas, atau segala macam proses alam yang terjadi secara terus menerus. Aku jongkok, kuraba permukaanmu. Halus seperti dulu. Aku berdiri lagi.
“Lihat baik-baik sekali lagi, Lia. Tak ada apa-apa. Orang-orang dewasa saat kau kecil dulu hanya menciptakan mitos supaya anak-anaknya tak keluyuran keluar masuk hutan tanpa ditemani orang dewasa. Oke, finish. Sekarang, out.”
Mentari menjelma oranye di barat sana. Aku hampir berbalik ketika kusadari sesuatu yang agak aneh. Ada kabut tipis.
Pohon-pohon di belakang batu itu menjadi lebih besar, lebih teduh, lebih rapat. Tampak dua bayangan samar manusia di antara kabut.
Kukucek-kucek mataku. Bayangan dua orang itu makin jelas. Berjalan ke arahku. Kukucek mataku sekali lagi. Tak berubah, mereka masih disana.
Seorang pria muda dan anak kecil seumuran adik bungsuku. Si anak tersenyum, lalu mengulurkan tangan mungilnya. Kulihat pria muda yang berdiri di belakang anak itu. Keningnya berkerut. Sedikit keterkejutan terpancar di wajahnya.
Di tengah kebingunganku, samar-samar kudengar anak kecil itu bicara. Aku tak paham yang dikatakannya. Entah karena degub jantungku yang tak karuan, atau ketakutanku yang memuncak. Hanya satu kata yang sempat singgah di telingaku.
”…..Trijata…”
Tangan anak lelaki itu masih terulur, seakan menungguku menyambutnya. Dan aku, tubuhku kaku. Lidahku kelu.
Pria muda itu diam. Lalu menyentuh pundak si anak. Kelihatannya ia juga bicara, namun tak tertangkap telingaku.
Aku betul-betul panik ketika sayup-sayup terdengar seseorang melantunkan lagu yang dulu kerapkali didendangkan oleh kakekku. Bersahutan.
Kutho Trenggalek, Kutho Trenggalek
Kinubengan gunung-gunung,
Tepung gelang bumine
………………………………………….
Mentari makin oranye, namun kabut semakin tipis.
***
Malang, 4 Mei 2008
http://sastra-indonesia.com/
Kata ibuku, batu itu sudah ada di sana sejak pertama kali ibuku datang ke daerah ini. Ya, sebuah batu hitam memanjang berbentuk seperti perahu tertangkup yang ada di kaki bukit, tak sampai berjarak puluhan meter dari pintu rumahku.
Batu itu bisa kulongok tiap saat dari jendela depan rumah, asalkan bukan malam hari. Tampak jelas di antara pohon-pohon kurus yang tumbuh jarang di sekitarnya.
Saat kecil dulu, aku pernah beberapa kali bermain di sekitarnya, bersama teman-teman sepermainanku. Kami duduk sambil sesekali menggosok-gosok permukaannya yang tampak berkilat saking halusnya. Kau tahu, halusnya seperti hasil tatahan tangan-tangan ahli yang mengerti benar seperti isi hati si batu, hingga pahatannyapun jadi sedemikian sempurna.
Hingga suatu kali, kami yang penasaran berunding untuk menentukan siapa yang dapat giliran. Temanku yang kena giliran bertanya begini pada ibunya, “Lihat Bu, kenapa ada batu sebagus itu di bukit sana?” sambil telunjuknya mengarah pada batu itu.
“Husy, jangan tunjuk-tunjuk. Nanti jin penunggu bukitnya marah, bisa kuwalat,” kata si ibu sambil menampik tangan putra kecilnya.
Temanku langsung diam. Kami yang sedang duduk di pelataran rumahnya, di dekat anak-beranak itu, sempat mendengar. Sejak itu, walaupun sering bermain di bukit, kami tak pernah mendekati batu itu. Kami hanya memandangnya, lalu cepat-cepat menjauh.
Sampai terakhir kali kami bermain bersama di bukit, kami saling menyalahkan kenapa dulu tertarik mempertanyakan batu itu. Seandainya tak pernah bertanya, kami tak perlu kehilangan salah satu tempat singgah sehabis bermain.
Dan sekarang, ketika adik bungsuku dan teman-temannya asyik bermain di sekitar batu hitam itu, aku hanya bisa melihat dari balik jendela. Sebenarnya aku ingin mengingatkan, karena aku takut terjadi apa-apa. Tapi bagaimana ya, aku sendiri juga tak terlalu percaya.
Akhirnya, aku diam saja.
Entah kenapa aku selalu lupa bertanya pada ayahku yang mungkin lebih tahu. Dan sayangnya, aku terlalu takut untuk mencari tahu sendiri.
***
Seorang lelaki muda memacu kudanya kencang-kencang ke barat, melintasi kerimbunan hutan yang makin menipis. Keringatnya mengembun, wajahnya pias. Ia tak menatap manapun kecuali ke depan. Nanar. Sang kuda tungganganpun sepertinya paham kegelisahan tuannya. Ia melesat, semata-mata menuruti kehendak tuannya.
“Demi keselamatan Raden Pancanaka, kita harus cepat, Jabrik.” Pria muda itu mengelus kudanya, sambil tetap memacunya kencang-kencang.
Maka sang kuda tunggangan makin cepat melesat.
Lelaki muda itu tersenyum. Sekilat binar tampak di matanya. Tatapannya bertumpu pada setitik bayangan gapura nun jauh di sana. Beberapa orang menyunggi pikulan lewat di pinggir jalan setapak yang dilewatinya.
Ditepuknya leher kudanya, “Perdikan sudah dekat. Kau bisa istirahat sepuasnya di istal nanti.”
Si kuda meringkik, mengibaskan ekornya. Laju larinya sedikit melambat. Makin banyak orang berseliweran melintas.
Dua lelaki memalangkan tombak di tengah gapura. Tubuh mereka berisi, wajah mereka garang. Si lelaki muda turun dari kudanya, kemudian terlibat pembicaraan singkat dengan dua pemilik wajah garang.
Dua orang itu minggir, memberi jalan. Segera saja, si lelaki muda melesat dengan tunggangannya.
Ia memacu tunggangannya ke kediaman sang junjungan, Raden Pancanaka. Ia menepuk leher tunggangannya. Kudanya meringkik keras, sambil mengangkat kaki-kaki depannya ke atas. Sekejap, kemudian melesat masuk ke halaman pendopo terbesar di tengah perdikan.
Seorang penjaga berusia paruh baya menyambut kedatangannya. Dan si lelaki meyerahkan kudanya.
“Apa Raden Pancanaka ada di kediamannya?”
“Inggih, Gusti. Gusti Raden Pancanaka baru saja pulang dari meninjau keadaan perdikan,” sahut si penjaga sambil menghaturkan sembah.
“Saya akan sampaikan kedatangan Raden pada Gusti Raden Pancanaka.” Sekali lagi lelaki itu menghaturkan sembah.
“Tidak perlu, Ki,” lelaki muda itu tersenyum. “Raden Pancanaka sudah tahu kedatanganku.”
Penjaga itu berbalik, menghaturkan sembah ketika pandangannya jatuh pada lelaki bersahaja yang berdiri di tangga paling atas pendopo. Lelaki muda itu merunduk, berjalan mendekat pada sang lelaki priyayi.
“Sembah hamba Gusti, hamba datang untuk menyampaikan kabar dari ibukota.”
Sang lelaki priyayi yang tak lain adalah Raden Pancanaka diam. Dia berjalan tenang ke singgasananya. Si lelaki muda beringsut mengikutinya.
Tak ada orang lain di pendopo itu.
“Kabar apa yang kau bawa, Panca?”
“Sembah hamba Gusti, hamba ingin menyampaikan kabar tentang tanah perdikan kita.”
Lelaki muda itu, sekali lagi, menghaturkan sembah.
Sinar mentari makin meredup. Namun, belum ada seorangpun yang datang ke pendopo untuk menyalakan dian. Bayang-bayang dua orang itu jatuh ke timur, menambah kesan suwung pendopo itu.
“Katakan Panca, kabar apa yang kau bawa dari ibukota,” suara berat Raden Pancanaka menggetarkan sunyi di pendopo itu.
“Ampun Raden, kakanda Gusti sudah mengetahui bahwa Gusti sekeluarga bersembunyi di perdikan ini. Kakanda Gusti berencana mengerahkan pasukan kemari dalam waktu dekat ini.”
Lelaki yang disebut Panca itu menghaturkan sembah.
Raden Pancanaka turun dari singgasananya, berjalan bolak-balik di pendopo perdikan yang makin temaram.
“Mereka pasti takkan segan menghabisi nyawa seluruh penduduk untuk menemukanku, Panca.”
“Inggih Gusti.”
“Rakyat perdikan ini sudah terlalu berjasa padaku. Aku tak bisa membiarkan mereka berkorban lebih banyak lagi.”
Pandangan Raden Pancanaka menerawang.
“Menurutmu, apa yang harus kulakukan Panca?”
“Ampun Gusti, mungkin lebih bijaksana jika gusti memerintahkan seluruh rakyat untuk pindah ke kadipaten lain secara terpencar. Agar orang-orang tak curiga bahwa mereka datang dari perdikan ini.”
“Kau benar Panca. Tapi apakah kau yakin mereka akan mau menuruti titahku ini?”
“Ampun Gusti, menurut pemikiran hamba, seorang abdi yang setia akan taat dengan titah junjungannya.”
“Kau benar Panca, tapi tidakkah seorang abdi yang setia itu yang mengikuti kemanapun junjungannya pergi?”
“Sembah hamba Gusti, hamba yakin Gusti lebih mengerti.”
“Kumpulkan para abdiku, Panca. Kumpulkan juga seluruh rakyat perdikan ini. Kita akan berikan pilihan ini, dan biarlah mereka memilih sendiri.”
“Sendiko dawuh Gusti.”
Panca beringsut meninggalkan pendopo. Meninggalkan Raden Pancanaka yang termenung sendirian.
***
Rek-erek kambil endhek,
Wong Nggalek tudung cowek,
Coweke mambu telek,
……………
Dadaku terasa penuh. Sungguh. Mungkin sebentar lagi meledak, jadi debu. Sial!
Aku baru tahu jika ada lagu daerah yang bunyinya begitu. Kemarin ayahku yang memberitahu tentang lagu itu, ketika beliau sedang bercerita tentang masa kecilnya. Sungguh, aku tidak bisa terima. Apalagi Mbah Buyut yang mengajarkan itu.
Siapa yang membuat lagu seperti itu. Merendahkan sekali.
Ibuku pernah berspekulasi tentang sebab musabab kenapa sebegitu konservatifnya masyarakat daerahku terhadap perubahan adalah perasaan takut dan tertekan yang dialami turun temurun karena peristiwa kudeta di jaman Kerajaan Mataram dulu. Orang terkudeta yang lari ke daerahku itu selalu dibayangi ketakutan bahwa prajurit si pengkudeta senantiasa berjaga di balik lingkar pegunungan, menanti kami keluar dan siap menghabisi. Hingga akhirnya si terkudeta dan para pengikutnya memilih untuk tidak pernah keluar dari lingkar pegunungan ini dan melarang anak-anaknya untuk merantau terlalu jauh.
Ketakutan itu ditanam dan tertanamkan turun temurun generasi demi generasi, menjadi ketakutan yang terwariskan.
Ada bukti sejarah yang mengatakan bahwa si terkudeta itu memang lari ke daerah kami, kemudian mengirimkan teliksandinya untuk selalu mengawasi gerak-gerik kami. Tapi tak pernah ada spekulasi tafsir sejarah yang membahas sampai sedetail itu.
Seandainya aku grusa-grusu menelan mentah-mentah spekulasi Ibuku, mungkin aku akan membenci leluhurku, orang-orang yang telah membawa kami –keturunannya- terlahir di tanah ini. Menyalahkan mereka dan mengecam keputusan mereka yang membuat kehidupan kami seperti ini.
Dan lagu erek erek kambil endhek itu, harus dihapus sebersih-bersihnya dari ingatan sejarah. Tak boleh lagi ada yang tahu, apalagi mengajarkan itu.
***
Lelaki muda itu tercenung. Sorot matanya layu, sendu, sesendu hutan yang tak bersedia tertembus sinar surya.
“Jika engkau sudah sampai di lingkaran gunung yang dibelah rawa di salah satu sisinya, masuklah dengan mendaki salah satu gunung. Di baliknya, itulah tempat yang kalian tuju.”
Kata-kata itu terus saja terngiang.
Ya, akhirnya Raden Pancanaka memilih untuk tinggal dan menyambut kedatangan prajurit utusan Raden Balungan. Sedang lelaki muda itu, ia diutus untuk mengungsikan penduduk perdikan ke tanah di timur sana, tempat yang dikatakan Raden Pancanaka lebih menjanjikan keamanan.
Sang junjungan memang berjanji untuk segera menyusul rombongan penduduk. Namun lelaki muda itu gelisah, semua orang yang dekat dengan Raden Balungan pasti mengerti bahwa bukan wataknya untuk mengampuni orang yang dianggap mengancam kuasanya.
Ia tak yakin Raden Pancanaka akan menyusul.
Ia sudah tahu mengapa Raden Pancanaka memilih untuk tinggal. Ya, junjungannya itu pasti berfikiran bahwa tetap tinggal akan membuat pengungsian penduduk perdikan lepas dari incaran prajurit saudara tirinya itu.
Pandangannya tak lepas dari bocah kecil yang berjalan di depannya. Raut mudanya sama sekali tak menampakkan kekalutan akan perpisahan dengan ayah bundanya.
Ah, Raden Trijata, betapa bersahajanya engkau, desis sang pria muda. Seandainya Raden Balungan tahu bahwa putra tunggal Raden Pancanaka ini ada bersama kami, pengorbanan ayahanda dan ibundamu mungkin tak berarti apa-apa. Dia takkan lepaskan.
“Paman Panca, lihat batu itu?”
Pandangan pria muda itu beralih, pada sesuatu yang ditunjuk jari-jari mungil Trijata.
“Mengapa di sekeliling batu itu berkabut, Paman?” Trijata menarik-narik tangannya.
Kening lelaki muda itu berkerut. Pegunungan memang dingin. Tapi hari masih sore, dan pastinya tak terlalu dingin hingga membentuk kabut putih tebal. Diikutinya Trijata yang berjalan ke sana.
Semakin dekat, lapisan kabut itu semakin tipis. Pepohonan di baliknya tampak jarang. Padahal hutan ini, yang di lereng gunung ini, seharusnya pepohonannya lebat.
Sesosok tubuh samar-samar mendekat dari kejauhan. Lalu berhenti. Trijata dan sang pria muda, melangkah lebih jauh dalam kabut.
Bayangan itu mengitari batu, melewati mereka. Sikapnya seolah-olah tak sadar pada kehadiran dua orang itu.
“Paman, kenapa dia tak menoleh pada kita?” Trijata menarik tangan si lelaki muda.
“Hamba tidak tahu Raden.”
Tanpa menunggu si lelaki muda, Trijata mendekat. Lebih dekat, sampai seonggok batu hitam berbentuk perahu menghalangi langkahnya. Diulurkannya tangannya melewati atas batu itu, berupaya meraih bayangan yang kemudian tampak sebagai sosok perempuan. Tapi sosok itu malah diam, tak bergerak. Si lelaki muda yang ikut merasakan keanehan turut mengulurkan tangan.
Sosok itu masih terpaku. Matanya menyipit, hingga satu sentakan membuatnya terjengkang ke belakang.
***
Untuk kesekian kalinya aku memandangi batu hitam itu dari kejauhan. Batu hitam yang sama dengan batu hitam yang kulihat lima tahun lalu, juga masih di tempat yang sama. Tak berpindah. Hanya saja, sekelilingnya tak lagi ditumbuhi pohon jati yang sering menyumbang bentol-bentol di kulitku saat musim ulat. Tergantikan dengan tanah meranggas yang jadi jalan bagi si mobil pribadi menuju garasi.
Untungnya, garasi untuk mobil pribadi itu dibangun agak ke selatan. Sehingga hobiku memandanginya itu tak terhalang.
Ah, sudah bertahun-tahun rupanya sejak pikiran tentang batu itu pertama kali muncul. Bertahun-tahun pula kubiarkan terbenam di satu sudut tersembunyi di dalam rongga otakku, karena tak pernah kucari jawabannya. Tentang alasannya, aku sendiri juga tak tahu. Padahal jaraknya hanya beberapa meter dari rumahku.
Tapi, he..he..he.. Sepertinya aku salah satu korban cerita ibu temanku waktu dulu.
Fiuh, batu ya batu. Tak lebih dari itu.
Sekarang aku sudah dewasa. Sudah lebih banyak belajar tentang masyarakatku. Dan yang harus kuyakini : batu ya batu. Tak lebih dari itu. Meskipun dinamai Watu Prahu, batu berlian, batu akik, terserahlah. Kecuali sebuah kenyataan bahwa batu juga ciptaan Tuhan yang menjadi bagian dari alam. Jin penunggu atau apapun sejenis itu, juga makhluk Tuhan. Punya alamnya masing-masing. Percayalah, mereka tidak akan mengganggu selama kita tak mengganggu.
“Dongeng biar saja jadi dongeng. Tak usah dipikirkan. Orang modern kok percaya begituan.”
Yap, benar sekali. Kukenakan alas kaki, kemudian melangkah mantap –sebenarnya ragu, tapi sedikit saja- ke arah batu itu.
Batu itu tinggal berjarak satu meter dariku.
“Lihat, sama dengan batu-batu lainnya. Aku malah tak tahu dilihat darimana batu ini sehingga disebut-sebut berbentuk perahu,” desisku agak keras.
Kukelilingi batu itu, kuamati pelan-pelan tanpa menyentuh. Tak berubah. Hanya kelihatan lebih kecil. Mungkin terkikis air, hujan, panas, atau segala macam proses alam yang terjadi secara terus menerus. Aku jongkok, kuraba permukaanmu. Halus seperti dulu. Aku berdiri lagi.
“Lihat baik-baik sekali lagi, Lia. Tak ada apa-apa. Orang-orang dewasa saat kau kecil dulu hanya menciptakan mitos supaya anak-anaknya tak keluyuran keluar masuk hutan tanpa ditemani orang dewasa. Oke, finish. Sekarang, out.”
Mentari menjelma oranye di barat sana. Aku hampir berbalik ketika kusadari sesuatu yang agak aneh. Ada kabut tipis.
Pohon-pohon di belakang batu itu menjadi lebih besar, lebih teduh, lebih rapat. Tampak dua bayangan samar manusia di antara kabut.
Kukucek-kucek mataku. Bayangan dua orang itu makin jelas. Berjalan ke arahku. Kukucek mataku sekali lagi. Tak berubah, mereka masih disana.
Seorang pria muda dan anak kecil seumuran adik bungsuku. Si anak tersenyum, lalu mengulurkan tangan mungilnya. Kulihat pria muda yang berdiri di belakang anak itu. Keningnya berkerut. Sedikit keterkejutan terpancar di wajahnya.
Di tengah kebingunganku, samar-samar kudengar anak kecil itu bicara. Aku tak paham yang dikatakannya. Entah karena degub jantungku yang tak karuan, atau ketakutanku yang memuncak. Hanya satu kata yang sempat singgah di telingaku.
”…..Trijata…”
Tangan anak lelaki itu masih terulur, seakan menungguku menyambutnya. Dan aku, tubuhku kaku. Lidahku kelu.
Pria muda itu diam. Lalu menyentuh pundak si anak. Kelihatannya ia juga bicara, namun tak tertangkap telingaku.
Aku betul-betul panik ketika sayup-sayup terdengar seseorang melantunkan lagu yang dulu kerapkali didendangkan oleh kakekku. Bersahutan.
Kutho Trenggalek, Kutho Trenggalek
Kinubengan gunung-gunung,
Tepung gelang bumine
………………………………………….
Mentari makin oranye, namun kabut semakin tipis.
***
Malang, 4 Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar