Hardi Hamzah*
http://www.lampungpost.com/
Spektrum menggagas sastra daerah, tentu banyak kendala. Namun, dengan munculnya dua karya ini, kita seakan terhenyak, karena ternyata masih ada, dan mudah-mudahan bertambah.
Setelah gebrakan spektakuler buku puisi Mak Dawah Mak Dibingi karya Udo Z. Karzi (BE Press, 2007), yang merambah ke tingkat nasional, akhir tahun lalu kita diperkenalkan dengan dua karya sastra yang cukup menggelitik.
Dua karya berupa kumpulan puisi berjudul Di Lawok, Nyak Nelepon Pelabuhan karya Oky Sanjaya dan kumpulan cerpen bertitel Bandar Negeri Semuong karya Asarpin Aslami–keduanya kebetulan juga diterbitkan BE Press, Bandar Lampung, –sungguh memberi pilar penalaran tersendiri bagi khasanah kebudayaan Lampung.
Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan karya Oky Sanjaya ini, dibuka dengan prawayang Mulang Goh. Mulang Goh merefleksikan nuansa kepasrahan, tapi menjelmakan ketidakputusasaan, dus kegembiraan akan suatu kenangan.
Detail puisi dalam karya Oky, kiranya memang menghentak semangat baru melalui jebakan kata dan seribu nuansa, misalnya saja, puisi yang berjudul Kituk. Sebagai orang Lampung kita tentu mengernyitkan dahi dengan judul tidak senonoh itu.
Tetapi, kituk ternyata menyelimuti kita untuk memahami bersebadan dengan alam dan romantisme, ini dapat kita baca pada halaman 5. Sederet kelana dan romantisme dikembangkan dan diaktualisasikan lewat napas-napas menggugah. Ini dapat kita rasakan dalam Bulan Nyusut (hlm. 8).
Di keheningan Bulan Nyusut, kita diajak berlari dan menggebrak nuansa baru dari sebuah karya, penulis lalu mengingat kumpulan sajak sepatu tua karya Rendra yang menyentak dan menggugah hati dalam kebeningan bahasa. Gugahan itu kemudian diintrodusir pula oleh penulisnya dalam puisi Tentang Bebai Melok Jukuk (hlm. 14).
Gugusan baru memang selalu dibuka di dalam atmosfer antara puisi dan prosa, ini setidaknya bila kita ambil serapan lain dari karyanya yang berjudul Tentang Lambung di Lamban Lamban Langgar (hlm.16),
Hasok (hlm. 23), Lapah Duma (hlm. 31), Sajak Jamma Kalah (hlm. 43). Sementara itu, puisi Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan (hlm. 18), kita tidak begitu mendapatkan gereget, kecuali hanya paparan, meski terbilang naratif di siklus perpuisian.
Banyaknya puisi yang dimunculkan dalam buku ini, tentu saja menghantar kita untuk mencari idiom dan variabel tersendiri agar dapat memantapkan jiwa sebagai kegembiraan membaca puisi. Aneka ragam bahasan yang tidak membosankan, justru kekuatan tersendiri dalam buku ini, setidaknya bila kita memahaminya dari kelangkaan puisi berbahasa Lampung, kekuatan yang diversifikatif membulatkan pikiran kita untuk lebih jauh merayap dan tertatih tenggelam dalam penghayatan.
Mengapa harus tenggelam, karena ada karya yang serpihan katanya melantunkan kosa kata menggoda, seperti Cirik (hlm. 24), Hanipi Nganik Bulan (hlm. 26), Ulay (hal.39), Ngukui (hlm. 52), Fermentasi Tapai Kikim (hlm. 61), dan Introspeksi (hlm. 3). Dari judul-judul ini, terasa tranformasi penjajagan terhadap keberanian mengulas kata ditawarkan sedemikian baik, sehingga, terlalu arogankah bila saya membandingkan dengan karya Linus Duryadi Ag., Hujan Gerimis Bulan Desember atau karya-karya Hamsad Rangkuti, Sampah Bulan Desember, atau seperti Obsesi Perempuan Berkumis karya Budi Darma (Jurnal Prosa Ketiga).
Singkat kalimat, dengan 74 puisinya Oky Sanjaya, bukan sekadar menggugah pecinta sastra dan budaya Lampung, lebih dari itu, Oky telah merangsang kita dalam merenung, dan rangsangan itu disetop pada kosa kata yang dalam. Dan seperti ada kesengajaan, bahwa rangsangan kosa kata Oky tidak sampai membuat kita orgasme, ini tentu menggoda kita agar berahi sastra kita tidak terlalu diumbar.
Dalam buku berikutnya, penulis dan intelektual Lampung Asarpin Aslami mengajak kita untuk membaca kumpulan cerpen melalui kaca mata biru. Kumpulan cerpen yang bertitel Cerita-Cerita jak Bandar Negeri Semuong, melampirkan kesukaan atau kesenangan kita untuk mengenang negeri negeri yang jauh, sehingga seakan akumulasi dari cerita memberikan penggalan-penggalan khayali antara ada dan tiada.
Dia menjadi ada, apabila rasa yang menggugah rasa kita kawinkan dengan satu kesatuan utuh dari mosaik yang dipaparkan Asarpin. Ini dapat kita rasakan bila kita membaca Hiwang (hlm. 29). Meski semangat ada itu bisa saja tergelicir bila kita komparasikan dengan Gunung Putri (hlm. 44), atau Teluk Semaka (hal 15). Kendati Siahan (hal.70) memberi makna tersendiri agar kita tidak sembrono dalam membangun diskursus baru bagi suatu cerita pendek.
Diskursus itulah yang merajut seluruh cerita dalam buku ini sehingga lebih bermakna, dan mengingatkan kita pada karya besar yang sangat berhati-hati semacam Collective Vision karya Gorge Luis Burges, dan memaknainya lewat komparasi dari Cerpen Pilihan Kompas Jejak Tanah, Perilaku Ganda Remy Silado, dan Ader Ader dalam Perjalanan, Kumpulan Cerpen Timur Tengah.
Menguak lebih jauh karya Asarpin, terkadang membawa stagnasi dari dinamika persuasif suatu karya. Artinya, pertimbangan Asarpin tidak hanya bersinggungan dengan tunggal nada bahasa daerah (dalam hal ini bahasa Lampung), tapi ia justru mendorong dan menikam-nikam kerohanian kita untuk pandai-pandai menikmati sastera daerah. Ini terlihat dalam Warahan Semakung Pedom (93), Badok (hal.37), Lintah Ganding (hlm. 98) dan Metudau (hlm. 116).
Spektrum mengagas sastra daerah, tentu banyak kendala. Namun dengan munculnya dua karya ini, kita seakan terhenyak, karena ternyata masih ada, dan mudah-mudahan bertambah, bahwa penggiat sastra daerah telah mencoba menjadi janin baru setelah embrionya berada dalam rahim Mak Dawah, Mak Dibingi. Dalam konteks inilah, tentu kita berharap embrio dan janin, kelak mampu melahirkan bayi sehat bagi perspektif perkembangan kebudayaan Lampung, khususnya di bidang kesusasteraan. Insya Allah.
*) Peneliti INCCIS dan Staf Akhli MAHAR Foundation.
http://www.lampungpost.com/
Spektrum menggagas sastra daerah, tentu banyak kendala. Namun, dengan munculnya dua karya ini, kita seakan terhenyak, karena ternyata masih ada, dan mudah-mudahan bertambah.
Setelah gebrakan spektakuler buku puisi Mak Dawah Mak Dibingi karya Udo Z. Karzi (BE Press, 2007), yang merambah ke tingkat nasional, akhir tahun lalu kita diperkenalkan dengan dua karya sastra yang cukup menggelitik.
Dua karya berupa kumpulan puisi berjudul Di Lawok, Nyak Nelepon Pelabuhan karya Oky Sanjaya dan kumpulan cerpen bertitel Bandar Negeri Semuong karya Asarpin Aslami–keduanya kebetulan juga diterbitkan BE Press, Bandar Lampung, –sungguh memberi pilar penalaran tersendiri bagi khasanah kebudayaan Lampung.
Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan karya Oky Sanjaya ini, dibuka dengan prawayang Mulang Goh. Mulang Goh merefleksikan nuansa kepasrahan, tapi menjelmakan ketidakputusasaan, dus kegembiraan akan suatu kenangan.
Detail puisi dalam karya Oky, kiranya memang menghentak semangat baru melalui jebakan kata dan seribu nuansa, misalnya saja, puisi yang berjudul Kituk. Sebagai orang Lampung kita tentu mengernyitkan dahi dengan judul tidak senonoh itu.
Tetapi, kituk ternyata menyelimuti kita untuk memahami bersebadan dengan alam dan romantisme, ini dapat kita baca pada halaman 5. Sederet kelana dan romantisme dikembangkan dan diaktualisasikan lewat napas-napas menggugah. Ini dapat kita rasakan dalam Bulan Nyusut (hlm. 8).
Di keheningan Bulan Nyusut, kita diajak berlari dan menggebrak nuansa baru dari sebuah karya, penulis lalu mengingat kumpulan sajak sepatu tua karya Rendra yang menyentak dan menggugah hati dalam kebeningan bahasa. Gugahan itu kemudian diintrodusir pula oleh penulisnya dalam puisi Tentang Bebai Melok Jukuk (hlm. 14).
Gugusan baru memang selalu dibuka di dalam atmosfer antara puisi dan prosa, ini setidaknya bila kita ambil serapan lain dari karyanya yang berjudul Tentang Lambung di Lamban Lamban Langgar (hlm.16),
Hasok (hlm. 23), Lapah Duma (hlm. 31), Sajak Jamma Kalah (hlm. 43). Sementara itu, puisi Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan (hlm. 18), kita tidak begitu mendapatkan gereget, kecuali hanya paparan, meski terbilang naratif di siklus perpuisian.
Banyaknya puisi yang dimunculkan dalam buku ini, tentu saja menghantar kita untuk mencari idiom dan variabel tersendiri agar dapat memantapkan jiwa sebagai kegembiraan membaca puisi. Aneka ragam bahasan yang tidak membosankan, justru kekuatan tersendiri dalam buku ini, setidaknya bila kita memahaminya dari kelangkaan puisi berbahasa Lampung, kekuatan yang diversifikatif membulatkan pikiran kita untuk lebih jauh merayap dan tertatih tenggelam dalam penghayatan.
Mengapa harus tenggelam, karena ada karya yang serpihan katanya melantunkan kosa kata menggoda, seperti Cirik (hlm. 24), Hanipi Nganik Bulan (hlm. 26), Ulay (hal.39), Ngukui (hlm. 52), Fermentasi Tapai Kikim (hlm. 61), dan Introspeksi (hlm. 3). Dari judul-judul ini, terasa tranformasi penjajagan terhadap keberanian mengulas kata ditawarkan sedemikian baik, sehingga, terlalu arogankah bila saya membandingkan dengan karya Linus Duryadi Ag., Hujan Gerimis Bulan Desember atau karya-karya Hamsad Rangkuti, Sampah Bulan Desember, atau seperti Obsesi Perempuan Berkumis karya Budi Darma (Jurnal Prosa Ketiga).
Singkat kalimat, dengan 74 puisinya Oky Sanjaya, bukan sekadar menggugah pecinta sastra dan budaya Lampung, lebih dari itu, Oky telah merangsang kita dalam merenung, dan rangsangan itu disetop pada kosa kata yang dalam. Dan seperti ada kesengajaan, bahwa rangsangan kosa kata Oky tidak sampai membuat kita orgasme, ini tentu menggoda kita agar berahi sastra kita tidak terlalu diumbar.
Dalam buku berikutnya, penulis dan intelektual Lampung Asarpin Aslami mengajak kita untuk membaca kumpulan cerpen melalui kaca mata biru. Kumpulan cerpen yang bertitel Cerita-Cerita jak Bandar Negeri Semuong, melampirkan kesukaan atau kesenangan kita untuk mengenang negeri negeri yang jauh, sehingga seakan akumulasi dari cerita memberikan penggalan-penggalan khayali antara ada dan tiada.
Dia menjadi ada, apabila rasa yang menggugah rasa kita kawinkan dengan satu kesatuan utuh dari mosaik yang dipaparkan Asarpin. Ini dapat kita rasakan bila kita membaca Hiwang (hlm. 29). Meski semangat ada itu bisa saja tergelicir bila kita komparasikan dengan Gunung Putri (hlm. 44), atau Teluk Semaka (hal 15). Kendati Siahan (hal.70) memberi makna tersendiri agar kita tidak sembrono dalam membangun diskursus baru bagi suatu cerita pendek.
Diskursus itulah yang merajut seluruh cerita dalam buku ini sehingga lebih bermakna, dan mengingatkan kita pada karya besar yang sangat berhati-hati semacam Collective Vision karya Gorge Luis Burges, dan memaknainya lewat komparasi dari Cerpen Pilihan Kompas Jejak Tanah, Perilaku Ganda Remy Silado, dan Ader Ader dalam Perjalanan, Kumpulan Cerpen Timur Tengah.
Menguak lebih jauh karya Asarpin, terkadang membawa stagnasi dari dinamika persuasif suatu karya. Artinya, pertimbangan Asarpin tidak hanya bersinggungan dengan tunggal nada bahasa daerah (dalam hal ini bahasa Lampung), tapi ia justru mendorong dan menikam-nikam kerohanian kita untuk pandai-pandai menikmati sastera daerah. Ini terlihat dalam Warahan Semakung Pedom (93), Badok (hal.37), Lintah Ganding (hlm. 98) dan Metudau (hlm. 116).
Spektrum mengagas sastra daerah, tentu banyak kendala. Namun dengan munculnya dua karya ini, kita seakan terhenyak, karena ternyata masih ada, dan mudah-mudahan bertambah, bahwa penggiat sastra daerah telah mencoba menjadi janin baru setelah embrionya berada dalam rahim Mak Dawah, Mak Dibingi. Dalam konteks inilah, tentu kita berharap embrio dan janin, kelak mampu melahirkan bayi sehat bagi perspektif perkembangan kebudayaan Lampung, khususnya di bidang kesusasteraan. Insya Allah.
*) Peneliti INCCIS dan Staf Akhli MAHAR Foundation.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar