Suryanto Sastroatmodjo
http://sastra-indonesia.com/
1.
Pada galibnya, lewat ujung senjata, mestinya Prabu Duryudana dan Bima Sena dapat memperlihatkan pertarungan dahsyat yang mengecutkan hati. Bharatayudha memperlihatkan, awal dan ujung pergulatan ini sebenarnya amat seimbang, karena sama-sama memiliki semangat kerbau jantan, dan sama-sama pula memendam dendam. Walau, di babak yang menentukan, Duryudana remuk kepalanya oleh gada rujakpala, sebagaimana saudaranya, Dursasana, yang lebih dahulu maju ke medan laga. Peristiwanya kiranya semirip Resi Bisma, yang oleh Pandawa dan Kurawa dihormati sebagai seorang pinisepuh yang berasal dari Poyang terdahulu, namun pada perang besar ini, dia justru memihak kerabat Kurawa.
Adalah tragedi yang melecut sanubari, bahwa tokoh mahasakti ini harus menghadapi prajurit wanita Srikandi, yang sepenuhnya masih muda, lagipula tergolong alergis untuk menghadapi senapati-senapati tua, seperti Bisma. Toh, Bisma terguling oleh anakpanah-anakpanah merajam tubuh, dilepaskan oleh gendewa Srikandi. Anda, mungkin teringat kematian Prabu Salyapati oleh tangan Prabu Puntadewa(walau tak secara langsung), lantaran sukma Resi Bagaspati yang menagih janji kepada Salya (yang masa mudanya bernama Raden Narasoma) ini. Perang tanding dan perang memang berkelibatan, namun bukan saringgit dua kupang. Perang tanding, anya mempertemukan dua batin yang saling bertarung dan adu nalar, setelah zaman-zaman silam meracut kepahitan. Sementara itu, perang mempergelarkan rona-rona adu senjata dan adu-wawasan yang ingin saling meruntuhkan potensi masing-masing, setelah perundingan tak berhasil membikin titik temu yang dikehendaki. Tapi siapa harus dikasihani..?
2.
Berbicara tentangperang-perang Jawa yang berlangsung di abad ke-18, 19, hingga abad ke-20, senantiasa memperlihatkan garis yang kurang lebih sejajar. Kalau bukan karena semboyan “Ratu Adil” yang membawa konsekuensi pertahanan diri untuk melembagakan aksi-aksi kerakyatan yang radikal-keras semacam ini, maka acapkali juga bahwa kaum jelata menggunakan pula semboyan-semboyan yang berasal dari masa yang jauh silam, seperti bangkitnya kembali “Pajajaran Larang”,”Sigaluh Mimpang Jaya”, “Majapahit Rumuhan”, “Mataram Adiluwih”, yang dapat kita simak, pada pemberontakan Haji Kosim di Sindanglaya pada tahun 1886, Gerakan Nyai Dewi Rasminah di bekas tanah perdikan Ciasem (1890), Pemberonntakan yang dicetuskan Bagus Juntuk di Lowanu, Purworejo(1901), dan aksi bawah tanah yang diletupkan bekas dukun Jalampuan di Selang, Kebumen, penghujung 1903—di mana kesemuanya menyebarkan isim-isim, jimat-jimat, rajah-rajah, berikut ramalan yang membawa keesatan orang-orang kecil. Kesesatan di sini, misalnya dengan menunjukkan bahwa perang besar bakal tiba di akhir tahun, yang ditandai dengan kemarau panjang dan gerhana rembulan. Tindakan orang-orang rindu masa lampau, dan terdorong oleh gerakan berbau utopis ini, bukan lain adalah kepingin membangun Peradaban Lebih Jernih, seraya mengenyahkan pengaruh kebudayaan Eropa di satu pihak, dan membangun kembali kerajaan nenek moyang di pihak lain. Sebagai variant dari aksi-aksi sporadif begini, adalah warna keagamaan (biasanya Islam) yang disertakan sebagai bandingan, untuk menunjujjan, betapa unsur religious ikut dikumandangkan di langit kemelut jamannya. Dan bahwasanya, gerakan ini hanya bersifat lokal.
3.
Manakala gerakan Saminisme juga dipandang relevan untuk dibicarakan sebagai gerakan yang berlatar kerinduan akan zaan kemasan yang telah lampau, maka sementara itu kita saksikan, bahaimana dengan aksi diam, satyagraha, ahimsa, dan “senantiasa takkan melawan penindasan”, namun “dengan cita-cita dan sikap bertapa yang membisu”, mereka menggerakkan perlawanan yang meluas, kiranya nampak gambling telaahnya. Sedari 1880, lewat Samin Sepuh Suryowijoyo, hingga Samin Anom Suryosentiko, yang tertangkap di pertengahan tahun 1904—prinsip-prinsip juangnya meluas, hingga tertangkap ke berbagai distrik di Jatim dan Jateng. Aksi serupa pernah dilakukan oleh Mbah Suradal alias Kyai Jangkung, yang kala itu melebar ke wilayah kabupaten Pasuruan dan Probolinggo, hingga meresahkan penduduk, dan merepotkan penguasa Belanda. Bupati kedua wilayah tersebut, bahkan melakukan beberapa penghampiran, untuk melunakkan hati Kyai Jangkung, tapi sia-sia. Hingga dua tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 6 Maret 1880, diadakan suatu persetujuan yang ditandatangani di lereng GunungBromo, bahkan Dukun tertua di kwasana Siluwih, diangkat sebagai sesepuh adat Tengger. Ia diperkenankan melakukan upacara-upacara suci, tanpa diganggu oleh keributan dan kekisruhan wisata yang dikelola orang-orang kulit putih. Toh, pada tahun 1893, terjadi ontran-ontran Siwalan dan Trenggalung, karena tampilnya Mbah Jowaru alias Raden Adiratu, yang berhasil menghimpun anakcucunya yang tersebar di dukuh-dukuh tersebut. Dikisahkan, Dalem Kabupaten Malang sempat diserbu barisan berandalan desa dan selama hampir dua jam, Adipati beserta keluarganya di sandera. Baru huru-hara dapat ditanggulangi setelah pasukan Belanda dari garnisun kotamelakukan penyerbuan, membebaskan kabupaten, dan menewaskan Adiratu! Tapi tuntutan mereka, supaya kawasan Tengger dijadikan bumi perdikan, tak ditanggapi.
4.
Dalam pembentukan sikap yang lebih bersahabat serta lebih intim, maka dalam kehidupan pasca kemerdekaan, kita harus lebih meningkatkan lagi kerjasama yang berlangsung antara kelompok-kelompok sosial yang ada pada masa silamnya pernah terkotak-kotak dalam beberapa kasta yang setiapnya terasa mengembun amanat budaya yang cukup tinggi. Sebagai contoh, antara kaum ksatria yang tergolong ningrat di Jawa, dengan kelompok-kelompok waisya (usahawan) dan sudra (kelompok tanpa kerja, tanpa profesi) dan hingga paria (mereka tak terjamah, karena merupakan orang-orang urakan. Fungsionalitas yang menghubungkan antara kelas yang satu dengan yang lain, pada zaman Hindhu adalah fungsionalitas yang formal dan struktural, dan membawa serta kebutuhan massa yang jadi penyangga komunalnya, bahkan juga peneguh dinasti yang bertahta. Demikian pula, pertautan antara ksatruan dengnan kasta yang paling tinggi, yakni Brahmana—senantiasa terlihat akrab, lantaran yang disebut tertinggi itu berpengaruh dalam agama, tradisi, restu kehidupan, maupun tatanilai senibudaya yang mendukung legalnya pemerintahan. Memang sedari zaman pengaruh Islam di Jawa (akhir abad ke-15), saat matahari kerajaan Islam Demak naik, mengikis sisa-sisa kerajaan Majapahit, maka kasta ksatria “memenangi, bahkan Berjaya” di atas kasta tertinggi, sebagai pengganti brahmana-brahmana asli, pengaruhnya dikebiri, hingga menjadi kelas penaseat, tetapi secara pelan-pelan tak diberi peranan besar dalam politik maupun ekonomi. Hanya saja, mereka lebih banyak dilibatkan dalam persoalan-persoalan agama, adat istiadat dan kultur. Pada zaman Pajang dan Matarm (abad 16 hingga akhir 17), maka kelompok Wali lebih tersudut lagi, lantaran raja yang berkasta ksatria enggunakan gelar “Ratu, sekaligus Wali” (Khalifatullah Sayidin Panatagama), yang memotong jalur pengaruh Wali khususnya, dan ulama umumnya, lebih-lebih yang bersifat tradisional-agraris, sehingga wibawa mereka makin menipis di kalangan rakyat.
5.
Ujung ke ujung penguasaan terhadap kawula alit, niscaya mengandung seni yang lebih mudah ditelusuri, lantaran tatanilai yang diendapkannya, lewat pelbagai zaman. Kriteria apa yang kita pakai untuk mereka, sebagai dimensi-dimensi pembangunan manusia yang kompleks, ternyata membawa serta pemikiran pokok tentang esensi “ pengkastaan baru”. Artinya, bahwa seiring dnegan tumbuhnya patron-patron sosial yang meliputi kedaerahan yang luas ini, kita melihat, sejauh ini terdapat nilai tambah yang lebih akumulatif lagi, teruhlah, bahwa kelas yang tergolong priyayi, yakni kaum bangsawan, pada masa lampau memegang tongkat-tongkat kepemimpinan, dan pada masa kini, memiliki pula sarana-sarana pelestari kelasnya itu, dengan semakin banyak mencampuri bisini terselubung, yang sudah barang tentu di luar kesibukan yang “diizinkan oleh instansinya”. Penyalahgunaan wewenang juga terjadi pada lingkungan ini. Sedangkan kaum saudagar atau usahawan pada umumnya, banyak yang menggunakan lisensi berdasarkan koneksi yang diberkahi oleh”perkenalan dekat dengan pihak yang di atas”, yang tiada lain adalah alat-alat administrasi resmi pemerintah. Sudah jelas, dua kelas bersaing untuk memperebutkan lahan-lahan rezeki, bahkan terjadi pula sudra dan paria, yang menjadi kelompok yenga terseret kesana-kemari, mengikuti arus limbahnya pihak yang berwenang, masih terus menjadi Si Lebai Malang, dewasa ini.
6.
Buana berkembang, karena peperangan jua. Kisah pewayangan di dalam perbendaharaan susastra Nusantara acapkali menyuguhkan untar-gemuntang peperangan, yang bukan hanya diselimuti oleh kemelut tak berkesudahan, melainkan juga lebih banyak disulut oleh saling tuding, salah-menyalahkan, serta keserba-ingintahu-an dari pihak-pihak yangtak mempunyai tenggangrasa yang baik. Kemungkinan yang dapat ditarik dari pecahnya pemberontakan kawula cilik dalam percaturan babad-babad setempat, memperlihatkan bagaimana mereka saling “tidak diacuhkan” sebagai warga besar komunitas terhormat, yang diterjang-diganyang, dalam artian prinsip bertetangga baik. Atau, dengan meminjam falsafah perang Dunia Timur (Hindhu-Tiongkok), sifatnya mementingkan keluhuran motif, tak jarang untuk menegakkan sesuatu missi yang dianggap luhur. Namun demikian, jika sifatnya berandalan, ontran-ontran, jelas tiada motif luhur, selain kepentingan sektoral, kepentingan segelintir orang yang tanpa pikir panjang, tanpa rencana terperinci. Maka menjadi kewajiban kita semua, untuk mencegah konflik berkepanjangan jika soalnya hanya berkisar pada ukuran moral yang belum punya standard tertentu, yang masih kudu dimusyawarahkan. Dan itulah yang patut diingat, keutuhan bangsa jadi dasar-pijak tindakan!
* Penanggungjawab posting atas PuJa [PUstaka puJAngga]
http://sastra-indonesia.com/
1.
Pada galibnya, lewat ujung senjata, mestinya Prabu Duryudana dan Bima Sena dapat memperlihatkan pertarungan dahsyat yang mengecutkan hati. Bharatayudha memperlihatkan, awal dan ujung pergulatan ini sebenarnya amat seimbang, karena sama-sama memiliki semangat kerbau jantan, dan sama-sama pula memendam dendam. Walau, di babak yang menentukan, Duryudana remuk kepalanya oleh gada rujakpala, sebagaimana saudaranya, Dursasana, yang lebih dahulu maju ke medan laga. Peristiwanya kiranya semirip Resi Bisma, yang oleh Pandawa dan Kurawa dihormati sebagai seorang pinisepuh yang berasal dari Poyang terdahulu, namun pada perang besar ini, dia justru memihak kerabat Kurawa.
Adalah tragedi yang melecut sanubari, bahwa tokoh mahasakti ini harus menghadapi prajurit wanita Srikandi, yang sepenuhnya masih muda, lagipula tergolong alergis untuk menghadapi senapati-senapati tua, seperti Bisma. Toh, Bisma terguling oleh anakpanah-anakpanah merajam tubuh, dilepaskan oleh gendewa Srikandi. Anda, mungkin teringat kematian Prabu Salyapati oleh tangan Prabu Puntadewa(walau tak secara langsung), lantaran sukma Resi Bagaspati yang menagih janji kepada Salya (yang masa mudanya bernama Raden Narasoma) ini. Perang tanding dan perang memang berkelibatan, namun bukan saringgit dua kupang. Perang tanding, anya mempertemukan dua batin yang saling bertarung dan adu nalar, setelah zaman-zaman silam meracut kepahitan. Sementara itu, perang mempergelarkan rona-rona adu senjata dan adu-wawasan yang ingin saling meruntuhkan potensi masing-masing, setelah perundingan tak berhasil membikin titik temu yang dikehendaki. Tapi siapa harus dikasihani..?
2.
Berbicara tentangperang-perang Jawa yang berlangsung di abad ke-18, 19, hingga abad ke-20, senantiasa memperlihatkan garis yang kurang lebih sejajar. Kalau bukan karena semboyan “Ratu Adil” yang membawa konsekuensi pertahanan diri untuk melembagakan aksi-aksi kerakyatan yang radikal-keras semacam ini, maka acapkali juga bahwa kaum jelata menggunakan pula semboyan-semboyan yang berasal dari masa yang jauh silam, seperti bangkitnya kembali “Pajajaran Larang”,”Sigaluh Mimpang Jaya”, “Majapahit Rumuhan”, “Mataram Adiluwih”, yang dapat kita simak, pada pemberontakan Haji Kosim di Sindanglaya pada tahun 1886, Gerakan Nyai Dewi Rasminah di bekas tanah perdikan Ciasem (1890), Pemberonntakan yang dicetuskan Bagus Juntuk di Lowanu, Purworejo(1901), dan aksi bawah tanah yang diletupkan bekas dukun Jalampuan di Selang, Kebumen, penghujung 1903—di mana kesemuanya menyebarkan isim-isim, jimat-jimat, rajah-rajah, berikut ramalan yang membawa keesatan orang-orang kecil. Kesesatan di sini, misalnya dengan menunjukkan bahwa perang besar bakal tiba di akhir tahun, yang ditandai dengan kemarau panjang dan gerhana rembulan. Tindakan orang-orang rindu masa lampau, dan terdorong oleh gerakan berbau utopis ini, bukan lain adalah kepingin membangun Peradaban Lebih Jernih, seraya mengenyahkan pengaruh kebudayaan Eropa di satu pihak, dan membangun kembali kerajaan nenek moyang di pihak lain. Sebagai variant dari aksi-aksi sporadif begini, adalah warna keagamaan (biasanya Islam) yang disertakan sebagai bandingan, untuk menunjujjan, betapa unsur religious ikut dikumandangkan di langit kemelut jamannya. Dan bahwasanya, gerakan ini hanya bersifat lokal.
3.
Manakala gerakan Saminisme juga dipandang relevan untuk dibicarakan sebagai gerakan yang berlatar kerinduan akan zaan kemasan yang telah lampau, maka sementara itu kita saksikan, bahaimana dengan aksi diam, satyagraha, ahimsa, dan “senantiasa takkan melawan penindasan”, namun “dengan cita-cita dan sikap bertapa yang membisu”, mereka menggerakkan perlawanan yang meluas, kiranya nampak gambling telaahnya. Sedari 1880, lewat Samin Sepuh Suryowijoyo, hingga Samin Anom Suryosentiko, yang tertangkap di pertengahan tahun 1904—prinsip-prinsip juangnya meluas, hingga tertangkap ke berbagai distrik di Jatim dan Jateng. Aksi serupa pernah dilakukan oleh Mbah Suradal alias Kyai Jangkung, yang kala itu melebar ke wilayah kabupaten Pasuruan dan Probolinggo, hingga meresahkan penduduk, dan merepotkan penguasa Belanda. Bupati kedua wilayah tersebut, bahkan melakukan beberapa penghampiran, untuk melunakkan hati Kyai Jangkung, tapi sia-sia. Hingga dua tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 6 Maret 1880, diadakan suatu persetujuan yang ditandatangani di lereng GunungBromo, bahkan Dukun tertua di kwasana Siluwih, diangkat sebagai sesepuh adat Tengger. Ia diperkenankan melakukan upacara-upacara suci, tanpa diganggu oleh keributan dan kekisruhan wisata yang dikelola orang-orang kulit putih. Toh, pada tahun 1893, terjadi ontran-ontran Siwalan dan Trenggalung, karena tampilnya Mbah Jowaru alias Raden Adiratu, yang berhasil menghimpun anakcucunya yang tersebar di dukuh-dukuh tersebut. Dikisahkan, Dalem Kabupaten Malang sempat diserbu barisan berandalan desa dan selama hampir dua jam, Adipati beserta keluarganya di sandera. Baru huru-hara dapat ditanggulangi setelah pasukan Belanda dari garnisun kotamelakukan penyerbuan, membebaskan kabupaten, dan menewaskan Adiratu! Tapi tuntutan mereka, supaya kawasan Tengger dijadikan bumi perdikan, tak ditanggapi.
4.
Dalam pembentukan sikap yang lebih bersahabat serta lebih intim, maka dalam kehidupan pasca kemerdekaan, kita harus lebih meningkatkan lagi kerjasama yang berlangsung antara kelompok-kelompok sosial yang ada pada masa silamnya pernah terkotak-kotak dalam beberapa kasta yang setiapnya terasa mengembun amanat budaya yang cukup tinggi. Sebagai contoh, antara kaum ksatria yang tergolong ningrat di Jawa, dengan kelompok-kelompok waisya (usahawan) dan sudra (kelompok tanpa kerja, tanpa profesi) dan hingga paria (mereka tak terjamah, karena merupakan orang-orang urakan. Fungsionalitas yang menghubungkan antara kelas yang satu dengan yang lain, pada zaman Hindhu adalah fungsionalitas yang formal dan struktural, dan membawa serta kebutuhan massa yang jadi penyangga komunalnya, bahkan juga peneguh dinasti yang bertahta. Demikian pula, pertautan antara ksatruan dengnan kasta yang paling tinggi, yakni Brahmana—senantiasa terlihat akrab, lantaran yang disebut tertinggi itu berpengaruh dalam agama, tradisi, restu kehidupan, maupun tatanilai senibudaya yang mendukung legalnya pemerintahan. Memang sedari zaman pengaruh Islam di Jawa (akhir abad ke-15), saat matahari kerajaan Islam Demak naik, mengikis sisa-sisa kerajaan Majapahit, maka kasta ksatria “memenangi, bahkan Berjaya” di atas kasta tertinggi, sebagai pengganti brahmana-brahmana asli, pengaruhnya dikebiri, hingga menjadi kelas penaseat, tetapi secara pelan-pelan tak diberi peranan besar dalam politik maupun ekonomi. Hanya saja, mereka lebih banyak dilibatkan dalam persoalan-persoalan agama, adat istiadat dan kultur. Pada zaman Pajang dan Matarm (abad 16 hingga akhir 17), maka kelompok Wali lebih tersudut lagi, lantaran raja yang berkasta ksatria enggunakan gelar “Ratu, sekaligus Wali” (Khalifatullah Sayidin Panatagama), yang memotong jalur pengaruh Wali khususnya, dan ulama umumnya, lebih-lebih yang bersifat tradisional-agraris, sehingga wibawa mereka makin menipis di kalangan rakyat.
5.
Ujung ke ujung penguasaan terhadap kawula alit, niscaya mengandung seni yang lebih mudah ditelusuri, lantaran tatanilai yang diendapkannya, lewat pelbagai zaman. Kriteria apa yang kita pakai untuk mereka, sebagai dimensi-dimensi pembangunan manusia yang kompleks, ternyata membawa serta pemikiran pokok tentang esensi “ pengkastaan baru”. Artinya, bahwa seiring dnegan tumbuhnya patron-patron sosial yang meliputi kedaerahan yang luas ini, kita melihat, sejauh ini terdapat nilai tambah yang lebih akumulatif lagi, teruhlah, bahwa kelas yang tergolong priyayi, yakni kaum bangsawan, pada masa lampau memegang tongkat-tongkat kepemimpinan, dan pada masa kini, memiliki pula sarana-sarana pelestari kelasnya itu, dengan semakin banyak mencampuri bisini terselubung, yang sudah barang tentu di luar kesibukan yang “diizinkan oleh instansinya”. Penyalahgunaan wewenang juga terjadi pada lingkungan ini. Sedangkan kaum saudagar atau usahawan pada umumnya, banyak yang menggunakan lisensi berdasarkan koneksi yang diberkahi oleh”perkenalan dekat dengan pihak yang di atas”, yang tiada lain adalah alat-alat administrasi resmi pemerintah. Sudah jelas, dua kelas bersaing untuk memperebutkan lahan-lahan rezeki, bahkan terjadi pula sudra dan paria, yang menjadi kelompok yenga terseret kesana-kemari, mengikuti arus limbahnya pihak yang berwenang, masih terus menjadi Si Lebai Malang, dewasa ini.
6.
Buana berkembang, karena peperangan jua. Kisah pewayangan di dalam perbendaharaan susastra Nusantara acapkali menyuguhkan untar-gemuntang peperangan, yang bukan hanya diselimuti oleh kemelut tak berkesudahan, melainkan juga lebih banyak disulut oleh saling tuding, salah-menyalahkan, serta keserba-ingintahu-an dari pihak-pihak yangtak mempunyai tenggangrasa yang baik. Kemungkinan yang dapat ditarik dari pecahnya pemberontakan kawula cilik dalam percaturan babad-babad setempat, memperlihatkan bagaimana mereka saling “tidak diacuhkan” sebagai warga besar komunitas terhormat, yang diterjang-diganyang, dalam artian prinsip bertetangga baik. Atau, dengan meminjam falsafah perang Dunia Timur (Hindhu-Tiongkok), sifatnya mementingkan keluhuran motif, tak jarang untuk menegakkan sesuatu missi yang dianggap luhur. Namun demikian, jika sifatnya berandalan, ontran-ontran, jelas tiada motif luhur, selain kepentingan sektoral, kepentingan segelintir orang yang tanpa pikir panjang, tanpa rencana terperinci. Maka menjadi kewajiban kita semua, untuk mencegah konflik berkepanjangan jika soalnya hanya berkisar pada ukuran moral yang belum punya standard tertentu, yang masih kudu dimusyawarahkan. Dan itulah yang patut diingat, keutuhan bangsa jadi dasar-pijak tindakan!
* Penanggungjawab posting atas PuJa [PUstaka puJAngga]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar