Asarpin
http://www.lampungpost.com/
Dalam sebuah cerita tentang bola, Ugoran Prasad menampilkan sebuah kisah amat sederhana, tetapi menggugah dan kena. Ugoran begitu pintar mengolok-olok dengan bahasa yang tak terduga, dan mengejutkan.
Sepanjang kompetisi antarkota, sepasang ujung tombak kembar Gunung Terang mengamuk, demi membentang cita-cita tinggi.
Tujuh gol untuk sepatu kaisar, 13 untuk sepatu Tuhan. Begitu juga Asan, yang sebenarnya cukup membuat satu gol saja. Satu yang mengatasi gabungan seluruh gol di kompetisi ini. Dan di perempat final, Gunung Terang tidak mengendurkan serangan sekalipun sudah memimpin 1-0. Dalam satu skema serangan, posisi para pemain tiba-tiba meniru skema gol kedua Argentina di gawang Inggris, sebulan sebelumnya.
Dari tengah, Asan lepas sendirian. Dua rekan termasuk Sardi mengikuti dari sayap. Asan terus menggempur. Satu pemain terlewati, lalu satunya lagi. Pemain ketiga mengira cukup dengan bermain posisi, tapi malah kalah lari. Pemain keempat memapasi, mengincar kaki, tapi Asan meliukkan tubuhnya dengan ajaib. Pemain keempat bermaksud meniru meliuk tapi malah kehilangan keseimbangan, terpelanting. Pemain kelima mengadang dengan emosi tinggi, sudah terkalahkan jauh sebelum berhadapan dengan Asan. Di depan kiper, Asan, dengan macan di sepatunya yang entah menerkam atau terbang, menyontekkan bola ke sudut kiri. Diego Asando Maradona, 2-0.
Ketimbang berdiam diri karena kalah, Sardi mengubur cita-cita dengan mendaftar akademi polisi. Sementara kisah terus berlanjut, dan Sardi menjadi letnan. Tapi Sardi tetap gagal mengubur sepotong sakit hati akibat kekalahan. ”Di perempat final, Asan, sahabatnya, melewati lima pemain sebelum menundukkan Peter Shilton. Di semifinal mereka dikalahkan PS Tunas Harapan 3-0. “Tak apa. Setiap cita-cita berhak mendapatkan kesempatan kedua, sebagaimana Indonesia berhak juara dunia.”
Cerpen Sepatu Tuhan karya Ugoran Prasad itu menarik dibandingkan dengan cerpen Seno Gumira Ajidarma, Matinya Seorang Pemain Sepak Bola. Keduanya termasuk cerpen unik sekaligus cantik. Keduanya menampakkan diri sebagai cerpenis yang sudah mantap mendayakan–atau menyiasati–kata dan bahasa dalam ruang yang amat terbatas.
Kata-kata, jika diniatkan hadir dengan irama seperti permainan sepak bola, ia akan hadir dengan sangat gesit tapi juga bisa lamban, lincah tapi juga bisa diam, merdu tapi juga bisa gagu. Ketika menonton Messi menggocek bola, saya tiba-tiba membayangkan seorang Sutardji Calzoum Bachri menggocek kata-kata. Ketika melihat Ronaldo dan Messi berlari sambil menggiring bola, saya terbayang dengan sejumlah cerpen Seno yang sadar irama.
Pengarang yang baik sama halnya pemain sepak bola yang baik. Dalam sebuah pertandingan, pemain bintang sungguh bisa mengejutkan. Demikian pula dalam sebuah negara kata-kata, betapa tak menariknya jika tanpa kehadiran Chairil, Sutardji, Pramoedya, dan Seno (untuk sekadar menyebut empat nama saja).
Ada rasa bosan yang hinggap di benak saya ketika menonton kesebelasan Afrika Selatan bertemu dengan Meksiko, lantaran tak ada kejutan dan tokoh yang bisa hadir dengan sangat mengejutkan. Dalam sebuah prosa, tokoh adalah kunci penentu keberhasilan sebuah karangan, di samping bahasa dan gaya. Begitu juga dalam sepak bola.
Tak hanya perminan sepak bola yang bisa mendunia. Kata-kata juga bisa tampil di panggung dunia. Para penyair–juga para pencipta prosa–ingin agar karyanya dikenal oleh dunia, bahkan menjadi karya yang mendunia, dalam arti sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia.
Pemain sepak bola pada dasarnya adalah seniman. Mereka para pencipta tradisi, pembuat kejutan, dan tak jarang menjadi pemain bola terbaik dunia. Seniman adalah mereka yang selalu mencipta, menghasilkan suatu karya, yang sebagian ada yang dikenang sepanjang masa.
Maradona adalah legenda dalam sepak bola. Padahal kita tahu prestasinya tak lebih hebat dari Pele dari Brazil, Zidane dari Prancis, Ronaldinho dari Brazil, atau Messi dari Argentina. Di bidang kesusasteraan, cukup banyak karya yang gemilang tapi tak mendapat penghargaan dunia sekelas Nobel, sebut misalnya James Joyce dan Kafka.
Perjalanan seorang penyair meniti kata ke kata seumpama perjalanan bola yang digiring pemain di tengah lapangan. Perjalanan bola dari kaki ke kaki, kata Seno Gumira Ajidarma dalam cerpen Matinya Seorang Pemain Sepak Bola, sekadar “perjalanan takdir”. Di sana “aku hanya meneruskan bola seperti yang dikehendaki bola itu sendiri, bahkan bola itu sendiri pun tak tahu mau ke mana ia menggelinding. Tak ada seorang libero pun di dunia ini yang mampu mengatur jalannya bola. Bola itu bergerak sendiri, betul-betul bergerak sendiri dari kaki ke kaki meskipun tak dikehendakinya. Sama seperti kata, bola hanya alat, hanya bagian dari gerak hidup di lapangan.”
Dalam puisi, kata-kata bagaikan bola yang melesat ke sana ke mari, tanpa pernah bisa diterka ke mana arahnya. Seperti bola, kata bagi penyair adalah arsenal: tempat di mana penyair bisa memberontak atas kata, atau kata-kata memberontak atas penyair. Dari sana kemudian imajinasi senantiasa ditantang, dan kehidupan senantiasa dipertaruhkan.
Cukup banyak kita mengenal sastrawan yang terilham oleh permainan bola, kendati hanya Albert Camus yang pernah menjadi salah satu pemain bola. Tapi kita juga mengenal Nietzsche yang selalu berusaha menggada kata dengan palu hingga kata-kata seakan meloncat dari kaki pemain, atau Sutardji berpuisi dengan kapak dan membuat laskar hitam kata-kata dengan bebas melompat-lompat, menyamping, sungsang, melesat ke sana ke mari seperti bola yang digiring ke tengah lapangan.
Ambisi Tardji untuk menaklukkan–juga menundukkan –dan menggundukkan kata-kata, terasa dalam rima dan irama khas sepak bola dunia. Letupan-letupan kata yang spontan, terasa menyegarkan, tapi sekaligus banal. Puisi-puisinya sangat anarkis. Dan tampilan sang penyair saat membacakan sajak-sajaknya di berbagai kesempatan tampak begitu beringas, dan kehadiran puisi-puisinya terbukti mampu memecah kebekuan bahasa Indonesia dengan kehendak membebaskan kata dari kuda Troya makna yang disandangnya, seperti terlihat dalam sajak Q yang fenomenal dan yang tercantik sekaligus paling enigmatik dibandingkan dengan sajak-sajak lain.
Tardji memberontak terhadap sistem ejaan baku yang telah distandarkan berkali-kali itu. Musuh utama Tardji adalah orang-orang yang terlampau menekankan kerapihan dan segala sesuatu harus ada maknanya. Padahal bagi Tardji, kata-kata tak lebih sebagai permainan, dan ia menulis dengan nada permainan nyaris “di atas papan catur tak berdasar” (untuk memakai istilah Derrida).
Dan, Tardji seakan menjelmakan sosoknya sebagai anak panah psikologi kemabukan gairah seksual yang paling primitif, yang menulis puisi pasca-jenazah Tuhan disemayamkan Nietzsche di liang lahat. Dalam kumpulan sajak Kapak, terlihat sekali kalau Tardji hendak menemui kematian sebelum mati agar terlahir kembali sebagai yang gairah dan kreatif. Inilah sebuah pesona sang penyair, atau inilah tanda bahwa Tardji berada dalam pesona.
Kalau Jacques Derrida begitu curiga dengan makna, Sutardji telah melangkah jauh dengan niat “membebaskan kata-kata dari makna”. Membaca puisi-puisi Sutardji, ada kenikmatan tekstual yang menjalar, yang hadir karena kemelimpahan bunyi dan eksplorasi bentuk yang unik, juga ketakterdugaan metafor dan imaji. Tak heran jika dalam setiap kesempatan ia menerabas penjara kata-kata, seperti bola ditendang ke arah gawang oleh sang bintang, sambil merayakan kepelbagaian dan kemungkinan-kemungkinan yang ada, untuk meraih juara di lapangan sastra dan sepak bola.
Asarpin, Pembaca sastra
http://www.lampungpost.com/
Dalam sebuah cerita tentang bola, Ugoran Prasad menampilkan sebuah kisah amat sederhana, tetapi menggugah dan kena. Ugoran begitu pintar mengolok-olok dengan bahasa yang tak terduga, dan mengejutkan.
Sepanjang kompetisi antarkota, sepasang ujung tombak kembar Gunung Terang mengamuk, demi membentang cita-cita tinggi.
Tujuh gol untuk sepatu kaisar, 13 untuk sepatu Tuhan. Begitu juga Asan, yang sebenarnya cukup membuat satu gol saja. Satu yang mengatasi gabungan seluruh gol di kompetisi ini. Dan di perempat final, Gunung Terang tidak mengendurkan serangan sekalipun sudah memimpin 1-0. Dalam satu skema serangan, posisi para pemain tiba-tiba meniru skema gol kedua Argentina di gawang Inggris, sebulan sebelumnya.
Dari tengah, Asan lepas sendirian. Dua rekan termasuk Sardi mengikuti dari sayap. Asan terus menggempur. Satu pemain terlewati, lalu satunya lagi. Pemain ketiga mengira cukup dengan bermain posisi, tapi malah kalah lari. Pemain keempat memapasi, mengincar kaki, tapi Asan meliukkan tubuhnya dengan ajaib. Pemain keempat bermaksud meniru meliuk tapi malah kehilangan keseimbangan, terpelanting. Pemain kelima mengadang dengan emosi tinggi, sudah terkalahkan jauh sebelum berhadapan dengan Asan. Di depan kiper, Asan, dengan macan di sepatunya yang entah menerkam atau terbang, menyontekkan bola ke sudut kiri. Diego Asando Maradona, 2-0.
Ketimbang berdiam diri karena kalah, Sardi mengubur cita-cita dengan mendaftar akademi polisi. Sementara kisah terus berlanjut, dan Sardi menjadi letnan. Tapi Sardi tetap gagal mengubur sepotong sakit hati akibat kekalahan. ”Di perempat final, Asan, sahabatnya, melewati lima pemain sebelum menundukkan Peter Shilton. Di semifinal mereka dikalahkan PS Tunas Harapan 3-0. “Tak apa. Setiap cita-cita berhak mendapatkan kesempatan kedua, sebagaimana Indonesia berhak juara dunia.”
Cerpen Sepatu Tuhan karya Ugoran Prasad itu menarik dibandingkan dengan cerpen Seno Gumira Ajidarma, Matinya Seorang Pemain Sepak Bola. Keduanya termasuk cerpen unik sekaligus cantik. Keduanya menampakkan diri sebagai cerpenis yang sudah mantap mendayakan–atau menyiasati–kata dan bahasa dalam ruang yang amat terbatas.
Kata-kata, jika diniatkan hadir dengan irama seperti permainan sepak bola, ia akan hadir dengan sangat gesit tapi juga bisa lamban, lincah tapi juga bisa diam, merdu tapi juga bisa gagu. Ketika menonton Messi menggocek bola, saya tiba-tiba membayangkan seorang Sutardji Calzoum Bachri menggocek kata-kata. Ketika melihat Ronaldo dan Messi berlari sambil menggiring bola, saya terbayang dengan sejumlah cerpen Seno yang sadar irama.
Pengarang yang baik sama halnya pemain sepak bola yang baik. Dalam sebuah pertandingan, pemain bintang sungguh bisa mengejutkan. Demikian pula dalam sebuah negara kata-kata, betapa tak menariknya jika tanpa kehadiran Chairil, Sutardji, Pramoedya, dan Seno (untuk sekadar menyebut empat nama saja).
Ada rasa bosan yang hinggap di benak saya ketika menonton kesebelasan Afrika Selatan bertemu dengan Meksiko, lantaran tak ada kejutan dan tokoh yang bisa hadir dengan sangat mengejutkan. Dalam sebuah prosa, tokoh adalah kunci penentu keberhasilan sebuah karangan, di samping bahasa dan gaya. Begitu juga dalam sepak bola.
Tak hanya perminan sepak bola yang bisa mendunia. Kata-kata juga bisa tampil di panggung dunia. Para penyair–juga para pencipta prosa–ingin agar karyanya dikenal oleh dunia, bahkan menjadi karya yang mendunia, dalam arti sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia.
Pemain sepak bola pada dasarnya adalah seniman. Mereka para pencipta tradisi, pembuat kejutan, dan tak jarang menjadi pemain bola terbaik dunia. Seniman adalah mereka yang selalu mencipta, menghasilkan suatu karya, yang sebagian ada yang dikenang sepanjang masa.
Maradona adalah legenda dalam sepak bola. Padahal kita tahu prestasinya tak lebih hebat dari Pele dari Brazil, Zidane dari Prancis, Ronaldinho dari Brazil, atau Messi dari Argentina. Di bidang kesusasteraan, cukup banyak karya yang gemilang tapi tak mendapat penghargaan dunia sekelas Nobel, sebut misalnya James Joyce dan Kafka.
Perjalanan seorang penyair meniti kata ke kata seumpama perjalanan bola yang digiring pemain di tengah lapangan. Perjalanan bola dari kaki ke kaki, kata Seno Gumira Ajidarma dalam cerpen Matinya Seorang Pemain Sepak Bola, sekadar “perjalanan takdir”. Di sana “aku hanya meneruskan bola seperti yang dikehendaki bola itu sendiri, bahkan bola itu sendiri pun tak tahu mau ke mana ia menggelinding. Tak ada seorang libero pun di dunia ini yang mampu mengatur jalannya bola. Bola itu bergerak sendiri, betul-betul bergerak sendiri dari kaki ke kaki meskipun tak dikehendakinya. Sama seperti kata, bola hanya alat, hanya bagian dari gerak hidup di lapangan.”
Dalam puisi, kata-kata bagaikan bola yang melesat ke sana ke mari, tanpa pernah bisa diterka ke mana arahnya. Seperti bola, kata bagi penyair adalah arsenal: tempat di mana penyair bisa memberontak atas kata, atau kata-kata memberontak atas penyair. Dari sana kemudian imajinasi senantiasa ditantang, dan kehidupan senantiasa dipertaruhkan.
Cukup banyak kita mengenal sastrawan yang terilham oleh permainan bola, kendati hanya Albert Camus yang pernah menjadi salah satu pemain bola. Tapi kita juga mengenal Nietzsche yang selalu berusaha menggada kata dengan palu hingga kata-kata seakan meloncat dari kaki pemain, atau Sutardji berpuisi dengan kapak dan membuat laskar hitam kata-kata dengan bebas melompat-lompat, menyamping, sungsang, melesat ke sana ke mari seperti bola yang digiring ke tengah lapangan.
Ambisi Tardji untuk menaklukkan–juga menundukkan –dan menggundukkan kata-kata, terasa dalam rima dan irama khas sepak bola dunia. Letupan-letupan kata yang spontan, terasa menyegarkan, tapi sekaligus banal. Puisi-puisinya sangat anarkis. Dan tampilan sang penyair saat membacakan sajak-sajaknya di berbagai kesempatan tampak begitu beringas, dan kehadiran puisi-puisinya terbukti mampu memecah kebekuan bahasa Indonesia dengan kehendak membebaskan kata dari kuda Troya makna yang disandangnya, seperti terlihat dalam sajak Q yang fenomenal dan yang tercantik sekaligus paling enigmatik dibandingkan dengan sajak-sajak lain.
Tardji memberontak terhadap sistem ejaan baku yang telah distandarkan berkali-kali itu. Musuh utama Tardji adalah orang-orang yang terlampau menekankan kerapihan dan segala sesuatu harus ada maknanya. Padahal bagi Tardji, kata-kata tak lebih sebagai permainan, dan ia menulis dengan nada permainan nyaris “di atas papan catur tak berdasar” (untuk memakai istilah Derrida).
Dan, Tardji seakan menjelmakan sosoknya sebagai anak panah psikologi kemabukan gairah seksual yang paling primitif, yang menulis puisi pasca-jenazah Tuhan disemayamkan Nietzsche di liang lahat. Dalam kumpulan sajak Kapak, terlihat sekali kalau Tardji hendak menemui kematian sebelum mati agar terlahir kembali sebagai yang gairah dan kreatif. Inilah sebuah pesona sang penyair, atau inilah tanda bahwa Tardji berada dalam pesona.
Kalau Jacques Derrida begitu curiga dengan makna, Sutardji telah melangkah jauh dengan niat “membebaskan kata-kata dari makna”. Membaca puisi-puisi Sutardji, ada kenikmatan tekstual yang menjalar, yang hadir karena kemelimpahan bunyi dan eksplorasi bentuk yang unik, juga ketakterdugaan metafor dan imaji. Tak heran jika dalam setiap kesempatan ia menerabas penjara kata-kata, seperti bola ditendang ke arah gawang oleh sang bintang, sambil merayakan kepelbagaian dan kemungkinan-kemungkinan yang ada, untuk meraih juara di lapangan sastra dan sepak bola.
Asarpin, Pembaca sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar