Edy Apriyanto Sudiyono*
http://www.radarlampung.co.id/
Semakin Tinggi Pohon, Semakin Besar Angin Menggoyang.
KEPRIHATINAN sekaligus kecurigaan Asarpin menulis ’’Politikus dan Sastrawan’’ sebagaimana dimuat Radar Lampung (Sabtu, 24/4) berdasar bincang atas buku kumpulan puisi Anjing Dini Hari karya Isbedy Stiawan Z.S. menarik sekali untuk ditanggapi.
Asarpin, yang saya ketahui adalah esais Lampung dan buku sastra berbahasa Lampung-nya mendapat anugerah Rancage. Tetapi, esai-esainya bukan menukik ke masalah sastra dan budaya itu sendiri. Melainkan hanya berada di permukaan dan menyoal permukaan. Hal ini pula saya amati dalam opini kali ini.
Dengan referensi cukup melimpah demi kementerengan tulisannya sekaligus untuk memperkuat percakapannya, Asarpin sampai pada kesimpulan, ’’Tapi apa betul memang Alzier Dianis Thabranie yang menulis itu atau ada penulis hantu?” Sebuah ’’kecurigaan” yang semestinya tidak keluar dari seorang Asarpin.
Apakah Asarpin juga akan mencurigai Susilo Bambang Yudhoyono saat bepridato: bahwa teks pidatonya adalah bikinan dia ataukah ada yang menulis? Begitu pula pejabat atau politikus lain saat memberi sambutan.
Hanya, saya meyakini pernyataan John F. Kennedy bahwa ketika politik bengkok maka puisi yang meluruskan ataupun pernyataan Seno Gumira Ajidarma (apabila pers dibungkam, sastra yang bicara. Bukan politik sebagaimana dikatakan Asarpin, EAS, yang dikutip ulang Alzier) sudah sangat populer sehingga seorang politikus semacam Alzier tentulah tahu. Atau Alzier juga, setidaknya punya ’’orang-orang dekat’’ yang memiliki pengetahuan sastra sudah cukup baik.
Terlepas kalau benar pengantar Alzier dalam buku kumpulan puisi Anjing Dini Hari dibuat oleh ’’orang-orang dekat’’-nya, namun pastilah atas persetujuan Alzier Dianis Thabranie. Bahkan, saya meyakini dia berperan memberi masukan dan mengedit pengantarnya.
Buku Anjing Dini Hari karya Isbedy Stiawan Z.S. diterbitkan Rumah Aspirasi Rakyat, pemiliknya Himawan Imron yang notabene kekerabatannya dengan politikus kontroversial di Lampung itu sangat dekat. Jadi wajar saja jika ia meminta Alzier memberi pengantar atas buku ini. Sama wajarnya tatkala penyair Riau H. Aries Habeba meminta pengantar pejabat negara untuk buku puisi Kotak Pos 5.000 dan buku perjalanan hajinya yang banyak mendapat sambutan banyak pejabat di Riau.
Atau, sastrawan yang mendapat pengantar, misalnya, dari Goenawan Mohammad, Sutardji Calzoum Bachri, Amin Rais, dan seterusnya. Apakah pengantar-pengantar dari para tokoh itu salah dan haram?
Oleh sebab itu, saya beranggapan hubungan ataupun kededakatan politikus dan sastrawan (seniman pada umumnya) adalah sah. Bahkan harmonisasi itu semestinya dibangun. Tentu dengan catatan, keduanya untuk kemaslahatan dan karena cinta terhadap kesenian.
Dalam tulisan ini bukan maksud saya ingin membela di antara keduanya: Asarpin dan Isbedy. Hanya kebetulan, saya dipercaya untuk mendesain sampul buku Anjing Dini Hari. Jadi sedikit-banyak saya pernah mengobrol dengan pimpinan penerbit buku Rumah Aspirasi Rakyat ataupun penyairnya.
Saya kira, Asarpin terlalu jauh saat mendekati hubungan politikus dan sastrawan dengan mengambil contoh dari salah satu tokoh dalam Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer demi membenarkan opininya atas hubungan Alzier dengan Isbedy. Jika politik di zaman Lekra, politik sangat memengaruhi karya sastra. Bahkan hingga perlakuan pembakaran karya sastra dan senimannya diburu. Maka di era kini, sastra tetap independen dan bebas dari unsur politik. Betapa pun senimannya (sastrawannya) berhubungan dekat (harmonis) dengan politikus. Artinya, hubungan keduanya tak lebih sebagai hubungan kemanusiaan yang dipertemukan di dalam kesenian.
Sebagai pemerhati sastra, saya sebenarnya berharap besar pada Asarpin dapat membahas karya-karya puisi Isbedy Stiawan Z.S. dalam Anjing Dini Hari dan bukan hubungan sastrawan dengan politikus. Sebab, puisi-puisi Isbedy berdiri tunggal dan tidak satu pun karyanya dalam buku itu memiliki interaksi kuat dengan tokoh Alzier Dianis Thabranie sebagai politikus. Berbeda sekali dengan seniman-seniman Lekra saat berkuasa. Puisi-puisi Isbedy juga tidak berhubungan erat dengan Partai Golkar.
Dengan kata lain, Alzier Dianis Thabrani–Anjing Dini Hari hanyalah hubungan dengan penerbit, dalam hal ini Rumah Aspirasi Rakyat yang menerbitkan biografi Alzier. Sementara, Isbedy Stiawan Z.S., saya melihat hanya sebatas hubungan dua tokoh dari dunia yang berbeda.
Penerbitan buku yang mendapat sambutan seorang tokoh, bukan hal baru. Kalau saya tak salah ingat, tatkala puisi-puisi berbahasa Lampung Udo Z. Karzi kali pertama diterbitkan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung juga mendapat pengantar dari Kadis dan Kasubdin Dinas Pendidikan Provinsi Lampung. Hal sama ketika kumpulan cerpen Hasanuddin Z. Arifin, kumpulan esai Oyos Saroso H.N., kumpulan puisi Isbedy Stiawan Z.S. yang diterbitkan Subdin Dinas Pendidikan bekerja sama Jung Foundation juga diberi pengantar kepala dinas, kasubdin, dan direktur Jung Foundation.
Lalu salahnya di mana jika seorang Isbedy Stiawan Z.S. dalam buku puisi Anjing Dini Hari mendapat kata pengantar Alzier? Apakah ketika Lekra sebagai lembaga underbrow Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap menyalahi kesenian sekiranya pementasan ataupun penerbitkan buku pada saat itu mendapat sambutan dari pimpinan partai terlarang itu?
Opini Asarpin boleh jadi lahir dari ’’kenyinyiran” karena menganggap tabu bahwa seorang politikus sekelas Alzier memberikan kata pengantar bagi penerbitan buku. Kemudian dibarengi kecurigaan yang saya kira sangatlah berlebihan, seakan antara Alzier dan Isbedy ada permainan politik.
Tetapi hendaklah jangan setiap gerakan, karena seseorang itu politisi, lalu digeneralisasi sebagai perlakuan politik. Bagaimana sekiranya seseorang seniman yang tiba-tiba diberi pengantar gubernur, apakah ia patut diklaim bagian dari rezim pemerintah? Betapa banyak seniman di daerah ini, kalau selalu diklaim sebagai bagian dari yang memberi pengantar/sambutan, menjadi tidak netral?
Marilah kita melihat dari penerbitan buku puisi Anjing Dini Hari Isbedy Stiawan yang diberi pengantar Alzier Dianis Thabranie itu sebagai sinergitas Isbedy-Alzier. Seperti juga sinergitas Isbedy dengan pelukis tergolong mahal Dirot Kadirah yang menyumbangkan karya lukisnya untuk sampul buku kumpulan puisi ini.
Sudah saatnya seniman tidak berada dalam keeksklusifannya, tapi harus berani terbuka dengan pihak-pihak mana pun. Seperti juga dilakukan para sastrawan semacam Hamsad Rangkuti yang pernah didanai Pertamina untuk menulis novel Klamono atau sejumlah seniman/sastrawan yang didanani sebuah lembaga atau perorangan untuk menetap di suatu kota atau tempat. Apakah salah? Apakah karena pula buku Anjing Dini Hari diberi pengantar oleh politikus Alzier berarti haram? Alangkah baiknya pikiran serupa ini mesti diuji ulang.
Akhirnya menguitip pribahasa di bagian awal tulisan ini, semakin tinggi seseorang memang semakin besar angin menggoyang. Isbedy adalah contoh. Salam.
*) Alumni STBA Teknokrat Bandarlampung
Baca ini: http://sastra-indonesia.com/2010/07/politikus-dan-sastrawan/
http://www.radarlampung.co.id/
Semakin Tinggi Pohon, Semakin Besar Angin Menggoyang.
KEPRIHATINAN sekaligus kecurigaan Asarpin menulis ’’Politikus dan Sastrawan’’ sebagaimana dimuat Radar Lampung (Sabtu, 24/4) berdasar bincang atas buku kumpulan puisi Anjing Dini Hari karya Isbedy Stiawan Z.S. menarik sekali untuk ditanggapi.
Asarpin, yang saya ketahui adalah esais Lampung dan buku sastra berbahasa Lampung-nya mendapat anugerah Rancage. Tetapi, esai-esainya bukan menukik ke masalah sastra dan budaya itu sendiri. Melainkan hanya berada di permukaan dan menyoal permukaan. Hal ini pula saya amati dalam opini kali ini.
Dengan referensi cukup melimpah demi kementerengan tulisannya sekaligus untuk memperkuat percakapannya, Asarpin sampai pada kesimpulan, ’’Tapi apa betul memang Alzier Dianis Thabranie yang menulis itu atau ada penulis hantu?” Sebuah ’’kecurigaan” yang semestinya tidak keluar dari seorang Asarpin.
Apakah Asarpin juga akan mencurigai Susilo Bambang Yudhoyono saat bepridato: bahwa teks pidatonya adalah bikinan dia ataukah ada yang menulis? Begitu pula pejabat atau politikus lain saat memberi sambutan.
Hanya, saya meyakini pernyataan John F. Kennedy bahwa ketika politik bengkok maka puisi yang meluruskan ataupun pernyataan Seno Gumira Ajidarma (apabila pers dibungkam, sastra yang bicara. Bukan politik sebagaimana dikatakan Asarpin, EAS, yang dikutip ulang Alzier) sudah sangat populer sehingga seorang politikus semacam Alzier tentulah tahu. Atau Alzier juga, setidaknya punya ’’orang-orang dekat’’ yang memiliki pengetahuan sastra sudah cukup baik.
Terlepas kalau benar pengantar Alzier dalam buku kumpulan puisi Anjing Dini Hari dibuat oleh ’’orang-orang dekat’’-nya, namun pastilah atas persetujuan Alzier Dianis Thabranie. Bahkan, saya meyakini dia berperan memberi masukan dan mengedit pengantarnya.
Buku Anjing Dini Hari karya Isbedy Stiawan Z.S. diterbitkan Rumah Aspirasi Rakyat, pemiliknya Himawan Imron yang notabene kekerabatannya dengan politikus kontroversial di Lampung itu sangat dekat. Jadi wajar saja jika ia meminta Alzier memberi pengantar atas buku ini. Sama wajarnya tatkala penyair Riau H. Aries Habeba meminta pengantar pejabat negara untuk buku puisi Kotak Pos 5.000 dan buku perjalanan hajinya yang banyak mendapat sambutan banyak pejabat di Riau.
Atau, sastrawan yang mendapat pengantar, misalnya, dari Goenawan Mohammad, Sutardji Calzoum Bachri, Amin Rais, dan seterusnya. Apakah pengantar-pengantar dari para tokoh itu salah dan haram?
Oleh sebab itu, saya beranggapan hubungan ataupun kededakatan politikus dan sastrawan (seniman pada umumnya) adalah sah. Bahkan harmonisasi itu semestinya dibangun. Tentu dengan catatan, keduanya untuk kemaslahatan dan karena cinta terhadap kesenian.
Dalam tulisan ini bukan maksud saya ingin membela di antara keduanya: Asarpin dan Isbedy. Hanya kebetulan, saya dipercaya untuk mendesain sampul buku Anjing Dini Hari. Jadi sedikit-banyak saya pernah mengobrol dengan pimpinan penerbit buku Rumah Aspirasi Rakyat ataupun penyairnya.
Saya kira, Asarpin terlalu jauh saat mendekati hubungan politikus dan sastrawan dengan mengambil contoh dari salah satu tokoh dalam Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer demi membenarkan opininya atas hubungan Alzier dengan Isbedy. Jika politik di zaman Lekra, politik sangat memengaruhi karya sastra. Bahkan hingga perlakuan pembakaran karya sastra dan senimannya diburu. Maka di era kini, sastra tetap independen dan bebas dari unsur politik. Betapa pun senimannya (sastrawannya) berhubungan dekat (harmonis) dengan politikus. Artinya, hubungan keduanya tak lebih sebagai hubungan kemanusiaan yang dipertemukan di dalam kesenian.
Sebagai pemerhati sastra, saya sebenarnya berharap besar pada Asarpin dapat membahas karya-karya puisi Isbedy Stiawan Z.S. dalam Anjing Dini Hari dan bukan hubungan sastrawan dengan politikus. Sebab, puisi-puisi Isbedy berdiri tunggal dan tidak satu pun karyanya dalam buku itu memiliki interaksi kuat dengan tokoh Alzier Dianis Thabranie sebagai politikus. Berbeda sekali dengan seniman-seniman Lekra saat berkuasa. Puisi-puisi Isbedy juga tidak berhubungan erat dengan Partai Golkar.
Dengan kata lain, Alzier Dianis Thabrani–Anjing Dini Hari hanyalah hubungan dengan penerbit, dalam hal ini Rumah Aspirasi Rakyat yang menerbitkan biografi Alzier. Sementara, Isbedy Stiawan Z.S., saya melihat hanya sebatas hubungan dua tokoh dari dunia yang berbeda.
Penerbitan buku yang mendapat sambutan seorang tokoh, bukan hal baru. Kalau saya tak salah ingat, tatkala puisi-puisi berbahasa Lampung Udo Z. Karzi kali pertama diterbitkan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung juga mendapat pengantar dari Kadis dan Kasubdin Dinas Pendidikan Provinsi Lampung. Hal sama ketika kumpulan cerpen Hasanuddin Z. Arifin, kumpulan esai Oyos Saroso H.N., kumpulan puisi Isbedy Stiawan Z.S. yang diterbitkan Subdin Dinas Pendidikan bekerja sama Jung Foundation juga diberi pengantar kepala dinas, kasubdin, dan direktur Jung Foundation.
Lalu salahnya di mana jika seorang Isbedy Stiawan Z.S. dalam buku puisi Anjing Dini Hari mendapat kata pengantar Alzier? Apakah ketika Lekra sebagai lembaga underbrow Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap menyalahi kesenian sekiranya pementasan ataupun penerbitkan buku pada saat itu mendapat sambutan dari pimpinan partai terlarang itu?
Opini Asarpin boleh jadi lahir dari ’’kenyinyiran” karena menganggap tabu bahwa seorang politikus sekelas Alzier memberikan kata pengantar bagi penerbitan buku. Kemudian dibarengi kecurigaan yang saya kira sangatlah berlebihan, seakan antara Alzier dan Isbedy ada permainan politik.
Tetapi hendaklah jangan setiap gerakan, karena seseorang itu politisi, lalu digeneralisasi sebagai perlakuan politik. Bagaimana sekiranya seseorang seniman yang tiba-tiba diberi pengantar gubernur, apakah ia patut diklaim bagian dari rezim pemerintah? Betapa banyak seniman di daerah ini, kalau selalu diklaim sebagai bagian dari yang memberi pengantar/sambutan, menjadi tidak netral?
Marilah kita melihat dari penerbitan buku puisi Anjing Dini Hari Isbedy Stiawan yang diberi pengantar Alzier Dianis Thabranie itu sebagai sinergitas Isbedy-Alzier. Seperti juga sinergitas Isbedy dengan pelukis tergolong mahal Dirot Kadirah yang menyumbangkan karya lukisnya untuk sampul buku kumpulan puisi ini.
Sudah saatnya seniman tidak berada dalam keeksklusifannya, tapi harus berani terbuka dengan pihak-pihak mana pun. Seperti juga dilakukan para sastrawan semacam Hamsad Rangkuti yang pernah didanai Pertamina untuk menulis novel Klamono atau sejumlah seniman/sastrawan yang didanani sebuah lembaga atau perorangan untuk menetap di suatu kota atau tempat. Apakah salah? Apakah karena pula buku Anjing Dini Hari diberi pengantar oleh politikus Alzier berarti haram? Alangkah baiknya pikiran serupa ini mesti diuji ulang.
Akhirnya menguitip pribahasa di bagian awal tulisan ini, semakin tinggi seseorang memang semakin besar angin menggoyang. Isbedy adalah contoh. Salam.
*) Alumni STBA Teknokrat Bandarlampung
Baca ini: http://sastra-indonesia.com/2010/07/politikus-dan-sastrawan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar