M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/
Kemajuan gerak peradaban manusia, membawa pada kompleksitas nilai kehidupan, yang diantaranya semakin meluasnya pergaulan antara manusia. Pergaulan yang luas, dari berbagai macam suku bangsa, salah satu faktor yang menyebabkan suatu komunikasi budaya, yang memunculkan gejala mondial dan pluralisme.
Budaya dapat dibilang sebagai hasil belajar, antar agen kebudayaan yang keberadaannya terus mengalami perkembangan. Perkembangan ini terus terjadi, baik secara material maupun secara non material, yang di dalam gerak kebudayaan seperti ini memungkinkan adanya internalisasi, sosialisasi maupun akulturasi. Dalam gerak kebudayaan juga dapat menimbulkan berbagai konflik di masyarakat, ketika para agen kebudayaan terikat oleh primordialisme.
Adanya komunikasi semacam ini, biasanya juga mempengaruhi para sastrawan di dalam menelurkan karya mereka. Mengingat suatu aspek dalam kajian sastra yang dikemukakan Teeuw (1990) bahwa sastra tidak dilahirkan dalam kekosongan budaya. Maupun ungkapan dari De Bonald yang memberikan patokan mengenai nilai lain dari karya sastra yaitu sebagai cerminan perasaan masyarakatnya.
Karya sastra secara refleks menangkap fenomena ini. Komunikasi budaya memberikan penggambaran dan sumbangsih dalam penciptaan karya. Interaksi kebudayaan terekam, sebagai penggambaran kisah dari suatu masyarakat di waktu tertentu. Sebut saja novel Bumi Manusia (2006) karya almarhum Pramoedya Ananta Toer yang di dalamnya mengantongi fenomena komunikasi budaya masyarakat Belanda dengan Jawa.
Wilayah ini berangkat karena fakta sastra sebagai karya imajinatif yang menawarkan gambaran kehidupan (selayaknya kehidupan kita sehari-hari). Cerita di dalam kehidupan karya, mungkin saja terjadi atau pernah terjadi dalam lingkungan realitas sosial pengarang. Karena bagaimana pun juga, Scholes pun mengatakan bahwa adanya kesinambungan antara dunia nyata dengan dunia imajinasi yang keduanya saling mempengaruhi dan membangun. Untuk itu, tidak berlebihan ketika Umar Junus meyakini, bahwa sastra sebagai suatu dokumen budaya.
Di Indonesia sendiri, terdapat begitu banyak novel terjemahan yang beredar di pasar. Novel ini secara langsung dan tidak, mengemban misi untuk mengusung kebudayaan masyarakat penciptanya ke tengah budaya Indonesia. Melalui karya, terjadi transformasi budaya. Karya sastra terjemahan, film, dan produk kebudayaan asing yang berada di pasar Indonesia menjadi pion-pion invansi. Proses penguasaan oleh satu kebudayaan atas kebudayaan lain terjadi melalui produk yang terus membanjir. Misalnya, kehadiran novel terjemahan yang terus membanjir dapat berperan sebagai invansi kebudayaan yang nyaris tidak terdengar.
Keadaan seperti ini, yang mungkin saja menjadi landasan dalam penulisan buku Prahara Kebudayaan di tahun 1930an. Gejolak kebudayaan yang memanas melahirkan berbagai gerakan kebudayaan yang memiliki misi berbeda. misalnya saja lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang (SKG) yang berusaha mengangkat pandangan Humanisme Universal sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia. Salah satu pernyataan SKG yang mengungkapkan diri sebagai “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” dapat dipandang sebagai usaha untuk membangun kebudayaan Indonesia baru dari sendi-sendi kebudayaan yang juga baru.
Salah satu konsep perubahan yang diusung SKG saat itu adalah Revolusi Nilai (mental), dengan usaha menetapkan nilai baru bagi kebudayaan Indonesia. Revolusi nilai, terdengar lembut namun keberadaannya dapat menggeser nilai kebudayaan asli, karena itu humanisme universal itu patut dicurigai. Darimana asal penciptaan nilai baru sebagai sendi kebudayaan tersebut? Ketika kita berusaha menilik kembali humanisme universal, maka sendi Indonesia baru adalah sendi kebudayaan yang menjadikan Barat (Eropa dan Amerika) sebagai kiblat kebudayaan. Kemudian, di dalamnya kita akan dihadapkan pada dalih nasionalisme.
Humanisme universal yang diusung SKG memperolah bantahan dari golongan yang lebih mengedepankan kebudayaan rakyat. Hal-hal yang merugikan kebudayaan rakyat harus ditolak, karena paham humanisme universal dianggap telah ternodai oleh borjuasi.
Kondisi seperti ini, yang pada masa kita sekarang ini sangat penting untuk menjadi kajian. Apabila dahulu, para budayawan mempertentangkan mengenai esensi kebudayaan Indonesia, yang didalamnya sarat dengan kepentingan politis, kita menghadapi sesuatu yang lebih baru dan tersembunyi. Invansi kebudayaan yang tersembunyi, bahkan hadir melalui tangan kita sendiri perlu mendapatkan perhatian lebih. Karena, tentu saja dari kita masih ingin melihat Indonesia banget di sepuluh tahun ke depan, atau tidak. Semua usaha dan pilihan ada di tangan kita.
Studio SDS Fictionbooks, 20 Februari 2011
http://sastra-indonesia.com/
Kemajuan gerak peradaban manusia, membawa pada kompleksitas nilai kehidupan, yang diantaranya semakin meluasnya pergaulan antara manusia. Pergaulan yang luas, dari berbagai macam suku bangsa, salah satu faktor yang menyebabkan suatu komunikasi budaya, yang memunculkan gejala mondial dan pluralisme.
Budaya dapat dibilang sebagai hasil belajar, antar agen kebudayaan yang keberadaannya terus mengalami perkembangan. Perkembangan ini terus terjadi, baik secara material maupun secara non material, yang di dalam gerak kebudayaan seperti ini memungkinkan adanya internalisasi, sosialisasi maupun akulturasi. Dalam gerak kebudayaan juga dapat menimbulkan berbagai konflik di masyarakat, ketika para agen kebudayaan terikat oleh primordialisme.
Adanya komunikasi semacam ini, biasanya juga mempengaruhi para sastrawan di dalam menelurkan karya mereka. Mengingat suatu aspek dalam kajian sastra yang dikemukakan Teeuw (1990) bahwa sastra tidak dilahirkan dalam kekosongan budaya. Maupun ungkapan dari De Bonald yang memberikan patokan mengenai nilai lain dari karya sastra yaitu sebagai cerminan perasaan masyarakatnya.
Karya sastra secara refleks menangkap fenomena ini. Komunikasi budaya memberikan penggambaran dan sumbangsih dalam penciptaan karya. Interaksi kebudayaan terekam, sebagai penggambaran kisah dari suatu masyarakat di waktu tertentu. Sebut saja novel Bumi Manusia (2006) karya almarhum Pramoedya Ananta Toer yang di dalamnya mengantongi fenomena komunikasi budaya masyarakat Belanda dengan Jawa.
Wilayah ini berangkat karena fakta sastra sebagai karya imajinatif yang menawarkan gambaran kehidupan (selayaknya kehidupan kita sehari-hari). Cerita di dalam kehidupan karya, mungkin saja terjadi atau pernah terjadi dalam lingkungan realitas sosial pengarang. Karena bagaimana pun juga, Scholes pun mengatakan bahwa adanya kesinambungan antara dunia nyata dengan dunia imajinasi yang keduanya saling mempengaruhi dan membangun. Untuk itu, tidak berlebihan ketika Umar Junus meyakini, bahwa sastra sebagai suatu dokumen budaya.
Di Indonesia sendiri, terdapat begitu banyak novel terjemahan yang beredar di pasar. Novel ini secara langsung dan tidak, mengemban misi untuk mengusung kebudayaan masyarakat penciptanya ke tengah budaya Indonesia. Melalui karya, terjadi transformasi budaya. Karya sastra terjemahan, film, dan produk kebudayaan asing yang berada di pasar Indonesia menjadi pion-pion invansi. Proses penguasaan oleh satu kebudayaan atas kebudayaan lain terjadi melalui produk yang terus membanjir. Misalnya, kehadiran novel terjemahan yang terus membanjir dapat berperan sebagai invansi kebudayaan yang nyaris tidak terdengar.
Keadaan seperti ini, yang mungkin saja menjadi landasan dalam penulisan buku Prahara Kebudayaan di tahun 1930an. Gejolak kebudayaan yang memanas melahirkan berbagai gerakan kebudayaan yang memiliki misi berbeda. misalnya saja lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang (SKG) yang berusaha mengangkat pandangan Humanisme Universal sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia. Salah satu pernyataan SKG yang mengungkapkan diri sebagai “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” dapat dipandang sebagai usaha untuk membangun kebudayaan Indonesia baru dari sendi-sendi kebudayaan yang juga baru.
Salah satu konsep perubahan yang diusung SKG saat itu adalah Revolusi Nilai (mental), dengan usaha menetapkan nilai baru bagi kebudayaan Indonesia. Revolusi nilai, terdengar lembut namun keberadaannya dapat menggeser nilai kebudayaan asli, karena itu humanisme universal itu patut dicurigai. Darimana asal penciptaan nilai baru sebagai sendi kebudayaan tersebut? Ketika kita berusaha menilik kembali humanisme universal, maka sendi Indonesia baru adalah sendi kebudayaan yang menjadikan Barat (Eropa dan Amerika) sebagai kiblat kebudayaan. Kemudian, di dalamnya kita akan dihadapkan pada dalih nasionalisme.
Humanisme universal yang diusung SKG memperolah bantahan dari golongan yang lebih mengedepankan kebudayaan rakyat. Hal-hal yang merugikan kebudayaan rakyat harus ditolak, karena paham humanisme universal dianggap telah ternodai oleh borjuasi.
Kondisi seperti ini, yang pada masa kita sekarang ini sangat penting untuk menjadi kajian. Apabila dahulu, para budayawan mempertentangkan mengenai esensi kebudayaan Indonesia, yang didalamnya sarat dengan kepentingan politis, kita menghadapi sesuatu yang lebih baru dan tersembunyi. Invansi kebudayaan yang tersembunyi, bahkan hadir melalui tangan kita sendiri perlu mendapatkan perhatian lebih. Karena, tentu saja dari kita masih ingin melihat Indonesia banget di sepuluh tahun ke depan, atau tidak. Semua usaha dan pilihan ada di tangan kita.
Studio SDS Fictionbooks, 20 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar