Asarpin
http://www.radarlampung.co.id/
Sastrawan dan politikus itu hanya profesi. Bisa juga disebut pekerjaan walau mungkin tak pernah ada sastrawan dan politikus yang menulis pekerjaan di KTP-nya sebagai sastrawan atau politikus. Sebagai profesi, keduanya bukan dua pekerjaan yang berlawanan. Itu seharusnya. Tapi dalam praktiknya tak jarang justru sering dipertentangkan.
KITA punya cacatan sejarah yang saling tolak antara sastrawan dan politikus. Ada sastrawan yang keberatan dengan politik sebagai panglima walau bahasa Indonesia yang digunakan para sastrawan untuk menulis puisi itu kenyataannya berasal dari kepanglimaan politik.
Puisi Indonesia mau tak mau bermula dari soal politik. Sudah sewajarnya jika para politikus mengklaim bahwa politik sebagai panglima. Masalahnya bukan itu, tapi apakah dengan semboyan politik sebagai panglima itu sastra tetap otonom, independen, dan tidak didikte oleh kemauan para politikus. Kalau ternyata politikus justru memusuhi sastra, maka wajar saja jika sastrawan menolak kepanglimaan politik itu.
Hubungan sastra dan politik berlangsung sudah sangat tua. Kadang harmonis, kadang gontok-gontokan, kadang damai dan kadang saling rebutan kapling. Kita teringat sastrawan besar Chili, Pablo Neruda, yang pacak dengan persoalan politik negerinya.
Pada suatu hari, penyair Neruda mengambil keputusan sederhana tentang bagaimana seharusnya sebuah puisi ditulis. Katanya, bahasa puisi itu tak usah muluk tapi lumrah saja. Orang bisa paham, itu yang penting. Berhubungan Neruda juga merasa terpanggil untuk menulis tentang masalah politik, maka ada satu buku kumpulan sajaknya yang sangat politis.
Neruda bersahabat baik dengan presiden Allende. Bahkan sang presiden memaklumkan hari besar nasional Chili jatuh pada saat Neruda menerima Hadiah Nobel di tahun 1971. Jarang ada penyair seakrab kedua insan itu. Mungkin karena keduanya penganut Marxis maka merasa sejalan. Si sastrawan tak merasa keberatan kalau politik dijadikan sebagai panglima. Apalagi kalau kenyataannya memang demikian.
Untuk mengambil contoh sebenarnya tak perlu jauh-jauh. Sutan Sjahrir bersahabat baik dengan Chairil Anwar. Keduanya bukan Marxis, walaupun pikiran-pikiran Sjahrir sangat dekat dengan Marxis. Mengapa keduanya bersahabat? Entahlah. Tapi mungkin karena keduanya merasa cocok. Itu saja. Atau karena Sjahrir merasa puisi Aku dan Semangat Chairil cocok dengan semangat pergerakan yang sedang mendidih, atau pas dengan jiwa romantisnya.
Kalau setelah Neruda masih banyak sastrawan yang terlibat persoalan politik di Chili, seperti Cortazar, Garcia Marquez dan Vergas Llosa, di Indonesia setelah Chairil semakin langka. Hubungan kedua profesional itu rusak. Entah siapa yang mulai main hujat dan main menyalahkan. Kata si politikus, sastra itu sebuah kemewahan, ber-indah-indah dengan kata saja, tak bermanfaat untuk perubahan. Kata si sastrawan, politik itu kotor, politikus itu korup, culas, dan tak patut dijadikan teman.
Wiratmo Soekito konon pernah coba-coba bergaul dengan politikus, tapi tak mendapat banyak perhatian. Rendra hanya bergabung dengan pengusaha ternama, bukan politikus. Dan sekarang tambah sulit mencari sastrawan yang mau berteman dengan politikus, apalagi jika politikus itu sedang menjabat sebagai menteri, presiden atau jaksa agung.
Tapi di Lampung ada penyair Isbedy Stiawan Z.S. yang berusaha “mengundang” politikus memperbincangkan puisi. Tapi kita tak boleh curiga bahwa Isbedy mengambil keputusan sederhana dengan mengorbankan puisi. Puisinya tetap ditulis dalam bahasanya, tidak disederhanakan dan tidak ada kesan agar para politikus mudah mencerna dan memahami sajak-sajaknya.
Kalau langkah Isbedy itu muncul dari keprihatinan makin jauhnya hubungan sastra dan politik serta makin renggangnya relasi pergaulan antara sastrawan dan politikus, padahal keduanya sama-sama menyuarakan kebenaran pedih, maka langkah ini mesti diapresiasi.
Isbedy mengharapkan jarak antara sastrawan dan politikus seharusnya diperpendek dan jangan lagi seperti kucing dengan anjing di pagi hari yang kelaparan, tapi seperti musik harmoni yang rukun dan tentram.
Buku kumpulan puisi terbarunya yang diberi judul Anjing Dini Hari (2010) diberi pengantar oleh politikus Golkar Lampung yang sangat kontroversial: Alzier Dianis Thabrani. Dalam pengantarnya tampak bahwa Alzier mengenal Isbedy dengat dekat. Si Alzier tampak berusaha mengulang slogan lama tentang politik dan sastra. Kalau politik dibungkam, demikian Alzier, sastra harus bicara. Tapi apa betul memang Alzier yang menulis itu atau ada penulis hantu?
Saya tak mau buruk sangka. Saya percaya masih ada politikus yang mengerti sastra dan mau ikut membincangkan persoalan sastra dengan tulus. Politikus itu kebanyakan orang terpelajar yang bisa saja mereka mengenal puisi karena memang mereka rajin membuka buku-buku puisi, atau minimal rajin mendengar penyair mendeklamasikan sajaknya.
Laku Isbedy mengundang politikus ikut mengantarkan buku puisinya ke khalayak pembaca seakan ingin membeberkan problem politik lewat penyamaran sedikit mungkin. Tak perlu sembunyi-sembunyi lagi untuk sekadar bergaul dengan politikus, tokoh partai atau pejabat negara. Berlaku jujurlah sudah sejak dalam hati, apalagi dalam perbuatan (sambil menirukan kata-kata salah satu tokoh dalam novel Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer), karena sembunyi-sembunyi akan tetap tercium juga. Dan, rasa malu yang ditanggung akan lebih berat.
Problem pertemanan antara politikus dan sastrawan yang mungkin masih disamarkan dan dirahasiakan keberadaannya selama ini telah muncul secara terbuka dan tertulis dalam buku. Ingatan masyarakat sastra akan lebih lama. Bahwa suatu waktu di Lampung pernah ada penyair yang buku kumpulan puisinya diberi pengantar oleh mantan gubernur terpilih yang tidak dilantik oleh presiden.
Siapa tahu dengan mengawetkan ingatan itu, hubungan sastra dan politik benar-benar semakin lengket, akrab dan intim. Sebab, memang tak akan pernah ada lagi semuanya itu.
*) Pembaca Sastra, Warga Jl. Imam Bonjol 147, Bandarlampung.
http://www.radarlampung.co.id/
Sastrawan dan politikus itu hanya profesi. Bisa juga disebut pekerjaan walau mungkin tak pernah ada sastrawan dan politikus yang menulis pekerjaan di KTP-nya sebagai sastrawan atau politikus. Sebagai profesi, keduanya bukan dua pekerjaan yang berlawanan. Itu seharusnya. Tapi dalam praktiknya tak jarang justru sering dipertentangkan.
KITA punya cacatan sejarah yang saling tolak antara sastrawan dan politikus. Ada sastrawan yang keberatan dengan politik sebagai panglima walau bahasa Indonesia yang digunakan para sastrawan untuk menulis puisi itu kenyataannya berasal dari kepanglimaan politik.
Puisi Indonesia mau tak mau bermula dari soal politik. Sudah sewajarnya jika para politikus mengklaim bahwa politik sebagai panglima. Masalahnya bukan itu, tapi apakah dengan semboyan politik sebagai panglima itu sastra tetap otonom, independen, dan tidak didikte oleh kemauan para politikus. Kalau ternyata politikus justru memusuhi sastra, maka wajar saja jika sastrawan menolak kepanglimaan politik itu.
Hubungan sastra dan politik berlangsung sudah sangat tua. Kadang harmonis, kadang gontok-gontokan, kadang damai dan kadang saling rebutan kapling. Kita teringat sastrawan besar Chili, Pablo Neruda, yang pacak dengan persoalan politik negerinya.
Pada suatu hari, penyair Neruda mengambil keputusan sederhana tentang bagaimana seharusnya sebuah puisi ditulis. Katanya, bahasa puisi itu tak usah muluk tapi lumrah saja. Orang bisa paham, itu yang penting. Berhubungan Neruda juga merasa terpanggil untuk menulis tentang masalah politik, maka ada satu buku kumpulan sajaknya yang sangat politis.
Neruda bersahabat baik dengan presiden Allende. Bahkan sang presiden memaklumkan hari besar nasional Chili jatuh pada saat Neruda menerima Hadiah Nobel di tahun 1971. Jarang ada penyair seakrab kedua insan itu. Mungkin karena keduanya penganut Marxis maka merasa sejalan. Si sastrawan tak merasa keberatan kalau politik dijadikan sebagai panglima. Apalagi kalau kenyataannya memang demikian.
Untuk mengambil contoh sebenarnya tak perlu jauh-jauh. Sutan Sjahrir bersahabat baik dengan Chairil Anwar. Keduanya bukan Marxis, walaupun pikiran-pikiran Sjahrir sangat dekat dengan Marxis. Mengapa keduanya bersahabat? Entahlah. Tapi mungkin karena keduanya merasa cocok. Itu saja. Atau karena Sjahrir merasa puisi Aku dan Semangat Chairil cocok dengan semangat pergerakan yang sedang mendidih, atau pas dengan jiwa romantisnya.
Kalau setelah Neruda masih banyak sastrawan yang terlibat persoalan politik di Chili, seperti Cortazar, Garcia Marquez dan Vergas Llosa, di Indonesia setelah Chairil semakin langka. Hubungan kedua profesional itu rusak. Entah siapa yang mulai main hujat dan main menyalahkan. Kata si politikus, sastra itu sebuah kemewahan, ber-indah-indah dengan kata saja, tak bermanfaat untuk perubahan. Kata si sastrawan, politik itu kotor, politikus itu korup, culas, dan tak patut dijadikan teman.
Wiratmo Soekito konon pernah coba-coba bergaul dengan politikus, tapi tak mendapat banyak perhatian. Rendra hanya bergabung dengan pengusaha ternama, bukan politikus. Dan sekarang tambah sulit mencari sastrawan yang mau berteman dengan politikus, apalagi jika politikus itu sedang menjabat sebagai menteri, presiden atau jaksa agung.
Tapi di Lampung ada penyair Isbedy Stiawan Z.S. yang berusaha “mengundang” politikus memperbincangkan puisi. Tapi kita tak boleh curiga bahwa Isbedy mengambil keputusan sederhana dengan mengorbankan puisi. Puisinya tetap ditulis dalam bahasanya, tidak disederhanakan dan tidak ada kesan agar para politikus mudah mencerna dan memahami sajak-sajaknya.
Kalau langkah Isbedy itu muncul dari keprihatinan makin jauhnya hubungan sastra dan politik serta makin renggangnya relasi pergaulan antara sastrawan dan politikus, padahal keduanya sama-sama menyuarakan kebenaran pedih, maka langkah ini mesti diapresiasi.
Isbedy mengharapkan jarak antara sastrawan dan politikus seharusnya diperpendek dan jangan lagi seperti kucing dengan anjing di pagi hari yang kelaparan, tapi seperti musik harmoni yang rukun dan tentram.
Buku kumpulan puisi terbarunya yang diberi judul Anjing Dini Hari (2010) diberi pengantar oleh politikus Golkar Lampung yang sangat kontroversial: Alzier Dianis Thabrani. Dalam pengantarnya tampak bahwa Alzier mengenal Isbedy dengat dekat. Si Alzier tampak berusaha mengulang slogan lama tentang politik dan sastra. Kalau politik dibungkam, demikian Alzier, sastra harus bicara. Tapi apa betul memang Alzier yang menulis itu atau ada penulis hantu?
Saya tak mau buruk sangka. Saya percaya masih ada politikus yang mengerti sastra dan mau ikut membincangkan persoalan sastra dengan tulus. Politikus itu kebanyakan orang terpelajar yang bisa saja mereka mengenal puisi karena memang mereka rajin membuka buku-buku puisi, atau minimal rajin mendengar penyair mendeklamasikan sajaknya.
Laku Isbedy mengundang politikus ikut mengantarkan buku puisinya ke khalayak pembaca seakan ingin membeberkan problem politik lewat penyamaran sedikit mungkin. Tak perlu sembunyi-sembunyi lagi untuk sekadar bergaul dengan politikus, tokoh partai atau pejabat negara. Berlaku jujurlah sudah sejak dalam hati, apalagi dalam perbuatan (sambil menirukan kata-kata salah satu tokoh dalam novel Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer), karena sembunyi-sembunyi akan tetap tercium juga. Dan, rasa malu yang ditanggung akan lebih berat.
Problem pertemanan antara politikus dan sastrawan yang mungkin masih disamarkan dan dirahasiakan keberadaannya selama ini telah muncul secara terbuka dan tertulis dalam buku. Ingatan masyarakat sastra akan lebih lama. Bahwa suatu waktu di Lampung pernah ada penyair yang buku kumpulan puisinya diberi pengantar oleh mantan gubernur terpilih yang tidak dilantik oleh presiden.
Siapa tahu dengan mengawetkan ingatan itu, hubungan sastra dan politik benar-benar semakin lengket, akrab dan intim. Sebab, memang tak akan pernah ada lagi semuanya itu.
*) Pembaca Sastra, Warga Jl. Imam Bonjol 147, Bandarlampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar