S Yoga
Jawa Pos 31 Okt2010
Dalam perkembangan sastra kita, dinamika sejarah sastra dunia, sangat berpengaruh. Tengok Pujangga Baru, yang merupakan gema dari angkatan 80 di negeri Belanda. Angkatan Gelanggang atau angkatan 45, yang digemai oleh sastra dunia yang memiliki konsepsi modernisme. Demikian juga dengan dekade 70an, lewat eksistensialisme dan absurditas. Termasuk juga polemik sastra, karya sastra yang bersifat postmodernisme, yang merupakan gema yang sudah berkecamuk pada tahun 70an di Eropa. Tak ketinggalan polemik sastra kontekstual, yang merupakan gema dari gerakan sastra multikultur yang mengejala di sastra dunia hingga kini.
Realita Sosial
Dalam perkembangan sastra kita selama satu abad ini, selalu dijiwai oleh sastra realisme, kita perhatikan semenjak Siti Nurbaya tahun 1920an hingga para pemenang Lomba novel DKJ, 1998-2008, banyak didominasi oleh sastra realita sosial. Yang berangkat dari pengalaman pribadi dan hasil penelitian. Fenomena ini bisa kita jelaskan, dari perkembangan sastra koran dan majalah, yang berkembang sejak lahirnya kesusastraan modern tahun 20 hingga sekarang ini.
Karenanya kehidupan sastra kita lebih banyak didominasi oleh sastra yang bersifat realis, relevan dengan berita atau isi koran dan majalah yang juga menyuarakan realita yang terkini. Sastra dimasa depan, kiranya juga masih akan didominasi oleh sastra realita sosial. Meski bisa jadi media akan berubah menjadi dan berada dalam dunia maya, tapi watak-watak jurnalismenya akan tetap sama, apalagi dalam dunia maya, kepedulian sosial akan semakin tinggi, dimana facebook dan sejenisnya akan memainkan peran penting dan cepat.
Belum lagi problem sosial-politik-ekonomi-hukum di Indonesia yang juga belum beres-beres, sehingga akan memunculkan realita-realita yang dengan mudah bisa menjadi bahan para sastrawan kita. Karena perkembangan sastra pada umumnya, bergandeng tangan dengan perkembangan kebangsaan, pemikiran, dan filsafat pada zamannya. Dalam dinamika realita sosial seringkali sastra realis ini jatuh sebagai dokumen sosial bila benar-benar tidak cermat, sehingga kritik sastra pun bicara tentang intertekstual secara sosial, berkecenderungan untuk bicara hal-hal yang berada diluar karya sastra. Dalam kondisi bangsa yang mengalami ketimpangan sosial, kemarginalan, ketidakberdayaan kaum bawah, kapitalisme menyeruak, politik gelang karet, mafia kasus hukum, demokrasi semu, kehidupan ekonomi yang tidak stabil, kerusakan lingkungan hidup dan goncangan-goncangan keterpecahan bangsa, masih bergetayangannya para teroris. Maka problem-problem sosial ini masih banyak akan mewarnai kehidupan sastra kita dimasa depan, meski bagaimanapun bentuk bahasa dan media sastra nantinya.
Sementara itu dalam kehidupan yang semakin pragmatis ini dan nantinya, maka kehidupan sastra pun akan mengalami pergeseran-pergeseran, dimana sastra yang bersifat serius akan terus digempur oleh kehidupan sastra pop, karena orang secara fisik sudah lelah dan capai oleh kesibukkan dan rutinitas. Ingin mencari sesuatu yang pragmatis dan mendapatkan kenimataan sesaat dan budaya poplah jawabannya, termasuk juga sastra pop yang akan memberikan jawaban.
Sastra Multikultur
Dan dimasa depan mungkinkah migrasi bahasa akan benar-benar terjadi, beralih mengunakan bahas Inggris. Jika hal itu terjadi resikonya, para pengarang akan dianggap, hanya meneruskan, hypogram dari karya-karya pengarang Inggris. Ketika bahasa Inggris yang digunakan tidak mampu melakukan resistensi terhadap bahasa Inggris yang sudah ada. Seperti yang dikatakan Ngugi Wa Thiongo, seorang novelis Kenya yang tinggal di New York, yang juga menulis dalam bahasa Inggris, bahwa para penulis Afrika yang menulis dalam bahasa Inggris tidak akan pernah memproduksi sastra Afrika tapi hanya memproduksi sastra Inggris. Baginya bahasa bukanlah sekedar alat, tapi merupakan pandangan dunia si pengarang. Dan pada akhirnya Ngugi Wa Thiongo, kini menulis dalam bahasa ibu-sukunya, Kikuyu, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Ini artinya bahwa pengarang itu lebih nyaman, sreg, mengunakan bahasa ibu dalam menghasilkan karya sastranya, dalam mengungkapkan-cara pandang dunia-jagad batinnya. Yang bisa jadi akan kehilangan unity-nya, kesatuannya, bila diungkapkan dalam bahasa lain. Sehingga bila kita cermati para penulis sendiri selalu mengalami ketegangan dalam memilih bahasa.
Namun bila mampu melakukan pewarnaan dalam karya sastra yang berbahasa Inggris, dengan melakukan percampuran atau penyerapan-penyerapan. Hingga corak karya sastra yang dihasilkan memiliki citra rasa yang berbeda dengan karya sastra berbahasa Inggris yang sudah ada. Dan karya sastra yang demikian sebenarnya sudah terjadi, dan sudah banyak dilakukan oleh para pengarang keturunan India, Cina dan yang lainnya, misalnya, seperti apa yang dilakukan Bharati Mukherjee, Vikram Seth, John Updike, Joyce Carol Oates, Maxine Hong Kingston, Salman Rushdie, Kazuo Ishiguro, yang pengucapan karya sastranya, mencerminkan situasi kontemporer. Termasuk juga V.S. Naipaul-Trinidad-Tobago, Ben Okri-Nigeria, Michael Ondaatje-Kanada, Derek Walcott, Caryl Philips-Karibia, Keri Hulme-Selandia Baru, Timothy Mo, Rohinton Mistery, Chinua Achebe. Bukan hanya kualitas karyanya, namun adanya kontribusi terhadap perbendaharaan kosa kata dan tata bahasa Inggris. Dengan tema tarik ulur antar identitas, tradisi-modern, dan silang sengkarut kultur yang mereka jelajahi. Sehingga terjadi kerumitan identitas dalam merumuskan jati diri, polibudaya, muncul impresi India, Cina, Jepang dalam khazanah sastra Inggris. Lewat bahasa maupun tema-temanya, sehingga bentuk sastranya menjadi berbeda dari kanon sastra Inggris yang selama ini ada.
Dalam dunia global modial, sudah saatnya meleburkan, menceburkan diri kedalam wilayah diaspora kultural maupun bahasa, yang dapat diambil spirit, ilham maupun keunikan, dan menjadikanya sebuah karya yang bersifat hibrida baru. Dan hal ini sebenarnya sejalan dengan isi, Surat Kepercayaan Gelanggang, “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.” Sehingga seorang pengarang dapat menyerap, mencuri, khasanah sastra Amerika Latin, Inggris, Rusia, Amerika, Perancis, Afrika, India dan Jepang misalnya, kedalam karya sastra yang diciptakan. Karena pengaruh mempengaruhi begitu pesat terjadi ketika kita mengenal sastra modern. Sehingga kedepan pengarang haruslah bersiap-siap menjadi warga dunia baru. Yang identitas-kulturnya bisa selalu berubah, sehingga setiap saat harus selalu mengidentifikasi dirinya sendiri, karena identitas-kultur yang ada, selalu akan dicampuri oleh identitas-kultur yang baru, yang menyerbu dan mengubah kita meski tanpa kita sadari, budaya baru, ungkapan baru dan karya sastra baru. Yang merupakan pengejawantahan dari keterpecahan dan keterguncangan budaya. Dari identitas yang selalu terbelah ini, kita akan menemukkan jatidiri yang sesungguhnya. Yang merupakan resistensi dari kanon atau budaya yang dominan.
Dari perkembangan sastra kita dari zaman ke zaman menunjukkan gejala yang hampir sama. Diantaranya terjadi tarik menarik antara yang tradisi, modern, sinkretisme keduanya atau postmodernisme. Hal ini bisa kita lihat dari perdebatan-perdebatan yang ada dan karya sastra yang dihasilkan. Dimana watak karya yang mewarisi, mempertimbangkan tradisi selalu hadir semenjak para pengarang melayu lama, Amir Hamzah, Ajip Rosidi, WS Rendra, Sutardji Cazlom Bacri, Linus Suyadi, Korrie Layun Rampan dll, hingga kini. Yang pada hakikatnya mereka mencercap spirit lokal dan hendak disintesakan dengan sastra nasional, bahkan dunia. Karena itu sastrawan Subagiyo Sastrowadoyo, menyatakan, Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan dan Goenawan Mohamad, memandang, Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang. Ini artinya kita selalu berada dalam perbatasan dan perjumpaan, saling hilir mudik mempengaruhi, bahkan mungkin tanpa kita sadari.
Kedepan dapat kita lihat sastra multikultur akan makin marak. Sedang yang selama ini kita lihat, masih digandoli subkebudayaan-etnis yang terlalu berat. Contoh beberapa karya dari, Linus Suryadi, Umar Kayam, Korrie Layun Rampan, Wisran Hadi dan Chairul Harun. Pada sastra masa depan tentunya akan kita jumpai sastra multikultur yang mampu melakukan sintesa kultur-etnis yang lebih baik. Sehingga menghasilkan sastra hibrida yang memiliki jati diri sendiri, baik itu sastra multikultur yang berbahasa Indonesia atau yang mengunakan bahasa Inggris, bahkan bahasa Inggris bercitra rasa Indonesia.
Namun pada pertengahan Oktober 2010, Kanselir Jerman, Angela Merkel, membuat pernyataan yang mengejutkan. Ia menegaskan, usaha membangun multikulturalisme di Jerman telah mengalami kegagalan total. Bahkan dua partai Uni Demokrat Kristen dan Uni Sosial Kristen, berkomitmen mewujudkan kultur Jerman yang dominan dan menentang bentuk multikulturalisme. Dan pernyataan ini diucapkan dimana neoliberalisme dan global modial sedemikian dahsyatnya. Komitmen itu memiliki arti penting, bahwa identitas nasional menjadi sebuah wilayah yang paling vital dan menentukan. Di Perancis juga sedang membentengi indentitas nasionalnya, dimana bahasa Perancis menjadi hal yang utama, sebagai jati diri bangsa. Ini artinya multikulturalisme yang terjadi hanya semu belaka, basa-basai, sebuah bayang-bayang dari keragaman. Apakah kesemu-semuan itu juga terjadi dalam kehidupan karya sastra. Sastra multikulturalisme yang ada dan akan berkembang hanyalah bayang-bayang kesusastraan yang sesungguhnya. Untuk menjawabnya tentu kita memerlukan telaah yang mendalam. Dan biarlah masa depan sastra sendiri yang membuktikannya.
***
*) Penyair dan Anggota Biro Sastra DK-Jatim
Sumber: http://syoga.blogspot.com/2010/11/realisme-dan-sastra-multikultur-masa.html
Jawa Pos 31 Okt2010
Dalam perkembangan sastra kita, dinamika sejarah sastra dunia, sangat berpengaruh. Tengok Pujangga Baru, yang merupakan gema dari angkatan 80 di negeri Belanda. Angkatan Gelanggang atau angkatan 45, yang digemai oleh sastra dunia yang memiliki konsepsi modernisme. Demikian juga dengan dekade 70an, lewat eksistensialisme dan absurditas. Termasuk juga polemik sastra, karya sastra yang bersifat postmodernisme, yang merupakan gema yang sudah berkecamuk pada tahun 70an di Eropa. Tak ketinggalan polemik sastra kontekstual, yang merupakan gema dari gerakan sastra multikultur yang mengejala di sastra dunia hingga kini.
Realita Sosial
Dalam perkembangan sastra kita selama satu abad ini, selalu dijiwai oleh sastra realisme, kita perhatikan semenjak Siti Nurbaya tahun 1920an hingga para pemenang Lomba novel DKJ, 1998-2008, banyak didominasi oleh sastra realita sosial. Yang berangkat dari pengalaman pribadi dan hasil penelitian. Fenomena ini bisa kita jelaskan, dari perkembangan sastra koran dan majalah, yang berkembang sejak lahirnya kesusastraan modern tahun 20 hingga sekarang ini.
Karenanya kehidupan sastra kita lebih banyak didominasi oleh sastra yang bersifat realis, relevan dengan berita atau isi koran dan majalah yang juga menyuarakan realita yang terkini. Sastra dimasa depan, kiranya juga masih akan didominasi oleh sastra realita sosial. Meski bisa jadi media akan berubah menjadi dan berada dalam dunia maya, tapi watak-watak jurnalismenya akan tetap sama, apalagi dalam dunia maya, kepedulian sosial akan semakin tinggi, dimana facebook dan sejenisnya akan memainkan peran penting dan cepat.
Belum lagi problem sosial-politik-ekonomi-hukum di Indonesia yang juga belum beres-beres, sehingga akan memunculkan realita-realita yang dengan mudah bisa menjadi bahan para sastrawan kita. Karena perkembangan sastra pada umumnya, bergandeng tangan dengan perkembangan kebangsaan, pemikiran, dan filsafat pada zamannya. Dalam dinamika realita sosial seringkali sastra realis ini jatuh sebagai dokumen sosial bila benar-benar tidak cermat, sehingga kritik sastra pun bicara tentang intertekstual secara sosial, berkecenderungan untuk bicara hal-hal yang berada diluar karya sastra. Dalam kondisi bangsa yang mengalami ketimpangan sosial, kemarginalan, ketidakberdayaan kaum bawah, kapitalisme menyeruak, politik gelang karet, mafia kasus hukum, demokrasi semu, kehidupan ekonomi yang tidak stabil, kerusakan lingkungan hidup dan goncangan-goncangan keterpecahan bangsa, masih bergetayangannya para teroris. Maka problem-problem sosial ini masih banyak akan mewarnai kehidupan sastra kita dimasa depan, meski bagaimanapun bentuk bahasa dan media sastra nantinya.
Sementara itu dalam kehidupan yang semakin pragmatis ini dan nantinya, maka kehidupan sastra pun akan mengalami pergeseran-pergeseran, dimana sastra yang bersifat serius akan terus digempur oleh kehidupan sastra pop, karena orang secara fisik sudah lelah dan capai oleh kesibukkan dan rutinitas. Ingin mencari sesuatu yang pragmatis dan mendapatkan kenimataan sesaat dan budaya poplah jawabannya, termasuk juga sastra pop yang akan memberikan jawaban.
Sastra Multikultur
Dan dimasa depan mungkinkah migrasi bahasa akan benar-benar terjadi, beralih mengunakan bahas Inggris. Jika hal itu terjadi resikonya, para pengarang akan dianggap, hanya meneruskan, hypogram dari karya-karya pengarang Inggris. Ketika bahasa Inggris yang digunakan tidak mampu melakukan resistensi terhadap bahasa Inggris yang sudah ada. Seperti yang dikatakan Ngugi Wa Thiongo, seorang novelis Kenya yang tinggal di New York, yang juga menulis dalam bahasa Inggris, bahwa para penulis Afrika yang menulis dalam bahasa Inggris tidak akan pernah memproduksi sastra Afrika tapi hanya memproduksi sastra Inggris. Baginya bahasa bukanlah sekedar alat, tapi merupakan pandangan dunia si pengarang. Dan pada akhirnya Ngugi Wa Thiongo, kini menulis dalam bahasa ibu-sukunya, Kikuyu, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Ini artinya bahwa pengarang itu lebih nyaman, sreg, mengunakan bahasa ibu dalam menghasilkan karya sastranya, dalam mengungkapkan-cara pandang dunia-jagad batinnya. Yang bisa jadi akan kehilangan unity-nya, kesatuannya, bila diungkapkan dalam bahasa lain. Sehingga bila kita cermati para penulis sendiri selalu mengalami ketegangan dalam memilih bahasa.
Namun bila mampu melakukan pewarnaan dalam karya sastra yang berbahasa Inggris, dengan melakukan percampuran atau penyerapan-penyerapan. Hingga corak karya sastra yang dihasilkan memiliki citra rasa yang berbeda dengan karya sastra berbahasa Inggris yang sudah ada. Dan karya sastra yang demikian sebenarnya sudah terjadi, dan sudah banyak dilakukan oleh para pengarang keturunan India, Cina dan yang lainnya, misalnya, seperti apa yang dilakukan Bharati Mukherjee, Vikram Seth, John Updike, Joyce Carol Oates, Maxine Hong Kingston, Salman Rushdie, Kazuo Ishiguro, yang pengucapan karya sastranya, mencerminkan situasi kontemporer. Termasuk juga V.S. Naipaul-Trinidad-Tobago, Ben Okri-Nigeria, Michael Ondaatje-Kanada, Derek Walcott, Caryl Philips-Karibia, Keri Hulme-Selandia Baru, Timothy Mo, Rohinton Mistery, Chinua Achebe. Bukan hanya kualitas karyanya, namun adanya kontribusi terhadap perbendaharaan kosa kata dan tata bahasa Inggris. Dengan tema tarik ulur antar identitas, tradisi-modern, dan silang sengkarut kultur yang mereka jelajahi. Sehingga terjadi kerumitan identitas dalam merumuskan jati diri, polibudaya, muncul impresi India, Cina, Jepang dalam khazanah sastra Inggris. Lewat bahasa maupun tema-temanya, sehingga bentuk sastranya menjadi berbeda dari kanon sastra Inggris yang selama ini ada.
Dalam dunia global modial, sudah saatnya meleburkan, menceburkan diri kedalam wilayah diaspora kultural maupun bahasa, yang dapat diambil spirit, ilham maupun keunikan, dan menjadikanya sebuah karya yang bersifat hibrida baru. Dan hal ini sebenarnya sejalan dengan isi, Surat Kepercayaan Gelanggang, “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.” Sehingga seorang pengarang dapat menyerap, mencuri, khasanah sastra Amerika Latin, Inggris, Rusia, Amerika, Perancis, Afrika, India dan Jepang misalnya, kedalam karya sastra yang diciptakan. Karena pengaruh mempengaruhi begitu pesat terjadi ketika kita mengenal sastra modern. Sehingga kedepan pengarang haruslah bersiap-siap menjadi warga dunia baru. Yang identitas-kulturnya bisa selalu berubah, sehingga setiap saat harus selalu mengidentifikasi dirinya sendiri, karena identitas-kultur yang ada, selalu akan dicampuri oleh identitas-kultur yang baru, yang menyerbu dan mengubah kita meski tanpa kita sadari, budaya baru, ungkapan baru dan karya sastra baru. Yang merupakan pengejawantahan dari keterpecahan dan keterguncangan budaya. Dari identitas yang selalu terbelah ini, kita akan menemukkan jatidiri yang sesungguhnya. Yang merupakan resistensi dari kanon atau budaya yang dominan.
Dari perkembangan sastra kita dari zaman ke zaman menunjukkan gejala yang hampir sama. Diantaranya terjadi tarik menarik antara yang tradisi, modern, sinkretisme keduanya atau postmodernisme. Hal ini bisa kita lihat dari perdebatan-perdebatan yang ada dan karya sastra yang dihasilkan. Dimana watak karya yang mewarisi, mempertimbangkan tradisi selalu hadir semenjak para pengarang melayu lama, Amir Hamzah, Ajip Rosidi, WS Rendra, Sutardji Cazlom Bacri, Linus Suyadi, Korrie Layun Rampan dll, hingga kini. Yang pada hakikatnya mereka mencercap spirit lokal dan hendak disintesakan dengan sastra nasional, bahkan dunia. Karena itu sastrawan Subagiyo Sastrowadoyo, menyatakan, Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan dan Goenawan Mohamad, memandang, Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang. Ini artinya kita selalu berada dalam perbatasan dan perjumpaan, saling hilir mudik mempengaruhi, bahkan mungkin tanpa kita sadari.
Kedepan dapat kita lihat sastra multikultur akan makin marak. Sedang yang selama ini kita lihat, masih digandoli subkebudayaan-etnis yang terlalu berat. Contoh beberapa karya dari, Linus Suryadi, Umar Kayam, Korrie Layun Rampan, Wisran Hadi dan Chairul Harun. Pada sastra masa depan tentunya akan kita jumpai sastra multikultur yang mampu melakukan sintesa kultur-etnis yang lebih baik. Sehingga menghasilkan sastra hibrida yang memiliki jati diri sendiri, baik itu sastra multikultur yang berbahasa Indonesia atau yang mengunakan bahasa Inggris, bahkan bahasa Inggris bercitra rasa Indonesia.
Namun pada pertengahan Oktober 2010, Kanselir Jerman, Angela Merkel, membuat pernyataan yang mengejutkan. Ia menegaskan, usaha membangun multikulturalisme di Jerman telah mengalami kegagalan total. Bahkan dua partai Uni Demokrat Kristen dan Uni Sosial Kristen, berkomitmen mewujudkan kultur Jerman yang dominan dan menentang bentuk multikulturalisme. Dan pernyataan ini diucapkan dimana neoliberalisme dan global modial sedemikian dahsyatnya. Komitmen itu memiliki arti penting, bahwa identitas nasional menjadi sebuah wilayah yang paling vital dan menentukan. Di Perancis juga sedang membentengi indentitas nasionalnya, dimana bahasa Perancis menjadi hal yang utama, sebagai jati diri bangsa. Ini artinya multikulturalisme yang terjadi hanya semu belaka, basa-basai, sebuah bayang-bayang dari keragaman. Apakah kesemu-semuan itu juga terjadi dalam kehidupan karya sastra. Sastra multikulturalisme yang ada dan akan berkembang hanyalah bayang-bayang kesusastraan yang sesungguhnya. Untuk menjawabnya tentu kita memerlukan telaah yang mendalam. Dan biarlah masa depan sastra sendiri yang membuktikannya.
***
*) Penyair dan Anggota Biro Sastra DK-Jatim
Sumber: http://syoga.blogspot.com/2010/11/realisme-dan-sastra-multikultur-masa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar