Abdul Aziz Rasjid
Bulletin Sastra Pawon edisi 29 III/2010
Lewat tengah hari, 21 Maret 1868, Kapten Nemo menggelar bendera hitam bertuliskan huruf emas N yang terputus–putus di atas kain tipis. Dia, lalu berpaling ke arah matahari yang mengirimkan sinar terakhirnya menjilati laut. Di Kutub Selatan, Kapten yang penuh teka-teki itu berdiri di puncak medan yang setengah porfiris setengah basalt, memandang hamparan ice-field yang menyilaukan, terkesima oleh Nautilus kapal selamnya yang terlihat seakan cetace sedang tidur.
Di Lingkungan udara yang berbau belerang itu, Kapten Nemo teringat pada pelaut-pelaut yang selalu gagal menginjakkan kaki di Kutub Selatan. Dia pun lalu berucap: “Selamat berpisah, matahari! Pergilah, benda langit yang berkilau! Tidurlah di bawah laut tanpa es ini. Biarkan malam enam bulan mengembangkan kegelapannya di atas tanah milik saya yang baru ini!”
Tapi, Kapten Nemo tak ditakdirkan untuk kembali ke Kutub Selatan. Nautilus, kapal selam yang perkasa itu terseret ke dalam Maelstrom —pusaran samudera— di perairan Norwegia. Dengan sengaja atau tidak, ke pusaran itulah Nautilus telah dibawa oleh sang Kapten setelah bertualang 20.000 mil di bawah lautan, mengunjungi Suez sampai Amazon, menemukan Atlantis, memandang penduduk asli Papua, mengamati penyelam di Kreta dan menenggelamkan sebuah kapal perang bersama seluruh kelasi-kelasinya. Di ujung petualangannya, Kapten Nemo hanya berucap, “Tuhan yang Maha Kuasa! Cukup! Cukup!”, dadanya yang ditekan tampak membusung oleh tangis.
/I/
Begitulah, sekelumit cerita Jules Verne dalam novel Vingt Mille Liues Sous Les Mers [1]. Kegemaran Verne memperdalam pengetahuan di bidang matematika, fisika, geografi, biologi fauna & flora untuk menunjang kerja kepengarangannya, pada akhirnya mengangkat namanya sebagai pionir sains fiction. Bahkan yang menarik, alat-alat yang ia imajinasikan dan ia idamkan dalam novelnya itu lalu menjadi realita di abad ke-20. Kapal selam nuklir pertama yang berhasil diciptakan manusia dinamakan Nautilus, serupa dengan nama kapal selam Kapten Nemo dalam novel itu.
Jules Verne yang lahir di Nantes, bagian utara negeri Prancis pada tahun 1828, memang menempatkan alat-alat yang ia imajinasikan dan idamkan bukan sekadar sebagai penunjang cerita. Verne seakan ingin membuat semacam rancangan yang dapat difungsikan oleh ilmuwan di masa mendatang, maka tak mengherankan jika ia juga menjelaskan secara rinci bayangan pembuatannya. Semisal tentang peralatan yang dibutuhkan dan bagaimana kapal selam Nautilus mendapat energi di bawah laut. Simak kutipan ini:
Inilah peralatan yang harus dimiliki untuk membikin Nautilus bergerak … Beberapa telah anda kenal. Barometer memantau tingkat kekeringan atmosfir, ‘strormglass’ jika terurai, campurannya mengabarkan kedatangan badai. Kompas menunjukkan jalan saya; sextan, melalui ketinggian matahari memberitahu saya garis lintang saya; akhirnya kaca pengintip cakrawala, di saat nautilus naik ke permukaan air (hlm. 91) … Anda mengetahui komposisi air laut. Dari seribu gram diperoleh sembilan puluh enam-perseratus setengah air, kira-kira dua-perseratus duapertiga klorur sodium, dalam jumlah kecil klorur magnesium dan potasium, bromur magnesium, sulfat magnesium, sulfat dan karbonat kapur. Jadi, Anda lihat bahwa di situ ada cukup klorur sodium. Dengan sodium yang saya ambil dari air laut itulah saya menciptakan kekuatan energi dari laut (hlm. 92-93)
Apakah dengan perincian semacam itu, novel Verne akan membosankan jika dibaca? Jawabnya tidak. Karena Verne juga piawai membentuk tokoh yang berkarakter dalam novelnya, meramu konflik, memerkarakan mitos dan tentu memuat unsur-unsur filosofis. Semisal saja, ketika kapten Nemo menjelaskan mengapa ia lebih memilih kehidupan di bawah laut. Simak kutipan berikut:
“Dapat dikatakan bumi dimulai dari laut, dan siapa tahu dia akan berakhir lewat laut pula. Laut adalah ketenangan yang paling tenang. Laut bukan milik orang-orang yang lalim. Di permukaan laut, orang-orang itu masih bertindak sewenang-wenang, berkelahi, saling melahap, menyebabkan semua kengerian duniawi. Tetapi pada 30 kaki di bawah permukaan laut, kekuasaan-kekuasaan itu berakhir. Pengaruh mereka berhenti, kekuatan mereka hilang … di situ ada kemerdekaan! Di situ saya tidak mengenal majikan. Hanya di situ saya bebas.!” (hlm. 81)
Teringat pada pentingnya kepiawaian memadukan sains dan pengolahan cerita dalam novel semacam Vingt Mille Liues Sous Les Mers karya Jules Verne itulah, saya kemudian ingin membicarakan novel Lovinesha (penerbit Galur&Inti Media Jogja: 2010) karya Inneke Eko[2]. Sebab setelah membaca 192 halaman selama dua malam, saya kira dalam beberapa sisi, novel Inneke —jika ditulis dengan kedetailan, ramuan konflik, keberanian mengembangkan daya ucap dan wawasannya— memiliki potensi untuk menjadi penuh wawasan dan memukau semacam karya Jules Verne. Sebab, tokoh dalam dua novel itu sama-sama digambarkan secara realis dengan memuat unsur tentang peralatan yang belum berhasil diciptakan oleh manusia di zamannya —Kapal Selam dalam novel Verne dan Mesin Waktu dalam novel Inneke— untuk bukan sekedar sebagai penunjang plot, bukan sekedar sebagai penguatan hukum sebab-akibat.
/II/
20 September 1980. Nesha menulis catatan hariannya dalam diary yang sampulnya bertuliskan LOVINESHA. “Dia bilang…dia hanya ingin menunda punya anak, sampai aku berumur 40 tahun! Ya Allah, apa artinya ini!!!”
Sebuah catatan yang mengejutkan, mungkin pula tampak konyol. Apalagi bila alasan keputusan hadir dari seorang suami dan tak dimengerti oleh sang istri, “Ya Allah, apa artinya ini!!!”. Bukankah anak adalah berkah tak terkira dalam hubungan rumah tangga. Lalu mengapa mesti menunggu sampai 40 tahun? Lalu apa yang sebenarnya terjadi?
Empat tahun kemudian, tepatnya 29 Agustus 2009. Nesha meneruskan catatan di diary-nya: “Dhias sayang, aku sudah tahu dari ayahmu tentangmu. Aku tak percaya. Tapi apa si yang Vino pikirkan waktu membuat mesin begitu… Tidak seharusnya dia mengorbankan kamu untuk membantu kami. Kalau seandainya Vino tidak berpikir cepat dan mengetahui kalau kamu itu anak kami dua puluh tahun yang akan datang, kemungkinan besar kamu akan kehilangan banyak waktumu di sana.”
Dalam catatan itu, ada seseorang yang memutuskan untuk mengubah sesuatu di masa lalu, sedang di pihak yang lain ada yang tak ingin mengubah masa depan. Masa lalu itu adalah orang tua bernama Nesha dan Vino, masa depan itu adalah seorang anak bernama Dhias. Ada perantara yang kemudian berhasil mempertemukan keluarga itu di masa lalu: Mesin Waktu yang dibuat demi LOVINESHA.
Tapi, mesin waktu itu tak menghasilkan kebahagiaan yang final, ada hal yang mampu diubah dan tak mampu diubah. Nesha dan Vino memang kemudian menikah di usia 20 tahunan —sebab sebelumnya mereka menikah di usia 40 tahun— karena sang Anak kembali ke masa lalu bersama mesin waktu untuk mengubah takdir pernikahan orangtuanya. Tetapi pada akhirnya sang anak, Dhias namanya ditunda kelahirannya sampai 20 tahun kemudian.
Pasalnya: Bila Dhias lahir sebelum usianya ibunya 40 tahun, maka Dhias dimungkinkan akan tiba di masa depan dengan keadaan berbeda. Maka disinilah menariknya, ibunya sebenarnya memilih mati saat melahirkan anaknya di usianya yang menuju renta[3]. Lewat Diary, ibu Dhias menuliskan pesan yang sebenarnya mengharukan walau ditulis dengan kesan ceria: Ibu mohon, kunjungi ibu kalau ada kesempatan. Oke, sayang.
Begitulah, sekelumit cerita yang dikisahkan Inneke Eko dalam novel Lovinesha. Berpangkal pada seorang anak yang menggunakan mesin waktu ciptaan ayahnya untuk mengubah takdir keluarga. Dalam novel Lovinesha, mesin waktu menjadi pintu, namun sayangnya ada yang terasa absen disana: kurang adanya kesungguhan untuk perhatian menggambaran secara detail guna menunjang kekuatannya sebagai imajinasi yang dapat mendudukkan potensi keluasan wawasan dan keberanian berpikir si juru cerita untuk memperkuat novelnya. Tak ada penggambaran rinci bagaimana mesin ini mesti dibuat. Inneke hanya menggambarkan wilayah permukaan. Simak paragraf ini:
Lampu-lampu aneh itu itu pastinya bukan lampu biasa. Entah cahaya dari mana. Hingga efek cahaya merah tadi membuat dia terperanjat kagum. Selama dia menggeluti sains, belum pernah ia melihat cahaya begitu (hlm. 32) … Kertas-kertas berisi sketsa dan juga kerangka-kerangka mesin. Di situ dia menemukan catatan bagaiman ayahnya membuat mesin pertama kali. Cara kerjanya, dan pembuatannya seperti apa (hlm. 33).
Cara kerja, gambaran sketsa juga kerangka-kerangka dan unsur-unsur pembuatan memang tak tampak untuk lebih dijelaskan. Maka, dapatlah diasumsikan bahwa mesin waktu hanya sekedar menjadi penunjang cerita. Yang saya sesalkan, Inneke sudah menyinggung Novel bertajuk The Time Machine karya H.G. Wells yang mencetuskan ide tentang perjalanan waktu dan kemungkinannya untuk menjadi kenyataan lewat pembenaran teori relativitas Einsten (hlm.39), sayangnya novel itu hanya dijadikan sebatas informasi, bukan referensi yang memperkuat, memperkaya cerita.
/III/
Dalam novel ini, mendudukkan pengimajinasian mesin waktu sebagai pusat cerita yang memperkaya kekhasan keluasan wawasan, kepiawaian dalam pengucapan juru cerita, atau keberanian untuk menyumbang masukan bagi penelitian ilmuwan di masa depan, agaknya harus dilupakan. Tapi, mungkin pula pernyataan saya akan terjawab tuntas ketika Dhias dalam cerita selanjutnya hendak menggunakan mesin waktu untuk bertemu dengan Albert Einsten (hal 192), dan menjelaskan dengan rinci tentang mesin waktu di antara petualangan-petualangan seru macam Kapten Nemo dalam Nautilus.
Untuk saat ini, saya lebih cocok, untuk menengok novel Lovinesha sebagai novel yang memiliki ciri sebagai novel populer[4] ketimbang novel serius, sebab setelah mencermati indikator dalamnya yang menyangkut unsur-unsur intrinsik novel, Lovinesha cenderung lebih mengangkat gambaran lika-liku keusilan dan kenakalan remaja di usia pubertas –tokoh-tokoh pentingnya bertemu sebagai siwa SMU dan latar peristiwa banyak di sekolah— dengan sifat khas remaja semacam mudah berkelahi dan minggat (ditampakkan lewat tokoh Vino) saat terjadi konflik semacam rebutan kekasih atau pertengkaran dengan orang tua. Penggambaran kekhasan remaja yang umum itu membuat tak ada kemungkinan lain bagi pembaca untuk memperoleh gambaran yang unik dan berbeda tentang remaja.
Garis besar yang saya tandai dalam Lovinesha, adalah pesan tentang upaya-upaya perencanaan manusia dalam mengidamkan keidealan hubungan keluarga. Dimana, setiap perencanaan tak mesti menghasilkan kebahagiaan yang final, harapan tak seratus persen berkesesuaian dengan kenyataan. (aar)
[1] Dalam edisi Bahasa Indonesia, novel ini berjudul 20.000 Mil di Bawah Lautan. Terj. Nh. Dini. Diterbitkan oleh Enigma Publishing: 2004.
[2] Lovinesha merupakan novel perdana Inneke eko, novel ini diberi kata pengantar berjudul “Telah Lahir Penulis Berbakat” oleh Ahmad Tohari. Inneke sendiri masih tercatat sebagai mahasisiwi fakultas KIP program Studi Pendidikan Matematika dan bergiat di Komunitas Sastra Bunga Pustaka Purwokerto.
[3] Baca hlm 26, paragraf tiga, novel Lovinesha. Di paragraf itu Dhias menceritakan bahwa ibunya meninggal sehari setelah Dia lahir.
[4] Uraian lengkap tentang ciri novel Populer dapat dibaca dalam buku 9 Jawaban Sastra Indonesia. Sebuah Orientasi Kritik yang ditulis Maman S. Mahayana (Bening Publishing, Jakarta Timur, 2005)
Bulletin Sastra Pawon edisi 29 III/2010
Lewat tengah hari, 21 Maret 1868, Kapten Nemo menggelar bendera hitam bertuliskan huruf emas N yang terputus–putus di atas kain tipis. Dia, lalu berpaling ke arah matahari yang mengirimkan sinar terakhirnya menjilati laut. Di Kutub Selatan, Kapten yang penuh teka-teki itu berdiri di puncak medan yang setengah porfiris setengah basalt, memandang hamparan ice-field yang menyilaukan, terkesima oleh Nautilus kapal selamnya yang terlihat seakan cetace sedang tidur.
Di Lingkungan udara yang berbau belerang itu, Kapten Nemo teringat pada pelaut-pelaut yang selalu gagal menginjakkan kaki di Kutub Selatan. Dia pun lalu berucap: “Selamat berpisah, matahari! Pergilah, benda langit yang berkilau! Tidurlah di bawah laut tanpa es ini. Biarkan malam enam bulan mengembangkan kegelapannya di atas tanah milik saya yang baru ini!”
Tapi, Kapten Nemo tak ditakdirkan untuk kembali ke Kutub Selatan. Nautilus, kapal selam yang perkasa itu terseret ke dalam Maelstrom —pusaran samudera— di perairan Norwegia. Dengan sengaja atau tidak, ke pusaran itulah Nautilus telah dibawa oleh sang Kapten setelah bertualang 20.000 mil di bawah lautan, mengunjungi Suez sampai Amazon, menemukan Atlantis, memandang penduduk asli Papua, mengamati penyelam di Kreta dan menenggelamkan sebuah kapal perang bersama seluruh kelasi-kelasinya. Di ujung petualangannya, Kapten Nemo hanya berucap, “Tuhan yang Maha Kuasa! Cukup! Cukup!”, dadanya yang ditekan tampak membusung oleh tangis.
/I/
Begitulah, sekelumit cerita Jules Verne dalam novel Vingt Mille Liues Sous Les Mers [1]. Kegemaran Verne memperdalam pengetahuan di bidang matematika, fisika, geografi, biologi fauna & flora untuk menunjang kerja kepengarangannya, pada akhirnya mengangkat namanya sebagai pionir sains fiction. Bahkan yang menarik, alat-alat yang ia imajinasikan dan ia idamkan dalam novelnya itu lalu menjadi realita di abad ke-20. Kapal selam nuklir pertama yang berhasil diciptakan manusia dinamakan Nautilus, serupa dengan nama kapal selam Kapten Nemo dalam novel itu.
Jules Verne yang lahir di Nantes, bagian utara negeri Prancis pada tahun 1828, memang menempatkan alat-alat yang ia imajinasikan dan idamkan bukan sekadar sebagai penunjang cerita. Verne seakan ingin membuat semacam rancangan yang dapat difungsikan oleh ilmuwan di masa mendatang, maka tak mengherankan jika ia juga menjelaskan secara rinci bayangan pembuatannya. Semisal tentang peralatan yang dibutuhkan dan bagaimana kapal selam Nautilus mendapat energi di bawah laut. Simak kutipan ini:
Inilah peralatan yang harus dimiliki untuk membikin Nautilus bergerak … Beberapa telah anda kenal. Barometer memantau tingkat kekeringan atmosfir, ‘strormglass’ jika terurai, campurannya mengabarkan kedatangan badai. Kompas menunjukkan jalan saya; sextan, melalui ketinggian matahari memberitahu saya garis lintang saya; akhirnya kaca pengintip cakrawala, di saat nautilus naik ke permukaan air (hlm. 91) … Anda mengetahui komposisi air laut. Dari seribu gram diperoleh sembilan puluh enam-perseratus setengah air, kira-kira dua-perseratus duapertiga klorur sodium, dalam jumlah kecil klorur magnesium dan potasium, bromur magnesium, sulfat magnesium, sulfat dan karbonat kapur. Jadi, Anda lihat bahwa di situ ada cukup klorur sodium. Dengan sodium yang saya ambil dari air laut itulah saya menciptakan kekuatan energi dari laut (hlm. 92-93)
Apakah dengan perincian semacam itu, novel Verne akan membosankan jika dibaca? Jawabnya tidak. Karena Verne juga piawai membentuk tokoh yang berkarakter dalam novelnya, meramu konflik, memerkarakan mitos dan tentu memuat unsur-unsur filosofis. Semisal saja, ketika kapten Nemo menjelaskan mengapa ia lebih memilih kehidupan di bawah laut. Simak kutipan berikut:
“Dapat dikatakan bumi dimulai dari laut, dan siapa tahu dia akan berakhir lewat laut pula. Laut adalah ketenangan yang paling tenang. Laut bukan milik orang-orang yang lalim. Di permukaan laut, orang-orang itu masih bertindak sewenang-wenang, berkelahi, saling melahap, menyebabkan semua kengerian duniawi. Tetapi pada 30 kaki di bawah permukaan laut, kekuasaan-kekuasaan itu berakhir. Pengaruh mereka berhenti, kekuatan mereka hilang … di situ ada kemerdekaan! Di situ saya tidak mengenal majikan. Hanya di situ saya bebas.!” (hlm. 81)
Teringat pada pentingnya kepiawaian memadukan sains dan pengolahan cerita dalam novel semacam Vingt Mille Liues Sous Les Mers karya Jules Verne itulah, saya kemudian ingin membicarakan novel Lovinesha (penerbit Galur&Inti Media Jogja: 2010) karya Inneke Eko[2]. Sebab setelah membaca 192 halaman selama dua malam, saya kira dalam beberapa sisi, novel Inneke —jika ditulis dengan kedetailan, ramuan konflik, keberanian mengembangkan daya ucap dan wawasannya— memiliki potensi untuk menjadi penuh wawasan dan memukau semacam karya Jules Verne. Sebab, tokoh dalam dua novel itu sama-sama digambarkan secara realis dengan memuat unsur tentang peralatan yang belum berhasil diciptakan oleh manusia di zamannya —Kapal Selam dalam novel Verne dan Mesin Waktu dalam novel Inneke— untuk bukan sekedar sebagai penunjang plot, bukan sekedar sebagai penguatan hukum sebab-akibat.
/II/
20 September 1980. Nesha menulis catatan hariannya dalam diary yang sampulnya bertuliskan LOVINESHA. “Dia bilang…dia hanya ingin menunda punya anak, sampai aku berumur 40 tahun! Ya Allah, apa artinya ini!!!”
Sebuah catatan yang mengejutkan, mungkin pula tampak konyol. Apalagi bila alasan keputusan hadir dari seorang suami dan tak dimengerti oleh sang istri, “Ya Allah, apa artinya ini!!!”. Bukankah anak adalah berkah tak terkira dalam hubungan rumah tangga. Lalu mengapa mesti menunggu sampai 40 tahun? Lalu apa yang sebenarnya terjadi?
Empat tahun kemudian, tepatnya 29 Agustus 2009. Nesha meneruskan catatan di diary-nya: “Dhias sayang, aku sudah tahu dari ayahmu tentangmu. Aku tak percaya. Tapi apa si yang Vino pikirkan waktu membuat mesin begitu… Tidak seharusnya dia mengorbankan kamu untuk membantu kami. Kalau seandainya Vino tidak berpikir cepat dan mengetahui kalau kamu itu anak kami dua puluh tahun yang akan datang, kemungkinan besar kamu akan kehilangan banyak waktumu di sana.”
Dalam catatan itu, ada seseorang yang memutuskan untuk mengubah sesuatu di masa lalu, sedang di pihak yang lain ada yang tak ingin mengubah masa depan. Masa lalu itu adalah orang tua bernama Nesha dan Vino, masa depan itu adalah seorang anak bernama Dhias. Ada perantara yang kemudian berhasil mempertemukan keluarga itu di masa lalu: Mesin Waktu yang dibuat demi LOVINESHA.
Tapi, mesin waktu itu tak menghasilkan kebahagiaan yang final, ada hal yang mampu diubah dan tak mampu diubah. Nesha dan Vino memang kemudian menikah di usia 20 tahunan —sebab sebelumnya mereka menikah di usia 40 tahun— karena sang Anak kembali ke masa lalu bersama mesin waktu untuk mengubah takdir pernikahan orangtuanya. Tetapi pada akhirnya sang anak, Dhias namanya ditunda kelahirannya sampai 20 tahun kemudian.
Pasalnya: Bila Dhias lahir sebelum usianya ibunya 40 tahun, maka Dhias dimungkinkan akan tiba di masa depan dengan keadaan berbeda. Maka disinilah menariknya, ibunya sebenarnya memilih mati saat melahirkan anaknya di usianya yang menuju renta[3]. Lewat Diary, ibu Dhias menuliskan pesan yang sebenarnya mengharukan walau ditulis dengan kesan ceria: Ibu mohon, kunjungi ibu kalau ada kesempatan. Oke, sayang.
Begitulah, sekelumit cerita yang dikisahkan Inneke Eko dalam novel Lovinesha. Berpangkal pada seorang anak yang menggunakan mesin waktu ciptaan ayahnya untuk mengubah takdir keluarga. Dalam novel Lovinesha, mesin waktu menjadi pintu, namun sayangnya ada yang terasa absen disana: kurang adanya kesungguhan untuk perhatian menggambaran secara detail guna menunjang kekuatannya sebagai imajinasi yang dapat mendudukkan potensi keluasan wawasan dan keberanian berpikir si juru cerita untuk memperkuat novelnya. Tak ada penggambaran rinci bagaimana mesin ini mesti dibuat. Inneke hanya menggambarkan wilayah permukaan. Simak paragraf ini:
Lampu-lampu aneh itu itu pastinya bukan lampu biasa. Entah cahaya dari mana. Hingga efek cahaya merah tadi membuat dia terperanjat kagum. Selama dia menggeluti sains, belum pernah ia melihat cahaya begitu (hlm. 32) … Kertas-kertas berisi sketsa dan juga kerangka-kerangka mesin. Di situ dia menemukan catatan bagaiman ayahnya membuat mesin pertama kali. Cara kerjanya, dan pembuatannya seperti apa (hlm. 33).
Cara kerja, gambaran sketsa juga kerangka-kerangka dan unsur-unsur pembuatan memang tak tampak untuk lebih dijelaskan. Maka, dapatlah diasumsikan bahwa mesin waktu hanya sekedar menjadi penunjang cerita. Yang saya sesalkan, Inneke sudah menyinggung Novel bertajuk The Time Machine karya H.G. Wells yang mencetuskan ide tentang perjalanan waktu dan kemungkinannya untuk menjadi kenyataan lewat pembenaran teori relativitas Einsten (hlm.39), sayangnya novel itu hanya dijadikan sebatas informasi, bukan referensi yang memperkuat, memperkaya cerita.
/III/
Dalam novel ini, mendudukkan pengimajinasian mesin waktu sebagai pusat cerita yang memperkaya kekhasan keluasan wawasan, kepiawaian dalam pengucapan juru cerita, atau keberanian untuk menyumbang masukan bagi penelitian ilmuwan di masa depan, agaknya harus dilupakan. Tapi, mungkin pula pernyataan saya akan terjawab tuntas ketika Dhias dalam cerita selanjutnya hendak menggunakan mesin waktu untuk bertemu dengan Albert Einsten (hal 192), dan menjelaskan dengan rinci tentang mesin waktu di antara petualangan-petualangan seru macam Kapten Nemo dalam Nautilus.
Untuk saat ini, saya lebih cocok, untuk menengok novel Lovinesha sebagai novel yang memiliki ciri sebagai novel populer[4] ketimbang novel serius, sebab setelah mencermati indikator dalamnya yang menyangkut unsur-unsur intrinsik novel, Lovinesha cenderung lebih mengangkat gambaran lika-liku keusilan dan kenakalan remaja di usia pubertas –tokoh-tokoh pentingnya bertemu sebagai siwa SMU dan latar peristiwa banyak di sekolah— dengan sifat khas remaja semacam mudah berkelahi dan minggat (ditampakkan lewat tokoh Vino) saat terjadi konflik semacam rebutan kekasih atau pertengkaran dengan orang tua. Penggambaran kekhasan remaja yang umum itu membuat tak ada kemungkinan lain bagi pembaca untuk memperoleh gambaran yang unik dan berbeda tentang remaja.
Garis besar yang saya tandai dalam Lovinesha, adalah pesan tentang upaya-upaya perencanaan manusia dalam mengidamkan keidealan hubungan keluarga. Dimana, setiap perencanaan tak mesti menghasilkan kebahagiaan yang final, harapan tak seratus persen berkesesuaian dengan kenyataan. (aar)
[1] Dalam edisi Bahasa Indonesia, novel ini berjudul 20.000 Mil di Bawah Lautan. Terj. Nh. Dini. Diterbitkan oleh Enigma Publishing: 2004.
[2] Lovinesha merupakan novel perdana Inneke eko, novel ini diberi kata pengantar berjudul “Telah Lahir Penulis Berbakat” oleh Ahmad Tohari. Inneke sendiri masih tercatat sebagai mahasisiwi fakultas KIP program Studi Pendidikan Matematika dan bergiat di Komunitas Sastra Bunga Pustaka Purwokerto.
[3] Baca hlm 26, paragraf tiga, novel Lovinesha. Di paragraf itu Dhias menceritakan bahwa ibunya meninggal sehari setelah Dia lahir.
[4] Uraian lengkap tentang ciri novel Populer dapat dibaca dalam buku 9 Jawaban Sastra Indonesia. Sebuah Orientasi Kritik yang ditulis Maman S. Mahayana (Bening Publishing, Jakarta Timur, 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar