Dr Siti Muti’ah Setiawati *
Pewawancara: Bernarda Rurit
http://www.korantempo.com/
Perhatian dunia selama setengah bulan terakhir ini terpusat di Mesir. Negeri eksotis dengan peradaban kuno yang amat agung itu kini berantakan karena krisis politik yang tak berkesudahan. Jutaan rakyat di negara di kawasan Timur Tengah itu menuntut Presiden Husni Mubarak, yang sudah 30 tahun berkuasa, mundur. Setelah 18 hari, Mubarak akhirnya memenuhi tuntutan itu dan menyerahkan kekuasaan pemerintah Mesir kepada Dewan Militer sejak Jumat, 10 Februari lalu.
Ketua Dewan Militer adalah Mohamed Hussein Tantawi, Menteri Pertahanan yang diangkat menjadi Wakil Perdana Menteri setelah pembubaran kabinet pada 29 Januari. Anggota Dewan Militer adalah Letnan Jenderal Sami Hafez Anan (Kepala Staf Angkatan Darat), Marsekal Reda Mahmoud Hafez Mohamed (Kepala Staf Angkatan Udara), Laksamana Madya Mohab Mamish (Kepala Staf Angkatan Laut), Abd el-Aziz Seif-Eldeen (Komandan Pertahanan Udara), dan Hassan al-Roueini (Panglima Komando Daerah Militer Kairo).
“Amerika Serikat berada di belakang Dewan Militer Mesir,” kata pakar Timur Tengah dari Universitas Gadjah Mada, Siti Muti'ah Setiawati.
Sebelum pergolakan di Mesir itu, tuntutan pergantian kekuasaan juga terjadi di Tunisia dan Yaman dalam selang waktu tak terlalu lama. Aksi itu terjadi karena rakyat menuntut perbaikan kehidupan.
Menurut Siti, yang kerap diundang menjadi pembicara di kampus-kampus di kawasan Timur Tengah, di negara yang masih dipimpin oleh raja atau emir, pergolakan serupa tak akan terjadi. “Pendapatan per kapita (negara kerajaan) berkisar US$ 20-40 ribu. Bandingkan dengan Mesir, yang hanya US$ 3.000,” katanya.
Titik--panggilan akrabnya--juga mengatakan tak ada satu pun mahasiswa Indonesia yang terlibat dalam proses penggulingan itu. “Mereka merasa tidak tahu diri kalau ikut campur urusan dalam negeri Mesir, sementara sekolahnya dibiayai oleh pemerintah Mubarak.”
Berikut ini petikan perbincangan Bernarda Rurit dari Tempo dalam dua kesempatan, Selasa dan Sabtu.
Apa dasar Anda untuk menyimpulkan Amerika berada di belakang Dewan Militer? Ada sejumlah fakta yang saya amati, antara lain:
Menurut laporan VOANews.com, satu minggu setelah terjadinya demonstrasi, Sami Hafez Anan pergi ke Washington, Amerika Serikat, untuk menemui petinggi militer AS.
Pada 31 Januari 2011, petinggi militer AS, Admiral Michael Mullen, menjanjikan militer AS-Mesir akan selalu berhubungan (stay in touch).
Menurut Taufik Hamid dari Potomac Institute, dokter yang pernah mengabdi 2 tahun kepada militer Mesir mengatakan bahwa militer Mesir selalu menanti petunjuk dari Washington.
Menteri Pertahanan AS Robert Gates, pada akhir Januari 2011, memanggil militer Mesir.
Bantuan AS untuk militer Mesir, menurut beberapa sumber, sebesar US$ 1,3 miliar, sehingga ketergantungan angkatan bersenjata Mesir terhadap AS sangat tinggi.
Pergolakan yang terjadi di Mesir ini apakah menunjukkan geliat tuntutan demokrasi di negara itu dan negara-negara lain di Timur Tengah?
Pergolakan di Mesir, yang ditunjukkan melalui demonstrasi terus-menerus sampai lebih dari 15 hari ini, kan disebabkan oleh penguasa yang berkuasa terlalu lama (31 tahun). Kalau demonstrasi itu dikaitkan dengan tuntutan demokratis, (menurut saya) sebenarnya awalnya enggak ke situ. Sebab, aksi itu terjadi karena rakyat menuntut perbaikan kehidupan di Mesir. Ada 20-40 persen rakyat Mesir yang miskin. Memang, demonstrasi itu kemudian berkembang menjadi tuntutan demokratisasi berupa turunnya Presiden Husni Mubarak dan percepatan pemilihan umum.
Mesir dan beberapa negara Timur Tengah lain, seperti Tunisia, Libya, Yaman, Libanon, Suriah, dan Iran, sebenarnya sudah lama mengenal demokrasi, kalau standar yang dipakai hanya perubahan dari negara kerajaan menjadi republik. Tetapi, kalau standar demokrasi itu adanya kebijakan yang diambil berdasarkan suara mayoritas, seperti adanya pemilihan pemimpin yang periodik 4-5 tahun sekali, mempunyai parlemen yang benar-benar mewakili rakyat, dan pembagian kekuasaan yang tegas antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, maka di antara negara-negara Timur Tengah itu hanya Iran yang paling memenuhi standar demokrasi.
Bagaimana dengan negara-negara republik lainnya?
Kalau negara-negara Timur Tengah lain yang republik, masih belum demokratis dan cenderung masih mempraktekkan cara-cara kerajaan. Misalnya presiden seumur hidup Suriah. Presiden Hafez al-Assad, begitu meninggal, posisinya digantikan putranya, Bashar al-Assad.
Adakah efek domino atas apa yang terjadi di Mesir itu bagi negara-negara lain di Timur Tengah, misalnya tuntutan agar lebih demokratis?
Kalau negara-negara kerajaan yang kaya, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, dan Bahrain, pergolakan politik seperti yang terjadi di Mesir itu tidak akan mempengaruhi masyarakatnya untuk memberontak kepada rajanya, meskipun tidak demokratis. Kenapa? Karena rakyatnya sudah lama hidup makmur. Pendapatan per kapita sekitar US$ 20–40 ribu. Bandingkan dengan (pendapatan per kapita di) Mesir yang hanya US$ 3.000.
Kalau efeknya ke negara-negara republik, bisa jadi. Khususnya Yaman akan terinspirasi oleh apa yang terjadi di Mesir itu karena karena penduduknya yang miskin dan Presiden Ali Abdullah Saleh juga sudah dua dekade berkuasa
Sebenarnya, apakah negara-negara di Timur Tengah itu memang tipikal anti-demokrasi?
Saya tidak berani mengatakan bahwa negara-negara Timur Tengah itu anti- demokrasi, karena standar demokrasi itu datangnya dari Barat. Sementara masyarakat Timur Tengah belum terbiasa dengan standar tersebut, mengingat demokrasi di wilayah Timur Tengah baru dikenal setelah Perang Dunia II. Kalau mau bicara demokrasi, negara-negara Barat terutama Amerika Serikat itu menerapkan standar ganda. Bukankah penjajahan atas negara oleh negara lain juga melanggar prinsip demokrasi? Apakah bisa kita katakan Amerika anti-demokrasi karena melakukan (invasi) atas Irak sejak 2003? Itu kan melanggar prinsip demokrasi.
Bagaimana sebenarnya kebebasan berpendapat di Mesir dan Timur Tengah?
Pada masa Mubarak, ini sangat diawasi, tidak ada kebebasan pers, serba dikontrol oleh pemerintah. Yang saya tahu, seperti kalau di Timur Tengah pada umumnya itu, juga tidak terbuka. Arab Saudi dan negara-negara lain memang sangat dikontrol, bahkan Iran sendiri. Keadaan lebih baik bisa dijumpai di Libanon, dan Qatar.
Negara Timur Tengah mana yang pertama menerapkan demokrasi dan diikuti negara mana?
Begini, ya. Kalau saya perhatikan, Mesir itu baru dimulai 1952, Libya 1969, Libanon 1943, Suriah 1971, dan Yaman 1991, saat bergabungnya Yaman Utara dan Yaman Selatan. Tapi mereka sudah mengenal demokrasi dengan menjadi republik sejak 1956, ketika Inggris keluar dari Yaman.
Tapi sebenarnya ada dua negara Timur Tengah yang selama ini dianggap kontroversial namun justru (yang benar-benar) menerapkan demokrasi, yaitu Iran dan Israel, kalau yang digunakan adalah standar adanya pergantian pimpinan yang periodik, adanya multipartai, dan adanya parlemen yang mengontrol penguasa.
Dengan standar seperti itu, sangat sulit mengkategorikan Mesir sebagai negara yang demokratis mengingat Gamal Abdul Nasser berkuasa dengan menggulingkan Presiden Muhammad Naguib, lalu digantikan Anwar Sadat, dan kemudian Husni Mubarak menggantikan Sadat yang terbunuh pada 1981. Selama itu, belum pernah ada catatan adanya pemilu yang diselenggarakan secara periodik. Pemilu terakhir tercatat 2005 dengan calon tunggal Mubarak.
Apakah kekuatan alternatif di Mesir saat ini hanya Ikhwanul Muslimin?
Tidak hanya Ikhwanul Muslimin. Itu ada Mohamed ElBaradei (bekas Direktur Jenderal Badan Tenaga Atom Perserikatan Bangsa-Bangsa) di tengah, tapi dia itu kurang punya akar dalam masyarakat. Dia lama tinggal di luar negeri, tetapi bukan berarti tidak bisa berkuasa. Menurut saya, untuk masa transisi ini harus dicari orang yang bisa diterima kedua belah pihak. Karena yang saya lihat, prodemokrasi dan pro-Mubarak ini sama kuat sekarang. Mana yang lebih kuat, harus ada penelitian. Kita lihat kekuatan massa di Tahrir Square. Kalau media bilang sampai jutaan. Saya kok sangsi. Tapi ketika dikonter oleh massa pro-Mubarak, itu jadi terpecah. Mubarak tampaknya juga kuat.
Orang yang bisa diterima baik oleh Ikhwanul Muslimin ataupun oleh kelompok pro-Mubarak, sayangnya, itu belum saya lihat. Omar Suleiman (wakil presiden) menjadi alternatif, tapi masih dinilai sangat pro-Mubarak. Jadi, memang dilematis. Memang sangat buruk mengenai kaderisasi pemimpin, sebetulnya bukan hanya di sana. Itu problem negara berkembang. Termasuk Mesir, terlalu lama berkuasa harus ada kader pemimpin dan itu lewat partai politik.
Ramalan Anda, siapa yang menggantikan Mubarak?
Mubarak ini saya terkaget-kaget juga, ya, sampai 15 hari masih bertahan. Dugaan saya, Mubarak tidak akan diganti, betul seperti kata Barack Obama, sampai September. Seandainya diganti, paling mungkin, ya, Mohamed ElBaradei. Dia tidak punya akar dalam negeri, tapi dunia internasional mendukungnya. Reputasi itu kan penting. Dia sudah punya reputasi internasional yang bagus sehingga harapannya menyelesaikan (persoalan) dalam negeri pun bisa. Ia tidak menyakiti kedua belah pihak, betul-betul bisa jadi penengah. Iran pun tidak menekan atau ikut-ikut. Memang, banyak orang yang sinis mengatakan dia itu orang pensiunan mencari pekerjaan. Usianya hampir 80-an. Sudah tua juga.
Menurut Anda, ElBaradei ini pilihan terbaik, ya?
Memang dia untuk masa transisi ini, (pasti) tidak (akan) bergejolak. Kalau (tokoh dari) Ikhwanul Muslimin, walaupun punya akar, kemungkinan ada resistensinya, bisa dari negeri Mesir dan regional. Terutama Israel yang khawatir.
Bagaimana peran Israel dan Amerika dalam proses demokratisasi di Mesir?
Peran Amerika dan Israel dalam proses demokratisasi di Mesir itu justru menghambat. Pernyataan-pernyataan Presiden Obama dan Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu membuat Presiden Mubarak tidak segera mundur. Misalnya, pernyataan Gedung Putih mendukung orderly and peaceful transition. Pernyataan ini diartikan oleh Mubarak sebagai menunggu pemilu September 2011. Ini akan membuat dia meninggalkan posisinya sebagai presiden secara terhormat dan damai. Sedangkan Israel menyatakan mendukung Omar Suleiman ketika diangkat sebagai wakil presiden. Ini (bisa) diartikan sebagai dukungan Israel atas kebijakan Mubarak.
Bagaimana pengaruh demokratisasi terhadap peranan perempuan di Mesir dan Timur Tengah?
Saya tidak melihat ada hubungan antara peranan perempuan dan proses demokratisasi. Di beberapa negara Timur Tengah yang tidak atau kurang demokratis, seperti Yordania, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, dan Oman, perempuan mendapat peluang memegang jabatan-jabatan publik dan mempunyai kesempatan untuk menuntut ilmu hingga perguruan tinggi. Tetapi di Turki, yang dianggap sebagai negara republik yang demokratis, ada larangan perempuan menggunakan jilbab dalam pelayanan publik. Berarti ini pengekangan terhadap kebebasan perempuan. Sementara di Iran, yang juga negara demokratis, tidak membuka peluang yang luas bagi perempuan untuk berperan dalam sektor-sektor publik.
Bukannya ada banyak tokoh feminis yang muncul di negara di kawasan itu?
Ya, memang. Pada 2003 perempuan Iran bernama Shirin Ebadi memenangi Nobel Perdamaian. Lalu di Mesir, di negara yang dianggap tidak demokratis ini, perempuan diberi peluang untuk berperan di sektor publik dalam batas tertentu. Perempuan yang tulisannya dianggap akan mengganggu ketenteraman masyarakat dan dianggap tidak sesuai dengan budaya Mesir akan dilarang oleh negara, seperti feminis Nawal el-Saadawi atau Fatima Mernissi dari Maroko.
Bagaimana peran para seniman dalam proses penggulingan pemerintahan di Mesir?
Saya tidak secara khusus mengamati peranan sastrawan atau seniman. Saya juga belum membaca tulisan Nawal el-Saadawi terbaru mengenai penggulingan Mubarak. Saya mengenal Saadawi karena beliau dokter sekaligus sosiolog yang tulisan-tulisannya mengenai masalah perempuan Mesir terkesan terlalu keras dan vulgar. Salah satu tulisannya, yaitu Women and Sex, dilarang diterbitkan di Mesir sehingga harus diterbitkan di Beirut, Libanon.
Bagaimana peranan mahasiswa Indonesia di Mesir dalam proses demokratisasi ini, apakah benar bahwa mahasiswa dipersulit oleh militer?
Setahu saya, setelah tiga kali bertemu mereka atas undangan Atase Pendidikan Kedutaan Besar Republik Indonesia Prof Dr Sangidu, sebagian besar mahasiswa Indonesia belajar ilmu agama Islam dan sastra Arab. Saya tidak mengenal mahasiswa yang belajar politik atau ikut berpolitik praktis di Mesir.
Mereka itu tertekan dengan gaya Mubarak. Mahasiswa Indonesia saat ini diawasi militer Mesir berdasarkan laporan dari mahasiswa lewat e-mail mereka beberapa waktu lalu memang benar. Banyak mahasiswa kita ditangkap tentara, diinterogasi, meskipun kemudian dilepaskan, mereka sangat trauma. Bahkan ada salah satu staf lokal KBRI yang saya kenal, Bapak Muchlason, ditahan berhari-hari, sampai hari ini saya belum mendengar apakah sudah dilepaskan atau belum.
Jadi enggak benar kalau mahasiswa Indonesia berperan dalam penggulingan itu. Kenapa? Karena 6.000 mahasiswa Indonesia itu sebagian besar kuliah atas biaya pemerintah Mesir, bukan pemerintah Indonesia. Itu dulu hasil dari Gerakan Non-Blok, sejak Sukarno menjalin hubungan baik dengan Nasser.
Tolong dong, pemerintah Indonesia segera mengeluarkan atau mengevakuasi mahasiswa Indonesia dari Mesir. Mungkin bisa di negara-negara Arab sekitarnya, seperti Arab Saudi, Yordania, atau yang lebih jauh, seperti Libanon dan Turki. Menurut laporan, mereka sangat ketakutan dan merasa terancam.
Artinya, peran mahasiswa Indonesia dalam krisis politik ini tidak ada sama sekali?
Jelas tidak ada, kalau menurut saya. Mereka itu menahan diri untuk tidak campur tangan terhadap pemerintahan Mesir. Mereka sering tertekan karena sering diintimidasi dan dicurigai. Bahkan ada dua mahasiswa pada 2009 ditahan karena dicurigai anggota Ikhwanul Muslimin. Waktu itu pas saya ke sana. Mereka diinterogasi sampai stres. Mereka mengatakan, sebenarnya (krisis politik yang terjadi di Mesir) tidak terlalu peduli, tidak akan campur tangan. Katanya, “Tugas saya di sini belajar, karena beasiswa datangnya dari pemerintah Mesir.” Mereka merasa tidak tahu dirilah kalau ikut campur urusan dalam negeri Mesir, sementara sekolahnya dibiayai oleh pemerintah Mesir. Itu kan jelas pemerintah Mubarak.
Prof Sangidu menyatakan mereka tidak mudah terpengaruh oleh Ikhwanul Muslimin. Sebagian besar mereka di sana belajar agama, bukan belajar politik. Sebagian besar belajar agama Islam, sebagian besar lagi sastra Arab, ya.
Bisa diceritakan kehidupan mahasiswa Indonesia di Mesir?
Mahasiswa Indonesia di Mesir itu kan jumlahnya banyak. Ribuan tinggal di Nasser City, dan mereka hidupnya pas-pasan. Ya, pas beasiswa itu. Artinya, cukup untuk mereka kuliah di sana. Pada umumnya prestasinya baik. Atase pendidikan Prof Sangidu kan dari UGM. Jadi, kami juga sering diundang di sana bertemu mahasiswa Indonesia di Mesir. Mereka punya aktivitas bagus, bahkan dibangunkan asrama mahasiswa oleh pemerintah Indonesia. Ya, mereka selama ini diabaikan, tapi sekarang sudah mulai diperhatikan. Dulu banyak yang kuliah lama ndak selesai-selesai, sekarang cepat, karena atase pendidikan ini mendorong mahasiswa cepat selesai kuliah.
Mengapa Anda tertarik mempelajari Timur Tengah?
Saya tertarik mempelajari Timur Tengah ketika kuliah S-1 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Semua contoh masalah utama politik ada di Timur Tengah, seperti masalah legitimasi politik, integrasi, otoritas, dan campur tangan asing. Kedua, saya tertarik ingin mempelajari pengaruh Islam di wilayah tersebut karena ingin melanjutkan minat kakek saya, Prof Mohammad Adnan, yang ahli tafsir Al-Quran dan merupakan salah satu Duta Indonesia untuk Mesir pada 1948. Tidak mungkin saya menyamai beliau, karena keterbatasan, tetapi paling tidak mendekati. Ketiga, karena Timur Tengah memang sangat istimewa, baik secara religius, geografis, maupun historis. Secara religius, tidak ada satu pun wilayah di dunia ini yang didatangi orang sebanyak 4 juta di satu tempat dan satu waktu di musim haji, dan ada 1,5 miliar orang setiap hari minimal 5 kali harus menghadap ke wilayah ini ketika salat lima waktu.
Alasan lainnya?
Secara geografis, Timur Tengah itu luar biasa indahnya. Sungai Nil, Efrat, Tigris, dan Yordan. Laut Tengah, Teluk Aqabah, dan Terusan Suez tidak bisa kita lihat keindahannya di tempat lain. Kota Alexandria itu sangat indah dan menyejukkan jiwa. Keindahan geografis saya berikan dalam mata kuliah saya di Kajian Timur Tengah, Sekolah Pascasarjana UGM, yang berjudul Geopolitik dan Geobudaya Timur Tengah. Dari segi sejarah, sejarah para nabi dari tiga agama besar, Nasrani, Yahudi, dan Islam, serta sejarah peradaban manusia, semuanya terpusat di wilayah ini.
Anda punya cerita unik?
Sebenarnya banyak, karena saya diajarkan oleh ayah saya untuk mencatat peristiwa sehari-hari lewat agenda. Tetapi, kalau yang berhubungan dengan Timur Tengah, tentu saja ketika saya naik haji pada 2003. Kedua, ketika saya melakukan penelitian di Libanon. Saya harus berterima kasih kepada promotor saya, Prof Dr Ichlasul Amal, yang telah menolak proposal penelitian saya empat kali waktu saya ingin menulis politik luar negeri Indonesia. Beliau menyarankan saya agar konsisten menulis Timur Tengah seperti waktu S-1 dan S-2. Pada waktu itu, kebetulan yang menjadi duta besar juga teman Prof Amal, yaitu Bapak Abdullah Syarwani. Saya dapat fasilitas yang tidak biasa dinikmati oleh seorang mahasiswa. Kalau tidak mendapat fasilitas kedutaan, mana mungkin saya bisa ke daerah konflik di Libanon Selatan. Di situ saya menyaksikan kekejaman yang dilakukan oleh Israel yang semula hanya saya baca dari buku, seperti tempat penyiksaan di penjara Al-Khiam. Dan karena disertasi itu, saya mendapat nilai cum laude dan bisa saya selesaikan dalam waktu tiga tahun setengah.
BIODATA
NAMA: Dr Siti Muti'ah Setiawati, MA
KELAHIRAN: Bukittinggi, 25 September 1960
SUAMI: Dr Luqman Hakim, MSc (memiliki tiga anak)
PEKERJAAN: Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
PENDIDIKAN:
S-1 Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (1985)
S-2 School of Oriental and African Studies (SOAS) University of London, Inggris (1991)
S-3 Jurusan Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana UGM (2007)
KARIER MENGAJAR:
S-1, Fisipol , UGM, sejak 1985
S-1, Fisipol, UPN Yogyakarta, 1996-2000
S-1, Fisipol, Universitas Wachid Hasyim, Semarang, 2004-2006
S-2, Ilmu Politik, Sekolah Pasca Sarjana UGM, sejak 1998
S-2, Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2002-2008
S-2 dan S-3 Kajian Timur Tengah, Sekolah Pascasarjana UGM sejak 2005/2007
S-2, Kerja Sama UGM dengan Lemhannas, 2008-2010
S-1, Akademi Militer, Magelang, 1998-2000, 2010-2011
BUKU:
Irak di Bawah Kekuasaan Amerika (2005)
Mekanisme Consociational dalam Pengendalian Konflik Internal Lebanon (2010)
MAKALAH:
Dinamika Hubungan Indonesia-Mesir (Sekolah Pascasarjana UGM Oktober 2010)
Promoting Indonesia-Egypt Diplomatic Relationship (Zaqaziq University, Mesir, Mei 2010)
Indonesia-Malaysia Boundary Dispute (University of Malaya, Agustus 2009)
The Dinamics of Political Stability in Lebanon Since 2005 ( Exeter University, Inggris, September 2009)
Academic Recharging (Hankuk University of Foreign Study, Korea, Des 2009-Feb 2010).
JABATAN LAIN:
Sekretaris Komisi III Senat Akademik UGM (sejak 2007)
Sekretaris Program Studi Kajian Timur Tengah, Sekolah Pascasarjana UGM (sejak 2008)
Sekretaris Pusat Studi Asia Pasifik (sejak 2010).
Punya Penerjemah Pribadi
Meskipun sudah 25 tahun menggauli kawasan Timur Tengah, Siti Muti'ah Setiawati ini belum fasih berbahasa Arab. Walhasil, setiap kali “blusukan” ke negara-negara raksasa minyak itu, pengajar Pascasarjana Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu selalu mengandalkan suaminya, Luqman Hakim, menjadi penerjemah.
“Bahasa Arabnya baik, dia sering menemani saya saat penelitian di lapangan,” kata perempuan yang dipanggil Titik ini. Wanita berkulit kuning ini mengatakan, bahasa Arab di kawasan Timur Tengah ini amat rumit. Ada banyak perbedaan arti dan tata bahasa dalam menggunakan bahasa tersebut di beberapa negara di kawasan tersebut. “Bahkan cuma berbeda suku saja, bahasa Arabnya njlimet (berbeda),” kata ibu tiga anak itu.
Menurut Titik, ia sudah acap keluar-masuk di kawasan itu, seperti Qatar, Libanon, Mesir, Suriah, dan Arab Saudi. Ketertarikan pada kawasan yang kerap bergolak itu bermula dari mata kuliah ilmu politik yang mencontohkan kasus-kasus yang terjadi di negara-negara itu. “Problem apa pun di dunia politik itu contohnya dari Timur Tengah,” ujarnya. (Bernarda Rurit)
*) Pakar Kajian Timur Tengah, Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
Pewawancara: Bernarda Rurit
http://www.korantempo.com/
Perhatian dunia selama setengah bulan terakhir ini terpusat di Mesir. Negeri eksotis dengan peradaban kuno yang amat agung itu kini berantakan karena krisis politik yang tak berkesudahan. Jutaan rakyat di negara di kawasan Timur Tengah itu menuntut Presiden Husni Mubarak, yang sudah 30 tahun berkuasa, mundur. Setelah 18 hari, Mubarak akhirnya memenuhi tuntutan itu dan menyerahkan kekuasaan pemerintah Mesir kepada Dewan Militer sejak Jumat, 10 Februari lalu.
Ketua Dewan Militer adalah Mohamed Hussein Tantawi, Menteri Pertahanan yang diangkat menjadi Wakil Perdana Menteri setelah pembubaran kabinet pada 29 Januari. Anggota Dewan Militer adalah Letnan Jenderal Sami Hafez Anan (Kepala Staf Angkatan Darat), Marsekal Reda Mahmoud Hafez Mohamed (Kepala Staf Angkatan Udara), Laksamana Madya Mohab Mamish (Kepala Staf Angkatan Laut), Abd el-Aziz Seif-Eldeen (Komandan Pertahanan Udara), dan Hassan al-Roueini (Panglima Komando Daerah Militer Kairo).
“Amerika Serikat berada di belakang Dewan Militer Mesir,” kata pakar Timur Tengah dari Universitas Gadjah Mada, Siti Muti'ah Setiawati.
Sebelum pergolakan di Mesir itu, tuntutan pergantian kekuasaan juga terjadi di Tunisia dan Yaman dalam selang waktu tak terlalu lama. Aksi itu terjadi karena rakyat menuntut perbaikan kehidupan.
Menurut Siti, yang kerap diundang menjadi pembicara di kampus-kampus di kawasan Timur Tengah, di negara yang masih dipimpin oleh raja atau emir, pergolakan serupa tak akan terjadi. “Pendapatan per kapita (negara kerajaan) berkisar US$ 20-40 ribu. Bandingkan dengan Mesir, yang hanya US$ 3.000,” katanya.
Titik--panggilan akrabnya--juga mengatakan tak ada satu pun mahasiswa Indonesia yang terlibat dalam proses penggulingan itu. “Mereka merasa tidak tahu diri kalau ikut campur urusan dalam negeri Mesir, sementara sekolahnya dibiayai oleh pemerintah Mubarak.”
Berikut ini petikan perbincangan Bernarda Rurit dari Tempo dalam dua kesempatan, Selasa dan Sabtu.
Apa dasar Anda untuk menyimpulkan Amerika berada di belakang Dewan Militer? Ada sejumlah fakta yang saya amati, antara lain:
Menurut laporan VOANews.com, satu minggu setelah terjadinya demonstrasi, Sami Hafez Anan pergi ke Washington, Amerika Serikat, untuk menemui petinggi militer AS.
Pada 31 Januari 2011, petinggi militer AS, Admiral Michael Mullen, menjanjikan militer AS-Mesir akan selalu berhubungan (stay in touch).
Menurut Taufik Hamid dari Potomac Institute, dokter yang pernah mengabdi 2 tahun kepada militer Mesir mengatakan bahwa militer Mesir selalu menanti petunjuk dari Washington.
Menteri Pertahanan AS Robert Gates, pada akhir Januari 2011, memanggil militer Mesir.
Bantuan AS untuk militer Mesir, menurut beberapa sumber, sebesar US$ 1,3 miliar, sehingga ketergantungan angkatan bersenjata Mesir terhadap AS sangat tinggi.
Pergolakan yang terjadi di Mesir ini apakah menunjukkan geliat tuntutan demokrasi di negara itu dan negara-negara lain di Timur Tengah?
Pergolakan di Mesir, yang ditunjukkan melalui demonstrasi terus-menerus sampai lebih dari 15 hari ini, kan disebabkan oleh penguasa yang berkuasa terlalu lama (31 tahun). Kalau demonstrasi itu dikaitkan dengan tuntutan demokratis, (menurut saya) sebenarnya awalnya enggak ke situ. Sebab, aksi itu terjadi karena rakyat menuntut perbaikan kehidupan di Mesir. Ada 20-40 persen rakyat Mesir yang miskin. Memang, demonstrasi itu kemudian berkembang menjadi tuntutan demokratisasi berupa turunnya Presiden Husni Mubarak dan percepatan pemilihan umum.
Mesir dan beberapa negara Timur Tengah lain, seperti Tunisia, Libya, Yaman, Libanon, Suriah, dan Iran, sebenarnya sudah lama mengenal demokrasi, kalau standar yang dipakai hanya perubahan dari negara kerajaan menjadi republik. Tetapi, kalau standar demokrasi itu adanya kebijakan yang diambil berdasarkan suara mayoritas, seperti adanya pemilihan pemimpin yang periodik 4-5 tahun sekali, mempunyai parlemen yang benar-benar mewakili rakyat, dan pembagian kekuasaan yang tegas antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, maka di antara negara-negara Timur Tengah itu hanya Iran yang paling memenuhi standar demokrasi.
Bagaimana dengan negara-negara republik lainnya?
Kalau negara-negara Timur Tengah lain yang republik, masih belum demokratis dan cenderung masih mempraktekkan cara-cara kerajaan. Misalnya presiden seumur hidup Suriah. Presiden Hafez al-Assad, begitu meninggal, posisinya digantikan putranya, Bashar al-Assad.
Adakah efek domino atas apa yang terjadi di Mesir itu bagi negara-negara lain di Timur Tengah, misalnya tuntutan agar lebih demokratis?
Kalau negara-negara kerajaan yang kaya, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, dan Bahrain, pergolakan politik seperti yang terjadi di Mesir itu tidak akan mempengaruhi masyarakatnya untuk memberontak kepada rajanya, meskipun tidak demokratis. Kenapa? Karena rakyatnya sudah lama hidup makmur. Pendapatan per kapita sekitar US$ 20–40 ribu. Bandingkan dengan (pendapatan per kapita di) Mesir yang hanya US$ 3.000.
Kalau efeknya ke negara-negara republik, bisa jadi. Khususnya Yaman akan terinspirasi oleh apa yang terjadi di Mesir itu karena karena penduduknya yang miskin dan Presiden Ali Abdullah Saleh juga sudah dua dekade berkuasa
Sebenarnya, apakah negara-negara di Timur Tengah itu memang tipikal anti-demokrasi?
Saya tidak berani mengatakan bahwa negara-negara Timur Tengah itu anti- demokrasi, karena standar demokrasi itu datangnya dari Barat. Sementara masyarakat Timur Tengah belum terbiasa dengan standar tersebut, mengingat demokrasi di wilayah Timur Tengah baru dikenal setelah Perang Dunia II. Kalau mau bicara demokrasi, negara-negara Barat terutama Amerika Serikat itu menerapkan standar ganda. Bukankah penjajahan atas negara oleh negara lain juga melanggar prinsip demokrasi? Apakah bisa kita katakan Amerika anti-demokrasi karena melakukan (invasi) atas Irak sejak 2003? Itu kan melanggar prinsip demokrasi.
Bagaimana sebenarnya kebebasan berpendapat di Mesir dan Timur Tengah?
Pada masa Mubarak, ini sangat diawasi, tidak ada kebebasan pers, serba dikontrol oleh pemerintah. Yang saya tahu, seperti kalau di Timur Tengah pada umumnya itu, juga tidak terbuka. Arab Saudi dan negara-negara lain memang sangat dikontrol, bahkan Iran sendiri. Keadaan lebih baik bisa dijumpai di Libanon, dan Qatar.
Negara Timur Tengah mana yang pertama menerapkan demokrasi dan diikuti negara mana?
Begini, ya. Kalau saya perhatikan, Mesir itu baru dimulai 1952, Libya 1969, Libanon 1943, Suriah 1971, dan Yaman 1991, saat bergabungnya Yaman Utara dan Yaman Selatan. Tapi mereka sudah mengenal demokrasi dengan menjadi republik sejak 1956, ketika Inggris keluar dari Yaman.
Tapi sebenarnya ada dua negara Timur Tengah yang selama ini dianggap kontroversial namun justru (yang benar-benar) menerapkan demokrasi, yaitu Iran dan Israel, kalau yang digunakan adalah standar adanya pergantian pimpinan yang periodik, adanya multipartai, dan adanya parlemen yang mengontrol penguasa.
Dengan standar seperti itu, sangat sulit mengkategorikan Mesir sebagai negara yang demokratis mengingat Gamal Abdul Nasser berkuasa dengan menggulingkan Presiden Muhammad Naguib, lalu digantikan Anwar Sadat, dan kemudian Husni Mubarak menggantikan Sadat yang terbunuh pada 1981. Selama itu, belum pernah ada catatan adanya pemilu yang diselenggarakan secara periodik. Pemilu terakhir tercatat 2005 dengan calon tunggal Mubarak.
Apakah kekuatan alternatif di Mesir saat ini hanya Ikhwanul Muslimin?
Tidak hanya Ikhwanul Muslimin. Itu ada Mohamed ElBaradei (bekas Direktur Jenderal Badan Tenaga Atom Perserikatan Bangsa-Bangsa) di tengah, tapi dia itu kurang punya akar dalam masyarakat. Dia lama tinggal di luar negeri, tetapi bukan berarti tidak bisa berkuasa. Menurut saya, untuk masa transisi ini harus dicari orang yang bisa diterima kedua belah pihak. Karena yang saya lihat, prodemokrasi dan pro-Mubarak ini sama kuat sekarang. Mana yang lebih kuat, harus ada penelitian. Kita lihat kekuatan massa di Tahrir Square. Kalau media bilang sampai jutaan. Saya kok sangsi. Tapi ketika dikonter oleh massa pro-Mubarak, itu jadi terpecah. Mubarak tampaknya juga kuat.
Orang yang bisa diterima baik oleh Ikhwanul Muslimin ataupun oleh kelompok pro-Mubarak, sayangnya, itu belum saya lihat. Omar Suleiman (wakil presiden) menjadi alternatif, tapi masih dinilai sangat pro-Mubarak. Jadi, memang dilematis. Memang sangat buruk mengenai kaderisasi pemimpin, sebetulnya bukan hanya di sana. Itu problem negara berkembang. Termasuk Mesir, terlalu lama berkuasa harus ada kader pemimpin dan itu lewat partai politik.
Ramalan Anda, siapa yang menggantikan Mubarak?
Mubarak ini saya terkaget-kaget juga, ya, sampai 15 hari masih bertahan. Dugaan saya, Mubarak tidak akan diganti, betul seperti kata Barack Obama, sampai September. Seandainya diganti, paling mungkin, ya, Mohamed ElBaradei. Dia tidak punya akar dalam negeri, tapi dunia internasional mendukungnya. Reputasi itu kan penting. Dia sudah punya reputasi internasional yang bagus sehingga harapannya menyelesaikan (persoalan) dalam negeri pun bisa. Ia tidak menyakiti kedua belah pihak, betul-betul bisa jadi penengah. Iran pun tidak menekan atau ikut-ikut. Memang, banyak orang yang sinis mengatakan dia itu orang pensiunan mencari pekerjaan. Usianya hampir 80-an. Sudah tua juga.
Menurut Anda, ElBaradei ini pilihan terbaik, ya?
Memang dia untuk masa transisi ini, (pasti) tidak (akan) bergejolak. Kalau (tokoh dari) Ikhwanul Muslimin, walaupun punya akar, kemungkinan ada resistensinya, bisa dari negeri Mesir dan regional. Terutama Israel yang khawatir.
Bagaimana peran Israel dan Amerika dalam proses demokratisasi di Mesir?
Peran Amerika dan Israel dalam proses demokratisasi di Mesir itu justru menghambat. Pernyataan-pernyataan Presiden Obama dan Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu membuat Presiden Mubarak tidak segera mundur. Misalnya, pernyataan Gedung Putih mendukung orderly and peaceful transition. Pernyataan ini diartikan oleh Mubarak sebagai menunggu pemilu September 2011. Ini akan membuat dia meninggalkan posisinya sebagai presiden secara terhormat dan damai. Sedangkan Israel menyatakan mendukung Omar Suleiman ketika diangkat sebagai wakil presiden. Ini (bisa) diartikan sebagai dukungan Israel atas kebijakan Mubarak.
Bagaimana pengaruh demokratisasi terhadap peranan perempuan di Mesir dan Timur Tengah?
Saya tidak melihat ada hubungan antara peranan perempuan dan proses demokratisasi. Di beberapa negara Timur Tengah yang tidak atau kurang demokratis, seperti Yordania, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, dan Oman, perempuan mendapat peluang memegang jabatan-jabatan publik dan mempunyai kesempatan untuk menuntut ilmu hingga perguruan tinggi. Tetapi di Turki, yang dianggap sebagai negara republik yang demokratis, ada larangan perempuan menggunakan jilbab dalam pelayanan publik. Berarti ini pengekangan terhadap kebebasan perempuan. Sementara di Iran, yang juga negara demokratis, tidak membuka peluang yang luas bagi perempuan untuk berperan dalam sektor-sektor publik.
Bukannya ada banyak tokoh feminis yang muncul di negara di kawasan itu?
Ya, memang. Pada 2003 perempuan Iran bernama Shirin Ebadi memenangi Nobel Perdamaian. Lalu di Mesir, di negara yang dianggap tidak demokratis ini, perempuan diberi peluang untuk berperan di sektor publik dalam batas tertentu. Perempuan yang tulisannya dianggap akan mengganggu ketenteraman masyarakat dan dianggap tidak sesuai dengan budaya Mesir akan dilarang oleh negara, seperti feminis Nawal el-Saadawi atau Fatima Mernissi dari Maroko.
Bagaimana peran para seniman dalam proses penggulingan pemerintahan di Mesir?
Saya tidak secara khusus mengamati peranan sastrawan atau seniman. Saya juga belum membaca tulisan Nawal el-Saadawi terbaru mengenai penggulingan Mubarak. Saya mengenal Saadawi karena beliau dokter sekaligus sosiolog yang tulisan-tulisannya mengenai masalah perempuan Mesir terkesan terlalu keras dan vulgar. Salah satu tulisannya, yaitu Women and Sex, dilarang diterbitkan di Mesir sehingga harus diterbitkan di Beirut, Libanon.
Bagaimana peranan mahasiswa Indonesia di Mesir dalam proses demokratisasi ini, apakah benar bahwa mahasiswa dipersulit oleh militer?
Setahu saya, setelah tiga kali bertemu mereka atas undangan Atase Pendidikan Kedutaan Besar Republik Indonesia Prof Dr Sangidu, sebagian besar mahasiswa Indonesia belajar ilmu agama Islam dan sastra Arab. Saya tidak mengenal mahasiswa yang belajar politik atau ikut berpolitik praktis di Mesir.
Mereka itu tertekan dengan gaya Mubarak. Mahasiswa Indonesia saat ini diawasi militer Mesir berdasarkan laporan dari mahasiswa lewat e-mail mereka beberapa waktu lalu memang benar. Banyak mahasiswa kita ditangkap tentara, diinterogasi, meskipun kemudian dilepaskan, mereka sangat trauma. Bahkan ada salah satu staf lokal KBRI yang saya kenal, Bapak Muchlason, ditahan berhari-hari, sampai hari ini saya belum mendengar apakah sudah dilepaskan atau belum.
Jadi enggak benar kalau mahasiswa Indonesia berperan dalam penggulingan itu. Kenapa? Karena 6.000 mahasiswa Indonesia itu sebagian besar kuliah atas biaya pemerintah Mesir, bukan pemerintah Indonesia. Itu dulu hasil dari Gerakan Non-Blok, sejak Sukarno menjalin hubungan baik dengan Nasser.
Tolong dong, pemerintah Indonesia segera mengeluarkan atau mengevakuasi mahasiswa Indonesia dari Mesir. Mungkin bisa di negara-negara Arab sekitarnya, seperti Arab Saudi, Yordania, atau yang lebih jauh, seperti Libanon dan Turki. Menurut laporan, mereka sangat ketakutan dan merasa terancam.
Artinya, peran mahasiswa Indonesia dalam krisis politik ini tidak ada sama sekali?
Jelas tidak ada, kalau menurut saya. Mereka itu menahan diri untuk tidak campur tangan terhadap pemerintahan Mesir. Mereka sering tertekan karena sering diintimidasi dan dicurigai. Bahkan ada dua mahasiswa pada 2009 ditahan karena dicurigai anggota Ikhwanul Muslimin. Waktu itu pas saya ke sana. Mereka diinterogasi sampai stres. Mereka mengatakan, sebenarnya (krisis politik yang terjadi di Mesir) tidak terlalu peduli, tidak akan campur tangan. Katanya, “Tugas saya di sini belajar, karena beasiswa datangnya dari pemerintah Mesir.” Mereka merasa tidak tahu dirilah kalau ikut campur urusan dalam negeri Mesir, sementara sekolahnya dibiayai oleh pemerintah Mesir. Itu kan jelas pemerintah Mubarak.
Prof Sangidu menyatakan mereka tidak mudah terpengaruh oleh Ikhwanul Muslimin. Sebagian besar mereka di sana belajar agama, bukan belajar politik. Sebagian besar belajar agama Islam, sebagian besar lagi sastra Arab, ya.
Bisa diceritakan kehidupan mahasiswa Indonesia di Mesir?
Mahasiswa Indonesia di Mesir itu kan jumlahnya banyak. Ribuan tinggal di Nasser City, dan mereka hidupnya pas-pasan. Ya, pas beasiswa itu. Artinya, cukup untuk mereka kuliah di sana. Pada umumnya prestasinya baik. Atase pendidikan Prof Sangidu kan dari UGM. Jadi, kami juga sering diundang di sana bertemu mahasiswa Indonesia di Mesir. Mereka punya aktivitas bagus, bahkan dibangunkan asrama mahasiswa oleh pemerintah Indonesia. Ya, mereka selama ini diabaikan, tapi sekarang sudah mulai diperhatikan. Dulu banyak yang kuliah lama ndak selesai-selesai, sekarang cepat, karena atase pendidikan ini mendorong mahasiswa cepat selesai kuliah.
Mengapa Anda tertarik mempelajari Timur Tengah?
Saya tertarik mempelajari Timur Tengah ketika kuliah S-1 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Semua contoh masalah utama politik ada di Timur Tengah, seperti masalah legitimasi politik, integrasi, otoritas, dan campur tangan asing. Kedua, saya tertarik ingin mempelajari pengaruh Islam di wilayah tersebut karena ingin melanjutkan minat kakek saya, Prof Mohammad Adnan, yang ahli tafsir Al-Quran dan merupakan salah satu Duta Indonesia untuk Mesir pada 1948. Tidak mungkin saya menyamai beliau, karena keterbatasan, tetapi paling tidak mendekati. Ketiga, karena Timur Tengah memang sangat istimewa, baik secara religius, geografis, maupun historis. Secara religius, tidak ada satu pun wilayah di dunia ini yang didatangi orang sebanyak 4 juta di satu tempat dan satu waktu di musim haji, dan ada 1,5 miliar orang setiap hari minimal 5 kali harus menghadap ke wilayah ini ketika salat lima waktu.
Alasan lainnya?
Secara geografis, Timur Tengah itu luar biasa indahnya. Sungai Nil, Efrat, Tigris, dan Yordan. Laut Tengah, Teluk Aqabah, dan Terusan Suez tidak bisa kita lihat keindahannya di tempat lain. Kota Alexandria itu sangat indah dan menyejukkan jiwa. Keindahan geografis saya berikan dalam mata kuliah saya di Kajian Timur Tengah, Sekolah Pascasarjana UGM, yang berjudul Geopolitik dan Geobudaya Timur Tengah. Dari segi sejarah, sejarah para nabi dari tiga agama besar, Nasrani, Yahudi, dan Islam, serta sejarah peradaban manusia, semuanya terpusat di wilayah ini.
Anda punya cerita unik?
Sebenarnya banyak, karena saya diajarkan oleh ayah saya untuk mencatat peristiwa sehari-hari lewat agenda. Tetapi, kalau yang berhubungan dengan Timur Tengah, tentu saja ketika saya naik haji pada 2003. Kedua, ketika saya melakukan penelitian di Libanon. Saya harus berterima kasih kepada promotor saya, Prof Dr Ichlasul Amal, yang telah menolak proposal penelitian saya empat kali waktu saya ingin menulis politik luar negeri Indonesia. Beliau menyarankan saya agar konsisten menulis Timur Tengah seperti waktu S-1 dan S-2. Pada waktu itu, kebetulan yang menjadi duta besar juga teman Prof Amal, yaitu Bapak Abdullah Syarwani. Saya dapat fasilitas yang tidak biasa dinikmati oleh seorang mahasiswa. Kalau tidak mendapat fasilitas kedutaan, mana mungkin saya bisa ke daerah konflik di Libanon Selatan. Di situ saya menyaksikan kekejaman yang dilakukan oleh Israel yang semula hanya saya baca dari buku, seperti tempat penyiksaan di penjara Al-Khiam. Dan karena disertasi itu, saya mendapat nilai cum laude dan bisa saya selesaikan dalam waktu tiga tahun setengah.
BIODATA
NAMA: Dr Siti Muti'ah Setiawati, MA
KELAHIRAN: Bukittinggi, 25 September 1960
SUAMI: Dr Luqman Hakim, MSc (memiliki tiga anak)
PEKERJAAN: Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
PENDIDIKAN:
S-1 Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (1985)
S-2 School of Oriental and African Studies (SOAS) University of London, Inggris (1991)
S-3 Jurusan Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana UGM (2007)
KARIER MENGAJAR:
S-1, Fisipol , UGM, sejak 1985
S-1, Fisipol, UPN Yogyakarta, 1996-2000
S-1, Fisipol, Universitas Wachid Hasyim, Semarang, 2004-2006
S-2, Ilmu Politik, Sekolah Pasca Sarjana UGM, sejak 1998
S-2, Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2002-2008
S-2 dan S-3 Kajian Timur Tengah, Sekolah Pascasarjana UGM sejak 2005/2007
S-2, Kerja Sama UGM dengan Lemhannas, 2008-2010
S-1, Akademi Militer, Magelang, 1998-2000, 2010-2011
BUKU:
Irak di Bawah Kekuasaan Amerika (2005)
Mekanisme Consociational dalam Pengendalian Konflik Internal Lebanon (2010)
MAKALAH:
Dinamika Hubungan Indonesia-Mesir (Sekolah Pascasarjana UGM Oktober 2010)
Promoting Indonesia-Egypt Diplomatic Relationship (Zaqaziq University, Mesir, Mei 2010)
Indonesia-Malaysia Boundary Dispute (University of Malaya, Agustus 2009)
The Dinamics of Political Stability in Lebanon Since 2005 ( Exeter University, Inggris, September 2009)
Academic Recharging (Hankuk University of Foreign Study, Korea, Des 2009-Feb 2010).
JABATAN LAIN:
Sekretaris Komisi III Senat Akademik UGM (sejak 2007)
Sekretaris Program Studi Kajian Timur Tengah, Sekolah Pascasarjana UGM (sejak 2008)
Sekretaris Pusat Studi Asia Pasifik (sejak 2010).
Punya Penerjemah Pribadi
Meskipun sudah 25 tahun menggauli kawasan Timur Tengah, Siti Muti'ah Setiawati ini belum fasih berbahasa Arab. Walhasil, setiap kali “blusukan” ke negara-negara raksasa minyak itu, pengajar Pascasarjana Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu selalu mengandalkan suaminya, Luqman Hakim, menjadi penerjemah.
“Bahasa Arabnya baik, dia sering menemani saya saat penelitian di lapangan,” kata perempuan yang dipanggil Titik ini. Wanita berkulit kuning ini mengatakan, bahasa Arab di kawasan Timur Tengah ini amat rumit. Ada banyak perbedaan arti dan tata bahasa dalam menggunakan bahasa tersebut di beberapa negara di kawasan tersebut. “Bahkan cuma berbeda suku saja, bahasa Arabnya njlimet (berbeda),” kata ibu tiga anak itu.
Menurut Titik, ia sudah acap keluar-masuk di kawasan itu, seperti Qatar, Libanon, Mesir, Suriah, dan Arab Saudi. Ketertarikan pada kawasan yang kerap bergolak itu bermula dari mata kuliah ilmu politik yang mencontohkan kasus-kasus yang terjadi di negara-negara itu. “Problem apa pun di dunia politik itu contohnya dari Timur Tengah,” ujarnya. (Bernarda Rurit)
*) Pakar Kajian Timur Tengah, Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar