Martin Aleida
http://terpelanting.wordpress.com/
Dengan menjinjing nasib yang malang saya mengetuk pintu TEMPO. Melalui pintu kayu yang tinggi kokoh dari sebuah bangunan berbentuk rumah-toko peninggalan zaman Belanda di Jalan Senen Raya 83, saya masuk ke dalam. Berkelok ke kiri dan berjingkat menaiki tangga batu ke atas, saya kemudian berdiri di tengah gang sempit. Melangkah masuk, lantas saya disambut sebuah ruangan yang cukup besar dengan dua jendela kayu terbuka mengundang masuk angin dari arah matahari terbenam. Hampir sepuluh pasang meja-kursi berderet merapat ke empat sisi dinding. Tak satu pun yang menonjol dibanding yang lain. Rupanya semua orang sama-rendah- sama-tinggi di sini. Mesin tik seperti berkejaran, berdentam-dentam, di semua sisi. Saya terpaku sesaat, merasa tidak lebih berharga dari sebutir debu yang sewaktu-waktu akan dikebutkan. Tak ada yang menyapa. Mempedulikan pun tidak. Mata saya menyelidik ke sekeliling. Saya tak mengenal siapa-siapa di sini, kecuali Goenawan Mohamad. Melongok kanan-kiri.. .
Nah, itu dia! Jendol di kening, mungkin penanda kelebihan kearifannya dibandingkan yang lain, masih menggantung dengan berat di situ. Di jari kirinya terjepit sebatang rokok putih yang masih berasap. Dia kelihatan seperti seorang Nabi yang terlalu letih setelah menempuh perjalanan jauh dan bekerikil.
“Mas…”
“Hei…” sambutnya begitu melihat saya. Matanya redup.
“Boleh saya bergabung?” Langsung saya merogoh hatinya.
“Boleh…, boleh…” katanya enteng sambil merapikan kertas yang berserakan di daun meja. Walau terasa seperti tak acuh, saya mencium kehangatan dalam suaranya ketika dia mengatakan, “Kapan mulai?”
Seingat saya percakapan tersebut tidak lebih dari itu. Tak ada basa-basi. Juga tak ada ujian masuk. Mungkin karena Goenawan sudah mengetahui kemampuan saya ketika bekerja sebagai reporter di majalah berita EKSPRES yang juga dia pimpin. Cuma sebulan saya bekerja di majalah itu, karena penghasilan yang tidak pasti. Ketika memutuskan berhenti, saya membawa pulang Rp 6.000. Lebih rendah dari gaji sebulan pelayan toko – pekerjaan yang kemudian menjadi pilihan saya.
Begitulah, keesokan harinya, 15 Januari 1971, dengan mengenakan hem hitam pekat dan pantalon putih, sepasang sepatu hitam pula, semuanya pinjaman dari seseorang di Tanah Abang, saya terjun kembali menjadi wartawan. Ya, kembali. Mengapa menggunakan kata “kembali”? Nanti akan saya ceritakan.
Baju hitam, celana putih! Setelah bergaul intim dengan sesama reporter, seperti Yusril Jalinus, Syahrir Wahab, Herry Komar, dan Harun Musawa, kalau dalam suasana bercanda, pakaian hitam-putih saya itu sering menjadi bahan ledekan. Saya tak tahu, apa asosiasi yang berada di kepala mereka melihat saya berpakaian seperti itu. Marhaenis sesat! Pengikut Mbah Suro! Saya tak tahu. Buat saya sendiri setelan itu telah mengantar saya mengarungi putaran hidup yang baru, walau tetap diburu kecemasan. Saya masih beruntung dibandingkan dengan kawan-kawan saya yang masih ditahan di dalam kamp dan penjara yang dikuasai angkatan darat di Jakarta.
Menjelang nomor perdana TEMPO, 6 Maret 1971, kami, para reporter dilatih oleh Usamah, seorang redaktur yang cekatan, dengan tatapan mata seorang wartawan tulen, tak gampang percaya, menyelidik. Ketika baru berusia 19 tahun dia sudah menulis novel dengan setting mirip-mirip Eropa, dimuat bersambung di majalah Sastra. Latihan berlangsung malam hari setelah semua reporter menyelesaikan tugas harian. Untuk melatih ketajaman pengamatan, setiap hari kami disuruh menulis laporan pandangan mata dalam perjalanan dari rumah ke kantor. Usamah memberikan pelatihan dengan meyakinkan. Ibu jari tangannya yang lancip dan hitam tak pernah lepas memberi tekanan. Dia membimbing kami bagaimana membuka tulisan, menganyam data, dan menutup tulisan dengan menarik. Tak diragukan lagi, dia seorang penulis yang tangkas dan cepat. Usamahlah yang menemukan “kecap” yang kemudian menjadi masyhur:
“TEMPO, Enak Dibaca dan Perlu.”
Cuma, seperti kata pepatah, sepandai-pandai tupai melompat sesekali jatuh juga. Sekalipun Usamah, dia tetap bisa terpeleset! Ketika menulis kembali tulisan mengenai permainan semacam yoyo, yang ketika itu bernama “Nok-Nok,” saking syurnya menulis, dia lepas kendali, dan menambahkan kata-kata di dalam tanda kurung di belakang nama permainan itu: (Jangan dibaca….) Dia membuang huruf “k” pertama dari nama permainan yang sedang populer ketika itu. Usamah bikin geger! Untuk menutup muka mengatasi malu, TEMPO buru-buru memesan stempel buta. Tak ada kata-kata, cuma blok hitam pekat membujur. Bagian redaksi dan administrasi dikerahkan untuk “menimpa” kata yang tiba-tiba menyelusup itu dengan blok hitam supaya tak terbaca. Tiras majalah ketika itu sudah 25.000. Bayangkan, betapa repotnya! Seharian orang-orang harus menggempur kata tak senonoh yang ngelantur di kepala Usamah.
Bagaimanapun, saya senang mengikuti latihan jurnalistik model Usamah.
Ini gaya baru, saya pikir. Dan, dari gelanggang latihan itu paling tidak saya tangkap bahwa para pendiri TEMPO, terutama para wartawannya, tidak main-main dalam mempersiapkan majalah berita yang ingin disajikan dengan bahasa yang baik, lengkap isinya dan enak pula dibaca.
Assignment memang ada, namun pada dasarnya laporan-laporan berita TEMPO berasal dari bawah. Para reporter mengajukan usul atau laporan yang sudah jadi. Para redaktur mengolahnya kembali menjadi tulisan yang siap saji. Atau menolaknya samasekali. Tulisan yang dipersiapkan reporter memperoleh sentuhan yang memperkaya dari para redaktur. Pernah ada tulisan untuk rubrik “Ilustrasi” tentang bangku-bangku taman di Jakarta yang berubah fungsi dan menjadi sarang penganggur. Penyair Isma Sawitri, yang menerima laporan itu, memolesnya dan memberi judul “Batu Berpikir,” dengan pembukaan paragraf yang elok nian, dan mengasosiakan para penganggur tadi sebagai patung “Pemikir”
karya pematung masyhur Perancis, Rodin.
Mempersiapkan bahan untuk laporan utama bukanlah pekerjaan yang mudah buat para reporter. Menantang, juga bisa melukai perasaan. Suatu ketika, rapat perencanaan TEMPO memutuskana untuk menurunkan laporan utama mengenai hiburan malam. Seluruh reporter dikerahkan. Redaktur Putu Wijaya, yang ditugaskan untuk menuliskan laporan siap cetak, juga ngeloyor ke lapangan. Inilah peroyek penulisan paling spektakuler masa itu. Total laporan yang masuk dari reporter hampir 200 halaman! Hasil kunjungan mereka ke pusat-pusat hiburan malam di Ibu Kota yang sedang genit-genitnya menggoda mereka yang haus hiburan berbau seks di tiap pojok kota. Ya, hiburan berlumur seks.
Saya dan reporter D.S. Karma mendapat tugas meliput pertunjukan striptease di lantai paling atas gedung CTC di Jalan Kramat Raya. Yang kami tonton tidak hanya seorang perempuan kulit putih bahenol yang bermata tajam ala perempuan dari Timur Tengah, yang menanggalkan pembalut tubuhnya helai-demi-helai sampai bugil, gil…, tapi juga adegan persetubuhan! Sejawat saya, Karma, terguncang imannya melihat pertunjukan itu dan mengucapkan istigfar sambil berlindung di balik tiang beton, seraya tangannya sebentar-sebentar menggelepar di pisak celananya. Saya yakin, Karma yang berdarah Banten itu, tak percaya akan apa yang sedang dia saksikan dengan mata kepalanya sendiri.
Begitu majalah keluar dari percetakan, para reporter dengan bersemangat membacanya, dan yang membuncah adalah rasa ingin tahu sejauh mana bahan yang mereka masukkan dikutip. Putu Wijaya, yang selalu menulis dengan headset yang terus membekam kedua belah telinganya, menampilkan laporan yang menarik dan lancar. Dan, ternyata bahan yang masuk dari reporter hampir tak ada yang dipakai. Kalau pun ada, cuma barang secuil. Mereka yang kecewa menggelepar, uring-uringan seharian. Yang dikutip dari laporan saya sendiri cuma huruf e untuk kata “seks” dan sebuah koma. Saya sudah siap menelan kepahitan seperti itu. Jadi saya tak begitu hirau. Saya teringat pantun di kampung saya, di Sumatera, “Kalau takut di ombak pasang jangan berumah di tepi pantai.” Tapi, urusan menjadi repot juga, ketika sang istri di rumah ngomel: “Pulang-pulang pagi…, ngapain aja sih? Tak secuil juga dipakai…”
Ketidakpuasan para reporter mendarat juga ke kuping Goenawan Mohamad.
Dan, hati mereka yang ciut bertambah mengkerut. Goenawan membolak-balik tumpukan laporan yang masuk dari para reporter.
Tiba-tiba keluarlah lidahnya yang bermerek Amerika. “Memang, cuma rubbish,” umpatnya tajam. Saya tak paham mengapa dia harus menggunakan Inggris untuk mengatakan “sampah.” Sebab, bagaimanapun geliat kata itu di lidah, ia tetap tak bisa menawar perasaan para reporter yang sedang
dirundung sebal.
Menulis berpuluh-puluh halaman, tapi tak sekalimat pun dikutip, memang bisa membuat hati terluka. Tetapi, haru-biru yang diakibatkan kisah tentang “hiburan malam” itu tak mematahkan semangat para reporter.
Keesokan harinya, kami ngeluyur lagi di tengah-tengah kota, mencari apa saja yang bisa dilaporkan, dengan menumpang bus, becak atau naik motor milik kantor yang jumlahnya, ketika itu, masih terbatas. Ibarat kata orang Melayu, kami kembali “bertungkus- lumus” mencari cerita. Ya, berita yang ditulis dengan gaya bercerita. Dada kami tetap mongkok karena romantisme masih saja mekar di antara para pencari berita.
Kesetiakawanan dan cita-cita tentang sebuah jurnalisme yang baru masih kental. Waktu itu, Goenawan tinggal di rumah kontrakan yang sederhana di daerah pasar Genjing, di salah satu rumah di deretan tempattinggal yang terletak agak menjorok di bagian dalam dari Jalan Pramuka.
Acapkali dia datang ke kantor dengan menumpang becak, atau dibonceng reporter Farkhan Bulkin naik scooter Lambrette tua, milik orang-orang Batik Pekalongan yang bermarkas di Jalan Kramat Pulo, dekat bioskop Rivoli, Jalan Kramat Raya.
Sudah menjadi kebiasaan, apabila TEMPO menurunkan berita yang menarik, apalagi laporan utama, ada pengantar pendek, semacam “kecap pemanis” yang dimuat di halaman awal. Suatu ketika, TEMPO tampil dengan laporan yang agak panjang mengenai satu kasus manipulasi bank. Sementara koran-koran hanya memuat keterangan polisi di sebuah konferensi pers, TEMPO tampil dengan kisah yang lengkap, bagaimana penipuan terhadap bank Pemerintah itu berlangsung. Saya dan reporter kawakan, Leopold Gan, berduet untuk menyelidiki dan melaporkan kejadian. Foto kami berdua nampang di halaman pengantar.
Laporan tersebut di kemudian hari diklaim sebagai perintis investigative reporting. Tak lama sesudah itu, TEMPO muncul dengan scoop yang membuat iri hati saingannya, yaitu berita tentang Wayne Sargent, seorang wanita dari Amerika Serikat, yang membikin sensasi dengan mengumumkan ke seluruh dunia bahwa dia telah mengawini Obahorok, kepala suku Dani, di Papua. Bayangkan, seorang wanita dari zaman modern mengawini laki-laki yang baru bisa menutup harkat kejantanannya dengan labu kering. Koteka! Ketika Wayne singgah di Jakarta, dalam perjalanan pulang ke Amerika Serikat, perempuan langsing berambut merah jagung itu dicegat Bur Rasuanto. Bur lantas “menyimpan” Wayne di suatu tempat rahasia, sehingga tak ada wartawan lain yang bisa menemuinya. Kiat membuat berita eksklusif seperti ini membikin perhatian pembaca TEMPO semakin menggila.
Suatu hari, saya yang turut larut dalam prestasi-demi- prestasi yang dijalin TEMPO, tiba-tiba bagaikan kena sambar sampar. Pada suatu pagi, ketika kami para reporter sedang asyik-asyiknya membaca koran di ruang repoter (ada yang sambil duduk di ujung tangga yang memisahkan ruang kerja reporter dan redaktur), muncullah seorang pemuda, yang sepertinya pernah saya kenal di kamp tahanan militer di Jalan Kemuliaan, yang di kalangan para tahanan dikenal sebagai kamp Air Mancur, karena dekat kolam penghias kota dekat Taman Monumen Nasional itu. Dia langsung menghampiri saya. Menyebutkan nama saya untuk memastikan surat yang dia tenteng tidak nyasar, dia lantas menyerahkan amplop di tangannya itu kepada saya. Lantas dia melangkah ke bawah menuruni tangga. Amplop saya buka, dan membaca surat yang terasa ditulis dengan kata-kata yang berladam sepatu tentara. Isinya tegas: saya harus datang ke Komando Daerah Militer Jayakarta untuk interogasi.
Hari itu saya pulang dengan perasaan sebagai pesakitan. Cemas, hampa. Pada pagi hari yang ditetapkan supaya saya datang ke markas komando militer, saya menghadap Goenawan dan membertahukan, sekaligus meminta izin, bahwa saya dipanggil KODAM, untuk diperiksa. Waktu itu saya isaratkan bahwa pemeriksaan terhadap saya kemungkinan tidak ada hubungannya dengan berita TEMPO. Pastilah tentang saya sebagai pesakitan Orde Baru. Goenawan sudah tahu mengenai latarbelakang saya.
Karena ketika melamar EKSPRES dulu, sudah saya katakan kepadanya –dan hanya kepadanya, dan saya tak tahu apakah kemudian dia gosipkan pula kepada orang lain — bahwa saya bekas tahanan politik.
Sudah lupa saya, apa yang dia katakan ketika melepas saya di pintu ruang para redaktur. Tak ada emosi yang terbaca di situ. Bersyukurkah dia? Bersimpatikah dia? Kayaknya, dia mengharapkan saya baik-baik saja. Sampai jumpa Martin, kira-kira begitulah kata tatapan matanya!
Sungguh saya tak tahu apa yang berada di dalam hatinya.
Saya diinterogasi di sebuah ruangan khusus di Jalan Gunung Sahari.
Saya duduk dengan manis, dengan kedua tangan terlipat. Di depan saya, duduk orang yang memeriksa saya, orang yang saya kenal bernama Sartono; orang yang dulu pernah menjadi aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat di Jakarta. Saya berpura-pura lupa dengan masa lalunya. Dosa yang dia tanggungkan bukan monopoli dia sendiri. Dia adalah contoh dari sekian banyak orang yang telah mendurhakai dirinya sendiri, dan teman-temannya, untuk menyelamatkan diri. Begitu hinanya sejarah menyaksikan orang-orang seperti dia ini. Di depannya terbuka halaman majalah TEMPO, dan terpampang foto saya dan Leopold Gan, dengan sejumlah paragraf “kecap manis nomor satu,” sebagai pengatar dari redaksi. Nafas saya tertahan. Jantung saya berdentam cepat begitu mata saya membentur halaman itu.
“Bagaimana Saudara bisa selalu bekerja di media yang besar dan terpandang. Dulu di Harian Rakyat, ZAMAN BARU, sekarang di TEMPO?
Coba, bagaimana? Dan bagaimana Saudara bisa berkenalan dengan Goenawan? Ada hubungan apa Saudara dengan penandatangan Manifes Kebudayaan itu? “
“Nasib telah menjelma menjadi sungai yang besar dan deras, yang memisahkan jalan hidup kita berdua! Aku di sini. Kau di situ, dan cuma sebagai seorang pendurhaka!” Kata-kata itu bergulung-gulung di dalam hati saya seperti batu menggelinding menuruni lereng gunung yang sedang terbakar. Tetapi, kata-kata yang gagah namun sinis itu cuma tersekat di dalam hati. Leher saya terlalu pendek dan lidah saya terlalu majal untuk mengucapkannya. Ekor pari yang bergerigi tajam-tajam menyeringai, kumparan kabel pengejut listrik yang terlampar di lantai yang dingin, dan mata yang tajam mengancam dari seorang bertubuh kekar hitam di pojok ruangan, membuat saya tak kuasa melafalkannya. Lagipula, tak ada kemenangan yang harus di petik di ruangan yang bengis ini, yang menjadi saksi bagi ratusan orang tak bersalah, yang disiksa, diperkosa, untuk memperoleh keterangan tentang orang yang tak tahu entah mengapa dikaitkan dengan terbunuhnya para jenderal.
“Saya menulis beberapa cerita pendek di Horison. Goenawan salah seorang staf redaksi majalah itu. Dengan cerita pendek itu kemudian saya melamar di majalah EKSPRES. Goenawan pemimpin redaksi di situ.
Tak sampai sebulan, saya keluar, karena gaji kecil. Sewaktu Goenawan Mohamad hendak mendirikan TEMPO, saya melamar lagi, dan saya diterima,” jawab saya berupaya menenangkan diri.
Saya teringat, ketika ditangkap militer tahun 1966, saya luput dari pembantaian, pemencilan ke dalam penjara, maupun pembuangan ke Pulau Buru, besar dugaan saya, karena dari kantong saya interogator menemukan surat wasiat kedua orangtua saya yang hendak berangkat menunaikan ibadah haji. Kalau tak pandir bukan interogator namanya.
Dan, saya kira, wasiat itu telah menjadi mukjizat yang membuka pintu kebebasan bagi saya si anak malang. Menjadi pesakitan di depan interogator, yang adalah teman saya sekarang ini, saya tak punya apa-apa. Saya tidak mengharapkan mukjizat yang lain dari sorga.
Militer toh sudah lelah, kekenyangan menangkap, menyiksa, mengayau atau membuang orang-orang merah. Sudah tak ada sisa-sisa yang tertinggal di alam bebas. Arah pertanyaannya adalah apakah saya masuk TEMPO karena rekomendasi seseorang. Siapa?
Sang interogator, kelihatannya menerima uraian bagaimana saya masuk menjadi wartawan majalah itu. Kemudian muncullah niat busuknya sebagai pendurhaka untuk menggaet pengkhianat baru, atau paling tidak, menjadikan saya seorang informan. Seraya tangannya menunjuk foto saya dan Leopold Gan, dengan berseloroh dia katakan pastilah saya punya hubungan luas. Dia menanyakan apakah saya kenal dengan tokoh pemuda-mahasiswa garis keras, seperti Siner Key Timu dan beberapa nama lagi? Saya katakan tidak, saya bukan wartawan politik. Ketika saya dipertemukan dengan Komandan Intelijen KODAM, yang kebetulan datang ke ruangan interogasi itu, saya bertanya, “Apakah saya harus keluar dari TEMPO?” Perwira yang mengenakan pakaian sipil dengan wajah bundar bertabur bekas jerawat batu itu, saya dengar punya istri gelap, seorang wanita yang suaminya mendekam dalam tahanan. “Tidak…, tidak perlu,” katanya dingin.
Interogasi tidak saya biarkan mematahkan hati saya. Justeru perkembangan di dalam TEMPO sendirilah yang menggoyang ketenangan kerja. Bur Rasuanto diberhentikan menyusul ketegangan yang menyebabkan dia melemparkan segelas kopi, yang gagal menghantam muka Goenawan, dan pecah berantakan menghantam tembok yang tak ikut-ikutan. Tersiar kabar, Bur berencana menerbitkan majalah berita mingguan baru.
Beberapa wartawan mengundurkan diri dan dikabarkan bergabung dengan jabang bayi majalah itu. Karena kedekatan dan kerjasama yang baik dengan Bur selama ini, saya pun jadi sasaran gosip, yang sampai ke telinga saya bagaikan teror. “Tin, kapan kau berangkut?” tanya Fikri Jufri. Maksudnya kapan saya mengangkut kopor dan berangkat mencium tangan Bur.
Rivalitas Fikri dengan Bur Rasuanto sangat tajam, sampai-sampai anak Gang Haji Murtado itu minta bantuan Irsyan Djunud, pesilat Betawi yang bekerja sebagai teknisi kamar gelap. Dia meminta kesetiaan Irsyan, bahwa dia akan melindungi Fikri kalau Bur menyerang secara fisik.
Maklumlah, konon di laci Bur sering terselip martil atau pun golok.
Tak sekali-dua-kali Fikri menteror saya dengan sindiran gaya Hadramaut-Betawi yang memanaskan kuping seperti itu. Saya hanya mengelus dada untuk tidak melawan, walau saya punya senjata untuk membalas. Saya tahu betul, karena dia sendiri yang bercerita kepada saya, hubungan apa yang terjalin antara Pertamina dengannya, setelah dia menulis laporan yang sangat kritis mengenai perusahaan minyak itu.
Itu dia katakan kepada saya menjelang keberangkatannya ke Amerika Serikat untuk mengikuti studi jangka pendek di Stanford.
Terus terang, setelah diinterogasi aparat intelijen angkatan darat tempo hari, saya selalu merasa seratus pasang mata mengincar saya ke mana dan di mana pun saya berada. Mata Goenawan, mata Fikri, mata Yusril dan mata-mata yang lain. Saya tak tahu apa yang terjadi dengan Salim Said. Ketika saya diundang menghadiri rapat pembagian saham, dengan lantang dia berkata kepada hadirin bahwa, “Martin tidak berhak atas saham,” katanya. Alasannya saya datang belakangan. Sebelum ditahan Zen Umar Parba dan yang lain, saya mengambil langkah seribu dan meninggalkan rapat, tanpa membela diri, sekalipun saya, misalnya, sudah bergabung dengan TEMPO tiga bulan sebelum terbit. Saya juga pernah bekerja dengan EKSPRES, walau saya tak menunggu sampai Goenawan dikeluarkan oleh lawan politiknya, pemilik modal, Nurman Diah.
Saya tak mengharapkan saham. Tapi, mengapa Salim begitu bergairah di dalam rapat itu. Padahal, belum lama dia mengajak saya tidur di rumahnya, yang sesungguhnya hanyalah ruangan dapur dari gedung Gerwani di pojok Jalan Tegalan, Matraman, yang sedang diduduki kekuatan bersenjata. Dia memberikan saya sepucuk pistol untuk berjaga-jaga, agar ditaruh di bawah bantal, kalau perlu. Saya tolak, karena tak memerlukannya. Sebelum mata terpejam, tiba-tiba pintu diketuk seseorang. Muncullah Sarwo Edhie Wibowo, legendaris hidup yang mengaku telah menghabisi “tiga juta orang komunis” dalam gerakan penumpasan yang dipimpinnya di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Untung saya tidak diperkenalkan kepadanya. Kalau diperkenalkan tak tahu saya bagaimana harus mencuci tangan saya yang baru menjabat tangan seseorang yang berlumuran darah orang-orang yang tak bersenjata dan tak bersalah.
Nasib buruk menimpa laporan-laporan saya. Saya mendapat berita bagus mengenai diplomat Uni Soviet yang melarikan diri dan kabarnya minta suaka di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Cerita itu
ditolak. Berita saya mengenai kericuhan di Dewan Kesenian Jakarta, yang ketika itu dipimpin Umar Kayam, juga diputuskan oleh Goenawan untuk tidak diturunkan.
Namun, sebagai wartawan, saya tidak mau membiarkan diri saya gepeng.
Saya punya hubungan yang baik dengan dokter Gunawan di Cisarua yang di sementara kalangan terkenal mengobati kanker dan tumor dengan singkong gendruwo, singkong racun. Beberapa kali saya melihat bekas Wakil Presiden Muhammad Hatta, bekas Duta Besar Sudjono dan Sawito duduk bercakap-cakap sambil menghadap perapian di rumah dokter Gunawan. Tak lama setelah itu, secara terbuka Sawito, bekas pegawai Departemen Pertanian, itu mengakui telah menerima “wangsit” bahwa Soeharto harus turun karena tidak layak mengelola pemerintahan. Kelompok Cisarua itu dituduh penguasa mau menjatuhkan pemerintahan Soeharto. Sawito ditangkap. Saya merasa diri “orang dalam” dan tidak menuliskan laporan. Namun, saya bercerita panjang-lebar secara lisan kepada Goenawan Mohamad, dan TEMPO menurunkan berita yang cukup lengkap, berjudul “Voodoo Revolution.”
Kami, para reporter, merasa sudah bekerja habis-habisan untuk membesarkan TEMPO, dan kami sadar gaji yang kami terima saban bulan bukanlah seluruh nilai yang telah kami berikan kepada majalah itu. Karena, kalau semua jerih payah kami, nilai lebih yang kami berikan dibayarkan, sudah barang tentu majalah itu tidak akan bisa menanamkan modal untuk terus berkembang. Yang tidak berkenan dipikirkan oleh perusahaan, kami upayakan sendiri. Kami memerlukan pemondokan yang layak. Ed Zoelverdi dan saya menguruskan penerimaan jatah perumahan dari Perumnas di Depok. Tetapi, Goenawan tidak senang dengan jerih-payah kami itu.
Benih ketidakpuasan tanpa diundang mulai bermunculan. Ketika terbetik ada majalah kedokteran yang mau terbit di Jakarta, saya ditugaskan menulis laporan dengan misi menggagalkan usaha pihak Hong Kong itu, dengan tujuan untuk mempertahankan MEDIKA, majalah kedokteran dan farmasi milik TEMPO, supaya tetap memegang monopoli. Laporan saya diterbitkan. Betapa sakitnya hati melihat kenyataan yang pahit ini.
Saya harus melacurkan hati-nurani kewartawanan saya untuk monopoli perusahaan yang mengabaikan hajat hidup wartawannya Ketika para wartawan akan diberikan jatah mobil, pendapat kami tidak diminta.
Kecuali satu-dua wartawan yang jadi “anak emas” Goenawan. Anak-anak kesayangan yang masih bujangan itu, karena kepingin kelihatan “gaya,” memilih Toyota hardtop. Gila! Siapa yang membayar bensinnya?! Jatah bensin dikalkulasi berdasarkan jarak antara kantor dengan rumah pemimpin redaksi yang terletak di Cipinang. Sementara Syu’bah Asa, Ed Zoelverdi dan saya tinggal di Depok. Syu’bah terkaing-kaing. Setengah dari gajinya habis untuk membeli bahan bakar. Saya, yang tidak bergairah dengan mobil penghisap darah itu, memilih meninggalkannya di rumah tiga-empat hari dalam seminggu. Kadang-kadang saya jalan dan lari ke kantor yang berjarak 31 km.
“Tin, mana mobilmu,” desak Fikri.
“Saya tinggalkan di rumah. Tak ada uang untuk beli bensin.”
“Kau gak bisa begitu! Kau desk, bukan reporter!”
“Ambil kembali juga boleh. Silakan!”
Kuping Fikri panas. Dia tak menjawab, dan nglengos meninggalkan saya.
Keterlambatan terbit menjadi musuh laten. Pengambil keputusan sampai pada kesimplan untuk merekrut tenaga wartawan baru. Kami, pada redaktur, tidak diajak rembuk. Rekrutmen tidak didasarkan pada kemampuan menulis calon wartawan, tetapi kelulusan tes psikologi.
Keadaan tetap tak tertolong. Para wartawan baru ini tidak bisa menuliskan laporan dengan gaya piramida terbalik, sehingga para redaktur harus membaca seluruh laporan meraka yang berhalaman-halaman, dan datang dari beberapa wartawan, sementara tenggat waktu sudah mendesak. Jadinya jadual terbit tetap dikhianati. Dan yang ketiban pulung adalah redaktur, mereka yang juga dinamakan “jabrik” atau penanggungjawab rubrik.
Teater TEMPO semakin menyakitkan hati manakala Zulkifly Lubis, yang gagal di gelanggang redaksi dipindahkan ke bagian pendidikan. Bagian itu kemudian berubah menjadi bagian manajemen yang sangat dominan.
Hitam katanya hitam kata Goenawan. Dari situlah anak Medan, yang sekolah di Yogyakarta, itu mengatur bagian dari mana dia sudah terisisih, kalah berkompetisi, persaingan sehat yang justeru dianjurkan Goenawan dalam sebuah pidato di awal usia majalah tersebut.
Pembersihan terhadap mereka yang tidak disenangi dihumbalangkan seperti mengaduk-aduk air yang bersih. Eka Budianta, yang gemar berbicara puitis (yang membuat dia sering diejek) dalam rapat perencanaan redaksi, digeser ke bagian lain. Suatu hari, saya bertandang ke meja kerjanya. Masyaallah, dia memang menghadapi mesin tik. Tetapi, sang penyair bukannya sedang menulis laporan, dia cuma mengisi rupa-rupa formulir. “Aku jadi juru ketik sekarang…,” katanya sinis. Tak lama setelah percakapan itu dia berhenti, harakiri gaya Melayu, untuk melawan rasa malu, tersebab merasa dikerjain dengan semena-mena.
Nasib saya tidak seburuk Eka, agaknya. Setelah bekerja lebih dari delapan tahun, saya mendapat hadiah berupa subsidi rumah sebesar 20 kali gaji. Saya juga diberikan kesempatan untuk memperbaiki bahasa Inggris dan pengetahuan linguistik di Georgetown University, Washington D.C. Hubungan telepon, yang sampai sekarang masih saya manfaatkan, adalah fasiltas dari perusahaan. Kalau dikenang lucu juga.
Sambungan telepon itu disediakan hanya untuk memberikan kesempatan kepada saya untuk memberitahukan kepada istri maupun anak, bahwa saya tak bisa pulang, karena masih harus berjuang melawan deadline. Maaf, harus pulang besok pagi, sayang! Tetapi, kesemrawutan manajemen, pilih
kasih, dan tetek bengek yang sebenarnya tak perlu terjadi, menggoda saya untuk berhenti. Ditambah kecemasan kalau-kalau pemerintah akan mengamangkan kekerasan dalam melaksanakan larangan bagi tapol untuk bekerja di media massa. Saya tergoda untuk menyudahi hubungan cinta dan sakit hati dengan TEMPO secara baik-baik. Kepada Lukman Setiawan, juga A. Bastari Asnin, senior saya, saya mengutarakan niat saya, dan meminta mareka untuk membantu supaya niat saya terlaksana dengan
lancar, tanpa hambatan. Dan saya tidak menuntut apa-apa. Kecuali pesangon sebesar tiga bulan gaji.
Suatu hari, sekitar awal Juni 1984, saya menghampiri Goenawan di meja kerjanya. Saya katakan, saya ingin mengundurkan diri.
“Tunggu, saya mau membersihkan meja saya. Jangan sekarang,” katanya.
Saya pikir, ternyata saya tidak lebih berharga dari sebutir debu.
Kabarnya, dia sudah mendengar rencana saya dari Salim Said.
Saya sabar menunggu selama dua minggu. Kemudian saya datang lagi menghampiri daun mejanya. “Jangan sekarang,” katanya lagi mengulang seperti mengebutkan kemoceng.
Apa pun yang terjadi, sayalah yang berkuasa atas nasib saya. Dan saya putuskan menulis surat permohonan berhenti yang ditujukan kepada Direktur Haryoko Trisnadi. Goenawan merasa terkepung, barangkali.
Sekitar seminggu kemudian dia memanggil saya ke ruang rapat.
“Saya tak bisa menahanmu, Martin,” katanya singkat. Dan pada saat itu juga saya mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang dia berikan kepada saya untuk bekerja di majalah yang dia pimpin. Mata saya tiba-tiba terasa hangat. Saya yakin saya menitikkan air mata, walau sebisa mungkin saya tahan dengan menggigit bibir. Saya menjabat tangannnya dan kami berbarengan keluar ruangan.
Dengan menjinjing nasib yang malang, saya mengarahkan punggung saya yang rapuh ke arah kantor di mana saya sudah menghabiskan 13 tahun dari usia saya. “Selamat tinggal TEMPO! Kau sudah dibesarkan oleh cinta, sakit hati, juga kebencian…” Tiba-tiba, saya sudah berada di jalan raya, terkepung oleh lalulintas yang tak mengenal ampun. Saya terus berjalan mengikuti hati saya. Tak siapa pun yang saya harapkan mengikuti langkah saya. Namun, tak berapa lama kemudian, terjadi eksodus besar-besaran. Lebih dari 30 wartawan sekaligus menyatakan berhenti, termasuk Syu’bah Asa, yang secara terbuka menyatakan keluar untuk membunuh TEMPO, ya membunuh tuannya sendiri selama ini. ***
*) Sebagai judulnya: Jurnal Cerpen Indonesia Edisi 09 “Ratusan Mata di Mana-mana.”
http://terpelanting.wordpress.com/
Dengan menjinjing nasib yang malang saya mengetuk pintu TEMPO. Melalui pintu kayu yang tinggi kokoh dari sebuah bangunan berbentuk rumah-toko peninggalan zaman Belanda di Jalan Senen Raya 83, saya masuk ke dalam. Berkelok ke kiri dan berjingkat menaiki tangga batu ke atas, saya kemudian berdiri di tengah gang sempit. Melangkah masuk, lantas saya disambut sebuah ruangan yang cukup besar dengan dua jendela kayu terbuka mengundang masuk angin dari arah matahari terbenam. Hampir sepuluh pasang meja-kursi berderet merapat ke empat sisi dinding. Tak satu pun yang menonjol dibanding yang lain. Rupanya semua orang sama-rendah- sama-tinggi di sini. Mesin tik seperti berkejaran, berdentam-dentam, di semua sisi. Saya terpaku sesaat, merasa tidak lebih berharga dari sebutir debu yang sewaktu-waktu akan dikebutkan. Tak ada yang menyapa. Mempedulikan pun tidak. Mata saya menyelidik ke sekeliling. Saya tak mengenal siapa-siapa di sini, kecuali Goenawan Mohamad. Melongok kanan-kiri.. .
Nah, itu dia! Jendol di kening, mungkin penanda kelebihan kearifannya dibandingkan yang lain, masih menggantung dengan berat di situ. Di jari kirinya terjepit sebatang rokok putih yang masih berasap. Dia kelihatan seperti seorang Nabi yang terlalu letih setelah menempuh perjalanan jauh dan bekerikil.
“Mas…”
“Hei…” sambutnya begitu melihat saya. Matanya redup.
“Boleh saya bergabung?” Langsung saya merogoh hatinya.
“Boleh…, boleh…” katanya enteng sambil merapikan kertas yang berserakan di daun meja. Walau terasa seperti tak acuh, saya mencium kehangatan dalam suaranya ketika dia mengatakan, “Kapan mulai?”
Seingat saya percakapan tersebut tidak lebih dari itu. Tak ada basa-basi. Juga tak ada ujian masuk. Mungkin karena Goenawan sudah mengetahui kemampuan saya ketika bekerja sebagai reporter di majalah berita EKSPRES yang juga dia pimpin. Cuma sebulan saya bekerja di majalah itu, karena penghasilan yang tidak pasti. Ketika memutuskan berhenti, saya membawa pulang Rp 6.000. Lebih rendah dari gaji sebulan pelayan toko – pekerjaan yang kemudian menjadi pilihan saya.
Begitulah, keesokan harinya, 15 Januari 1971, dengan mengenakan hem hitam pekat dan pantalon putih, sepasang sepatu hitam pula, semuanya pinjaman dari seseorang di Tanah Abang, saya terjun kembali menjadi wartawan. Ya, kembali. Mengapa menggunakan kata “kembali”? Nanti akan saya ceritakan.
Baju hitam, celana putih! Setelah bergaul intim dengan sesama reporter, seperti Yusril Jalinus, Syahrir Wahab, Herry Komar, dan Harun Musawa, kalau dalam suasana bercanda, pakaian hitam-putih saya itu sering menjadi bahan ledekan. Saya tak tahu, apa asosiasi yang berada di kepala mereka melihat saya berpakaian seperti itu. Marhaenis sesat! Pengikut Mbah Suro! Saya tak tahu. Buat saya sendiri setelan itu telah mengantar saya mengarungi putaran hidup yang baru, walau tetap diburu kecemasan. Saya masih beruntung dibandingkan dengan kawan-kawan saya yang masih ditahan di dalam kamp dan penjara yang dikuasai angkatan darat di Jakarta.
Menjelang nomor perdana TEMPO, 6 Maret 1971, kami, para reporter dilatih oleh Usamah, seorang redaktur yang cekatan, dengan tatapan mata seorang wartawan tulen, tak gampang percaya, menyelidik. Ketika baru berusia 19 tahun dia sudah menulis novel dengan setting mirip-mirip Eropa, dimuat bersambung di majalah Sastra. Latihan berlangsung malam hari setelah semua reporter menyelesaikan tugas harian. Untuk melatih ketajaman pengamatan, setiap hari kami disuruh menulis laporan pandangan mata dalam perjalanan dari rumah ke kantor. Usamah memberikan pelatihan dengan meyakinkan. Ibu jari tangannya yang lancip dan hitam tak pernah lepas memberi tekanan. Dia membimbing kami bagaimana membuka tulisan, menganyam data, dan menutup tulisan dengan menarik. Tak diragukan lagi, dia seorang penulis yang tangkas dan cepat. Usamahlah yang menemukan “kecap” yang kemudian menjadi masyhur:
“TEMPO, Enak Dibaca dan Perlu.”
Cuma, seperti kata pepatah, sepandai-pandai tupai melompat sesekali jatuh juga. Sekalipun Usamah, dia tetap bisa terpeleset! Ketika menulis kembali tulisan mengenai permainan semacam yoyo, yang ketika itu bernama “Nok-Nok,” saking syurnya menulis, dia lepas kendali, dan menambahkan kata-kata di dalam tanda kurung di belakang nama permainan itu: (Jangan dibaca….) Dia membuang huruf “k” pertama dari nama permainan yang sedang populer ketika itu. Usamah bikin geger! Untuk menutup muka mengatasi malu, TEMPO buru-buru memesan stempel buta. Tak ada kata-kata, cuma blok hitam pekat membujur. Bagian redaksi dan administrasi dikerahkan untuk “menimpa” kata yang tiba-tiba menyelusup itu dengan blok hitam supaya tak terbaca. Tiras majalah ketika itu sudah 25.000. Bayangkan, betapa repotnya! Seharian orang-orang harus menggempur kata tak senonoh yang ngelantur di kepala Usamah.
Bagaimanapun, saya senang mengikuti latihan jurnalistik model Usamah.
Ini gaya baru, saya pikir. Dan, dari gelanggang latihan itu paling tidak saya tangkap bahwa para pendiri TEMPO, terutama para wartawannya, tidak main-main dalam mempersiapkan majalah berita yang ingin disajikan dengan bahasa yang baik, lengkap isinya dan enak pula dibaca.
Assignment memang ada, namun pada dasarnya laporan-laporan berita TEMPO berasal dari bawah. Para reporter mengajukan usul atau laporan yang sudah jadi. Para redaktur mengolahnya kembali menjadi tulisan yang siap saji. Atau menolaknya samasekali. Tulisan yang dipersiapkan reporter memperoleh sentuhan yang memperkaya dari para redaktur. Pernah ada tulisan untuk rubrik “Ilustrasi” tentang bangku-bangku taman di Jakarta yang berubah fungsi dan menjadi sarang penganggur. Penyair Isma Sawitri, yang menerima laporan itu, memolesnya dan memberi judul “Batu Berpikir,” dengan pembukaan paragraf yang elok nian, dan mengasosiakan para penganggur tadi sebagai patung “Pemikir”
karya pematung masyhur Perancis, Rodin.
Mempersiapkan bahan untuk laporan utama bukanlah pekerjaan yang mudah buat para reporter. Menantang, juga bisa melukai perasaan. Suatu ketika, rapat perencanaan TEMPO memutuskana untuk menurunkan laporan utama mengenai hiburan malam. Seluruh reporter dikerahkan. Redaktur Putu Wijaya, yang ditugaskan untuk menuliskan laporan siap cetak, juga ngeloyor ke lapangan. Inilah peroyek penulisan paling spektakuler masa itu. Total laporan yang masuk dari reporter hampir 200 halaman! Hasil kunjungan mereka ke pusat-pusat hiburan malam di Ibu Kota yang sedang genit-genitnya menggoda mereka yang haus hiburan berbau seks di tiap pojok kota. Ya, hiburan berlumur seks.
Saya dan reporter D.S. Karma mendapat tugas meliput pertunjukan striptease di lantai paling atas gedung CTC di Jalan Kramat Raya. Yang kami tonton tidak hanya seorang perempuan kulit putih bahenol yang bermata tajam ala perempuan dari Timur Tengah, yang menanggalkan pembalut tubuhnya helai-demi-helai sampai bugil, gil…, tapi juga adegan persetubuhan! Sejawat saya, Karma, terguncang imannya melihat pertunjukan itu dan mengucapkan istigfar sambil berlindung di balik tiang beton, seraya tangannya sebentar-sebentar menggelepar di pisak celananya. Saya yakin, Karma yang berdarah Banten itu, tak percaya akan apa yang sedang dia saksikan dengan mata kepalanya sendiri.
Begitu majalah keluar dari percetakan, para reporter dengan bersemangat membacanya, dan yang membuncah adalah rasa ingin tahu sejauh mana bahan yang mereka masukkan dikutip. Putu Wijaya, yang selalu menulis dengan headset yang terus membekam kedua belah telinganya, menampilkan laporan yang menarik dan lancar. Dan, ternyata bahan yang masuk dari reporter hampir tak ada yang dipakai. Kalau pun ada, cuma barang secuil. Mereka yang kecewa menggelepar, uring-uringan seharian. Yang dikutip dari laporan saya sendiri cuma huruf e untuk kata “seks” dan sebuah koma. Saya sudah siap menelan kepahitan seperti itu. Jadi saya tak begitu hirau. Saya teringat pantun di kampung saya, di Sumatera, “Kalau takut di ombak pasang jangan berumah di tepi pantai.” Tapi, urusan menjadi repot juga, ketika sang istri di rumah ngomel: “Pulang-pulang pagi…, ngapain aja sih? Tak secuil juga dipakai…”
Ketidakpuasan para reporter mendarat juga ke kuping Goenawan Mohamad.
Dan, hati mereka yang ciut bertambah mengkerut. Goenawan membolak-balik tumpukan laporan yang masuk dari para reporter.
Tiba-tiba keluarlah lidahnya yang bermerek Amerika. “Memang, cuma rubbish,” umpatnya tajam. Saya tak paham mengapa dia harus menggunakan Inggris untuk mengatakan “sampah.” Sebab, bagaimanapun geliat kata itu di lidah, ia tetap tak bisa menawar perasaan para reporter yang sedang
dirundung sebal.
Menulis berpuluh-puluh halaman, tapi tak sekalimat pun dikutip, memang bisa membuat hati terluka. Tetapi, haru-biru yang diakibatkan kisah tentang “hiburan malam” itu tak mematahkan semangat para reporter.
Keesokan harinya, kami ngeluyur lagi di tengah-tengah kota, mencari apa saja yang bisa dilaporkan, dengan menumpang bus, becak atau naik motor milik kantor yang jumlahnya, ketika itu, masih terbatas. Ibarat kata orang Melayu, kami kembali “bertungkus- lumus” mencari cerita. Ya, berita yang ditulis dengan gaya bercerita. Dada kami tetap mongkok karena romantisme masih saja mekar di antara para pencari berita.
Kesetiakawanan dan cita-cita tentang sebuah jurnalisme yang baru masih kental. Waktu itu, Goenawan tinggal di rumah kontrakan yang sederhana di daerah pasar Genjing, di salah satu rumah di deretan tempattinggal yang terletak agak menjorok di bagian dalam dari Jalan Pramuka.
Acapkali dia datang ke kantor dengan menumpang becak, atau dibonceng reporter Farkhan Bulkin naik scooter Lambrette tua, milik orang-orang Batik Pekalongan yang bermarkas di Jalan Kramat Pulo, dekat bioskop Rivoli, Jalan Kramat Raya.
Sudah menjadi kebiasaan, apabila TEMPO menurunkan berita yang menarik, apalagi laporan utama, ada pengantar pendek, semacam “kecap pemanis” yang dimuat di halaman awal. Suatu ketika, TEMPO tampil dengan laporan yang agak panjang mengenai satu kasus manipulasi bank. Sementara koran-koran hanya memuat keterangan polisi di sebuah konferensi pers, TEMPO tampil dengan kisah yang lengkap, bagaimana penipuan terhadap bank Pemerintah itu berlangsung. Saya dan reporter kawakan, Leopold Gan, berduet untuk menyelidiki dan melaporkan kejadian. Foto kami berdua nampang di halaman pengantar.
Laporan tersebut di kemudian hari diklaim sebagai perintis investigative reporting. Tak lama sesudah itu, TEMPO muncul dengan scoop yang membuat iri hati saingannya, yaitu berita tentang Wayne Sargent, seorang wanita dari Amerika Serikat, yang membikin sensasi dengan mengumumkan ke seluruh dunia bahwa dia telah mengawini Obahorok, kepala suku Dani, di Papua. Bayangkan, seorang wanita dari zaman modern mengawini laki-laki yang baru bisa menutup harkat kejantanannya dengan labu kering. Koteka! Ketika Wayne singgah di Jakarta, dalam perjalanan pulang ke Amerika Serikat, perempuan langsing berambut merah jagung itu dicegat Bur Rasuanto. Bur lantas “menyimpan” Wayne di suatu tempat rahasia, sehingga tak ada wartawan lain yang bisa menemuinya. Kiat membuat berita eksklusif seperti ini membikin perhatian pembaca TEMPO semakin menggila.
Suatu hari, saya yang turut larut dalam prestasi-demi- prestasi yang dijalin TEMPO, tiba-tiba bagaikan kena sambar sampar. Pada suatu pagi, ketika kami para reporter sedang asyik-asyiknya membaca koran di ruang repoter (ada yang sambil duduk di ujung tangga yang memisahkan ruang kerja reporter dan redaktur), muncullah seorang pemuda, yang sepertinya pernah saya kenal di kamp tahanan militer di Jalan Kemuliaan, yang di kalangan para tahanan dikenal sebagai kamp Air Mancur, karena dekat kolam penghias kota dekat Taman Monumen Nasional itu. Dia langsung menghampiri saya. Menyebutkan nama saya untuk memastikan surat yang dia tenteng tidak nyasar, dia lantas menyerahkan amplop di tangannya itu kepada saya. Lantas dia melangkah ke bawah menuruni tangga. Amplop saya buka, dan membaca surat yang terasa ditulis dengan kata-kata yang berladam sepatu tentara. Isinya tegas: saya harus datang ke Komando Daerah Militer Jayakarta untuk interogasi.
Hari itu saya pulang dengan perasaan sebagai pesakitan. Cemas, hampa. Pada pagi hari yang ditetapkan supaya saya datang ke markas komando militer, saya menghadap Goenawan dan membertahukan, sekaligus meminta izin, bahwa saya dipanggil KODAM, untuk diperiksa. Waktu itu saya isaratkan bahwa pemeriksaan terhadap saya kemungkinan tidak ada hubungannya dengan berita TEMPO. Pastilah tentang saya sebagai pesakitan Orde Baru. Goenawan sudah tahu mengenai latarbelakang saya.
Karena ketika melamar EKSPRES dulu, sudah saya katakan kepadanya –dan hanya kepadanya, dan saya tak tahu apakah kemudian dia gosipkan pula kepada orang lain — bahwa saya bekas tahanan politik.
Sudah lupa saya, apa yang dia katakan ketika melepas saya di pintu ruang para redaktur. Tak ada emosi yang terbaca di situ. Bersyukurkah dia? Bersimpatikah dia? Kayaknya, dia mengharapkan saya baik-baik saja. Sampai jumpa Martin, kira-kira begitulah kata tatapan matanya!
Sungguh saya tak tahu apa yang berada di dalam hatinya.
Saya diinterogasi di sebuah ruangan khusus di Jalan Gunung Sahari.
Saya duduk dengan manis, dengan kedua tangan terlipat. Di depan saya, duduk orang yang memeriksa saya, orang yang saya kenal bernama Sartono; orang yang dulu pernah menjadi aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat di Jakarta. Saya berpura-pura lupa dengan masa lalunya. Dosa yang dia tanggungkan bukan monopoli dia sendiri. Dia adalah contoh dari sekian banyak orang yang telah mendurhakai dirinya sendiri, dan teman-temannya, untuk menyelamatkan diri. Begitu hinanya sejarah menyaksikan orang-orang seperti dia ini. Di depannya terbuka halaman majalah TEMPO, dan terpampang foto saya dan Leopold Gan, dengan sejumlah paragraf “kecap manis nomor satu,” sebagai pengatar dari redaksi. Nafas saya tertahan. Jantung saya berdentam cepat begitu mata saya membentur halaman itu.
“Bagaimana Saudara bisa selalu bekerja di media yang besar dan terpandang. Dulu di Harian Rakyat, ZAMAN BARU, sekarang di TEMPO?
Coba, bagaimana? Dan bagaimana Saudara bisa berkenalan dengan Goenawan? Ada hubungan apa Saudara dengan penandatangan Manifes Kebudayaan itu? “
“Nasib telah menjelma menjadi sungai yang besar dan deras, yang memisahkan jalan hidup kita berdua! Aku di sini. Kau di situ, dan cuma sebagai seorang pendurhaka!” Kata-kata itu bergulung-gulung di dalam hati saya seperti batu menggelinding menuruni lereng gunung yang sedang terbakar. Tetapi, kata-kata yang gagah namun sinis itu cuma tersekat di dalam hati. Leher saya terlalu pendek dan lidah saya terlalu majal untuk mengucapkannya. Ekor pari yang bergerigi tajam-tajam menyeringai, kumparan kabel pengejut listrik yang terlampar di lantai yang dingin, dan mata yang tajam mengancam dari seorang bertubuh kekar hitam di pojok ruangan, membuat saya tak kuasa melafalkannya. Lagipula, tak ada kemenangan yang harus di petik di ruangan yang bengis ini, yang menjadi saksi bagi ratusan orang tak bersalah, yang disiksa, diperkosa, untuk memperoleh keterangan tentang orang yang tak tahu entah mengapa dikaitkan dengan terbunuhnya para jenderal.
“Saya menulis beberapa cerita pendek di Horison. Goenawan salah seorang staf redaksi majalah itu. Dengan cerita pendek itu kemudian saya melamar di majalah EKSPRES. Goenawan pemimpin redaksi di situ.
Tak sampai sebulan, saya keluar, karena gaji kecil. Sewaktu Goenawan Mohamad hendak mendirikan TEMPO, saya melamar lagi, dan saya diterima,” jawab saya berupaya menenangkan diri.
Saya teringat, ketika ditangkap militer tahun 1966, saya luput dari pembantaian, pemencilan ke dalam penjara, maupun pembuangan ke Pulau Buru, besar dugaan saya, karena dari kantong saya interogator menemukan surat wasiat kedua orangtua saya yang hendak berangkat menunaikan ibadah haji. Kalau tak pandir bukan interogator namanya.
Dan, saya kira, wasiat itu telah menjadi mukjizat yang membuka pintu kebebasan bagi saya si anak malang. Menjadi pesakitan di depan interogator, yang adalah teman saya sekarang ini, saya tak punya apa-apa. Saya tidak mengharapkan mukjizat yang lain dari sorga.
Militer toh sudah lelah, kekenyangan menangkap, menyiksa, mengayau atau membuang orang-orang merah. Sudah tak ada sisa-sisa yang tertinggal di alam bebas. Arah pertanyaannya adalah apakah saya masuk TEMPO karena rekomendasi seseorang. Siapa?
Sang interogator, kelihatannya menerima uraian bagaimana saya masuk menjadi wartawan majalah itu. Kemudian muncullah niat busuknya sebagai pendurhaka untuk menggaet pengkhianat baru, atau paling tidak, menjadikan saya seorang informan. Seraya tangannya menunjuk foto saya dan Leopold Gan, dengan berseloroh dia katakan pastilah saya punya hubungan luas. Dia menanyakan apakah saya kenal dengan tokoh pemuda-mahasiswa garis keras, seperti Siner Key Timu dan beberapa nama lagi? Saya katakan tidak, saya bukan wartawan politik. Ketika saya dipertemukan dengan Komandan Intelijen KODAM, yang kebetulan datang ke ruangan interogasi itu, saya bertanya, “Apakah saya harus keluar dari TEMPO?” Perwira yang mengenakan pakaian sipil dengan wajah bundar bertabur bekas jerawat batu itu, saya dengar punya istri gelap, seorang wanita yang suaminya mendekam dalam tahanan. “Tidak…, tidak perlu,” katanya dingin.
Interogasi tidak saya biarkan mematahkan hati saya. Justeru perkembangan di dalam TEMPO sendirilah yang menggoyang ketenangan kerja. Bur Rasuanto diberhentikan menyusul ketegangan yang menyebabkan dia melemparkan segelas kopi, yang gagal menghantam muka Goenawan, dan pecah berantakan menghantam tembok yang tak ikut-ikutan. Tersiar kabar, Bur berencana menerbitkan majalah berita mingguan baru.
Beberapa wartawan mengundurkan diri dan dikabarkan bergabung dengan jabang bayi majalah itu. Karena kedekatan dan kerjasama yang baik dengan Bur selama ini, saya pun jadi sasaran gosip, yang sampai ke telinga saya bagaikan teror. “Tin, kapan kau berangkut?” tanya Fikri Jufri. Maksudnya kapan saya mengangkut kopor dan berangkat mencium tangan Bur.
Rivalitas Fikri dengan Bur Rasuanto sangat tajam, sampai-sampai anak Gang Haji Murtado itu minta bantuan Irsyan Djunud, pesilat Betawi yang bekerja sebagai teknisi kamar gelap. Dia meminta kesetiaan Irsyan, bahwa dia akan melindungi Fikri kalau Bur menyerang secara fisik.
Maklumlah, konon di laci Bur sering terselip martil atau pun golok.
Tak sekali-dua-kali Fikri menteror saya dengan sindiran gaya Hadramaut-Betawi yang memanaskan kuping seperti itu. Saya hanya mengelus dada untuk tidak melawan, walau saya punya senjata untuk membalas. Saya tahu betul, karena dia sendiri yang bercerita kepada saya, hubungan apa yang terjalin antara Pertamina dengannya, setelah dia menulis laporan yang sangat kritis mengenai perusahaan minyak itu.
Itu dia katakan kepada saya menjelang keberangkatannya ke Amerika Serikat untuk mengikuti studi jangka pendek di Stanford.
Terus terang, setelah diinterogasi aparat intelijen angkatan darat tempo hari, saya selalu merasa seratus pasang mata mengincar saya ke mana dan di mana pun saya berada. Mata Goenawan, mata Fikri, mata Yusril dan mata-mata yang lain. Saya tak tahu apa yang terjadi dengan Salim Said. Ketika saya diundang menghadiri rapat pembagian saham, dengan lantang dia berkata kepada hadirin bahwa, “Martin tidak berhak atas saham,” katanya. Alasannya saya datang belakangan. Sebelum ditahan Zen Umar Parba dan yang lain, saya mengambil langkah seribu dan meninggalkan rapat, tanpa membela diri, sekalipun saya, misalnya, sudah bergabung dengan TEMPO tiga bulan sebelum terbit. Saya juga pernah bekerja dengan EKSPRES, walau saya tak menunggu sampai Goenawan dikeluarkan oleh lawan politiknya, pemilik modal, Nurman Diah.
Saya tak mengharapkan saham. Tapi, mengapa Salim begitu bergairah di dalam rapat itu. Padahal, belum lama dia mengajak saya tidur di rumahnya, yang sesungguhnya hanyalah ruangan dapur dari gedung Gerwani di pojok Jalan Tegalan, Matraman, yang sedang diduduki kekuatan bersenjata. Dia memberikan saya sepucuk pistol untuk berjaga-jaga, agar ditaruh di bawah bantal, kalau perlu. Saya tolak, karena tak memerlukannya. Sebelum mata terpejam, tiba-tiba pintu diketuk seseorang. Muncullah Sarwo Edhie Wibowo, legendaris hidup yang mengaku telah menghabisi “tiga juta orang komunis” dalam gerakan penumpasan yang dipimpinnya di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Untung saya tidak diperkenalkan kepadanya. Kalau diperkenalkan tak tahu saya bagaimana harus mencuci tangan saya yang baru menjabat tangan seseorang yang berlumuran darah orang-orang yang tak bersenjata dan tak bersalah.
Nasib buruk menimpa laporan-laporan saya. Saya mendapat berita bagus mengenai diplomat Uni Soviet yang melarikan diri dan kabarnya minta suaka di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Cerita itu
ditolak. Berita saya mengenai kericuhan di Dewan Kesenian Jakarta, yang ketika itu dipimpin Umar Kayam, juga diputuskan oleh Goenawan untuk tidak diturunkan.
Namun, sebagai wartawan, saya tidak mau membiarkan diri saya gepeng.
Saya punya hubungan yang baik dengan dokter Gunawan di Cisarua yang di sementara kalangan terkenal mengobati kanker dan tumor dengan singkong gendruwo, singkong racun. Beberapa kali saya melihat bekas Wakil Presiden Muhammad Hatta, bekas Duta Besar Sudjono dan Sawito duduk bercakap-cakap sambil menghadap perapian di rumah dokter Gunawan. Tak lama setelah itu, secara terbuka Sawito, bekas pegawai Departemen Pertanian, itu mengakui telah menerima “wangsit” bahwa Soeharto harus turun karena tidak layak mengelola pemerintahan. Kelompok Cisarua itu dituduh penguasa mau menjatuhkan pemerintahan Soeharto. Sawito ditangkap. Saya merasa diri “orang dalam” dan tidak menuliskan laporan. Namun, saya bercerita panjang-lebar secara lisan kepada Goenawan Mohamad, dan TEMPO menurunkan berita yang cukup lengkap, berjudul “Voodoo Revolution.”
Kami, para reporter, merasa sudah bekerja habis-habisan untuk membesarkan TEMPO, dan kami sadar gaji yang kami terima saban bulan bukanlah seluruh nilai yang telah kami berikan kepada majalah itu. Karena, kalau semua jerih payah kami, nilai lebih yang kami berikan dibayarkan, sudah barang tentu majalah itu tidak akan bisa menanamkan modal untuk terus berkembang. Yang tidak berkenan dipikirkan oleh perusahaan, kami upayakan sendiri. Kami memerlukan pemondokan yang layak. Ed Zoelverdi dan saya menguruskan penerimaan jatah perumahan dari Perumnas di Depok. Tetapi, Goenawan tidak senang dengan jerih-payah kami itu.
Benih ketidakpuasan tanpa diundang mulai bermunculan. Ketika terbetik ada majalah kedokteran yang mau terbit di Jakarta, saya ditugaskan menulis laporan dengan misi menggagalkan usaha pihak Hong Kong itu, dengan tujuan untuk mempertahankan MEDIKA, majalah kedokteran dan farmasi milik TEMPO, supaya tetap memegang monopoli. Laporan saya diterbitkan. Betapa sakitnya hati melihat kenyataan yang pahit ini.
Saya harus melacurkan hati-nurani kewartawanan saya untuk monopoli perusahaan yang mengabaikan hajat hidup wartawannya Ketika para wartawan akan diberikan jatah mobil, pendapat kami tidak diminta.
Kecuali satu-dua wartawan yang jadi “anak emas” Goenawan. Anak-anak kesayangan yang masih bujangan itu, karena kepingin kelihatan “gaya,” memilih Toyota hardtop. Gila! Siapa yang membayar bensinnya?! Jatah bensin dikalkulasi berdasarkan jarak antara kantor dengan rumah pemimpin redaksi yang terletak di Cipinang. Sementara Syu’bah Asa, Ed Zoelverdi dan saya tinggal di Depok. Syu’bah terkaing-kaing. Setengah dari gajinya habis untuk membeli bahan bakar. Saya, yang tidak bergairah dengan mobil penghisap darah itu, memilih meninggalkannya di rumah tiga-empat hari dalam seminggu. Kadang-kadang saya jalan dan lari ke kantor yang berjarak 31 km.
“Tin, mana mobilmu,” desak Fikri.
“Saya tinggalkan di rumah. Tak ada uang untuk beli bensin.”
“Kau gak bisa begitu! Kau desk, bukan reporter!”
“Ambil kembali juga boleh. Silakan!”
Kuping Fikri panas. Dia tak menjawab, dan nglengos meninggalkan saya.
Keterlambatan terbit menjadi musuh laten. Pengambil keputusan sampai pada kesimplan untuk merekrut tenaga wartawan baru. Kami, pada redaktur, tidak diajak rembuk. Rekrutmen tidak didasarkan pada kemampuan menulis calon wartawan, tetapi kelulusan tes psikologi.
Keadaan tetap tak tertolong. Para wartawan baru ini tidak bisa menuliskan laporan dengan gaya piramida terbalik, sehingga para redaktur harus membaca seluruh laporan meraka yang berhalaman-halaman, dan datang dari beberapa wartawan, sementara tenggat waktu sudah mendesak. Jadinya jadual terbit tetap dikhianati. Dan yang ketiban pulung adalah redaktur, mereka yang juga dinamakan “jabrik” atau penanggungjawab rubrik.
Teater TEMPO semakin menyakitkan hati manakala Zulkifly Lubis, yang gagal di gelanggang redaksi dipindahkan ke bagian pendidikan. Bagian itu kemudian berubah menjadi bagian manajemen yang sangat dominan.
Hitam katanya hitam kata Goenawan. Dari situlah anak Medan, yang sekolah di Yogyakarta, itu mengatur bagian dari mana dia sudah terisisih, kalah berkompetisi, persaingan sehat yang justeru dianjurkan Goenawan dalam sebuah pidato di awal usia majalah tersebut.
Pembersihan terhadap mereka yang tidak disenangi dihumbalangkan seperti mengaduk-aduk air yang bersih. Eka Budianta, yang gemar berbicara puitis (yang membuat dia sering diejek) dalam rapat perencanaan redaksi, digeser ke bagian lain. Suatu hari, saya bertandang ke meja kerjanya. Masyaallah, dia memang menghadapi mesin tik. Tetapi, sang penyair bukannya sedang menulis laporan, dia cuma mengisi rupa-rupa formulir. “Aku jadi juru ketik sekarang…,” katanya sinis. Tak lama setelah percakapan itu dia berhenti, harakiri gaya Melayu, untuk melawan rasa malu, tersebab merasa dikerjain dengan semena-mena.
Nasib saya tidak seburuk Eka, agaknya. Setelah bekerja lebih dari delapan tahun, saya mendapat hadiah berupa subsidi rumah sebesar 20 kali gaji. Saya juga diberikan kesempatan untuk memperbaiki bahasa Inggris dan pengetahuan linguistik di Georgetown University, Washington D.C. Hubungan telepon, yang sampai sekarang masih saya manfaatkan, adalah fasiltas dari perusahaan. Kalau dikenang lucu juga.
Sambungan telepon itu disediakan hanya untuk memberikan kesempatan kepada saya untuk memberitahukan kepada istri maupun anak, bahwa saya tak bisa pulang, karena masih harus berjuang melawan deadline. Maaf, harus pulang besok pagi, sayang! Tetapi, kesemrawutan manajemen, pilih
kasih, dan tetek bengek yang sebenarnya tak perlu terjadi, menggoda saya untuk berhenti. Ditambah kecemasan kalau-kalau pemerintah akan mengamangkan kekerasan dalam melaksanakan larangan bagi tapol untuk bekerja di media massa. Saya tergoda untuk menyudahi hubungan cinta dan sakit hati dengan TEMPO secara baik-baik. Kepada Lukman Setiawan, juga A. Bastari Asnin, senior saya, saya mengutarakan niat saya, dan meminta mareka untuk membantu supaya niat saya terlaksana dengan
lancar, tanpa hambatan. Dan saya tidak menuntut apa-apa. Kecuali pesangon sebesar tiga bulan gaji.
Suatu hari, sekitar awal Juni 1984, saya menghampiri Goenawan di meja kerjanya. Saya katakan, saya ingin mengundurkan diri.
“Tunggu, saya mau membersihkan meja saya. Jangan sekarang,” katanya.
Saya pikir, ternyata saya tidak lebih berharga dari sebutir debu.
Kabarnya, dia sudah mendengar rencana saya dari Salim Said.
Saya sabar menunggu selama dua minggu. Kemudian saya datang lagi menghampiri daun mejanya. “Jangan sekarang,” katanya lagi mengulang seperti mengebutkan kemoceng.
Apa pun yang terjadi, sayalah yang berkuasa atas nasib saya. Dan saya putuskan menulis surat permohonan berhenti yang ditujukan kepada Direktur Haryoko Trisnadi. Goenawan merasa terkepung, barangkali.
Sekitar seminggu kemudian dia memanggil saya ke ruang rapat.
“Saya tak bisa menahanmu, Martin,” katanya singkat. Dan pada saat itu juga saya mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang dia berikan kepada saya untuk bekerja di majalah yang dia pimpin. Mata saya tiba-tiba terasa hangat. Saya yakin saya menitikkan air mata, walau sebisa mungkin saya tahan dengan menggigit bibir. Saya menjabat tangannnya dan kami berbarengan keluar ruangan.
Dengan menjinjing nasib yang malang, saya mengarahkan punggung saya yang rapuh ke arah kantor di mana saya sudah menghabiskan 13 tahun dari usia saya. “Selamat tinggal TEMPO! Kau sudah dibesarkan oleh cinta, sakit hati, juga kebencian…” Tiba-tiba, saya sudah berada di jalan raya, terkepung oleh lalulintas yang tak mengenal ampun. Saya terus berjalan mengikuti hati saya. Tak siapa pun yang saya harapkan mengikuti langkah saya. Namun, tak berapa lama kemudian, terjadi eksodus besar-besaran. Lebih dari 30 wartawan sekaligus menyatakan berhenti, termasuk Syu’bah Asa, yang secara terbuka menyatakan keluar untuk membunuh TEMPO, ya membunuh tuannya sendiri selama ini. ***
*) Sebagai judulnya: Jurnal Cerpen Indonesia Edisi 09 “Ratusan Mata di Mana-mana.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar