M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/
Sore hari, langit meneteskan bulir-bulir air. Rapat tanpa celah dan heneng ketika jatuh di hitam tanah yang masih basah. Rintik, pagar dingin diusap angin lewat yang membawa senyap. Bergulir atas kebekuan yang tidak biasa. Bercampur aduk di depan serambi malam. Memboyong anak manusia tertelungkup di dalam harapan.
Dhimas Gathuk duduk di emperan. Dia menyanding tembakau pasar dan segelas kopi manis yang telah dingin. Pandangannya jauh ke barat, pada langit kelabu. Matanya ditiraikan gemericik air bening. Asin jatuh ke gua hitam, menahan tembakau terbakar agar tidak terjatuh. Dadanya sesak. Rintik hujan merajuk ke dalam dada. Pandangan mengabur, tirai semakin menebal. Langit tetap saja muram, ketika malam berjalan tanpa gairah. Terseok-seok bersamaan dengan tes demi tetes yang tak tertahan.
Hening seketika itu merebak jadi sesak. Menyumbat nafas yang tersengal. Sekali tarik. Dua kali tarik. Terlihat berat bersamaan dengan sesak. Dada seperti dipenuhi air hujan. Jatuh dan menggenang. Di tanah merah yang basah. Mengalir ke gua dimana tulang-tulang tajam berderet. Putih kecoklatan bercampur cairan tembakau. Melekat di dinding tulang berbaris.
“Lha, kok nangis, Dhi?” tanya Kangmas Gothak.
Keluarnya Kangmas Gothak, membuat Dhimas Gathuk kaget. Kemudian mencoba membendung air yang membanjiri wajahnya.
“Ora, Kang. Tidak ada apa-apa.” Dhimas Gathuk sibuk membasuh pipi sambil membuang muka jauh namun Kangmas Gothak mengikuti. Kepalanya memutar, mencari dua mata basah adiknya.
“Kalau tidak, terus itu air apa, Dhi?” Kangmas Gothak tersenyum kecil disertai dengan gelengan kepala. “Wis joko kok isih nangis. Sin-ngisini, Dhi. Memalukan.” Lalu duduk di samping adiknya. “Kalau ada masalah, dibagi, Dhi. Memang tidak habis sebanyak apa pun kita membagi. Setidaknya, meringankan. Melegakan rongga dada, Dhi.”
Dhimas Gathuk masih diam. Pandangannya terus melaju di langit kelabu. Hujan telah tersapu. Mendung berarak memudar. Pucatnya cahaya bulan memancar di atas daunan basah yang kedinginan. Sedangkan Dhimas Gathuk, masih melayangkan pandangan ditirai hujan. Rintik dan dingin. Senyap di dalam dada yang sesak.
“Owalah, Dhi. Diajak ngomong malah,” Kangmas Gothak membelai rambut adiknya.
“Malu, Kang, kalau cerita.” Dhimas Gathuk tersenyum kecil.
“Lho, aku ini Kakangmu, Dhi. Kalau bukan dosa, kenapa musti malu. Apalagi dengan saudaramu sendiri.” Kangmas Gothak memberikan senyuman lebar untuk adiknya yang meneteskan air mata.
“Tapi jangan diguyu, Kang!”
Kangmas Gothak tersenyum dengan diiringi gelengan kepala pelan dan pasti. “Tidak akan, Dhi!”
“Benar, Kang!”
“Hehehe… kalau kamu tidak percaya, ya sudah, Dhi. Pun juga, aku ini Kakangmu. Menertawakanmu, sama saja menertawakan diri sendiri.”
Dhimas Gathuk tersenyum malu. Dia menerawang ke dalam. Pada hatinya sendiri. Ruang yang selama ini dipenuhi dengan kecurigaan. Rasa was-was membuat tidak tenang.
“Cerita, Dhi!”
“Kakang janji, lho. Tidak tertawa.”
“Hahahahahaha… sebelum kamu cerita, Dhi, aku mah sudah tertawa. Aneh. Kamu aneh, Dhi. Seperti anak kecil.”
Dhimas Gathuk terdiam sebentar. Pandangannya diangkat dan dilemparkan kembali. Cahaya bulan menjadi lebih muram. Dia merasakan sakit di dalam dadanya. Perih. Tergores luka yang tidak dia mengerti.
“Siapa, Kang, manusia di dunia ini yang tidak akan menjadi anak kecil ketika dia berhadapan dengan cinta. Lelaki perkasa akan bermanja. Menggelayut di kaki dewi cinta. Seperti anak kecil yang minta mainan. Merengek. Terus saja merengek.”
“Ah, Dhi, itu kalau kamu. Tidak setiap orang seperti itu. Cinta itu, kalau dihayati bisa memberikan kekuatan besar untuk merubah dunia. Cinta bukan kata-kata, Dhi. Tapi pelaksanaan dari hak dan kewajiban seorang manusia.” Kangmas Gothak membelai kepala adiknya dengan mesra. “Jadi, kamu sedang jatuh cinta, tho.”
Lelaki muda itu menundukkan kepala. Air yang sedari tadi menggantung akhirnya jatuh. Di atas pangkuan yang gemetar.
“Dhi, cinta adalah rahmat yang tidak terkira harganya. Dia tidak bisa dibeli atau tidak bisa dijual. Bukan karena tidak berharga. Tapi, cinta hadir sebagai ruh bagi setiap kehidupan.”
“Kang, aku mengerti itu.”
“Kalau kamu mengerti,”
“Menyesakkan dada, Kang! Sakit!”
Senyuman kecil Kangmas Gothak lemparkan seperti lembing. Tepat mengenai sasaran. “Cinta, membawa kerinduan dan harapan. Membawa ketakutan. Membawa semua perasaan yang selama ini kita sepelekan.” Memandangi adiknya yang semakin tenggelam. “Sudah, Dhi. Nikmati dengan ikhlas.”
“Ah, kamu, Kang.” Ia menghambur ke dada Kakaknya. Air mata terus menetes tanpa suara.
“Hehehe, bersyukur, Dhi, Tuhan menganugrahimu dengan cinta.” Kangmas Gothak membelai rambut adiknya, “Di dunia ini, kita bisa memilih siapa yang akan menjadi istri kita. Manusia macam apa dia. Tapi, Dhi, kita tidak bisa memilih orang yang kita cintai. Sebab, cinta itu bahasa jiwa. Kata-kata dan jalan hidupnya rahasia. Hanya dengan keikhlasan dan kesabaran mampu mengerti cinta dan menikmati.”
“Rasanya menyakitkan sekali, Kang. Saat rindu itu bertabur, rasanya menjadi pedih. Apalagi, kalau orang yang kita cintai tidak mampu mengerti dengan apa yang kita rasakan.”
“Dhi,” Kangmas Gothak terus mengusap rambut adiknya. “Kita yang musti mengerti. Bukan mengharapkan pengertian dari orang itu. Hakekat dari cinta adalah memberi setulusnya. Seperti alur kehidupan alam ini. Berjalan dalam pengorbanan. Kehidupan ini hakikinya cerita cinta.”
“Harus bagaimana, Kang? Aku ini manusia biasa. Bukan sang bijak yang mampu seperti itu.” Air mata Dhimas Gathuk sudah berhenti mengalir. Ia mengangkat kepala, menatap Kakaknya yang tersenyum sederhana. “Apa sesakit ini, Kang?”
Kangmas Gothak menggelengkan kepala sambil tersenyum.
“Sakit? Tidak, Dhi. Nikmat rasanya. Kalau bisa memahami keberadaannya. Kerinduan itu bumbu. Juga cemburu. Seperti makanan, tanpa bumbu rasanya hambar. Cinta itu memiliki rasa.”
“Kang,”
“Yah, memang gampang susah, Dhi.” Kangmas Gothak menerawang ke langit barat. Rembulan memancar indah. Putih berkilauan di atas daunan basah. “Ihklas dalam mencinta, akan hadir dengan sendirinya kalau kita tidak menuntut balas. Hanya mencintai. Seperti mencintai orang mati. Apa kita masih berharap balasan?” Kangmas Gothak menggelengkan kepala. “Dulu, kita baik pada Bapak dan Simbok karena kita menginginkan sesuatu dari mereka. Sedangkan sekarang, kita berdoa untuk mereka bukan untuk apa-apa. Demi keselamatan mereka dari siksaan. Seperti itu lah cinta, Dhi!”
Pandangan Dhimas Gathuk mengikuti gerak mata Kakaknya. Lalu ia menarik nafas panjang.
“Kangmas pernah jatuh cinta?”
Mendengar pertanyaan adiknya, Kangmas Gothak tersenyum. Serapat apa pun sebuah tulang putih mengintip dari sebelah kiri. Ia mengenang cintanya. Mengenang perempuan manja yang bergelayut dalam pelukan. Lalu, kenangan itu mengingatkan akan setiap sujud yang kini terjajar setiap lima waktu dalam sehari. Atau, setiap perjalanan malam yang dia tempuh untuk mereguk makna dan cinta.
Tanpa mengatakan apa pun, Kangmas Gothak melangkah. Ia masih diberangus kenangan. Dingin dan terjal karang masih dia rasakan ketika berdiri di puncaknya sementara perempuan kecil bergaun menari di dadanya.
Dhimas Gathuk menggelengkan kepala. Beberapa bulan ini, dia menyaksikan keanehan Kangmas Gothak. Ia tersenyum. Membuang dengus. Dadanya mulai terasa lega. Dia memejamkan mata. Hanya sejenak ketika membuka kembali, difokuskan pada ujung pena perak.
Aku Merindu,
Ketika nanti aku mati, berbaring di hening malam yang wening, aku memohon pada-Mu, agar Munkar dan Nakir mengijinkan untukku menengok senyuman kekasih. Karena, dengan senyuman itu, akan kuat menghadapi setiap pukulan demi pukulan perhitungan. Pedang Munkar dan gada Nakir kan terasa lebih sejuk dan nikmat. Senyumanmu, sayangku, telah menjadi pengobat bagi setiap sakitku… jadi kehidupan atas kematianku…
Dhimas Gathuk tersenyum. Ia melayangkan pandangan pada rembulan. Lalu dua matanya berpejam menikmati hembusan angin dingin. Rokok yang terselip di jarinya terlempar. “Telah aku menuliskan rinduku, tuk terukir di catatan waktu. Aku mencintaimu..!!!” dan senyuman semakin lebar menggantung di bibirnya.
Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 20 September 2010
http://sastra-indonesia.com/
Sore hari, langit meneteskan bulir-bulir air. Rapat tanpa celah dan heneng ketika jatuh di hitam tanah yang masih basah. Rintik, pagar dingin diusap angin lewat yang membawa senyap. Bergulir atas kebekuan yang tidak biasa. Bercampur aduk di depan serambi malam. Memboyong anak manusia tertelungkup di dalam harapan.
Dhimas Gathuk duduk di emperan. Dia menyanding tembakau pasar dan segelas kopi manis yang telah dingin. Pandangannya jauh ke barat, pada langit kelabu. Matanya ditiraikan gemericik air bening. Asin jatuh ke gua hitam, menahan tembakau terbakar agar tidak terjatuh. Dadanya sesak. Rintik hujan merajuk ke dalam dada. Pandangan mengabur, tirai semakin menebal. Langit tetap saja muram, ketika malam berjalan tanpa gairah. Terseok-seok bersamaan dengan tes demi tetes yang tak tertahan.
Hening seketika itu merebak jadi sesak. Menyumbat nafas yang tersengal. Sekali tarik. Dua kali tarik. Terlihat berat bersamaan dengan sesak. Dada seperti dipenuhi air hujan. Jatuh dan menggenang. Di tanah merah yang basah. Mengalir ke gua dimana tulang-tulang tajam berderet. Putih kecoklatan bercampur cairan tembakau. Melekat di dinding tulang berbaris.
“Lha, kok nangis, Dhi?” tanya Kangmas Gothak.
Keluarnya Kangmas Gothak, membuat Dhimas Gathuk kaget. Kemudian mencoba membendung air yang membanjiri wajahnya.
“Ora, Kang. Tidak ada apa-apa.” Dhimas Gathuk sibuk membasuh pipi sambil membuang muka jauh namun Kangmas Gothak mengikuti. Kepalanya memutar, mencari dua mata basah adiknya.
“Kalau tidak, terus itu air apa, Dhi?” Kangmas Gothak tersenyum kecil disertai dengan gelengan kepala. “Wis joko kok isih nangis. Sin-ngisini, Dhi. Memalukan.” Lalu duduk di samping adiknya. “Kalau ada masalah, dibagi, Dhi. Memang tidak habis sebanyak apa pun kita membagi. Setidaknya, meringankan. Melegakan rongga dada, Dhi.”
Dhimas Gathuk masih diam. Pandangannya terus melaju di langit kelabu. Hujan telah tersapu. Mendung berarak memudar. Pucatnya cahaya bulan memancar di atas daunan basah yang kedinginan. Sedangkan Dhimas Gathuk, masih melayangkan pandangan ditirai hujan. Rintik dan dingin. Senyap di dalam dada yang sesak.
“Owalah, Dhi. Diajak ngomong malah,” Kangmas Gothak membelai rambut adiknya.
“Malu, Kang, kalau cerita.” Dhimas Gathuk tersenyum kecil.
“Lho, aku ini Kakangmu, Dhi. Kalau bukan dosa, kenapa musti malu. Apalagi dengan saudaramu sendiri.” Kangmas Gothak memberikan senyuman lebar untuk adiknya yang meneteskan air mata.
“Tapi jangan diguyu, Kang!”
Kangmas Gothak tersenyum dengan diiringi gelengan kepala pelan dan pasti. “Tidak akan, Dhi!”
“Benar, Kang!”
“Hehehe… kalau kamu tidak percaya, ya sudah, Dhi. Pun juga, aku ini Kakangmu. Menertawakanmu, sama saja menertawakan diri sendiri.”
Dhimas Gathuk tersenyum malu. Dia menerawang ke dalam. Pada hatinya sendiri. Ruang yang selama ini dipenuhi dengan kecurigaan. Rasa was-was membuat tidak tenang.
“Cerita, Dhi!”
“Kakang janji, lho. Tidak tertawa.”
“Hahahahahaha… sebelum kamu cerita, Dhi, aku mah sudah tertawa. Aneh. Kamu aneh, Dhi. Seperti anak kecil.”
Dhimas Gathuk terdiam sebentar. Pandangannya diangkat dan dilemparkan kembali. Cahaya bulan menjadi lebih muram. Dia merasakan sakit di dalam dadanya. Perih. Tergores luka yang tidak dia mengerti.
“Siapa, Kang, manusia di dunia ini yang tidak akan menjadi anak kecil ketika dia berhadapan dengan cinta. Lelaki perkasa akan bermanja. Menggelayut di kaki dewi cinta. Seperti anak kecil yang minta mainan. Merengek. Terus saja merengek.”
“Ah, Dhi, itu kalau kamu. Tidak setiap orang seperti itu. Cinta itu, kalau dihayati bisa memberikan kekuatan besar untuk merubah dunia. Cinta bukan kata-kata, Dhi. Tapi pelaksanaan dari hak dan kewajiban seorang manusia.” Kangmas Gothak membelai kepala adiknya dengan mesra. “Jadi, kamu sedang jatuh cinta, tho.”
Lelaki muda itu menundukkan kepala. Air yang sedari tadi menggantung akhirnya jatuh. Di atas pangkuan yang gemetar.
“Dhi, cinta adalah rahmat yang tidak terkira harganya. Dia tidak bisa dibeli atau tidak bisa dijual. Bukan karena tidak berharga. Tapi, cinta hadir sebagai ruh bagi setiap kehidupan.”
“Kang, aku mengerti itu.”
“Kalau kamu mengerti,”
“Menyesakkan dada, Kang! Sakit!”
Senyuman kecil Kangmas Gothak lemparkan seperti lembing. Tepat mengenai sasaran. “Cinta, membawa kerinduan dan harapan. Membawa ketakutan. Membawa semua perasaan yang selama ini kita sepelekan.” Memandangi adiknya yang semakin tenggelam. “Sudah, Dhi. Nikmati dengan ikhlas.”
“Ah, kamu, Kang.” Ia menghambur ke dada Kakaknya. Air mata terus menetes tanpa suara.
“Hehehe, bersyukur, Dhi, Tuhan menganugrahimu dengan cinta.” Kangmas Gothak membelai rambut adiknya, “Di dunia ini, kita bisa memilih siapa yang akan menjadi istri kita. Manusia macam apa dia. Tapi, Dhi, kita tidak bisa memilih orang yang kita cintai. Sebab, cinta itu bahasa jiwa. Kata-kata dan jalan hidupnya rahasia. Hanya dengan keikhlasan dan kesabaran mampu mengerti cinta dan menikmati.”
“Rasanya menyakitkan sekali, Kang. Saat rindu itu bertabur, rasanya menjadi pedih. Apalagi, kalau orang yang kita cintai tidak mampu mengerti dengan apa yang kita rasakan.”
“Dhi,” Kangmas Gothak terus mengusap rambut adiknya. “Kita yang musti mengerti. Bukan mengharapkan pengertian dari orang itu. Hakekat dari cinta adalah memberi setulusnya. Seperti alur kehidupan alam ini. Berjalan dalam pengorbanan. Kehidupan ini hakikinya cerita cinta.”
“Harus bagaimana, Kang? Aku ini manusia biasa. Bukan sang bijak yang mampu seperti itu.” Air mata Dhimas Gathuk sudah berhenti mengalir. Ia mengangkat kepala, menatap Kakaknya yang tersenyum sederhana. “Apa sesakit ini, Kang?”
Kangmas Gothak menggelengkan kepala sambil tersenyum.
“Sakit? Tidak, Dhi. Nikmat rasanya. Kalau bisa memahami keberadaannya. Kerinduan itu bumbu. Juga cemburu. Seperti makanan, tanpa bumbu rasanya hambar. Cinta itu memiliki rasa.”
“Kang,”
“Yah, memang gampang susah, Dhi.” Kangmas Gothak menerawang ke langit barat. Rembulan memancar indah. Putih berkilauan di atas daunan basah. “Ihklas dalam mencinta, akan hadir dengan sendirinya kalau kita tidak menuntut balas. Hanya mencintai. Seperti mencintai orang mati. Apa kita masih berharap balasan?” Kangmas Gothak menggelengkan kepala. “Dulu, kita baik pada Bapak dan Simbok karena kita menginginkan sesuatu dari mereka. Sedangkan sekarang, kita berdoa untuk mereka bukan untuk apa-apa. Demi keselamatan mereka dari siksaan. Seperti itu lah cinta, Dhi!”
Pandangan Dhimas Gathuk mengikuti gerak mata Kakaknya. Lalu ia menarik nafas panjang.
“Kangmas pernah jatuh cinta?”
Mendengar pertanyaan adiknya, Kangmas Gothak tersenyum. Serapat apa pun sebuah tulang putih mengintip dari sebelah kiri. Ia mengenang cintanya. Mengenang perempuan manja yang bergelayut dalam pelukan. Lalu, kenangan itu mengingatkan akan setiap sujud yang kini terjajar setiap lima waktu dalam sehari. Atau, setiap perjalanan malam yang dia tempuh untuk mereguk makna dan cinta.
Tanpa mengatakan apa pun, Kangmas Gothak melangkah. Ia masih diberangus kenangan. Dingin dan terjal karang masih dia rasakan ketika berdiri di puncaknya sementara perempuan kecil bergaun menari di dadanya.
Dhimas Gathuk menggelengkan kepala. Beberapa bulan ini, dia menyaksikan keanehan Kangmas Gothak. Ia tersenyum. Membuang dengus. Dadanya mulai terasa lega. Dia memejamkan mata. Hanya sejenak ketika membuka kembali, difokuskan pada ujung pena perak.
Aku Merindu,
Ketika nanti aku mati, berbaring di hening malam yang wening, aku memohon pada-Mu, agar Munkar dan Nakir mengijinkan untukku menengok senyuman kekasih. Karena, dengan senyuman itu, akan kuat menghadapi setiap pukulan demi pukulan perhitungan. Pedang Munkar dan gada Nakir kan terasa lebih sejuk dan nikmat. Senyumanmu, sayangku, telah menjadi pengobat bagi setiap sakitku… jadi kehidupan atas kematianku…
Dhimas Gathuk tersenyum. Ia melayangkan pandangan pada rembulan. Lalu dua matanya berpejam menikmati hembusan angin dingin. Rokok yang terselip di jarinya terlempar. “Telah aku menuliskan rinduku, tuk terukir di catatan waktu. Aku mencintaimu..!!!” dan senyuman semakin lebar menggantung di bibirnya.
Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 20 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar