Ilham Wancoko
Pejabat tak akan pernah merasakan getirnya mencari nafkah yang tanpa jaminan atau gaji bulanan, akan tetapi hal itu dihadapi dengan teguh oleh warga Parangtritis. Warga yang begitu kuat berjuang dibawah sengatan matahari dan kerasnya hidup untuk meningkatkan kesejahteraannya, bukannya dibantu untuk meringankan beban hidupnya oleh pejabat, justru sebaliknya usaha mereka terancam digusur demi serangkaian keuntungan investasi yang tak memihak rakyat kecil.
Di sebuah pantai yang sejuk dengan pasir abu-abu, dibawah terik matahari yang begitu panas seorang warga bernama Watin sedang bercengkrama dengan warga lainnya, mereka membicarakan tentang janji bupati mereka Idham Samawi. sekitar satu tahun yang lalu bupati itu datang dan berdialog dengan warga, Watin saat itu bertanya” pak Bupati, apakah ada penggusuran di Parangtritis?’ Dengan tenang Bupati itu menjawab” selama masih ada saya di Bantul tidak akan ada penggusuran!” Watin kemudian meminta hitam di atas putih, akan tetapi Idham menjawab tidak perlu pokoknya jaminannya saya, segera sorak sorai gembira membahana di pantai Parangtritis yang dihuni sekitar 750 warga itu.
Dengan rasa senang warga yang tinggal di kelurahan mancingan ini menceritakan kembali pada tetangga-tetangganya saat itu. Tiba tiba ada satu kompi pasukan satuan polisi pamong praja dengan tidak ramah hadir di tengah cengkrama mereka, satu persatu rumah didatanginya dengan cemas warga menerimanya, tibalah salah satu anggota Satpol pp itu mendatangi Watin yang penasaran dan cemas , anggota Satpol pp itu dengan tanpa senyum lalu menyerahkan sebuah surat, itu merupakan surat pengosongan wilayah Parangtritis yang ditinggali oleh Watin, ancaman penggusuran untuk semua rumah yang ada diwilayah pantai. Semua warga yang tinggal disana menjadi panik, tidak mengerti apa yang sedang terjadi mengapa ada penggusuran di Parangtritis, kabar ini di dengar oleh Iwan anggota sebuah lembaga swadaya masyarakat. ia kemudian datang ke Parangtritis bersama teman-temannya mencoba untuk memberikan pembelaan kepada rakyat seperti Watin yang akan digusur oleh pemerintah, diskusi dengan wargapun ditempuh pendataan dimulai, ternyata sebagian besar warga tidak memiliki kartu tanda pengenal bukan karena mereka penghuni liar akan tetapi pengurusan KTP di kelurahan tersebut memang janggal warga yang tinggal selama 25 tahun tidak memiliki KTP di kelurahan mincing Parangtritis ini, menurut Watin kelurahan ini tidak mau mengurus KTP warga, saya sudah mengurusnya tapi berhenti di kelurahan dan KTP tidak didapat sama halnya dengan warga yang lain, Iwan menegaskan seakan-akan memang kelurahan sengaja tidak mengurus KTP warga, coba bayangkan warga yang tinggal 25 tahun saja tidak memiliki KTP, apa saja kerja mereka, seharusnya kelurahan mendata mereka dan membuatkan KTP sesuai undang-undang pendudukan. Yang menyatakan seseorang yang tinggal lebih dari 15 tahun berhak memiliki KTP.
Setelah berembug antar warga maka hasilnya dibentuklah ARMP (aliansi rakyat menolak penggusuran) yang diketuai oleh Watin karena aliansi ini dianggap penting untuk menyatukan suara warga yang terkena penggusuran, di lain pihak ada juga kelompok lain yang dibuat oleh warga yang menamakan dirinya kawulo alit, perbedaannya kuda kubu ini adalah respon terhadap penggusuran, ARMP sendiri berpendirian untuk menolak adanya penggusuran dan kawulo alit menerima penggusuran dengan syarat diberikan tempat relokasi, menurut Watin , sebenarnya kami menolak penggusuran karena tidak sesuai hak kami, kami dijanjikan tempat relokasi yang pada tahun kedua kami harus membayar sewa, berarti itu adalah penyewaan bukan diberikan tempat, yang kami inginkan pemberian tempat beserta sertifikat kepemilikan. Sedang menurutnya lagi kalau kawulo alit itu menerimanya dan sudah dipindahkan yang akhirnya seperti sekarang ini jualan tidak laku dan mendirikan lagi ditempat yang telah digusur, bisa dilihat disana. alasan penggusuran itu sendiri mengunakan perda tentang prostitusi yang dianggap ada di wilayah Parangtritis, memang dalam perkembangannya wilayah Parangtritis mulai hadir wanita tuna susila, alasan ini digunakan untuk menggusur wilayah Parangtritis, permasalahan ini Iwan menjelaskan” memang ada beberapa yang berprofesi seperti itu, akan tetapi itu segelintir tidak semua,”. Ia menambahkan hal ini jangan dipukul rata sebagian besar mencari nafkah dengan halal tidak ikut dalam prostitusi, yang menjadi masalah, alasan dari pemerintah kabupaten dalam menggusur mengunakan juga perda asusila,”.
Parangtritis merupakan wisata pantai yang utama di daerah Yogyakarta, udaranya yang sepoi-sepoi dengan pasir yang keabu-abuan membuatnya begitu menarik perhatian untuk singgah barang sejenak dan menikmati naik turunnya matahari, tidak hanya itu ada pula mitos yang melekat erat dalam budaya masyarakat Yogyakarta yaitu adanya ratu kidul, simbol mistis yang dianggap ada dan bernaung di indahnya pantai Parangtritis, bahkan raja-raja mataram dianggap memiliki hubungan yang erat dengan ratu kidul ini dalam mendapatkan kekuasaannya.
Pantai Parangtritis terletak 27 Kilometer dari pusat Kota Yogyakarta, pantai ini dianggap bagian dari kekuasaan Ratu Kidul. Konon, asal mula nama Parangtritis sendiri dimulai dari seseorang bernama Dipokusumo yang sedang bersemedi disana, dia melihat tetesan-tetesan air yang mengalir dari celah batu karang, ia pun menamai daerah tersebut menjadi Parangtritis, dari kata Parang (batu), dan Tumaritis = (Tetesan air). Pantai Parangtritis merupakan pantai yang penuh mitos, diyakini merupakan perwujudan dari kesatuan "Trimurti" = (Gunung merapi, kraton Yogyakarta dan pantai Parangtritis). Selain terkenal sebagai tempat rekreasi, Parangtritis juga merupakan tempat keramat, banyak pengunjung yang datang untuk bersemedi. Pantai ini juga merupakan salah satu tempat untuk mengadakan upacara Labuhan dari Kraton Yogyakarta. Begitu kuatnya mitos ini sampai-sampai hotel yang ada di kawasan laut selatan menyediakan kamar khusus untuk ratu kidul ini, salah satunya Yang terkenal adalah Kamar 327 dan 2401 di Hotel Grand Bali Beach. Kamar 327 adalah satu-satunya kamar yang tidak terbakar pada peristiwa kebakaran besar Januari 1993. Setelah pemugaran, Kamar 327 dan 2401 selalu dipelihara, diberi hiasan ruangan dengan warna hijau, diberi suguhan setiap hari, namun tidak untuk dihuni dan khusus dipersembahkan bagi Ratu Kidul.
Detik-demi detik mitos itu kian luntur di Parangtritis, saat ini Pemerintah kabupaten Bantul mencoba menerapkan peraturan daerah tentang prostitusi untuk menata wilayah pantai Parangtritis, penataan yang baik dan tepat serta tidak merugikan warga tentu akan mendapat dukungan penuh, penataan modern sendiri tidak melakukan penggusuran tanpa ada kerjasama dengan pihak warga, bentuk kerjasama itu biasanya saling menguntungkan, warga mendapat tempat layak, ganti rugi tempat berupa hak kepemilikan dan lain-lain. Akan tetapi penataan yang dilakukan pemerintah daerah Bantul dalam kasus ini, sungguhlah berbeda, warga yang sangat bertumpu pada sektor pariwisata ini justru diperlakukan layaknya orang-orang liar, bagaimana tidak mereka di usir dari tanah kelahiran mereka, tempat mereka berteduh dan mencari sesuap nasi, tanpa ada rasa kemanusiaan mereka dikucilkan, pemerintah desa atau kelurahan telah lama mengabaikan hak-hak mereka untuk mendapatkan KTP, acap kali mereka mengurus KTP selalu saja pihak kelurahan menolak, bayangkan ada warga yang telah tinggal disana selama 25 tahun, mereka tidak tinggal disana bukan hanya sebagai sampingan akan tetapi tumpuan utama agar dapur tetap mengepul, mereka jual tanah, sawah, ternak dan rumah mereka untuk dapat tinggal di pantai, sebagai cara untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, tiba-tiba mereka di usir, Watin sosok petani yang berbadan gelap ini dengan marah dan muka memerahnya mengatakan banyak sekali warga yang menjual semua harta hanya untuk tinggal disini , tujuannya agar lebih sejahtera tapi tiba-tiba kami di usir, Watin yang telah tinggal selama 25 tahun ini menginginkan adanya ganti rugi dan relokasi yang benar jangan jadi penyewa tapi pemilik. Masyarakat sadar benar akan adanya mega proyek senilai 100 milyar yang akan menghancurkan tempat tinggal mereka, sehingga gerakan-gerakan muncul dari bawah untuk melakukan perlawanan yang sengit terhadap pemerintah kabupaten, terutama lagi mereka sangat yakin jika mereka berhadapa dengan kematian bila mereka tidak mendapatkan haknya.
Penggusuran merupakan hal yang biasa terjadi di negeri ini, kasus penggusuran bertebaran dimana-mana, seperti kasus penggusuran Priok yang memakan banyak korban, demi tempat yang mereka tinggali mereka berani mempertaruhkan nyawa dan juga menghilangkan nyawa, ini semua bukan ketidaksengajaan akan tetapi mereka telah mempelajari apa yang akan terjadi bila mereka kehilangan tempat tinggal yaitu kematian, maka mati untuk mempertahankannya di anggap wajar dari pada mati terlantar di jalan tanpa pernah melakukan sesuatu yang merupakan haknya. pada tahun 1990an proyek penggusuran di Parangtritis pernah dilakukan akan tetapi gagal Karena masyarakat melawannya, saat itu keadaan berbeda tidak adanya prostitusi dan kepentingan pemilik modal dalam campur tangannya sehingga alasan serta dorongan untuk penggusuran begitu lemah, sangat berbeda dengan saat ini, kemudian tahun 2006, tepatnya pada tanggal 31 Oktober 2006, Sat Pol PP juga melakukan hal yang sama. Pada waktu itu rencananya ada 91 KK yang rumahnya akan dibongkar.
Berlanjut pada 26 Januari 2008 lalu. Sekitar 500 personil Sat Pol PP Bantul telah melakukan pembongkaran terhadap 51 rumah milik warga. penggusuran yang berkaitan terjadi, saat itu masyarakat terpecah dengan adanya kelompok kawulo alit yang bersedia di gusur dan ARMP yang menolak, sehingga penggusuran pada warga yang tergabung dalam kawulo alit dilakukan, hasilnya sekarang mereka mendapatkan relokasi dengan sewa bahkan ada beberapa yang kemudian mulai mendirikan kios-kios kecil di tempat mereka dulu di gusur karena tempat mereka di relokasi tidak banyak pengunjung, sepi, sehingga pendapatan mereka turun dastis, Watin menjelaskan, kami dari ARMP tak ingin bernasib sama dengan mereka sehingga kami melakukan perlawanan yang sengit, bahkan kami melihat kasus penggusuran Priok itu sebagai referensi untuk kami, paling tidak bila pihak pemkab terus seperti ini hal yang terjadi di Priok akan terulang di Parangtritis.
Yogyakarta selama ini dianggap provinsi yang paling aman, bahkan pada kerusuhan tahun 1997, Yogyakarta tidak terjadi apa-apa. Apakah hal ini akan hilang dengan adanya penggusuran yang terjadi di wilayah Yogyakarta, penanaman modal di Yogyakarta acap kali menimbulkan perlawanan dari masyarakat karena tidak mengindahkan hak-hak masyarakat sehingga masyarakat dirugikan bahkan terancam kemiskinan, apakah dalam keadaan seperti ini tidak wajar jika mempertahankan haknya dengan bertaruh nyawa? Tentu tidak salah jika warga melawan walau dengan kekerasan, karena mereka terancam miskin dan mati kelaparan jika penggusuran terjadi!
Parangtritis tempat wisata yang menarik masyarakat tak hanya menikmatinya tapi juga untuk mencari nafkah, warga mulai menetap disana dari tahun 1985, satu per satu mulai dibangun rumah, satu rumah lalu dua rumah dan akhirnya menjadi satu kampung yang memiliki pencaharian yang sama, yaitu merengkuh segocek uang dari para pengunjung pantai, dari parkir, jualan makanan kecil, ikan dan yang paling khas adalah rempeyek jengking. Ini semua disungguhkan oleh masyarakat yang mulai menetap disana. Itu semua akan hilang berganti dengan lapangan golf seluas 68,2 hektar, hotel bintang tiga seluas 39 hektar, vila 32 hektar, taman bermain anak-anak dan kolam renang seluas 11,6 hektar yang tentu hanya dijangkau oleh kalangan atas, Iwan aktivis yang membela masyarakat ini, dengan muka geram dan mengeryitkan dahi menjelaskan,” sesuai data-data yang kami gali, parangtrirtis akan menjadi hotel bintang tiga, lalu lapangan golf, dan taman anak-anak yang menjangkaunya orang kaya tentunya, tak semua orang bisa menikmatinya besok,”. Katanya ,”ini semua merupakan rencana pemilik modal, pemerintah kabupaten dan cukong-cukong tanah yang akan mengambil untung sebanyak-banyaknya,”
Selama ini kapitalisme selalu memberikan efek buruk kepada masyarakat, bukan meningkatkan kesejahteraan melainkan kenbalikannya, entah dengan kapitalisme kecil seperti di Parangtritis ini atau yang lain, masyarakat kehilangan tanahnya, dan akhirnya bekerja sebagai buruh, ini yang akan terjadi pada masyarakat Parangtritis saat proyek ini berjalan, Parangtritis akan menjadi kawasan pariwisata elit yang jauh dari jangkauan rakyat menengah kebawah, Iwan menjelaskan,” ini sebenarnya proyek kecil dibandingkan yang lainnya, akan tetapi selama menguntungkan tentu akan mendatangkan investor juga rakyat jadi buruh dan miskin”.
Warga Parangtritis memang tidak memiliki kartu tanda penduduk, namun bukan berarti mereka warga liar yang menghuni tanpa izin, 750 warga yang menghuni diwilayah pantai ini tinggal disana sejak 25 sampai 7 tahun yang lalu, ini berarti mereka berhak untuk mendapatkan kartu tanda penduduk sesuai undang-undang kependudukan yang menyatakan warga yang tinggal lebih dari 15 tahun berhak untuk menjadi warga negara, pelayanan pihak pemerintah desa merupakan kunci utama legalitas keberadaan warga disana, namun yang terjadi adalah pihak kelurahan tidak memberikan hak masyarakat sebagai warganegara. Iwan mengimbuhkan,” kelurahan itu tak bekerja sama sekali, urusan KTP saja mereka tidak selesai,”. Ketiadaan KTP ini menjadikan posisi dari warga sangat lemah, sehingga mereka oleh pemkab dianggap sebagai orang liar, pihak kelurahan sendiri saat dimintai pendapat hanya mengatakan bila mereka bukanlah warga dari kelurahan ini tidak mau berpendapat mengapa mereka tidak melayani pembuatan KTP untuk warga yang telah menghuni selama 25 tahun sedang undang-undang kependudukan telah mengaturnya. Seakan-akan hal ini telah diatur oleh pihak pemerintah kabupaten dan kelurahan untuk tidak membuatkan mereka KTP, menurut Iwan dengan begitu marah mengatakan, kelurahan ini seakan-akan bersekongkol dengan pemkab untuk permasalahan KTP itu, masa’ kelurahan yang harusnya kerjanya banyak di KTP tidak bisa membuatnya, jangan-jangan ada apa-apa,”.
Proyek Parangtritis ini diperkirakan sebesar 100 milyar, bukan hanya penataan melainkan pembuatan kantong investasi untuk para pemilik modal sehingga keberlanjutannya akan sangat menguntungkan beberapa pihak yang terkait seperti pemkab, pemprov dan pemilik modal yang menanamkan investasinya, sedang masyarakat tidak dapat digambarkan apa yang akan menjadi keuntungan untuk mereka. Proyek ini akan begitu menguntungkan karena obyek wisata utama pantai Yogyakarta dan jawa tengah ada di Parangtritis ini, Yogyakarta memiliki UMR yang sangat murah, sehingga pekerja akan dibayar dengan murah, akumulasi ini yang akan membuat keuntungan proyek ini menjadi berlipat-lipat, Iwan aktivis yang sehari-harinya mengorganisir masyarakat ini menjelaskan dengan sangat detail bagaimana proses perolehan keuntungan,”Yogyakarta ini memang kecil akan tetapi semuanya hampir berdekatan mau ke pantai yang Parangtritis, mau ke gunung ya ke merapi, ke wisata budaya ada candi prambanan sehngga kota ini bisa jadi kota wisata, ini menjadi keuntungan investasi! lalu UMR Yogyakarta ini sangat rendah sehingga menambah keuntungan ditambah dengan barang-barang yang murah, mau apa lagi?,”.
Sementara itu warga Parangtritis merasa geram dengan bupati mereka, Idham samawi, ia dianggap telah berbohong pada warga Parangtritis karena pada tahun 2007 saat Idham Samawi mengunjungi Parangtritis dan mengobrol bersama warga ia berjanji jika selama masih jadi bupati dikawasan Bantul tidak akan terjadi penggusuran, bertolak belakang dengan yang terjadi saat ini, Satpol PP bantul yang dikepalai Kandiawan, melayangkan surat pengosongan kepada warga Parangtritis serta ancaman untuk penggusuran kepada mereka, Kandiawan menegaskan, ”Sudah sepantasnya warga pindah dari dusun Mancingan Parangtritis karena tinggal secara liar sehingga membuat Parangtritis terkesan kumuh dan menghambat wisatawan datang berkunjung”.
Tidak hanya itu sebelumnya pada tahun 2006 Pemkab Bantul berniat membongkar rumah dari 91 KK warga dusun Mancingan dengan alasan penataan lokasi wisata Parangtritis dan pemberantasan pelacuran. Gagal merobohkan rumah warga, Pemkab bantul melalui sat pol PP dengan 500 personil kembali datang untuk merobohkan rumah warga. Tercatat, 9 rumah warga berhasil dirobohkan. Perlawanan sengit warga kembali terjadi. Atas nama paguyuban Ngudi Makmur, sekitar 200 warga dari 91 KK melakukan aksi pendudukan di DPRD DIY selama 7 hari. Akhirnya setelah 7 hari pendudukan, Sultan HBX selaku Gubernur DIY menjanjikan kepada ratusan warga bahwa mereka tidak akan digusur dan kepada para warga Sultan HBX juga berjanji akan memberikan ganti rugi berupa tempat tinggal baru bagi warga, yakni di dusun Magersari yang lokasinya tidak jauh dari Pantai Parangtritis (Radar Jogja, 11 November 2006) Dengan demikian, warga tidak akan kehilangan mata pencaharian.
Namun kesepakatan ini dilanggar oleh pemkab Bantul, pemkab hanya menawarkan pergantian kios yang pada tahun kedua harus membayar sewa sehingga pemkab telah melanggar kesepakatan antara rakyat dengan gubernurnya bahkan antara rakyat dengan rajanya, menurut Kandiawan,” pemerintah provinsi tidak berkoordinasi dengan Satpol PP Bantul”. Dalam aksi demo atas penggusuran yang dilakukan didepan Pemprov pada tanggal 22 april 2009, warga mengancam akan melakukan pendudukan kembali DPRD dan bahkan mengulang kejadian Priok, salah satu orator mengatakan,” saat penggusuran terjadi siap-siap kita duduki DPRD dan mengulang kembali kejadian Priok,”. Dari ini semua dapat dilihat bagaimana kuasa modal dalam melakukan usaha-usaha memperoleh keuntungan bahkan melakukan penganiayaan terhadap masyarakat Iwan menegaskan,” ini semua karena kuasa modal yang membuat warga jadi sengsara”.
Pejabat tak akan pernah merasakan getirnya mencari nafkah yang tanpa jaminan atau gaji bulanan, akan tetapi hal itu dihadapi dengan teguh oleh warga Parangtritis. Warga yang begitu kuat berjuang dibawah sengatan matahari dan kerasnya hidup untuk meningkatkan kesejahteraannya, bukannya dibantu untuk meringankan beban hidupnya oleh pejabat, justru sebaliknya usaha mereka terancam digusur demi serangkaian keuntungan investasi yang tak memihak rakyat kecil.
Di sebuah pantai yang sejuk dengan pasir abu-abu, dibawah terik matahari yang begitu panas seorang warga bernama Watin sedang bercengkrama dengan warga lainnya, mereka membicarakan tentang janji bupati mereka Idham Samawi. sekitar satu tahun yang lalu bupati itu datang dan berdialog dengan warga, Watin saat itu bertanya” pak Bupati, apakah ada penggusuran di Parangtritis?’ Dengan tenang Bupati itu menjawab” selama masih ada saya di Bantul tidak akan ada penggusuran!” Watin kemudian meminta hitam di atas putih, akan tetapi Idham menjawab tidak perlu pokoknya jaminannya saya, segera sorak sorai gembira membahana di pantai Parangtritis yang dihuni sekitar 750 warga itu.
Dengan rasa senang warga yang tinggal di kelurahan mancingan ini menceritakan kembali pada tetangga-tetangganya saat itu. Tiba tiba ada satu kompi pasukan satuan polisi pamong praja dengan tidak ramah hadir di tengah cengkrama mereka, satu persatu rumah didatanginya dengan cemas warga menerimanya, tibalah salah satu anggota Satpol pp itu mendatangi Watin yang penasaran dan cemas , anggota Satpol pp itu dengan tanpa senyum lalu menyerahkan sebuah surat, itu merupakan surat pengosongan wilayah Parangtritis yang ditinggali oleh Watin, ancaman penggusuran untuk semua rumah yang ada diwilayah pantai. Semua warga yang tinggal disana menjadi panik, tidak mengerti apa yang sedang terjadi mengapa ada penggusuran di Parangtritis, kabar ini di dengar oleh Iwan anggota sebuah lembaga swadaya masyarakat. ia kemudian datang ke Parangtritis bersama teman-temannya mencoba untuk memberikan pembelaan kepada rakyat seperti Watin yang akan digusur oleh pemerintah, diskusi dengan wargapun ditempuh pendataan dimulai, ternyata sebagian besar warga tidak memiliki kartu tanda pengenal bukan karena mereka penghuni liar akan tetapi pengurusan KTP di kelurahan tersebut memang janggal warga yang tinggal selama 25 tahun tidak memiliki KTP di kelurahan mincing Parangtritis ini, menurut Watin kelurahan ini tidak mau mengurus KTP warga, saya sudah mengurusnya tapi berhenti di kelurahan dan KTP tidak didapat sama halnya dengan warga yang lain, Iwan menegaskan seakan-akan memang kelurahan sengaja tidak mengurus KTP warga, coba bayangkan warga yang tinggal 25 tahun saja tidak memiliki KTP, apa saja kerja mereka, seharusnya kelurahan mendata mereka dan membuatkan KTP sesuai undang-undang pendudukan. Yang menyatakan seseorang yang tinggal lebih dari 15 tahun berhak memiliki KTP.
Setelah berembug antar warga maka hasilnya dibentuklah ARMP (aliansi rakyat menolak penggusuran) yang diketuai oleh Watin karena aliansi ini dianggap penting untuk menyatukan suara warga yang terkena penggusuran, di lain pihak ada juga kelompok lain yang dibuat oleh warga yang menamakan dirinya kawulo alit, perbedaannya kuda kubu ini adalah respon terhadap penggusuran, ARMP sendiri berpendirian untuk menolak adanya penggusuran dan kawulo alit menerima penggusuran dengan syarat diberikan tempat relokasi, menurut Watin , sebenarnya kami menolak penggusuran karena tidak sesuai hak kami, kami dijanjikan tempat relokasi yang pada tahun kedua kami harus membayar sewa, berarti itu adalah penyewaan bukan diberikan tempat, yang kami inginkan pemberian tempat beserta sertifikat kepemilikan. Sedang menurutnya lagi kalau kawulo alit itu menerimanya dan sudah dipindahkan yang akhirnya seperti sekarang ini jualan tidak laku dan mendirikan lagi ditempat yang telah digusur, bisa dilihat disana. alasan penggusuran itu sendiri mengunakan perda tentang prostitusi yang dianggap ada di wilayah Parangtritis, memang dalam perkembangannya wilayah Parangtritis mulai hadir wanita tuna susila, alasan ini digunakan untuk menggusur wilayah Parangtritis, permasalahan ini Iwan menjelaskan” memang ada beberapa yang berprofesi seperti itu, akan tetapi itu segelintir tidak semua,”. Ia menambahkan hal ini jangan dipukul rata sebagian besar mencari nafkah dengan halal tidak ikut dalam prostitusi, yang menjadi masalah, alasan dari pemerintah kabupaten dalam menggusur mengunakan juga perda asusila,”.
Parangtritis merupakan wisata pantai yang utama di daerah Yogyakarta, udaranya yang sepoi-sepoi dengan pasir yang keabu-abuan membuatnya begitu menarik perhatian untuk singgah barang sejenak dan menikmati naik turunnya matahari, tidak hanya itu ada pula mitos yang melekat erat dalam budaya masyarakat Yogyakarta yaitu adanya ratu kidul, simbol mistis yang dianggap ada dan bernaung di indahnya pantai Parangtritis, bahkan raja-raja mataram dianggap memiliki hubungan yang erat dengan ratu kidul ini dalam mendapatkan kekuasaannya.
Pantai Parangtritis terletak 27 Kilometer dari pusat Kota Yogyakarta, pantai ini dianggap bagian dari kekuasaan Ratu Kidul. Konon, asal mula nama Parangtritis sendiri dimulai dari seseorang bernama Dipokusumo yang sedang bersemedi disana, dia melihat tetesan-tetesan air yang mengalir dari celah batu karang, ia pun menamai daerah tersebut menjadi Parangtritis, dari kata Parang (batu), dan Tumaritis = (Tetesan air). Pantai Parangtritis merupakan pantai yang penuh mitos, diyakini merupakan perwujudan dari kesatuan "Trimurti" = (Gunung merapi, kraton Yogyakarta dan pantai Parangtritis). Selain terkenal sebagai tempat rekreasi, Parangtritis juga merupakan tempat keramat, banyak pengunjung yang datang untuk bersemedi. Pantai ini juga merupakan salah satu tempat untuk mengadakan upacara Labuhan dari Kraton Yogyakarta. Begitu kuatnya mitos ini sampai-sampai hotel yang ada di kawasan laut selatan menyediakan kamar khusus untuk ratu kidul ini, salah satunya Yang terkenal adalah Kamar 327 dan 2401 di Hotel Grand Bali Beach. Kamar 327 adalah satu-satunya kamar yang tidak terbakar pada peristiwa kebakaran besar Januari 1993. Setelah pemugaran, Kamar 327 dan 2401 selalu dipelihara, diberi hiasan ruangan dengan warna hijau, diberi suguhan setiap hari, namun tidak untuk dihuni dan khusus dipersembahkan bagi Ratu Kidul.
Detik-demi detik mitos itu kian luntur di Parangtritis, saat ini Pemerintah kabupaten Bantul mencoba menerapkan peraturan daerah tentang prostitusi untuk menata wilayah pantai Parangtritis, penataan yang baik dan tepat serta tidak merugikan warga tentu akan mendapat dukungan penuh, penataan modern sendiri tidak melakukan penggusuran tanpa ada kerjasama dengan pihak warga, bentuk kerjasama itu biasanya saling menguntungkan, warga mendapat tempat layak, ganti rugi tempat berupa hak kepemilikan dan lain-lain. Akan tetapi penataan yang dilakukan pemerintah daerah Bantul dalam kasus ini, sungguhlah berbeda, warga yang sangat bertumpu pada sektor pariwisata ini justru diperlakukan layaknya orang-orang liar, bagaimana tidak mereka di usir dari tanah kelahiran mereka, tempat mereka berteduh dan mencari sesuap nasi, tanpa ada rasa kemanusiaan mereka dikucilkan, pemerintah desa atau kelurahan telah lama mengabaikan hak-hak mereka untuk mendapatkan KTP, acap kali mereka mengurus KTP selalu saja pihak kelurahan menolak, bayangkan ada warga yang telah tinggal disana selama 25 tahun, mereka tidak tinggal disana bukan hanya sebagai sampingan akan tetapi tumpuan utama agar dapur tetap mengepul, mereka jual tanah, sawah, ternak dan rumah mereka untuk dapat tinggal di pantai, sebagai cara untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, tiba-tiba mereka di usir, Watin sosok petani yang berbadan gelap ini dengan marah dan muka memerahnya mengatakan banyak sekali warga yang menjual semua harta hanya untuk tinggal disini , tujuannya agar lebih sejahtera tapi tiba-tiba kami di usir, Watin yang telah tinggal selama 25 tahun ini menginginkan adanya ganti rugi dan relokasi yang benar jangan jadi penyewa tapi pemilik. Masyarakat sadar benar akan adanya mega proyek senilai 100 milyar yang akan menghancurkan tempat tinggal mereka, sehingga gerakan-gerakan muncul dari bawah untuk melakukan perlawanan yang sengit terhadap pemerintah kabupaten, terutama lagi mereka sangat yakin jika mereka berhadapa dengan kematian bila mereka tidak mendapatkan haknya.
Penggusuran merupakan hal yang biasa terjadi di negeri ini, kasus penggusuran bertebaran dimana-mana, seperti kasus penggusuran Priok yang memakan banyak korban, demi tempat yang mereka tinggali mereka berani mempertaruhkan nyawa dan juga menghilangkan nyawa, ini semua bukan ketidaksengajaan akan tetapi mereka telah mempelajari apa yang akan terjadi bila mereka kehilangan tempat tinggal yaitu kematian, maka mati untuk mempertahankannya di anggap wajar dari pada mati terlantar di jalan tanpa pernah melakukan sesuatu yang merupakan haknya. pada tahun 1990an proyek penggusuran di Parangtritis pernah dilakukan akan tetapi gagal Karena masyarakat melawannya, saat itu keadaan berbeda tidak adanya prostitusi dan kepentingan pemilik modal dalam campur tangannya sehingga alasan serta dorongan untuk penggusuran begitu lemah, sangat berbeda dengan saat ini, kemudian tahun 2006, tepatnya pada tanggal 31 Oktober 2006, Sat Pol PP juga melakukan hal yang sama. Pada waktu itu rencananya ada 91 KK yang rumahnya akan dibongkar.
Berlanjut pada 26 Januari 2008 lalu. Sekitar 500 personil Sat Pol PP Bantul telah melakukan pembongkaran terhadap 51 rumah milik warga. penggusuran yang berkaitan terjadi, saat itu masyarakat terpecah dengan adanya kelompok kawulo alit yang bersedia di gusur dan ARMP yang menolak, sehingga penggusuran pada warga yang tergabung dalam kawulo alit dilakukan, hasilnya sekarang mereka mendapatkan relokasi dengan sewa bahkan ada beberapa yang kemudian mulai mendirikan kios-kios kecil di tempat mereka dulu di gusur karena tempat mereka di relokasi tidak banyak pengunjung, sepi, sehingga pendapatan mereka turun dastis, Watin menjelaskan, kami dari ARMP tak ingin bernasib sama dengan mereka sehingga kami melakukan perlawanan yang sengit, bahkan kami melihat kasus penggusuran Priok itu sebagai referensi untuk kami, paling tidak bila pihak pemkab terus seperti ini hal yang terjadi di Priok akan terulang di Parangtritis.
Yogyakarta selama ini dianggap provinsi yang paling aman, bahkan pada kerusuhan tahun 1997, Yogyakarta tidak terjadi apa-apa. Apakah hal ini akan hilang dengan adanya penggusuran yang terjadi di wilayah Yogyakarta, penanaman modal di Yogyakarta acap kali menimbulkan perlawanan dari masyarakat karena tidak mengindahkan hak-hak masyarakat sehingga masyarakat dirugikan bahkan terancam kemiskinan, apakah dalam keadaan seperti ini tidak wajar jika mempertahankan haknya dengan bertaruh nyawa? Tentu tidak salah jika warga melawan walau dengan kekerasan, karena mereka terancam miskin dan mati kelaparan jika penggusuran terjadi!
Parangtritis tempat wisata yang menarik masyarakat tak hanya menikmatinya tapi juga untuk mencari nafkah, warga mulai menetap disana dari tahun 1985, satu per satu mulai dibangun rumah, satu rumah lalu dua rumah dan akhirnya menjadi satu kampung yang memiliki pencaharian yang sama, yaitu merengkuh segocek uang dari para pengunjung pantai, dari parkir, jualan makanan kecil, ikan dan yang paling khas adalah rempeyek jengking. Ini semua disungguhkan oleh masyarakat yang mulai menetap disana. Itu semua akan hilang berganti dengan lapangan golf seluas 68,2 hektar, hotel bintang tiga seluas 39 hektar, vila 32 hektar, taman bermain anak-anak dan kolam renang seluas 11,6 hektar yang tentu hanya dijangkau oleh kalangan atas, Iwan aktivis yang membela masyarakat ini, dengan muka geram dan mengeryitkan dahi menjelaskan,” sesuai data-data yang kami gali, parangtrirtis akan menjadi hotel bintang tiga, lalu lapangan golf, dan taman anak-anak yang menjangkaunya orang kaya tentunya, tak semua orang bisa menikmatinya besok,”. Katanya ,”ini semua merupakan rencana pemilik modal, pemerintah kabupaten dan cukong-cukong tanah yang akan mengambil untung sebanyak-banyaknya,”
Selama ini kapitalisme selalu memberikan efek buruk kepada masyarakat, bukan meningkatkan kesejahteraan melainkan kenbalikannya, entah dengan kapitalisme kecil seperti di Parangtritis ini atau yang lain, masyarakat kehilangan tanahnya, dan akhirnya bekerja sebagai buruh, ini yang akan terjadi pada masyarakat Parangtritis saat proyek ini berjalan, Parangtritis akan menjadi kawasan pariwisata elit yang jauh dari jangkauan rakyat menengah kebawah, Iwan menjelaskan,” ini sebenarnya proyek kecil dibandingkan yang lainnya, akan tetapi selama menguntungkan tentu akan mendatangkan investor juga rakyat jadi buruh dan miskin”.
Warga Parangtritis memang tidak memiliki kartu tanda penduduk, namun bukan berarti mereka warga liar yang menghuni tanpa izin, 750 warga yang menghuni diwilayah pantai ini tinggal disana sejak 25 sampai 7 tahun yang lalu, ini berarti mereka berhak untuk mendapatkan kartu tanda penduduk sesuai undang-undang kependudukan yang menyatakan warga yang tinggal lebih dari 15 tahun berhak untuk menjadi warga negara, pelayanan pihak pemerintah desa merupakan kunci utama legalitas keberadaan warga disana, namun yang terjadi adalah pihak kelurahan tidak memberikan hak masyarakat sebagai warganegara. Iwan mengimbuhkan,” kelurahan itu tak bekerja sama sekali, urusan KTP saja mereka tidak selesai,”. Ketiadaan KTP ini menjadikan posisi dari warga sangat lemah, sehingga mereka oleh pemkab dianggap sebagai orang liar, pihak kelurahan sendiri saat dimintai pendapat hanya mengatakan bila mereka bukanlah warga dari kelurahan ini tidak mau berpendapat mengapa mereka tidak melayani pembuatan KTP untuk warga yang telah menghuni selama 25 tahun sedang undang-undang kependudukan telah mengaturnya. Seakan-akan hal ini telah diatur oleh pihak pemerintah kabupaten dan kelurahan untuk tidak membuatkan mereka KTP, menurut Iwan dengan begitu marah mengatakan, kelurahan ini seakan-akan bersekongkol dengan pemkab untuk permasalahan KTP itu, masa’ kelurahan yang harusnya kerjanya banyak di KTP tidak bisa membuatnya, jangan-jangan ada apa-apa,”.
Proyek Parangtritis ini diperkirakan sebesar 100 milyar, bukan hanya penataan melainkan pembuatan kantong investasi untuk para pemilik modal sehingga keberlanjutannya akan sangat menguntungkan beberapa pihak yang terkait seperti pemkab, pemprov dan pemilik modal yang menanamkan investasinya, sedang masyarakat tidak dapat digambarkan apa yang akan menjadi keuntungan untuk mereka. Proyek ini akan begitu menguntungkan karena obyek wisata utama pantai Yogyakarta dan jawa tengah ada di Parangtritis ini, Yogyakarta memiliki UMR yang sangat murah, sehingga pekerja akan dibayar dengan murah, akumulasi ini yang akan membuat keuntungan proyek ini menjadi berlipat-lipat, Iwan aktivis yang sehari-harinya mengorganisir masyarakat ini menjelaskan dengan sangat detail bagaimana proses perolehan keuntungan,”Yogyakarta ini memang kecil akan tetapi semuanya hampir berdekatan mau ke pantai yang Parangtritis, mau ke gunung ya ke merapi, ke wisata budaya ada candi prambanan sehngga kota ini bisa jadi kota wisata, ini menjadi keuntungan investasi! lalu UMR Yogyakarta ini sangat rendah sehingga menambah keuntungan ditambah dengan barang-barang yang murah, mau apa lagi?,”.
Sementara itu warga Parangtritis merasa geram dengan bupati mereka, Idham samawi, ia dianggap telah berbohong pada warga Parangtritis karena pada tahun 2007 saat Idham Samawi mengunjungi Parangtritis dan mengobrol bersama warga ia berjanji jika selama masih jadi bupati dikawasan Bantul tidak akan terjadi penggusuran, bertolak belakang dengan yang terjadi saat ini, Satpol PP bantul yang dikepalai Kandiawan, melayangkan surat pengosongan kepada warga Parangtritis serta ancaman untuk penggusuran kepada mereka, Kandiawan menegaskan, ”Sudah sepantasnya warga pindah dari dusun Mancingan Parangtritis karena tinggal secara liar sehingga membuat Parangtritis terkesan kumuh dan menghambat wisatawan datang berkunjung”.
Tidak hanya itu sebelumnya pada tahun 2006 Pemkab Bantul berniat membongkar rumah dari 91 KK warga dusun Mancingan dengan alasan penataan lokasi wisata Parangtritis dan pemberantasan pelacuran. Gagal merobohkan rumah warga, Pemkab bantul melalui sat pol PP dengan 500 personil kembali datang untuk merobohkan rumah warga. Tercatat, 9 rumah warga berhasil dirobohkan. Perlawanan sengit warga kembali terjadi. Atas nama paguyuban Ngudi Makmur, sekitar 200 warga dari 91 KK melakukan aksi pendudukan di DPRD DIY selama 7 hari. Akhirnya setelah 7 hari pendudukan, Sultan HBX selaku Gubernur DIY menjanjikan kepada ratusan warga bahwa mereka tidak akan digusur dan kepada para warga Sultan HBX juga berjanji akan memberikan ganti rugi berupa tempat tinggal baru bagi warga, yakni di dusun Magersari yang lokasinya tidak jauh dari Pantai Parangtritis (Radar Jogja, 11 November 2006) Dengan demikian, warga tidak akan kehilangan mata pencaharian.
Namun kesepakatan ini dilanggar oleh pemkab Bantul, pemkab hanya menawarkan pergantian kios yang pada tahun kedua harus membayar sewa sehingga pemkab telah melanggar kesepakatan antara rakyat dengan gubernurnya bahkan antara rakyat dengan rajanya, menurut Kandiawan,” pemerintah provinsi tidak berkoordinasi dengan Satpol PP Bantul”. Dalam aksi demo atas penggusuran yang dilakukan didepan Pemprov pada tanggal 22 april 2009, warga mengancam akan melakukan pendudukan kembali DPRD dan bahkan mengulang kejadian Priok, salah satu orator mengatakan,” saat penggusuran terjadi siap-siap kita duduki DPRD dan mengulang kembali kejadian Priok,”. Dari ini semua dapat dilihat bagaimana kuasa modal dalam melakukan usaha-usaha memperoleh keuntungan bahkan melakukan penganiayaan terhadap masyarakat Iwan menegaskan,” ini semua karena kuasa modal yang membuat warga jadi sengsara”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar