Dani Fuadhillah
http://pawonsastra.blogspot.com/
Sebenarnya aku tidak berani untuk menceriterakan tentang diri kamu, apalagi kalau harus berkoar-koar, seolah aku ini benar-benar kenal dekat dengan kamu. Menulis tentang kisah-kisah kamu, tentang kamu punya pengalaman, tentang kamu punya pena sakti yang dapat mengeluarkan cairan tinta beraroma wangi, dapat merangkaikan setiap kata menjadi kalimat-kalimat yang tajam menusuk dan menyayat hati setiap orang yang pernah kamu, -dalam tanda petik- kamu garis bawahi. Menggambarkan tentang sosok kamu, perangai kamu, sepak terjang kamu dan semua tentang kamu. Ngeri aku melakukannya. Namun begitulah adanya, sebab bukti dan fakta yang ada.
Sebagai satu bukti tentang tinta beraroma wangi itu. Sampai saat ini semerbak baunya masih merebak serasa tidak jauh dari setiap nafas-nafas yg lepas dari berbelas-belas pasang lobang hidung yang pernah sama-sama merasai, menciumi musim, dengan segala ragam aroma basah dan segar di masa-masa yang sudah.
Terbukti tunas-tunas dari asal patahan zaman yang carut sampai ke carut hilang datang maut, masih merembangkan wangi itu. Bahkan sampai orang masih melihat carut-marutnya ini kamu punya negeri, ini aku punya negeri, ini kita punya negeri. Tunas-tunas itu ternyata adalah memang benar menguap dari cairan tinta wangi, dari pena saktimu. Sampai ke seberang. “Dahsyat!”.
Tapi, sebelum lebih lanjut lagi. Aku mohon maaf atas keterbatasan dari segala batasan-batasan yang sedang senantiasa aku perlebar, perpanjang, perluas. Mudah-mudahan hal ini tidak tergolong ke dalam golongan kaum imperialis, kolonialis, kapitalis. ”Entahlah!”.
Sebagai maghrib yang baru meninggalkan sore, mungkin ini adalah suara bedug atau kumandang azan petang dari surau-surau, bermekaran bunyi dimana-mana. Dimana saat itu pula adalah waktu bertumbuh-mekarnya kuntum-kuntum bunga sedap malam. Dari itu pulalah sehisap bau aroma wangi baru gerayangi indera penciuman ini.
Pram! Ups! Maaf, kalau aku sampai mengucap panggil sepotong nama kamu itu. Yang itu sebenarnya semakin membuat aku tidak berani untuk lebih lama lagi menceritakan tentang diri kamu. Apalagi kalau harus sampai berjam-jam. Seolah-olah aku benar-benar pernah karib sambil merokok bareng dengan kamu, yang sepertinya tidak pernah berhenti itu asap, mengepul dari kamu punya mulut. Terkadang aku beranggapan, asap itu adalah akibat dari api semangat di dalam jiwa kamu. ”Heh! Konyol!”.
Tapi sebagai bukti bahwa memang jiwa kamu penuh semangat adalah, sampai saat ini. Semangat itu ada pada ketajaman gambaran pengalaman, penghayalan, pengharapan, penghayatan di dalam coretan kalimat-kalimat dari tinta sakti yang cairannya sendiri telah mengering, namun wanginya masih saja nyata. Semangat itu memang ada dan nyata. Membaca dalam sekam setiap zaman, yang sudah, yang sekarang atau mungkin kelak di masa depan. Syahdan!.
Sebentar! Aku ingin menyulut rokokku dulu, supaya asapnya sedikit dapat menggambarkan sosok kamu. Sebab asap ya asap, dari mulutku atau dari mulutmu itu tentulah asap, apalagi asap ini memang ke luar dari hasil pembakaran tembakau, dengan nama rokok. Mau yang berfilter atau yang kretek. Mudah-mudahan sosokmu yang berjiwa semangat itu, tergambarkan saat asap mengepul dari mulutku ini. ”Heh! Konyol lagi!”.
Untuk kedua kalinya, aku minta maaf atas segala keterbatasan yang masih belum juga terlebarkan, terpanjangkan, terluaskan. Semoga saja kita tidak termasuk ke dalam golongan yang apatis, kemudian enjadi anarkis. Seperti banyak contoh sekarang ini. Sebab, aku suka dengan cara kamu menulis, terkesan lebih dialogis. Seandainya dialog itu bukan hanya kesan yang dikesan-kesankan. ”Entahlah!”.
Pram! Ups! Dua kali aku patahkan nama kamu. Dan itu menambah ketidak beranianku untuk berlarut-larut bercerita tentang diri kamu. Apalagi sampailah larut. Kembali seolah-olah kita ini benar-benar pernah bersama-sama begadang dan membicarakan tentang manusia-manusia di buminya, tentang anak-anak jamannya dan tentang jejak-jejak langkahnya.
Asap ini juga yang mungkin menjadi saksi, yang mengiringi setiap ucap atau tarian pena sakti kamu dalam menyuburkan berlembar-lembar kertas, atau jari-jari besi dengan setiap hunjamannya pada abjad-abjad dari mesin ketik kamu yang sekarang mungkin sudah tua dan kamu tinggalkan. Mesin ketik yang mencetak luruh-luruh kata yang menjadi anggur segar, mungkin memabukkan. Mesin ketik yang renta sekarang.
Ah… memang sebenarnya aku tidak berani untuk menceritakan tentang diri kamu itu. Apalagi kalau harus menuliskan secara detail tentang biografi kamu, tentang buah pikir-buah pikir kamu, ceritera-ceitera kamu atau semua tentang dan milik kamu. Seolah-olah aku tahu benar kamu dari lahir sampai…
Ah… aku hentikan saja. Lama-lama aku malah semakin ngelantur untuk menceriterakan tentang kamu, lalu menjadi gosip, menjadi dongeng, menjadi hal-hal yang ke luar jauh dari diri kamu sebenarnya. Waktu sudah lamat-lamat mendekati subuh. Terbukti dengan jam dinding yang senantiasa mendetik-detik, jarumnya sudah menunjukkan pukul setengah empat kurang beberapa menit ditambah beberapa detik. Tepatnya, jarum panjangnya menunjuk angka antara angka lima dan angka enam, jarum pendeknya menunjuk antara angka tiga dan empat, jarum detiknya masih terus berdetik-detik.
Tapi sebelum berhenti. Untuk terakhir kali aku minta maaf dengan segala keterbatasanku atau semua batasan-batasan yang sedang senantiasa aku perlebar, perpanjang dan perluas itu. Mudah-mudahan aku tidak tergolong kaum penakut yang takut tulisannya tidak dibaca atau dibuang orang. ”Yang penting tulis, tulis dan tulis!”. Begitukah, Pram?!!.
Ups! Maaf, kembali kupatahkan nama kamu. Ada nada semangat dari rentet patahan nama kamu. Ini mungkin hanya banyolan konyol dari anak kecil yang suka mengatai kawannya, maklumlah aku memang masih kecil dari jamanmu hidup. Garam yang dulu kamu kecap mungkin lebih asin dari asin garam di laut yang sekarang semakin sulit untuk diamai asin.
Tapi sungguh! Seperti ceritera tentang genderang perjuangan di masa-masa perang. Berdentam-dentam! Patahan-patahan nama kamu itu. Coba dengar! Pram… pram pram pram! Pram… pram pram pram! Pram… pram pram pram! Pram… pram pram pram! Pram… pram pram pram! Pram… pram pram pram! Pram… pram pram pram! Pram… pram pram pram! Pram… pram pram pram! Pram… pram pram pram! Pram… pram pram pram! Pram… pram pram pram! Pram… pram pram pram! Dahsyat!.
Sudah jam tiga lewat sekian… Aih… hampir jam empat, Pram! Ups! Maaf.
Solo juni 2006
http://pawonsastra.blogspot.com/
Sebenarnya aku tidak berani untuk menceriterakan tentang diri kamu, apalagi kalau harus berkoar-koar, seolah aku ini benar-benar kenal dekat dengan kamu. Menulis tentang kisah-kisah kamu, tentang kamu punya pengalaman, tentang kamu punya pena sakti yang dapat mengeluarkan cairan tinta beraroma wangi, dapat merangkaikan setiap kata menjadi kalimat-kalimat yang tajam menusuk dan menyayat hati setiap orang yang pernah kamu, -dalam tanda petik- kamu garis bawahi. Menggambarkan tentang sosok kamu, perangai kamu, sepak terjang kamu dan semua tentang kamu. Ngeri aku melakukannya. Namun begitulah adanya, sebab bukti dan fakta yang ada.
Sebagai satu bukti tentang tinta beraroma wangi itu. Sampai saat ini semerbak baunya masih merebak serasa tidak jauh dari setiap nafas-nafas yg lepas dari berbelas-belas pasang lobang hidung yang pernah sama-sama merasai, menciumi musim, dengan segala ragam aroma basah dan segar di masa-masa yang sudah.
Terbukti tunas-tunas dari asal patahan zaman yang carut sampai ke carut hilang datang maut, masih merembangkan wangi itu. Bahkan sampai orang masih melihat carut-marutnya ini kamu punya negeri, ini aku punya negeri, ini kita punya negeri. Tunas-tunas itu ternyata adalah memang benar menguap dari cairan tinta wangi, dari pena saktimu. Sampai ke seberang. “Dahsyat!”.
Tapi, sebelum lebih lanjut lagi. Aku mohon maaf atas keterbatasan dari segala batasan-batasan yang sedang senantiasa aku perlebar, perpanjang, perluas. Mudah-mudahan hal ini tidak tergolong ke dalam golongan kaum imperialis, kolonialis, kapitalis. ”Entahlah!”.
Sebagai maghrib yang baru meninggalkan sore, mungkin ini adalah suara bedug atau kumandang azan petang dari surau-surau, bermekaran bunyi dimana-mana. Dimana saat itu pula adalah waktu bertumbuh-mekarnya kuntum-kuntum bunga sedap malam. Dari itu pulalah sehisap bau aroma wangi baru gerayangi indera penciuman ini.
Pram! Ups! Maaf, kalau aku sampai mengucap panggil sepotong nama kamu itu. Yang itu sebenarnya semakin membuat aku tidak berani untuk lebih lama lagi menceritakan tentang diri kamu. Apalagi kalau harus sampai berjam-jam. Seolah-olah aku benar-benar pernah karib sambil merokok bareng dengan kamu, yang sepertinya tidak pernah berhenti itu asap, mengepul dari kamu punya mulut. Terkadang aku beranggapan, asap itu adalah akibat dari api semangat di dalam jiwa kamu. ”Heh! Konyol!”.
Tapi sebagai bukti bahwa memang jiwa kamu penuh semangat adalah, sampai saat ini. Semangat itu ada pada ketajaman gambaran pengalaman, penghayalan, pengharapan, penghayatan di dalam coretan kalimat-kalimat dari tinta sakti yang cairannya sendiri telah mengering, namun wanginya masih saja nyata. Semangat itu memang ada dan nyata. Membaca dalam sekam setiap zaman, yang sudah, yang sekarang atau mungkin kelak di masa depan. Syahdan!.
Sebentar! Aku ingin menyulut rokokku dulu, supaya asapnya sedikit dapat menggambarkan sosok kamu. Sebab asap ya asap, dari mulutku atau dari mulutmu itu tentulah asap, apalagi asap ini memang ke luar dari hasil pembakaran tembakau, dengan nama rokok. Mau yang berfilter atau yang kretek. Mudah-mudahan sosokmu yang berjiwa semangat itu, tergambarkan saat asap mengepul dari mulutku ini. ”Heh! Konyol lagi!”.
Untuk kedua kalinya, aku minta maaf atas segala keterbatasan yang masih belum juga terlebarkan, terpanjangkan, terluaskan. Semoga saja kita tidak termasuk ke dalam golongan yang apatis, kemudian enjadi anarkis. Seperti banyak contoh sekarang ini. Sebab, aku suka dengan cara kamu menulis, terkesan lebih dialogis. Seandainya dialog itu bukan hanya kesan yang dikesan-kesankan. ”Entahlah!”.
Pram! Ups! Dua kali aku patahkan nama kamu. Dan itu menambah ketidak beranianku untuk berlarut-larut bercerita tentang diri kamu. Apalagi sampailah larut. Kembali seolah-olah kita ini benar-benar pernah bersama-sama begadang dan membicarakan tentang manusia-manusia di buminya, tentang anak-anak jamannya dan tentang jejak-jejak langkahnya.
Asap ini juga yang mungkin menjadi saksi, yang mengiringi setiap ucap atau tarian pena sakti kamu dalam menyuburkan berlembar-lembar kertas, atau jari-jari besi dengan setiap hunjamannya pada abjad-abjad dari mesin ketik kamu yang sekarang mungkin sudah tua dan kamu tinggalkan. Mesin ketik yang mencetak luruh-luruh kata yang menjadi anggur segar, mungkin memabukkan. Mesin ketik yang renta sekarang.
Ah… memang sebenarnya aku tidak berani untuk menceritakan tentang diri kamu itu. Apalagi kalau harus menuliskan secara detail tentang biografi kamu, tentang buah pikir-buah pikir kamu, ceritera-ceitera kamu atau semua tentang dan milik kamu. Seolah-olah aku tahu benar kamu dari lahir sampai…
Ah… aku hentikan saja. Lama-lama aku malah semakin ngelantur untuk menceriterakan tentang kamu, lalu menjadi gosip, menjadi dongeng, menjadi hal-hal yang ke luar jauh dari diri kamu sebenarnya. Waktu sudah lamat-lamat mendekati subuh. Terbukti dengan jam dinding yang senantiasa mendetik-detik, jarumnya sudah menunjukkan pukul setengah empat kurang beberapa menit ditambah beberapa detik. Tepatnya, jarum panjangnya menunjuk angka antara angka lima dan angka enam, jarum pendeknya menunjuk antara angka tiga dan empat, jarum detiknya masih terus berdetik-detik.
Tapi sebelum berhenti. Untuk terakhir kali aku minta maaf dengan segala keterbatasanku atau semua batasan-batasan yang sedang senantiasa aku perlebar, perpanjang dan perluas itu. Mudah-mudahan aku tidak tergolong kaum penakut yang takut tulisannya tidak dibaca atau dibuang orang. ”Yang penting tulis, tulis dan tulis!”. Begitukah, Pram?!!.
Ups! Maaf, kembali kupatahkan nama kamu. Ada nada semangat dari rentet patahan nama kamu. Ini mungkin hanya banyolan konyol dari anak kecil yang suka mengatai kawannya, maklumlah aku memang masih kecil dari jamanmu hidup. Garam yang dulu kamu kecap mungkin lebih asin dari asin garam di laut yang sekarang semakin sulit untuk diamai asin.
Tapi sungguh! Seperti ceritera tentang genderang perjuangan di masa-masa perang. Berdentam-dentam! Patahan-patahan nama kamu itu. Coba dengar! Pram… pram pram pram! Pram… pram pram pram! Pram… pram pram pram! Pram… pram pram pram! Pram… pram pram pram! Pram… pram pram pram! Pram… pram pram pram! Pram… pram pram pram! Pram… pram pram pram! Pram… pram pram pram! Pram… pram pram pram! Pram… pram pram pram! Pram… pram pram pram! Dahsyat!.
Sudah jam tiga lewat sekian… Aih… hampir jam empat, Pram! Ups! Maaf.
Solo juni 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar