Aguslia Hidayah
http://www.tempointeraktif.com/
TEMPO Interaktif, Jakarta: Dinding-dinding berkerak tebal diukir kaligrafi tanpa lekuk patah. Huruf Al-Quran yang bertumpuk bermuara pada tetesan air yang gelembungnya menggantung. Terkadang huruf-huruf Al-Quran itu menyeruak samar dari urat-urat karang yang kukuh.
Ada banyak hal yang disampaikan Said Akram dalam karya-karyanya yang dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta, 4-14 Desember itu. Dari persoalan-persoalan spiritualitas, keagamaan, kemanusiaan, hingga kritik atas "kesemena-menaan" manusia terhadap alam.
Ayat-ayat yang dipindahkan ke atas kanvas tentulah memperlihatkan isu atau cerita yang hendak diangkat. Lihatlah salah satu karya, Iqra, yang mengukir huruf-huruf Al-Quran membentuk kata ayat pertama diturunkan itu.
Warna hijau subur menjadi latar dari garis alif, qa, dan ra. Lubang gua yang kian mengecil di tengah pusara mulut gua diibaratkan Said sebagai Gua Hira. Ia hendak mengungkapkan kembali bukan hanya makna iqra itu sendiri, juga kisah di balik itu, termasuk turunnya kata itu, yakni di Gua Hira.
Masih bernuansa hijau kekuning-kuningan, dalam kaligrafi surat Az-Zukhruf ayat 43, Said menyuguhkan kumpulan huruf yang dipisahkan oleh sebuah lubang menganga di dinding. Dari buntut huruf wa tertembus ke lubang dan berakhir dengan warna merah. Surat ini berisi tentang pedoman berpegang teguh kepada agama Allah, agar dapat berjalan di jalan yang lurus.
Lukisan ini diilhami oleh kondisi Aceh pascabencana tsunami. Said, yang lahir di Aceh, 41 tahun silam, ini paham benar gejolak yang tengah terjadi di masyarakatnya. Ketika itu, banyaknya bantuan dari luar membuat sebagian masyarakat "lengah", seolah uang adalah segalanya. Maka, Said mengajak manusia sadar dan berjalan di jalan yang lurus.
Karya-karya Said, menurut kurator pameran, Merwan Yusuf, berhasil keluar dari kepungan pakem dunia seni kaligrafi yang pernah ada sebelumnya. "Gaya lukisannya menonjolkan dan mengambil efek lelehan air atau akar membulat dan mengalir," ujarnya.
Bentuk olahan kaligrafi semacam ini, kata Merwan, memunculkan ciri khas kaligrafi yang memaksimalkan terbentuknya volume dan efek gravitasi. Permainan warna yang berani, seperti merah, hijau, biru, dan kuning, pun menjadi gaya sendiri.
Tak cuma memajang kaligrafi, Said memamerkan beberapa guratan abstraknya. Lukisan tersebut buah dari kemarahannya akan sikap manusia yang arogan. Itu tercuat dalam karya berjudul Akibat Rusaknya Hutan, Banjir!, Catatan Peristiwa di Bumi Aceh Awal Abad XXI, dan Terherat.
Karya abstrak ini bermain dengan warna gelap. Cipratan cat minyak yang membuat struktur kerak di kanvas bisa menjadi seribu imaji bagi yang melihatnya. Warna gelap, baik yang pekat maupun tidak, seperti menyiratkan sebuah kecemasan atau suasana duka lara. Boleh jadi, itu bentuk kedukaan Said Akram terhadap tanah kelahirannya Aceh yang tertimpa bencana.
Said Akram telah lama melukis. Ayahnya, Said Ali Abdullah (81 tahun) adalah seorang pelukis kaligrafi. Sang ayah berperan besar membimbingnya. Kemudian, ia belajar di Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (lulus 1994).
Bentuk karya kaligrafi Said Akram, menurut sang ayah yang kerap melanglang ke luar untuk memperdalam kaligrafi itu, sangat orisinal. Ia telah menelusuri referensi kaligrafi dunia. "Belum ada yang bikin kaligrafi seperti itu," katanya.
Akram kerap berpameran di berbagai tempat, seperti di pameran Peksminas di Bali (1993), Pameran Seni Lukis Islami dari Pelukis Sumatera dan Jawa, di Jambi (1994), Pameran Seni Rupa Islami di Semarang, Jawa Tengah (1995), dan Pameran Pelukis Sesumatera di Lampung (1999). Terakhir, karya Said Akram muncul di Pameran Bersama di Banda Aceh (2006).
Tak hanya di dalam negeri. Ia juga pernah ikut Ekshibisi pada Konferensi Dunia Islam Dunia Melayu Sedunia di Hotel Equatorial Malaka, Malaysia (2001).
http://www.tempointeraktif.com/
TEMPO Interaktif, Jakarta: Dinding-dinding berkerak tebal diukir kaligrafi tanpa lekuk patah. Huruf Al-Quran yang bertumpuk bermuara pada tetesan air yang gelembungnya menggantung. Terkadang huruf-huruf Al-Quran itu menyeruak samar dari urat-urat karang yang kukuh.
Ada banyak hal yang disampaikan Said Akram dalam karya-karyanya yang dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta, 4-14 Desember itu. Dari persoalan-persoalan spiritualitas, keagamaan, kemanusiaan, hingga kritik atas "kesemena-menaan" manusia terhadap alam.
Ayat-ayat yang dipindahkan ke atas kanvas tentulah memperlihatkan isu atau cerita yang hendak diangkat. Lihatlah salah satu karya, Iqra, yang mengukir huruf-huruf Al-Quran membentuk kata ayat pertama diturunkan itu.
Warna hijau subur menjadi latar dari garis alif, qa, dan ra. Lubang gua yang kian mengecil di tengah pusara mulut gua diibaratkan Said sebagai Gua Hira. Ia hendak mengungkapkan kembali bukan hanya makna iqra itu sendiri, juga kisah di balik itu, termasuk turunnya kata itu, yakni di Gua Hira.
Masih bernuansa hijau kekuning-kuningan, dalam kaligrafi surat Az-Zukhruf ayat 43, Said menyuguhkan kumpulan huruf yang dipisahkan oleh sebuah lubang menganga di dinding. Dari buntut huruf wa tertembus ke lubang dan berakhir dengan warna merah. Surat ini berisi tentang pedoman berpegang teguh kepada agama Allah, agar dapat berjalan di jalan yang lurus.
Lukisan ini diilhami oleh kondisi Aceh pascabencana tsunami. Said, yang lahir di Aceh, 41 tahun silam, ini paham benar gejolak yang tengah terjadi di masyarakatnya. Ketika itu, banyaknya bantuan dari luar membuat sebagian masyarakat "lengah", seolah uang adalah segalanya. Maka, Said mengajak manusia sadar dan berjalan di jalan yang lurus.
Karya-karya Said, menurut kurator pameran, Merwan Yusuf, berhasil keluar dari kepungan pakem dunia seni kaligrafi yang pernah ada sebelumnya. "Gaya lukisannya menonjolkan dan mengambil efek lelehan air atau akar membulat dan mengalir," ujarnya.
Bentuk olahan kaligrafi semacam ini, kata Merwan, memunculkan ciri khas kaligrafi yang memaksimalkan terbentuknya volume dan efek gravitasi. Permainan warna yang berani, seperti merah, hijau, biru, dan kuning, pun menjadi gaya sendiri.
Tak cuma memajang kaligrafi, Said memamerkan beberapa guratan abstraknya. Lukisan tersebut buah dari kemarahannya akan sikap manusia yang arogan. Itu tercuat dalam karya berjudul Akibat Rusaknya Hutan, Banjir!, Catatan Peristiwa di Bumi Aceh Awal Abad XXI, dan Terherat.
Karya abstrak ini bermain dengan warna gelap. Cipratan cat minyak yang membuat struktur kerak di kanvas bisa menjadi seribu imaji bagi yang melihatnya. Warna gelap, baik yang pekat maupun tidak, seperti menyiratkan sebuah kecemasan atau suasana duka lara. Boleh jadi, itu bentuk kedukaan Said Akram terhadap tanah kelahirannya Aceh yang tertimpa bencana.
Said Akram telah lama melukis. Ayahnya, Said Ali Abdullah (81 tahun) adalah seorang pelukis kaligrafi. Sang ayah berperan besar membimbingnya. Kemudian, ia belajar di Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (lulus 1994).
Bentuk karya kaligrafi Said Akram, menurut sang ayah yang kerap melanglang ke luar untuk memperdalam kaligrafi itu, sangat orisinal. Ia telah menelusuri referensi kaligrafi dunia. "Belum ada yang bikin kaligrafi seperti itu," katanya.
Akram kerap berpameran di berbagai tempat, seperti di pameran Peksminas di Bali (1993), Pameran Seni Lukis Islami dari Pelukis Sumatera dan Jawa, di Jambi (1994), Pameran Seni Rupa Islami di Semarang, Jawa Tengah (1995), dan Pameran Pelukis Sesumatera di Lampung (1999). Terakhir, karya Said Akram muncul di Pameran Bersama di Banda Aceh (2006).
Tak hanya di dalam negeri. Ia juga pernah ikut Ekshibisi pada Konferensi Dunia Islam Dunia Melayu Sedunia di Hotel Equatorial Malaka, Malaysia (2001).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar