Ibnu Rusydi
http://www.tempointeraktif.com/
TEMPO Interaktif, Jakarta: "Apakah arti sajakku ini/ ketika aku tak bisa menerka/ di belantara mana jasadmu kini..." Suara penyair perempuan Aceh, D. Kemalawati, melengking lewat mikrofon, menyambar-nyambar malam yang terasa semakin dingin. Ia sedang mengungkapkan kedukaannya setelah kehilangan sahabat seniman dalam peristiwa tsunami di Aceh.
Kemalawati adalah satu dari sekitar 20 penyair yang membaca puisi saat penutupan "Jakarta International Literary Festival (Jilfest)" di Pasar Seni Ancol, Jakarta, Sabtu malam lalu. Pesta sastra itu diikuti sekitar 150 sastrawan dari dalam dan luar negeri. Acara ini hasil kerja sama Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, Komunitas Sastra Indonesia, dan Komunitas Cerpen Indonesia.
Jilfest dibuka pada Kamis malam lalu di Museum Seni Rupa dan Keramik di Kota Tua, Jakarta. Acara ditandai dengan goresan sebaris puisi oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo di atas kertas putih besar. Puisi itu diselesaikan oleh penyair Taufik Ismail. Lalu, Fauzi Bowo pun membacakannya.
Kegiatan tersebut dipusatkan di kawasan Kota Tua, seperti Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Fatahillah, dan Hotel Batavia. Hanya penutupannya yang dilakukan di Ancol. Acara diisi pembacaan karya sastra (puisi dan cerpen), pertunjukan wayang Betawi, lomba cerpen tentang Jakarta, workshop, dan seminar.
Dalam seminar, sejumlah hal dibicarakan, mulai dari sastra Indonesia di mata dunia, prospek penerbitan sastra Indonesia di mancanegara, hingga politik Nobel sastra. Para pembicara datang dari berbagai negara. Ada Katrin Bandel (akademisi sastra asal Jerman), Koh Young Hum (Korea), Mikihiro Moriyama (Jepang), Jamal Tukimin (Singapura), Henry Chambert-Loir (Prancis), Stefan Danerek (Swedia), Abdul Hadi WM, Budi Darma, Putu Wijaya, dan lain-lain.
Salah satu pembicara, Putu Wijaya, menyimpulkan bahwa sastra Indonesia tak pernah dipromosikan sebagai aset nasional di luar negeri. Ia memaparkan beberapa contoh. Misalnya, saat berkunjung ke Berlin Barat pada 1985, ia berkenalan dengan penyair AS. Sang penyair itu tampak tak terkesan terhadap penjelasan Putu tentang sastra Indonesia.
Juli lalu, Putu diundang ke Moskow bersama Teater Tanah Air. Beberapa profesor bahasa Indonesia di sana antusias terhadap perkembangan terkini sastra Indonesia. "Sayangnya, bahan-bahannya tak cukup tersedia," ujar Putu. Ia mengusulkan Departemen Luar Negeri memanfaatkan diplomasi publiknya untuk mengenalkan karya sastra Indonesia ke mancanegara.
Pembicara lain, Budi Darma, menilai secara teoretis pengenalan karya sastra bisa mengantar sastrawan Indonesia meraih Nobel. Untuk meraih Nobel, syaratnya adalah harus ada peran kuat dari pemerintah, juga swasta, untuk memperkenalkan karya negerinya. Misalnya melalui penerjemahan karya Indonesia.
Namun kenyataannya, kata Budi, strategi itu tak akan berhasil. "Terjemahan sastra dunia ketiga diacuhkan oleh komunitas sastra internasional. Meraih Nobel bagai mimpi di siang bolong," ujarnya. Karena itu, jangan bermimpi Nobel. Lebih baik penulis meningkatkan kualitas karya.
Sedangkan Stefan Danerek dari Swedia dalam makalahnya menegaskan bahwa Akademi Swedia sangat ketat menjaga rahasia nominasi hingga pemilihan peraih Nobel. Dalam kesempatan itu, ia mencoba menjelaskan mengapa Pramoedya Ananta Toer tak meraih Nobel. Ia melihatnya itu sebagai kelalaian.
Pram, kata dia, cocok dengan setiap kategori peraih Nobel pasca-1978. "Dan mungkin memegang rekor nominasi sejak 1981 sampai 2006, yakni 26 kali," ujarnya.
Sebenarnya, ada seorang tokoh yang ditunggu-tunggu kehadirannya dalam Jilfest itu, yakni peraih Nobel Sastra dari Turki, Orhan Pamuk. "Tapi ia berhalangan hadir," kata Ahmadun Yosi Herfanda, ketua panitia Jilfest. Memang, menurut Ahmadun, tidak semua sastrawan dan akademisi sastra yang diundang bisa hadir.
Meski demikian, acara tetap semarak. Bahkan, ini tak cuma ajang baca karya dan bincang sastra, tapi juga silaturahmi antarsastrawan. Dalam beberapa hari itu di Kota Tua, juga di Ancol Sabtu malam lalu, wajah mereka tampak sumringah mengikuti acara demi acara.
http://www.tempointeraktif.com/
TEMPO Interaktif, Jakarta: "Apakah arti sajakku ini/ ketika aku tak bisa menerka/ di belantara mana jasadmu kini..." Suara penyair perempuan Aceh, D. Kemalawati, melengking lewat mikrofon, menyambar-nyambar malam yang terasa semakin dingin. Ia sedang mengungkapkan kedukaannya setelah kehilangan sahabat seniman dalam peristiwa tsunami di Aceh.
Kemalawati adalah satu dari sekitar 20 penyair yang membaca puisi saat penutupan "Jakarta International Literary Festival (Jilfest)" di Pasar Seni Ancol, Jakarta, Sabtu malam lalu. Pesta sastra itu diikuti sekitar 150 sastrawan dari dalam dan luar negeri. Acara ini hasil kerja sama Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, Komunitas Sastra Indonesia, dan Komunitas Cerpen Indonesia.
Jilfest dibuka pada Kamis malam lalu di Museum Seni Rupa dan Keramik di Kota Tua, Jakarta. Acara ditandai dengan goresan sebaris puisi oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo di atas kertas putih besar. Puisi itu diselesaikan oleh penyair Taufik Ismail. Lalu, Fauzi Bowo pun membacakannya.
Kegiatan tersebut dipusatkan di kawasan Kota Tua, seperti Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Fatahillah, dan Hotel Batavia. Hanya penutupannya yang dilakukan di Ancol. Acara diisi pembacaan karya sastra (puisi dan cerpen), pertunjukan wayang Betawi, lomba cerpen tentang Jakarta, workshop, dan seminar.
Dalam seminar, sejumlah hal dibicarakan, mulai dari sastra Indonesia di mata dunia, prospek penerbitan sastra Indonesia di mancanegara, hingga politik Nobel sastra. Para pembicara datang dari berbagai negara. Ada Katrin Bandel (akademisi sastra asal Jerman), Koh Young Hum (Korea), Mikihiro Moriyama (Jepang), Jamal Tukimin (Singapura), Henry Chambert-Loir (Prancis), Stefan Danerek (Swedia), Abdul Hadi WM, Budi Darma, Putu Wijaya, dan lain-lain.
Salah satu pembicara, Putu Wijaya, menyimpulkan bahwa sastra Indonesia tak pernah dipromosikan sebagai aset nasional di luar negeri. Ia memaparkan beberapa contoh. Misalnya, saat berkunjung ke Berlin Barat pada 1985, ia berkenalan dengan penyair AS. Sang penyair itu tampak tak terkesan terhadap penjelasan Putu tentang sastra Indonesia.
Juli lalu, Putu diundang ke Moskow bersama Teater Tanah Air. Beberapa profesor bahasa Indonesia di sana antusias terhadap perkembangan terkini sastra Indonesia. "Sayangnya, bahan-bahannya tak cukup tersedia," ujar Putu. Ia mengusulkan Departemen Luar Negeri memanfaatkan diplomasi publiknya untuk mengenalkan karya sastra Indonesia ke mancanegara.
Pembicara lain, Budi Darma, menilai secara teoretis pengenalan karya sastra bisa mengantar sastrawan Indonesia meraih Nobel. Untuk meraih Nobel, syaratnya adalah harus ada peran kuat dari pemerintah, juga swasta, untuk memperkenalkan karya negerinya. Misalnya melalui penerjemahan karya Indonesia.
Namun kenyataannya, kata Budi, strategi itu tak akan berhasil. "Terjemahan sastra dunia ketiga diacuhkan oleh komunitas sastra internasional. Meraih Nobel bagai mimpi di siang bolong," ujarnya. Karena itu, jangan bermimpi Nobel. Lebih baik penulis meningkatkan kualitas karya.
Sedangkan Stefan Danerek dari Swedia dalam makalahnya menegaskan bahwa Akademi Swedia sangat ketat menjaga rahasia nominasi hingga pemilihan peraih Nobel. Dalam kesempatan itu, ia mencoba menjelaskan mengapa Pramoedya Ananta Toer tak meraih Nobel. Ia melihatnya itu sebagai kelalaian.
Pram, kata dia, cocok dengan setiap kategori peraih Nobel pasca-1978. "Dan mungkin memegang rekor nominasi sejak 1981 sampai 2006, yakni 26 kali," ujarnya.
Sebenarnya, ada seorang tokoh yang ditunggu-tunggu kehadirannya dalam Jilfest itu, yakni peraih Nobel Sastra dari Turki, Orhan Pamuk. "Tapi ia berhalangan hadir," kata Ahmadun Yosi Herfanda, ketua panitia Jilfest. Memang, menurut Ahmadun, tidak semua sastrawan dan akademisi sastra yang diundang bisa hadir.
Meski demikian, acara tetap semarak. Bahkan, ini tak cuma ajang baca karya dan bincang sastra, tapi juga silaturahmi antarsastrawan. Dalam beberapa hari itu di Kota Tua, juga di Ancol Sabtu malam lalu, wajah mereka tampak sumringah mengikuti acara demi acara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar