Joko Sadewo
http://republika.co.id
Wacana mengenai calon presiden independen terus mengemuka. Salah satunya dilontarkan dengan lantang oleh Fadjroel Rachman yang dikenal sebagai salah satu pelaku penting dalam aktivitas prodemokrasi. Untuk mencapai cita-citanya itu, Fadjroel yang dikenal sebagai presenter di berbagai program dialog di televisi ini telah mengalami berbagai hal, bahkan dituding sebagai penghancur demokrasi. Berikut ini wawancara wartawan Republika, Joko Sadewo, dengan Fadjroel Rachman:
Apa yang mendorong Anda ikut mencalonkan diri sebagai capres independen?
Ada beberapa hal yang mendorong saya maju. Pertama, ingin membongkar sistem pengisian di lembaga eksekutif dan legislatif, supaya bisa diikuti dari jalur parpol dan independen.
Saya dan teman-teman di daerah sudah berupaya agar eksekutif di daerah, seperti gubernur dan walikota, bupati, bisa ditembus melalui independen. Sekarang saya ingin supaya di tingkat nasional juga bisa ditembus melalu jalur independen juga.
Bukan itu saja, bagaimana nanti agar di tingkat DPR, DPRD I, DPRD II, bisa diisi perseorangan. Kalau sekarang baru DPD yang melalui jalur independen. Saya harus ikut mencalonkan agar ada legal standing, bahwa ada yang ingin maju jadi presiden tapi tidak bisa, karena undang-undang tentang ketentuan capres hanya bisa diusung parpol.
Alasan kedua, saya sebagai aktivis prodemokrasi, yang berjuang sejak tahun 80-an, pernah ditahan tiga tahun termasuk dibuang ke Nusa Kambangan, merasa bahwa agenda reformasi gagal. Kegagalan ini karena para aktivis prodemokrasi tidak mengatur, mengarahkan ke mana demokrasi berjalan. Praktis dua agende gerakan reformasi yaitu korupsi Soeharto dan kejahatan HAM tidak ditangani hingga 10 tahun terakhir. Padahal, dua hal ini yang membakar gerakan reformasi.
Dua kejahatan itu tidak tertangani karena mereka yang menjadi pimpinan nasional ada hubungan historis maupun hutang politik dan ekonomi dengan Orde Baru. Sepuluh tahun sudah cukup, saatnya kaum kekuatan prodemokrasi mengambil alih kekuasaan politik.
Ketiga, muncul kesadaran bahwa sepuluh tahun terakhir, gerakan prodemokrasi terutama yang berakar dari gerakan mahasiswa hanya bisa menumbang kekuasaan Orde Baru, tapi belum pernah mengambil alih kekuasaan politik.
Apakah langkah Anda justru tidak mendegradasi parpol, yang sebenarnya elemen penting demokrasi?
Demokrasi tertua adalah Amerika Serikat, yaitu sejak 200 tahun lalu. Sejak hari pertama mereka merdeka, calon independen sudah boleh ada. Negara yang menjalankan sistem demokrasi umumnya mengizinkan independen untuk masuk.
Contoh yang paling dekat dengan kita adalah Malaysia. Sekarang di Malaysia ada dua dari calon independen yang masuk DPR-nya. Begitu pula di Korea Selatan, yang eksekutif maupun legislatifnya boleh dimasuki melalui jalur independen maupun parpol.
Sebenarnya keikutsertaan calon independen merupakan praktik demokrasi modern. Sekalipun parpol sebagai wahana penguatan demokrasi, tapi warga negara sebagai pemegang kedaulatan utama, tidak dicabut haknya. Negara boleh runtuh, parpol boleh hilang, apakah warga negara boleh hilang? Kan tidak. Kalau warga negara tidak maka tidak ada semuanya. Kalau partai tidak ada warga negara tidak ada.
Jadi ruang independen tidak mendegradasi?
Sama sekali tidak. Bahkan Indonesia, pada 1955, sudah mengakui lembaga legislatif boleh dimasuki individu. Contohnya, Pak M Hasan yang mewakili Sumatra berasal dari independen.
Sekarang kita set back karena Orde Baru yang merusaknya. Orde Baru yang mengharuskan saluran hanya dari parpol. Bahkan, parpol pun hanya melalui tiga parpol. Demokrasi modern tidak seperti ini.
Apa sih manfaat independen, sehingga individu harus diberi ruang besar?
Dalam kondisi sepuluh tahun terakhir, sebenarnya independen punya program jangka pendek, yaitu sebagai 'pemadam kebakaran' untuk memperbaiki parpol kualitas seleksi. Bagaimana parpol dalam seleksi orang bisa lebih fair, tidak money politic, dan sebagainya. Mereka agar bisa memperbaiki diri.
Pada pilpres di Amerika Serikat, ada 12 calon independen. Tapi, yang menonjol tetap calon dari parpol, yaitu Obama dan Mc Cann. Ini karena Partai Demokrat dan Republik memiliki sarana untuk konvensi internal. Sementara di Indonesia parpol tidak mau konvensi. Mereka menganggap pemilu hanya pemilihan, bukan seleksi.
Dalam dua periode ke depan, yaitu 2014 dan 2019, calon indepeden itu dalam konteks menjadi pesaing dari parpol, agar memperbaiki seleksi kualitas dan menurunkan money politik. Hasil kajian kita selama enam bulan di Aceh dan seluruh Indonesia, walaupun calon independen kalah, tapi ini mendorong parpol mencari calon kepala daerah yang berkualias. dan menurunkan money politik.
Sejauh mana peluang Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengabulkan judicial review (JR)?
Menang di JR atas pilkada independen sebenarnya merupakan basis pertama untuk kemenangan capres independen. Tinggal selangkah lagi.
Penentangan terhadap capres independen justru kurang dibanding ketika pilkada independen. Waktu Pilkada independen, saya benar-benar merasa dimusuhi parpol. Bahkan dituduh sebagai gerakan intelektual menghancurkan demokrasi.
Disebutkan kalau gerakan pertama menghancurkan demokrasi adalah Soekarno, yang membubarkan parpol. Lalu, Soeharto. Dan, gerakan independen dianggap yang ketiga sebagai upaya menghancurkan demokrasi. Saya sampai dituduh seperti itu.
Tapi anehnya JR kami dimenangkan MK. Alasannya di Aceh sudah diberlakukan calon independen melalui UU 11/2006. Walaupun sebenarnya itu sangat riskan, karena sebenarnya ketentuan di Aceh itu hanya satu periode, sebelum terbentuknya parpol lokal. Setelah terbentuk parpol lokal calon independen di Aceh tidak berlaku lagi. Itu yang dipakai MK sebagai alasan tidak boleh ada diskriminasi politik.
Putusan MK ini membuat mereka (parpol) berang, sehingga menghalangi dikeluarkannya Perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang), supaya calon independen bisa langsung diterapkan. Waktu itu parpol mengatakan kalau ada perppu langsung kami buang ke tong sampah. Barulah kemudian dilakukan revisi terbatas yang berjalan hampir setahun. Sehingga calon independen yang pertama kali berlaga baru pada 5 Agustus 2008 di Kotamadya Bandung.
Bahkan, di daerah suara parpol yang menentang capres independen hampir tidak ada. Suara parpol itu senyap sekali. Hanya mengatakan kalau pasal 6A UUD 1945 hanya mengizinkan calon independen diusung parpol atau gabungan parpol. Tidak ada lagi pernyatan calon independen akan menghancurkan parpol.
Apa penyebab penentangan dari parpol menurun?
Saya merasa yakin kalau mereka terlalu yakin bahwa pasal 6A ini merupakan tembok Cina yang akan menghalangi calon independen. Tapi, saya yakin akan ada kejutan untuk masalah ini.
Mungkin mereka juga melihat kalau Pilkada independen ternyata tidak mengganggu parpol. Toh, mereka tetap bisa menang. Calon independen itu baru menang di tiga daerah.
Sebenarnya independen itu tidak perlu menang. Hal terpenting bagaimana calon independen bisa mendorong parpol mencari calon yang berkualitas dan tidak menjual Pilkada.
Jadi dengan opitimistis menang di MK?
Ada perbedaan MK dulu dan sekarang. MK yang sekarang lebih melihat pada substansi masalah walaupun risikonya MK dianggap melanggar undang-undang. Seperti Jatim yang dianggap salah karena dianggap melewati wewenang MK.
Ini yang menjadi menarik, karena kalau dilihat dari sisi formalitas, pasal 6A ini seperti tembok Cina, tapi secara substansi tidak ada masalah, karena ini merupakan praktik demokrasi modern. Mahfudz (Ketua MK) berhasil menunjukkan dirinya bahwa MK merupakan penafsir konstitusi yang hidup. Bukan penafsir konstitusi mati. Konstitusi hidup karena mengikuti perkembangan sosial, politik dalam masyarakat. Dengan begitu saya optimistis bisa menang dan bisa berlaga di 2009.
Kalau sudah lolos MK, apa hambatan lain calon independen?
Setelah lolos MK memang masih ada tahapan lain yang harus diperjuangkan, yaitu bagaimana dibuat regulasinya. Ini membutuhkan Perppu dari presiden untuk dua pasal, yaitu syarat dan waktu. Untuk syarat apakah satu persen terhadap pemilih atau tiga persen terhadap populasi. Jadi dalam hal syarat ini pun akan ada pertarungan lagi.
Perppu ini dibutuhkan karena jika regulasinya dalam bentuk revisi undang-undang, berdasar pengalaman calon independen di pilkda, penyelesaiannya hampir setahun. Jangan-jangan presiden juga berkepentingan untuk menghantam lawan politiknya. Cuma untungnya kalau ada putusan MK, ada bantuan dari putusan MK sebelumnya, yaitu ketika ada empat partai yang harus ikut pemilu dalam pileg, ternyata kemudian mereka menerimanya.
Dengan begitu kalau calon independen lolos di MK tapi tidak bisa ikut maka pilpres cacat. Dengan begitu perppu harus dikeluarkan. Kalau untuk parpol saya melihat mereka tidak akan menghalangi calon independen.
Bagaimana pandangan Anda atas capres yang ada sekarang?
Untuk generasi kaum tua atau sunset generation, seperti SBY, Jusuf Kalla, Megawati, Sultan Hamengku Buwono X, Gus Dur, Sutiyoso, Wiranto, Prabowo, mereka banyak terkait dengan masa lampau. Dengan begitu mereka tidak akan bisa menyelesaikan agenda reformasi.
Bagaimana membongkar penculikan aktivis kalau yang terpilih adalah Prabowo. Bagaimana menyelesaikan kasus HAM kalau yang terpilih adalah Wiranto. Bagaimana membongkar korupsi Soeharto kalau masih ada Jusuf Kalla.
Dengan begitu kalau ukurannya adalah penyelesaian agenda reformasi maka mereka sudah lewat. Mereka tidak akan bisa menyelesaikannya.
Dalam pemahaman nasionalisasi, berat juga kalau berhadapan dengan kaum tua ini, karena mereka sediit banyak terkait dengan persoalan privatisasi. Megawati maupun SBY. Padahal penting untuk menyelesaikan masalah ini untuk mengatasi krisis global.
Solusi mengatasi krisis ini adalah melepaskan ketergantungan terhadap luar negeri. Ini harus dilakukan dengan menumbuhkan pasar di dalam negeri, tapi uang tidak ada, sehingga harus ada nasionalisasi.
Kalau kita lihat sekarang sudah ada perubahan generasi dalam kepemimpinan bangsa. Rusia ada Medvedev, Amerika ada Obama. Jadi sudah terjadi perubahan generasi untuk menghadapi masalah baru.
Kami menginginkan generasi pertama pasca Orde Baru ini mundur seperti BJ Habibie. Padahal Habibie sangat berkualitas. Tapi Habibie tidak mau lagi. Ia mengatakan ini bukan zaman saya lagi. Ini zaman angkatan baru. Pidato Habibie ini mirip pidato Algore.
Siapa yang menyangsikan kualitas Habibie. Tapi, ia ikhlas untuk memberi kesempatan kepada generasi baru. Kalau generasi muda bisa mengkonsolidasikan diri dan menang Pilpres 2009, maka ini akan menjadi skenario progresif, di mana kaum muda memenangkan kepemimpinan nasional.
Kalau ternyata gagal lolos MK bagaimana skenarionya?
Kalau itu terjadi maka skenarionya moderat, yaitu presidennya kaum tua, wakil presidennya kaum muda, begitu pula kabinetnya kaum muda. Ini seperti yang ditawarkan Megawati. Tapi, kalau Megawati mengambil Wapres Sultan, ini juga bukan skenario moderat.
Sekarang ini, nyaris parpol tertutup untuk capres muda. Semua parpol mengusung capres tua.
Jika calon independen menang dan Pilpres 2009, bagaimana menjaga kestabilan pemerintah, kalau independen tidak punya orang di parlemen?
Hal yang harus dilakukan adalah bagaimana presiden terpilih berpegang saja pada konstitusi. Tugas presiden sudah sangat jelas, sehingga DPR tidak akan bermasalah. Apa yang akan dipermasalahkan DPR kalau kita berpegang pada konstitusi.
Hal yang juga tidak kalah penting adalah bagaimana membuat APBN yang prokesejahteraan. Bagaimana di Aceh yang dipimpin independen juga tidak meledak. Umumnya mereka mengatakan APBD-nya pro hak dasar, seperti pendidikan, kesehatan, pengangguran, dan sebagainya.
Biodata
Nama: Fadjroel Rachman
Tempat, tanggal lahir: Banjarmasin, 17 January 1964
Pendidikan:
- FMIPA, Jurusan Kimia, ITB
- Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
- Graduate Programme, FEUI (Manajemen FInansial)
Pengalaman Kerja
- Ketua Pedoman Indonesia (1999-sekarang)
- Penulis di berbagai media nasional
- Presenter di berbagai program televisi dan radio
- Financial and Business Development Executive, PT Pedoman Global Komunindo, Communication, Engineering and General Trading, Jakarta (1998-sekarang)
- Financial and Business Development Executive, PT Oktagon Komunikasi, Jakarta (2004-sekarang)
- dan lainnya
Pengalaman Organisasi:
Nasional
- Ketua Gerakan Nasional Calon Independen
- Anggota Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
- Anggota Lingkar Muda Indonesia
- Kandidat komisioner Truth and Reconciliation Commission (TRC) of Indonesia (2006)
- Ketua Perserikatan Rakyat (2004-sekarang)
- Anggota Forum Demokrasi (1993-sekarang)
- dan lainnya
Internasional
- Konferensi 'The Future of Indonesia Beyond 2014: Emerging Leaders and Their Challenges, Nanyang Technological University, Singapore (Singapore, 3-4 November 2008)
- Partisipan International Conference Dealing with a Burdened Past- transitional Justice and Democratization, 20-21 April 2006, Berlin, Germany, oleh Friedrich Ebert Stiftung (FES).
- Pembicara Building Political Parties "From Below"- A Conference-Dialogue of East-Southeast Asian and Latin American Political Parties and Movements, 17-18 November 2005, Metro Manila, Philippines.
- dan lainnya
http://republika.co.id
Wacana mengenai calon presiden independen terus mengemuka. Salah satunya dilontarkan dengan lantang oleh Fadjroel Rachman yang dikenal sebagai salah satu pelaku penting dalam aktivitas prodemokrasi. Untuk mencapai cita-citanya itu, Fadjroel yang dikenal sebagai presenter di berbagai program dialog di televisi ini telah mengalami berbagai hal, bahkan dituding sebagai penghancur demokrasi. Berikut ini wawancara wartawan Republika, Joko Sadewo, dengan Fadjroel Rachman:
Apa yang mendorong Anda ikut mencalonkan diri sebagai capres independen?
Ada beberapa hal yang mendorong saya maju. Pertama, ingin membongkar sistem pengisian di lembaga eksekutif dan legislatif, supaya bisa diikuti dari jalur parpol dan independen.
Saya dan teman-teman di daerah sudah berupaya agar eksekutif di daerah, seperti gubernur dan walikota, bupati, bisa ditembus melalui independen. Sekarang saya ingin supaya di tingkat nasional juga bisa ditembus melalu jalur independen juga.
Bukan itu saja, bagaimana nanti agar di tingkat DPR, DPRD I, DPRD II, bisa diisi perseorangan. Kalau sekarang baru DPD yang melalui jalur independen. Saya harus ikut mencalonkan agar ada legal standing, bahwa ada yang ingin maju jadi presiden tapi tidak bisa, karena undang-undang tentang ketentuan capres hanya bisa diusung parpol.
Alasan kedua, saya sebagai aktivis prodemokrasi, yang berjuang sejak tahun 80-an, pernah ditahan tiga tahun termasuk dibuang ke Nusa Kambangan, merasa bahwa agenda reformasi gagal. Kegagalan ini karena para aktivis prodemokrasi tidak mengatur, mengarahkan ke mana demokrasi berjalan. Praktis dua agende gerakan reformasi yaitu korupsi Soeharto dan kejahatan HAM tidak ditangani hingga 10 tahun terakhir. Padahal, dua hal ini yang membakar gerakan reformasi.
Dua kejahatan itu tidak tertangani karena mereka yang menjadi pimpinan nasional ada hubungan historis maupun hutang politik dan ekonomi dengan Orde Baru. Sepuluh tahun sudah cukup, saatnya kaum kekuatan prodemokrasi mengambil alih kekuasaan politik.
Ketiga, muncul kesadaran bahwa sepuluh tahun terakhir, gerakan prodemokrasi terutama yang berakar dari gerakan mahasiswa hanya bisa menumbang kekuasaan Orde Baru, tapi belum pernah mengambil alih kekuasaan politik.
Apakah langkah Anda justru tidak mendegradasi parpol, yang sebenarnya elemen penting demokrasi?
Demokrasi tertua adalah Amerika Serikat, yaitu sejak 200 tahun lalu. Sejak hari pertama mereka merdeka, calon independen sudah boleh ada. Negara yang menjalankan sistem demokrasi umumnya mengizinkan independen untuk masuk.
Contoh yang paling dekat dengan kita adalah Malaysia. Sekarang di Malaysia ada dua dari calon independen yang masuk DPR-nya. Begitu pula di Korea Selatan, yang eksekutif maupun legislatifnya boleh dimasuki melalui jalur independen maupun parpol.
Sebenarnya keikutsertaan calon independen merupakan praktik demokrasi modern. Sekalipun parpol sebagai wahana penguatan demokrasi, tapi warga negara sebagai pemegang kedaulatan utama, tidak dicabut haknya. Negara boleh runtuh, parpol boleh hilang, apakah warga negara boleh hilang? Kan tidak. Kalau warga negara tidak maka tidak ada semuanya. Kalau partai tidak ada warga negara tidak ada.
Jadi ruang independen tidak mendegradasi?
Sama sekali tidak. Bahkan Indonesia, pada 1955, sudah mengakui lembaga legislatif boleh dimasuki individu. Contohnya, Pak M Hasan yang mewakili Sumatra berasal dari independen.
Sekarang kita set back karena Orde Baru yang merusaknya. Orde Baru yang mengharuskan saluran hanya dari parpol. Bahkan, parpol pun hanya melalui tiga parpol. Demokrasi modern tidak seperti ini.
Apa sih manfaat independen, sehingga individu harus diberi ruang besar?
Dalam kondisi sepuluh tahun terakhir, sebenarnya independen punya program jangka pendek, yaitu sebagai 'pemadam kebakaran' untuk memperbaiki parpol kualitas seleksi. Bagaimana parpol dalam seleksi orang bisa lebih fair, tidak money politic, dan sebagainya. Mereka agar bisa memperbaiki diri.
Pada pilpres di Amerika Serikat, ada 12 calon independen. Tapi, yang menonjol tetap calon dari parpol, yaitu Obama dan Mc Cann. Ini karena Partai Demokrat dan Republik memiliki sarana untuk konvensi internal. Sementara di Indonesia parpol tidak mau konvensi. Mereka menganggap pemilu hanya pemilihan, bukan seleksi.
Dalam dua periode ke depan, yaitu 2014 dan 2019, calon indepeden itu dalam konteks menjadi pesaing dari parpol, agar memperbaiki seleksi kualitas dan menurunkan money politik. Hasil kajian kita selama enam bulan di Aceh dan seluruh Indonesia, walaupun calon independen kalah, tapi ini mendorong parpol mencari calon kepala daerah yang berkualias. dan menurunkan money politik.
Sejauh mana peluang Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengabulkan judicial review (JR)?
Menang di JR atas pilkada independen sebenarnya merupakan basis pertama untuk kemenangan capres independen. Tinggal selangkah lagi.
Penentangan terhadap capres independen justru kurang dibanding ketika pilkada independen. Waktu Pilkada independen, saya benar-benar merasa dimusuhi parpol. Bahkan dituduh sebagai gerakan intelektual menghancurkan demokrasi.
Disebutkan kalau gerakan pertama menghancurkan demokrasi adalah Soekarno, yang membubarkan parpol. Lalu, Soeharto. Dan, gerakan independen dianggap yang ketiga sebagai upaya menghancurkan demokrasi. Saya sampai dituduh seperti itu.
Tapi anehnya JR kami dimenangkan MK. Alasannya di Aceh sudah diberlakukan calon independen melalui UU 11/2006. Walaupun sebenarnya itu sangat riskan, karena sebenarnya ketentuan di Aceh itu hanya satu periode, sebelum terbentuknya parpol lokal. Setelah terbentuk parpol lokal calon independen di Aceh tidak berlaku lagi. Itu yang dipakai MK sebagai alasan tidak boleh ada diskriminasi politik.
Putusan MK ini membuat mereka (parpol) berang, sehingga menghalangi dikeluarkannya Perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang), supaya calon independen bisa langsung diterapkan. Waktu itu parpol mengatakan kalau ada perppu langsung kami buang ke tong sampah. Barulah kemudian dilakukan revisi terbatas yang berjalan hampir setahun. Sehingga calon independen yang pertama kali berlaga baru pada 5 Agustus 2008 di Kotamadya Bandung.
Bahkan, di daerah suara parpol yang menentang capres independen hampir tidak ada. Suara parpol itu senyap sekali. Hanya mengatakan kalau pasal 6A UUD 1945 hanya mengizinkan calon independen diusung parpol atau gabungan parpol. Tidak ada lagi pernyatan calon independen akan menghancurkan parpol.
Apa penyebab penentangan dari parpol menurun?
Saya merasa yakin kalau mereka terlalu yakin bahwa pasal 6A ini merupakan tembok Cina yang akan menghalangi calon independen. Tapi, saya yakin akan ada kejutan untuk masalah ini.
Mungkin mereka juga melihat kalau Pilkada independen ternyata tidak mengganggu parpol. Toh, mereka tetap bisa menang. Calon independen itu baru menang di tiga daerah.
Sebenarnya independen itu tidak perlu menang. Hal terpenting bagaimana calon independen bisa mendorong parpol mencari calon yang berkualitas dan tidak menjual Pilkada.
Jadi dengan opitimistis menang di MK?
Ada perbedaan MK dulu dan sekarang. MK yang sekarang lebih melihat pada substansi masalah walaupun risikonya MK dianggap melanggar undang-undang. Seperti Jatim yang dianggap salah karena dianggap melewati wewenang MK.
Ini yang menjadi menarik, karena kalau dilihat dari sisi formalitas, pasal 6A ini seperti tembok Cina, tapi secara substansi tidak ada masalah, karena ini merupakan praktik demokrasi modern. Mahfudz (Ketua MK) berhasil menunjukkan dirinya bahwa MK merupakan penafsir konstitusi yang hidup. Bukan penafsir konstitusi mati. Konstitusi hidup karena mengikuti perkembangan sosial, politik dalam masyarakat. Dengan begitu saya optimistis bisa menang dan bisa berlaga di 2009.
Kalau sudah lolos MK, apa hambatan lain calon independen?
Setelah lolos MK memang masih ada tahapan lain yang harus diperjuangkan, yaitu bagaimana dibuat regulasinya. Ini membutuhkan Perppu dari presiden untuk dua pasal, yaitu syarat dan waktu. Untuk syarat apakah satu persen terhadap pemilih atau tiga persen terhadap populasi. Jadi dalam hal syarat ini pun akan ada pertarungan lagi.
Perppu ini dibutuhkan karena jika regulasinya dalam bentuk revisi undang-undang, berdasar pengalaman calon independen di pilkda, penyelesaiannya hampir setahun. Jangan-jangan presiden juga berkepentingan untuk menghantam lawan politiknya. Cuma untungnya kalau ada putusan MK, ada bantuan dari putusan MK sebelumnya, yaitu ketika ada empat partai yang harus ikut pemilu dalam pileg, ternyata kemudian mereka menerimanya.
Dengan begitu kalau calon independen lolos di MK tapi tidak bisa ikut maka pilpres cacat. Dengan begitu perppu harus dikeluarkan. Kalau untuk parpol saya melihat mereka tidak akan menghalangi calon independen.
Bagaimana pandangan Anda atas capres yang ada sekarang?
Untuk generasi kaum tua atau sunset generation, seperti SBY, Jusuf Kalla, Megawati, Sultan Hamengku Buwono X, Gus Dur, Sutiyoso, Wiranto, Prabowo, mereka banyak terkait dengan masa lampau. Dengan begitu mereka tidak akan bisa menyelesaikan agenda reformasi.
Bagaimana membongkar penculikan aktivis kalau yang terpilih adalah Prabowo. Bagaimana menyelesaikan kasus HAM kalau yang terpilih adalah Wiranto. Bagaimana membongkar korupsi Soeharto kalau masih ada Jusuf Kalla.
Dengan begitu kalau ukurannya adalah penyelesaian agenda reformasi maka mereka sudah lewat. Mereka tidak akan bisa menyelesaikannya.
Dalam pemahaman nasionalisasi, berat juga kalau berhadapan dengan kaum tua ini, karena mereka sediit banyak terkait dengan persoalan privatisasi. Megawati maupun SBY. Padahal penting untuk menyelesaikan masalah ini untuk mengatasi krisis global.
Solusi mengatasi krisis ini adalah melepaskan ketergantungan terhadap luar negeri. Ini harus dilakukan dengan menumbuhkan pasar di dalam negeri, tapi uang tidak ada, sehingga harus ada nasionalisasi.
Kalau kita lihat sekarang sudah ada perubahan generasi dalam kepemimpinan bangsa. Rusia ada Medvedev, Amerika ada Obama. Jadi sudah terjadi perubahan generasi untuk menghadapi masalah baru.
Kami menginginkan generasi pertama pasca Orde Baru ini mundur seperti BJ Habibie. Padahal Habibie sangat berkualitas. Tapi Habibie tidak mau lagi. Ia mengatakan ini bukan zaman saya lagi. Ini zaman angkatan baru. Pidato Habibie ini mirip pidato Algore.
Siapa yang menyangsikan kualitas Habibie. Tapi, ia ikhlas untuk memberi kesempatan kepada generasi baru. Kalau generasi muda bisa mengkonsolidasikan diri dan menang Pilpres 2009, maka ini akan menjadi skenario progresif, di mana kaum muda memenangkan kepemimpinan nasional.
Kalau ternyata gagal lolos MK bagaimana skenarionya?
Kalau itu terjadi maka skenarionya moderat, yaitu presidennya kaum tua, wakil presidennya kaum muda, begitu pula kabinetnya kaum muda. Ini seperti yang ditawarkan Megawati. Tapi, kalau Megawati mengambil Wapres Sultan, ini juga bukan skenario moderat.
Sekarang ini, nyaris parpol tertutup untuk capres muda. Semua parpol mengusung capres tua.
Jika calon independen menang dan Pilpres 2009, bagaimana menjaga kestabilan pemerintah, kalau independen tidak punya orang di parlemen?
Hal yang harus dilakukan adalah bagaimana presiden terpilih berpegang saja pada konstitusi. Tugas presiden sudah sangat jelas, sehingga DPR tidak akan bermasalah. Apa yang akan dipermasalahkan DPR kalau kita berpegang pada konstitusi.
Hal yang juga tidak kalah penting adalah bagaimana membuat APBN yang prokesejahteraan. Bagaimana di Aceh yang dipimpin independen juga tidak meledak. Umumnya mereka mengatakan APBD-nya pro hak dasar, seperti pendidikan, kesehatan, pengangguran, dan sebagainya.
Biodata
Nama: Fadjroel Rachman
Tempat, tanggal lahir: Banjarmasin, 17 January 1964
Pendidikan:
- FMIPA, Jurusan Kimia, ITB
- Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
- Graduate Programme, FEUI (Manajemen FInansial)
Pengalaman Kerja
- Ketua Pedoman Indonesia (1999-sekarang)
- Penulis di berbagai media nasional
- Presenter di berbagai program televisi dan radio
- Financial and Business Development Executive, PT Pedoman Global Komunindo, Communication, Engineering and General Trading, Jakarta (1998-sekarang)
- Financial and Business Development Executive, PT Oktagon Komunikasi, Jakarta (2004-sekarang)
- dan lainnya
Pengalaman Organisasi:
Nasional
- Ketua Gerakan Nasional Calon Independen
- Anggota Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
- Anggota Lingkar Muda Indonesia
- Kandidat komisioner Truth and Reconciliation Commission (TRC) of Indonesia (2006)
- Ketua Perserikatan Rakyat (2004-sekarang)
- Anggota Forum Demokrasi (1993-sekarang)
- dan lainnya
Internasional
- Konferensi 'The Future of Indonesia Beyond 2014: Emerging Leaders and Their Challenges, Nanyang Technological University, Singapore (Singapore, 3-4 November 2008)
- Partisipan International Conference Dealing with a Burdened Past- transitional Justice and Democratization, 20-21 April 2006, Berlin, Germany, oleh Friedrich Ebert Stiftung (FES).
- Pembicara Building Political Parties "From Below"- A Conference-Dialogue of East-Southeast Asian and Latin American Political Parties and Movements, 17-18 November 2005, Metro Manila, Philippines.
- dan lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar