Memadukan Tradisional, Modern dan Lenong Betawi
Yuyuk Sugarman
http://www.sinarharapan.co.id/
Yogyakarta – Ketika tobong (panggung yang juga sebagai tempat tinggal) orang tua mereka ”dirobohkan” – atas nama pelaksanaan renovasi dan penataan ulang kawasan Balekambang Solo pada tahun 2006, ketika seni modern menjadi populer dan meminggirkan seni tradisional, anak-anak ini justru bangkit untuk membuktikan eksistensinya.
Itulah yang dilakukan oleh anak-anak muda yang tergabung dalam Ketoprak Ngampung Balekambang.
”Kami terbentuk untuk menunjukkan bahwa ketoprak yang pernah berjaya di Balekambang, Solo, ini masih tetap eksis,” ujar Dwi Mustanto, pimpinan rombongan Ketoprak Ngampung Balekambang.
Kata ”lelah” tak ada dalam kamus kelompok anak-anak muda ini dalam melakukan pertunjukan ketoprak keliling kampung. Sejak tahun 2007, Ketoprak Ngampung Balekambang telah berkeliling di 18 kampung, dan 2 mal serta lebih dari 25 pementasan lainnya.
”Bagi kami ketoprak adalah sebuah dunia kecil. Ketoprak menunjukkan identitas orang Jawa. Karena itu kami dalam pentas hanya memakai bahasa Jawa untuk mengingatkan mereka bahwa orang Jawa itu bahasanya ya bahasa Jawa. Dan bahasa Jawa ini perlu dilestarikan,” kata Dwi Mustanto tegas.
Sebagai bagian untuk menunjukkan eksistensi mereka kepada masyarakat di luar Solo, kelompok Ketoprak Ngampung Balekambang berpentas di Padepokan Seni Bagong Kussudiardjo, Yogya, Minggu (29/6) malam. Mereka memainkan sebuah lakon berjudul ”Pasung” yang disutradarai oleh Dwi Mustanto.
Lakon ”Pasung” berkisah tentang Kamid, anak muda, yang dipasung oleh ayahnya sendiri. Alasan pemasungan ini karena ayahnya tak ingin Kamid jauh darinya, terkena pengaruh madat yang menyebabkan kakaknya meninggal atau ibunya yang menjadi ledek dan meninggalkan ayahnya. Namun, Kamid mati akibat kebebasannya terampas.
Yang menarik, pada pementasan yang hanya berlangsung 1,5 jam tersebut dan disaksikan sekitar 200 penonton, lakon ini digarap melalui proses adaptasi dan pendekatan bentuk teater modern (barat). Toh demikian, mereka masih tetap mempertahankan roh maupun gaya tobongan. Tak hanya itu pembaruan yang mereka lakukan. Pada pementasan tersebut juga ditemui bentuk-bentuk komedi yang mengadopsi permainan Lenong Betawi serta perkelahian gaya film Drunken Master.
”Kemasan” baru ini sangat terlihat, misalnya ketika adegan dagelan, para pemain tak memakai konsep lama, yakni sebuah dagelan yang dilakukan oleh para pembantu (pengiring) dengan mengacu pada perjalanan tuannya. Misalnya ketika tuannya tengah di hutan maka yang menjadi topik dagelan adalah hewan-hewan. Atau ketika tuannya jatuh cinta, maka yang menjadi topik adalah sosok wanita.
”Dagelan sekarang tak harus begitu, bebas dan mengacu pada kondisi sekarang. Karena itu para pemain dituntut untuk terus membaca dan mengikuti perkembangan yang ada,” kata Joleno, salah seorang pemain Ketoprak Ngampung Balekambang.
Maka tak salah jika dalam adegan itu sering ada celotehan yang menyindir adanya kenaikan harga BBM ataupun para pelaku pembalakan liar (illegal logging) yang lepas dari jeratan karena kongkalikong dengan para pejabat atau aparat.
Tak hanya itu. Mereka juga sangat fasih dalam melakukan parikan-parikan yang menggelitik serta segar. Lihat saja dalam sebuah adegan antara seorang ibu pencari kayu dengan dua punakawan, selalu meluncur parikan-parikan.
”Tuku gaplek ditotol banyak. Wis tuwek kok maniak,” ujar seorang punakawan. ”Mangan telo nganggo gula pasir. Senajan wis tuwo isih mok taksir,” sahut perempuan tua yang tengah mencari kayu itu.
Besar Widodo, Direktur Program Jagongan Wagen Yayasan Bagong Kussudiardjo yang menyelenggarakan pementasan ini, memuji perjuangan anak-anak muda ini. Mereka adalah produk regenerasi yang selalu mengobarkan semangat, Ketoprak Balekambang tak pernah mati, serta memadukan dengan bentuk pertunjukan modern sebagai hasil adaptasi mereka dengan ”dunia” luar.
Akibatnya, ”bentuk pertunjukan yang mereka mainkan menjadi lebih kaya, atraktif dan komunikatif dengan bumbu-bumbu humor segar yang menyenangkan,” kata Besar.
Sebagai pelaku seni yang dilahirkan di kolong tobong, menurut Besar, mereka telah membuka jalan untuk mewujudkan gagasan dan visi baru terhadap seni pertunjukan tradisi yang hendak mereka perjuangkan.
”Itu semua dilakukan tanpa merobohkan tobong yang telah melahirkan dan membesarkan mereka, namun justru melalui sebuah tindakan nyata dan kerja keras yang membangkitkan kesadaran untuk membangun kepedulian dan pemaknaan yang relevan terhadap keberadaan seni pertunjukan tradisional,” tutur Besar.
Yuyuk Sugarman
http://www.sinarharapan.co.id/
Yogyakarta – Ketika tobong (panggung yang juga sebagai tempat tinggal) orang tua mereka ”dirobohkan” – atas nama pelaksanaan renovasi dan penataan ulang kawasan Balekambang Solo pada tahun 2006, ketika seni modern menjadi populer dan meminggirkan seni tradisional, anak-anak ini justru bangkit untuk membuktikan eksistensinya.
Itulah yang dilakukan oleh anak-anak muda yang tergabung dalam Ketoprak Ngampung Balekambang.
”Kami terbentuk untuk menunjukkan bahwa ketoprak yang pernah berjaya di Balekambang, Solo, ini masih tetap eksis,” ujar Dwi Mustanto, pimpinan rombongan Ketoprak Ngampung Balekambang.
Kata ”lelah” tak ada dalam kamus kelompok anak-anak muda ini dalam melakukan pertunjukan ketoprak keliling kampung. Sejak tahun 2007, Ketoprak Ngampung Balekambang telah berkeliling di 18 kampung, dan 2 mal serta lebih dari 25 pementasan lainnya.
”Bagi kami ketoprak adalah sebuah dunia kecil. Ketoprak menunjukkan identitas orang Jawa. Karena itu kami dalam pentas hanya memakai bahasa Jawa untuk mengingatkan mereka bahwa orang Jawa itu bahasanya ya bahasa Jawa. Dan bahasa Jawa ini perlu dilestarikan,” kata Dwi Mustanto tegas.
Sebagai bagian untuk menunjukkan eksistensi mereka kepada masyarakat di luar Solo, kelompok Ketoprak Ngampung Balekambang berpentas di Padepokan Seni Bagong Kussudiardjo, Yogya, Minggu (29/6) malam. Mereka memainkan sebuah lakon berjudul ”Pasung” yang disutradarai oleh Dwi Mustanto.
Lakon ”Pasung” berkisah tentang Kamid, anak muda, yang dipasung oleh ayahnya sendiri. Alasan pemasungan ini karena ayahnya tak ingin Kamid jauh darinya, terkena pengaruh madat yang menyebabkan kakaknya meninggal atau ibunya yang menjadi ledek dan meninggalkan ayahnya. Namun, Kamid mati akibat kebebasannya terampas.
Yang menarik, pada pementasan yang hanya berlangsung 1,5 jam tersebut dan disaksikan sekitar 200 penonton, lakon ini digarap melalui proses adaptasi dan pendekatan bentuk teater modern (barat). Toh demikian, mereka masih tetap mempertahankan roh maupun gaya tobongan. Tak hanya itu pembaruan yang mereka lakukan. Pada pementasan tersebut juga ditemui bentuk-bentuk komedi yang mengadopsi permainan Lenong Betawi serta perkelahian gaya film Drunken Master.
”Kemasan” baru ini sangat terlihat, misalnya ketika adegan dagelan, para pemain tak memakai konsep lama, yakni sebuah dagelan yang dilakukan oleh para pembantu (pengiring) dengan mengacu pada perjalanan tuannya. Misalnya ketika tuannya tengah di hutan maka yang menjadi topik dagelan adalah hewan-hewan. Atau ketika tuannya jatuh cinta, maka yang menjadi topik adalah sosok wanita.
”Dagelan sekarang tak harus begitu, bebas dan mengacu pada kondisi sekarang. Karena itu para pemain dituntut untuk terus membaca dan mengikuti perkembangan yang ada,” kata Joleno, salah seorang pemain Ketoprak Ngampung Balekambang.
Maka tak salah jika dalam adegan itu sering ada celotehan yang menyindir adanya kenaikan harga BBM ataupun para pelaku pembalakan liar (illegal logging) yang lepas dari jeratan karena kongkalikong dengan para pejabat atau aparat.
Tak hanya itu. Mereka juga sangat fasih dalam melakukan parikan-parikan yang menggelitik serta segar. Lihat saja dalam sebuah adegan antara seorang ibu pencari kayu dengan dua punakawan, selalu meluncur parikan-parikan.
”Tuku gaplek ditotol banyak. Wis tuwek kok maniak,” ujar seorang punakawan. ”Mangan telo nganggo gula pasir. Senajan wis tuwo isih mok taksir,” sahut perempuan tua yang tengah mencari kayu itu.
Besar Widodo, Direktur Program Jagongan Wagen Yayasan Bagong Kussudiardjo yang menyelenggarakan pementasan ini, memuji perjuangan anak-anak muda ini. Mereka adalah produk regenerasi yang selalu mengobarkan semangat, Ketoprak Balekambang tak pernah mati, serta memadukan dengan bentuk pertunjukan modern sebagai hasil adaptasi mereka dengan ”dunia” luar.
Akibatnya, ”bentuk pertunjukan yang mereka mainkan menjadi lebih kaya, atraktif dan komunikatif dengan bumbu-bumbu humor segar yang menyenangkan,” kata Besar.
Sebagai pelaku seni yang dilahirkan di kolong tobong, menurut Besar, mereka telah membuka jalan untuk mewujudkan gagasan dan visi baru terhadap seni pertunjukan tradisi yang hendak mereka perjuangkan.
”Itu semua dilakukan tanpa merobohkan tobong yang telah melahirkan dan membesarkan mereka, namun justru melalui sebuah tindakan nyata dan kerja keras yang membangkitkan kesadaran untuk membangun kepedulian dan pemaknaan yang relevan terhadap keberadaan seni pertunjukan tradisional,” tutur Besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar