Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/
Jakarta – Mereka yang terbiasa memadukan bahasa puitik dan bahasa deskriptif ala Ayu Utami, Nukila Amal, dan Linda Christanty akan menemukan kepincangan dalam membaca novel Lanang karya Yonathan Rahardjo.
Namun, abaikan itu semua maka lama-kelamaan kita akan terseret ke dalam irama penataan tegangan dan pengelolaan jaringan tematik yang pelik. Novel ini sesungguhnya mendalam, sangat imajinatif dan mengesankan.
Inilah pendapat pengamat filsafat yang juga guru besar di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bambang Sugiharto mengomentari novel yang menjadi Juara Harapan II Lomba Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006 lalu dalam diskusi yang digelar di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Yassin, Jakarta, Senin (30/6).
Diskusi yang dimoderatori Ketua PDS, Endo Senggono itu dibuka dengan pembacaan secuplik bagian dari novel tersebut oleh A Badi AQT. Bambang kemudian memaparkan tema menarik, antara lain sebuah permainan ilusi terhadap beberapa persoalan.
Bambang menyorot kepribadian tokoh Dewi dan Putri yang berubah-ubah. Juga pandangan Lanang bahwa perselingkuhan tak berarti untuk cinta. Tapi di sisi lain, menurut Bambang, perselingkuhan bagi Lanang adalah sebagai lambang kejantanan termasuk lambang harga dirinya. Tapi bagi para perempuan, Lanang semata adalah pejantan. Menurut Bambang, inilah ilusi cinta yang berkembang berbeda dari setiap sudut pandang.
Bambang juga menyebutkan, tema ketiga yang ditangkapnya pada novel ini adalah tentang jaringan intrik rumit bisnis rekayasa genetika.
”Ada juga bisnis peternakan, kerumitan bioteknologi, transgenik, sebagai ekses penyakit. Ini adalah wilayah yang jarang dibicarakan di sastra Indonesia,” papar Bambang.
Tegangan itu, ujar Bambang, kemudian dikembangkan seperti film, ada thriller, terutama bila visualisasi dikembangkan dengan kemampuan reflektif. Alur dikembangkan dengan klimaks yang jelas, seperti terbunuhnya burung babi hutan yang dianggap sebagai matinya ternak babi. Seakan situasi desa pulih dan Lanang dianggap sebagai hero, tapi setelah itu dijatuhkan.
Rajikun, dibongkar skandal seksualnya, bahkan dianggap penyebab penyakit terhadap hewan. Begitu juga Dewi yang pada akhir juga muncul sebagai klimaks.
”Saya bolak-balik awal dan akhir, Yonathan piawai untuk menyusun cerita ini,” paparnya. Sekalipun ada pertanyaan soal konsistensi, antara lain soal imajinasi, burung babi hutan yang dikatakan memerkosa Dewi ternyata di akhir peristiwa itu terkesan yang melakukan adalah Rajikun.
”Entah Rajikun atau burung babi hutan, dibutuhkan imajinasi pembaca,” ujarnya.
Persoalan Karakter
Bambang juga mencatat soal karakter, apakah Yonathan membuat skema dalam karakterisasi karena awalnya Lanang santun. Lama-kelamaan figurnya ambigu, lalu di akhir cerita menjadi permisif, bahkan tak peduli istrinya. Karakter Dewi pada awalnya tak jelas, di akhir cerita ternyata ia digambarkan sangat cerdas.
Rajikun dilukiskan pandai memainkan skenario, memanfaatkan kesempatan di dalam kesempatan.
”Apa pun, pola itu menarik bagi saya. Keunggulan novel ini dalam suatu kompetisi, di antara karya yang lain banyak juga yang layak terbit, namun genrenya masing-masing. Banyak yang chicklit, renyah dan nyaman dibaca. Tapi waktu itu, kami bersepakat, yang dibutuhkan adalah unsur baru, wilayah garapan baru. Novel yang malang melintang adalah yang puitik, termasuk novel yang terampil dalam bahasa, tapi mengenai apa novel itu, substansinya tipis dan tak begitu jelas. Ada juga novel tentang keagamaan, detail menarik, tapi di akhir kisahnya tak jelas. Novel Yonathan berikan banyak unsur sehingga punya keunggulan tertentu. Tapi, lomba memang akan ramai dan publik akan lihat berbagai sisi dan perspektif, eyel-eyelan. Dari juri, nilai yang agak tinggi adalah novel Lanang ini,” papar Bambang.
Bambang kemudian menanggapi pendapat salah satu peserta terutama soal realisme magis. Menurutnya, memang belakangan persoalan realisme magis mengemuka. Dalam kesenian, ia tak antusias dengan isme yang ada. Tiap karya mempunyai keunikan dan kerumitannya sendiri. Ekspresionisme Affandi beda, juga Ivan Sagito dikatakan bahwa dia surealis. Namun tetap saja karya para seniman itu memiliki keistimewaannya sendiri.
Novel Lanang juga berkisah soal bagaimana persepsi masyarakat bisa jadi bodoh karena diseret soal ketahyulan, bagaimana intelektual jadi ikut pada prostitusi dan pelacuran.
”Ini soal kultural. Kelanangan macam apa yang diruapkan di novel ini. Kedua, kelanangan, heroisme macam apa yang dibutuhkan sekarang ini. Jackie Chan, orang yang biasa, mengatakan bahwa pahlawan adalah orang biasa yang jadi punya nyali saat dibutuhkan, just do it. Itulah definisi pahlawan, definisi yang sederhana namun menarik,” ujar Bambang.
Orang filsafat, ilmuwan dan sastrawan memang ada, tapi yang dibutuhkan menurut Bambang adalah pelaku dengan naluri kemanusiaan yang cukup besar dan dibutuhkan saat ini sesuatu yang konkret.
”Yonathan justru merelatifkan konsep kepahlawanan, kecowokan ini. Bahkan nyaris menertawakan, ilusi para lelaki seperti prestasi, seks, politis atau apa pun, di sisi lain dia makhluk lain yang dipermainkan oleh hal lain. Ini semua permainan, merasa menguasai padahal dikuasai, gagah padahal rapuh, ini problematisasi kelanangan, kelanangan Rajikun. Apa feminis suka karena sebetulnya justru melanangkan dan mempahlawankan perempuan di novel ini,” tutur Bambang.
Problem Kultural
Pembicara lainnya, Sahlul Fuad, membahas bagaimana perlawanan tentang ternak dan kemandirian yang ada dalam novel Lanang. Sahlul menyindir soal tender dalam bangsa ini, yang kerap tak disinggung dalam pikiran dan karya generasi bangsa ini.
Satu hal yang menarik dalam novel ini adalah bagaimana perdebatan dokter Lanang tentang teknologi tradisional yang dibangun masyarakat. Sering kali pendidikan kedokteran merujuk sistem modern.
”Dalam novel ini, hal itu dipertanyakan. Dukun Rajikun, sekali pun tahu dalam labnya, beratus tahun yang lalu para peternak kita telah tahu bagaimana pelajari alam dengan pengalaman dan pengetahuan yang sangat tinggi,” ujar Sahlul.
Menghadapi novel ini, bagi Sahlul, mengingatkan bahwa bangsa ini menghadapi problem kultural luar biasa. Menurut dia, sulit melakukan revolusi kultural karena tak ada pendidikan kultural sebagai dasar.
Chris Pangihutan Purba, pembicara ketiga, mengatakan bahwa ada penciptaan transgenik yang justru melemahkan kebangsaan di negeri ini. Itu dibicarakan dalam novel Lanang.
”Kita terlambat buat resistensi, namun sistem sudah masuk, diperparah kondisi intelektualisasi seperti ini. Alternatif hegemoni itu menjadi bunuh diri. Novel Lanang mengisahkan problem yang ada di Nusantara termasuk problem dunia medis. Masalah sistem global di dunia kesehatan telah dibahas di novel ini,” ujar Chris.
http://www.sinarharapan.co.id/
Jakarta – Mereka yang terbiasa memadukan bahasa puitik dan bahasa deskriptif ala Ayu Utami, Nukila Amal, dan Linda Christanty akan menemukan kepincangan dalam membaca novel Lanang karya Yonathan Rahardjo.
Namun, abaikan itu semua maka lama-kelamaan kita akan terseret ke dalam irama penataan tegangan dan pengelolaan jaringan tematik yang pelik. Novel ini sesungguhnya mendalam, sangat imajinatif dan mengesankan.
Inilah pendapat pengamat filsafat yang juga guru besar di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bambang Sugiharto mengomentari novel yang menjadi Juara Harapan II Lomba Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006 lalu dalam diskusi yang digelar di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Yassin, Jakarta, Senin (30/6).
Diskusi yang dimoderatori Ketua PDS, Endo Senggono itu dibuka dengan pembacaan secuplik bagian dari novel tersebut oleh A Badi AQT. Bambang kemudian memaparkan tema menarik, antara lain sebuah permainan ilusi terhadap beberapa persoalan.
Bambang menyorot kepribadian tokoh Dewi dan Putri yang berubah-ubah. Juga pandangan Lanang bahwa perselingkuhan tak berarti untuk cinta. Tapi di sisi lain, menurut Bambang, perselingkuhan bagi Lanang adalah sebagai lambang kejantanan termasuk lambang harga dirinya. Tapi bagi para perempuan, Lanang semata adalah pejantan. Menurut Bambang, inilah ilusi cinta yang berkembang berbeda dari setiap sudut pandang.
Bambang juga menyebutkan, tema ketiga yang ditangkapnya pada novel ini adalah tentang jaringan intrik rumit bisnis rekayasa genetika.
”Ada juga bisnis peternakan, kerumitan bioteknologi, transgenik, sebagai ekses penyakit. Ini adalah wilayah yang jarang dibicarakan di sastra Indonesia,” papar Bambang.
Tegangan itu, ujar Bambang, kemudian dikembangkan seperti film, ada thriller, terutama bila visualisasi dikembangkan dengan kemampuan reflektif. Alur dikembangkan dengan klimaks yang jelas, seperti terbunuhnya burung babi hutan yang dianggap sebagai matinya ternak babi. Seakan situasi desa pulih dan Lanang dianggap sebagai hero, tapi setelah itu dijatuhkan.
Rajikun, dibongkar skandal seksualnya, bahkan dianggap penyebab penyakit terhadap hewan. Begitu juga Dewi yang pada akhir juga muncul sebagai klimaks.
”Saya bolak-balik awal dan akhir, Yonathan piawai untuk menyusun cerita ini,” paparnya. Sekalipun ada pertanyaan soal konsistensi, antara lain soal imajinasi, burung babi hutan yang dikatakan memerkosa Dewi ternyata di akhir peristiwa itu terkesan yang melakukan adalah Rajikun.
”Entah Rajikun atau burung babi hutan, dibutuhkan imajinasi pembaca,” ujarnya.
Persoalan Karakter
Bambang juga mencatat soal karakter, apakah Yonathan membuat skema dalam karakterisasi karena awalnya Lanang santun. Lama-kelamaan figurnya ambigu, lalu di akhir cerita menjadi permisif, bahkan tak peduli istrinya. Karakter Dewi pada awalnya tak jelas, di akhir cerita ternyata ia digambarkan sangat cerdas.
Rajikun dilukiskan pandai memainkan skenario, memanfaatkan kesempatan di dalam kesempatan.
”Apa pun, pola itu menarik bagi saya. Keunggulan novel ini dalam suatu kompetisi, di antara karya yang lain banyak juga yang layak terbit, namun genrenya masing-masing. Banyak yang chicklit, renyah dan nyaman dibaca. Tapi waktu itu, kami bersepakat, yang dibutuhkan adalah unsur baru, wilayah garapan baru. Novel yang malang melintang adalah yang puitik, termasuk novel yang terampil dalam bahasa, tapi mengenai apa novel itu, substansinya tipis dan tak begitu jelas. Ada juga novel tentang keagamaan, detail menarik, tapi di akhir kisahnya tak jelas. Novel Yonathan berikan banyak unsur sehingga punya keunggulan tertentu. Tapi, lomba memang akan ramai dan publik akan lihat berbagai sisi dan perspektif, eyel-eyelan. Dari juri, nilai yang agak tinggi adalah novel Lanang ini,” papar Bambang.
Bambang kemudian menanggapi pendapat salah satu peserta terutama soal realisme magis. Menurutnya, memang belakangan persoalan realisme magis mengemuka. Dalam kesenian, ia tak antusias dengan isme yang ada. Tiap karya mempunyai keunikan dan kerumitannya sendiri. Ekspresionisme Affandi beda, juga Ivan Sagito dikatakan bahwa dia surealis. Namun tetap saja karya para seniman itu memiliki keistimewaannya sendiri.
Novel Lanang juga berkisah soal bagaimana persepsi masyarakat bisa jadi bodoh karena diseret soal ketahyulan, bagaimana intelektual jadi ikut pada prostitusi dan pelacuran.
”Ini soal kultural. Kelanangan macam apa yang diruapkan di novel ini. Kedua, kelanangan, heroisme macam apa yang dibutuhkan sekarang ini. Jackie Chan, orang yang biasa, mengatakan bahwa pahlawan adalah orang biasa yang jadi punya nyali saat dibutuhkan, just do it. Itulah definisi pahlawan, definisi yang sederhana namun menarik,” ujar Bambang.
Orang filsafat, ilmuwan dan sastrawan memang ada, tapi yang dibutuhkan menurut Bambang adalah pelaku dengan naluri kemanusiaan yang cukup besar dan dibutuhkan saat ini sesuatu yang konkret.
”Yonathan justru merelatifkan konsep kepahlawanan, kecowokan ini. Bahkan nyaris menertawakan, ilusi para lelaki seperti prestasi, seks, politis atau apa pun, di sisi lain dia makhluk lain yang dipermainkan oleh hal lain. Ini semua permainan, merasa menguasai padahal dikuasai, gagah padahal rapuh, ini problematisasi kelanangan, kelanangan Rajikun. Apa feminis suka karena sebetulnya justru melanangkan dan mempahlawankan perempuan di novel ini,” tutur Bambang.
Problem Kultural
Pembicara lainnya, Sahlul Fuad, membahas bagaimana perlawanan tentang ternak dan kemandirian yang ada dalam novel Lanang. Sahlul menyindir soal tender dalam bangsa ini, yang kerap tak disinggung dalam pikiran dan karya generasi bangsa ini.
Satu hal yang menarik dalam novel ini adalah bagaimana perdebatan dokter Lanang tentang teknologi tradisional yang dibangun masyarakat. Sering kali pendidikan kedokteran merujuk sistem modern.
”Dalam novel ini, hal itu dipertanyakan. Dukun Rajikun, sekali pun tahu dalam labnya, beratus tahun yang lalu para peternak kita telah tahu bagaimana pelajari alam dengan pengalaman dan pengetahuan yang sangat tinggi,” ujar Sahlul.
Menghadapi novel ini, bagi Sahlul, mengingatkan bahwa bangsa ini menghadapi problem kultural luar biasa. Menurut dia, sulit melakukan revolusi kultural karena tak ada pendidikan kultural sebagai dasar.
Chris Pangihutan Purba, pembicara ketiga, mengatakan bahwa ada penciptaan transgenik yang justru melemahkan kebangsaan di negeri ini. Itu dibicarakan dalam novel Lanang.
”Kita terlambat buat resistensi, namun sistem sudah masuk, diperparah kondisi intelektualisasi seperti ini. Alternatif hegemoni itu menjadi bunuh diri. Novel Lanang mengisahkan problem yang ada di Nusantara termasuk problem dunia medis. Masalah sistem global di dunia kesehatan telah dibahas di novel ini,” ujar Chris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar