Yuyuk Sugarman
http://www.sinarharapan.co.id/
Yogyakarta – Dunia pedalangan bisa dibilang merupakan dominasi laki-laki. Namun, apakah dominasi ini mutlak? Tentu saja tidak, saat ini sudah ada beberapa dalang perempuan, meski jumlahnya sangat sedikit, bisa dihitung dengan jari tangan.
Lewat semangat kesetaraan dan tentunya propaganda untuk menunjukkan partisipasi kaum perempuan di sektor publik dalam arti luas dan positif, Pusat Studi Wanita (PSW) Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar pagelaran wayang kulit dengan dalang perempuan.
Tak tanggung-tanggung, tiga dalang dihadirkan untuk pentas di halaman Pusat Studi Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, Kamis (17/7) malam, dalam rangka rangkaian acara Seminar Internasional ”Women in Public Sector”.
Bahkan, salah satu dalang perempuan tersebut adalah warga negara Jepang, Hanae Kobayashi, mahasiswa ISI Surakarta. Di samping itu, dihadirkan Ganeswara Sayekti (17) yang baru saja lulus SMA. Sementara satu dalang lagi yakni Ny Sophia Penicarito dari Kebumen.
Pada pentas malam itu, Kobayashi memainkan lakon ”Srikandi Meguru Manah”. Cerita ini mengisahkan Srikandi, putri raja Pancala, Drupada, berguru memanah dengan Arjuna. Srikandi dikenal dalam pewayangan adalah putri yang tak selalu puas dengan kemampuan yang telah dimiliki.
Ia ingin selalu maju dengan belajar untuk menambah pengetahuan serta wawasan. Ia misalnya sudah mahir dalam olah kanuragan seperti bermain keris dan ikut perang. Namun toh ia tetap ingin meningkatkan keterampilannya dengan belajar memanah.
Kalaupun ia memilih membawakan cerita ”Srikandi Meguru Manah”, karena hal ini sesuai dengan tema seminar yang diselenggarakan. Bicara soal perempuan, menurut Kobayashi, saat ini sudah ada kesetaraan dan peran perempuan di berbagai bidang sudah diakui dan kerjanya seperti laki-laki.
”Yang menjadi masalah sekarang ini malah perempuan lebih mementingkan karier dan tak ingin punya anak. Kalau saya ini harus seimbang,” tuturnya.
Penampilan Kobayashi cukup mencuri perhatian penonton. Selain jarang melihat perempuan dalang bahkan dari Jepang, cara memainkan wayang cukup lihai. Dalam suluk ataupun melakukan dialog, ia pun cukup fasih, meski aksennya masih kental Jepang. Namun, ia tak canggung dalam memainkan wayang dari adegan ke adegan yang lain dengan iringan gending-gending. Ia paham, mengingat selama tiga tahun sebelumnya telah belajar karawitan di ISI Surakarta.
”Tapi, belajar mendalang baru setahun ini. Untuk pentas kali ini saya mempersiapkan diri selama dua bulan. Saya belajar pagi, siang dan malam,” kata Kobayashi.
Secara terus terang Kobayashi sebelumnya hanya ingin belajar seni karawitan. Hanya saja, tuturnya, ia merasa seni karawitan tak bisa dikuasainya. Karena itu ia lantas mengambil studi tentang pedalangan.
”Wayang kulit ini sangat menarik. Iringan musiknya, ceritanya, filosofinya dan juga bentuk wayang itu sendiri yang artistik,” ungkapnya.
Menurut rencana, Kobayashi akan lebih memperdalam seni pedalangan dalam setahun lagi.
Tahun depan, ia akan pulang ke Jepang dan memperkenalkan wayang di negaranya.
”Masyarakat Jepang banyak yang belum tahu tentang wayang, karena itu saya ingin memopulerkannya,” tuturnya lagi.
Diakui Kobayashi, belajar mendalang itu sulit. Terutama ketika memainkan keprak (alat musik yang dipukulkan ke kotak dan harus dimainkan dengan kaki).
”Ini sulit sekali karena iramanya harus ajeg. Terus terang saya belum mahir dalam hal ini,” tambahnya.
Tak hanya itu, Kobayashi juga mengaku agak kesulitan jika tancep kayon atau pas memainkan gunungan untuk menandai perubahan adegan per adegan.
”Memainkan ini sangat berat. Untuk perempuan ketika memainkan agak keberatan, karena memang ini kesenian laki-laki. Saya juga hanya bisa bermain satu jam saja, tak kuat kalau disuruh semalam suntuk,” kata Kobayashi yang mengaku telah melakukan pentas selama lima kali, di antaranya di Klaten.
Penampilan Kobayashi mendapat pujian dari dosennya yang juga guru mendalang, Hariyadi. ”Dalam laras dia tidak pernah blero (sumbang atau fales). Hanya dalam keprakan yang masih belum dikuasai. Untuk yang satu ini memang harus belajar lama, tapi dia cukup kuat,” ungkap Haryadi.
http://www.sinarharapan.co.id/
Yogyakarta – Dunia pedalangan bisa dibilang merupakan dominasi laki-laki. Namun, apakah dominasi ini mutlak? Tentu saja tidak, saat ini sudah ada beberapa dalang perempuan, meski jumlahnya sangat sedikit, bisa dihitung dengan jari tangan.
Lewat semangat kesetaraan dan tentunya propaganda untuk menunjukkan partisipasi kaum perempuan di sektor publik dalam arti luas dan positif, Pusat Studi Wanita (PSW) Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar pagelaran wayang kulit dengan dalang perempuan.
Tak tanggung-tanggung, tiga dalang dihadirkan untuk pentas di halaman Pusat Studi Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, Kamis (17/7) malam, dalam rangka rangkaian acara Seminar Internasional ”Women in Public Sector”.
Bahkan, salah satu dalang perempuan tersebut adalah warga negara Jepang, Hanae Kobayashi, mahasiswa ISI Surakarta. Di samping itu, dihadirkan Ganeswara Sayekti (17) yang baru saja lulus SMA. Sementara satu dalang lagi yakni Ny Sophia Penicarito dari Kebumen.
Pada pentas malam itu, Kobayashi memainkan lakon ”Srikandi Meguru Manah”. Cerita ini mengisahkan Srikandi, putri raja Pancala, Drupada, berguru memanah dengan Arjuna. Srikandi dikenal dalam pewayangan adalah putri yang tak selalu puas dengan kemampuan yang telah dimiliki.
Ia ingin selalu maju dengan belajar untuk menambah pengetahuan serta wawasan. Ia misalnya sudah mahir dalam olah kanuragan seperti bermain keris dan ikut perang. Namun toh ia tetap ingin meningkatkan keterampilannya dengan belajar memanah.
Kalaupun ia memilih membawakan cerita ”Srikandi Meguru Manah”, karena hal ini sesuai dengan tema seminar yang diselenggarakan. Bicara soal perempuan, menurut Kobayashi, saat ini sudah ada kesetaraan dan peran perempuan di berbagai bidang sudah diakui dan kerjanya seperti laki-laki.
”Yang menjadi masalah sekarang ini malah perempuan lebih mementingkan karier dan tak ingin punya anak. Kalau saya ini harus seimbang,” tuturnya.
Penampilan Kobayashi cukup mencuri perhatian penonton. Selain jarang melihat perempuan dalang bahkan dari Jepang, cara memainkan wayang cukup lihai. Dalam suluk ataupun melakukan dialog, ia pun cukup fasih, meski aksennya masih kental Jepang. Namun, ia tak canggung dalam memainkan wayang dari adegan ke adegan yang lain dengan iringan gending-gending. Ia paham, mengingat selama tiga tahun sebelumnya telah belajar karawitan di ISI Surakarta.
”Tapi, belajar mendalang baru setahun ini. Untuk pentas kali ini saya mempersiapkan diri selama dua bulan. Saya belajar pagi, siang dan malam,” kata Kobayashi.
Secara terus terang Kobayashi sebelumnya hanya ingin belajar seni karawitan. Hanya saja, tuturnya, ia merasa seni karawitan tak bisa dikuasainya. Karena itu ia lantas mengambil studi tentang pedalangan.
”Wayang kulit ini sangat menarik. Iringan musiknya, ceritanya, filosofinya dan juga bentuk wayang itu sendiri yang artistik,” ungkapnya.
Menurut rencana, Kobayashi akan lebih memperdalam seni pedalangan dalam setahun lagi.
Tahun depan, ia akan pulang ke Jepang dan memperkenalkan wayang di negaranya.
”Masyarakat Jepang banyak yang belum tahu tentang wayang, karena itu saya ingin memopulerkannya,” tuturnya lagi.
Diakui Kobayashi, belajar mendalang itu sulit. Terutama ketika memainkan keprak (alat musik yang dipukulkan ke kotak dan harus dimainkan dengan kaki).
”Ini sulit sekali karena iramanya harus ajeg. Terus terang saya belum mahir dalam hal ini,” tambahnya.
Tak hanya itu, Kobayashi juga mengaku agak kesulitan jika tancep kayon atau pas memainkan gunungan untuk menandai perubahan adegan per adegan.
”Memainkan ini sangat berat. Untuk perempuan ketika memainkan agak keberatan, karena memang ini kesenian laki-laki. Saya juga hanya bisa bermain satu jam saja, tak kuat kalau disuruh semalam suntuk,” kata Kobayashi yang mengaku telah melakukan pentas selama lima kali, di antaranya di Klaten.
Penampilan Kobayashi mendapat pujian dari dosennya yang juga guru mendalang, Hariyadi. ”Dalam laras dia tidak pernah blero (sumbang atau fales). Hanya dalam keprakan yang masih belum dikuasai. Untuk yang satu ini memang harus belajar lama, tapi dia cukup kuat,” ungkap Haryadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar