Tutut Herlina
http://www.sinarharapan.co.id/
Jakarta – Di salah satu ruangan Hotel Atlet Century sejarah tentang bumi nusantara seolah-olah direka ulang. Melalui monolog Putu Widjaya yang berkisah tentang perjalanan 220 juta burung perkutut, semuanya tampak begitu gamblang, bahwa kemerdekaan yang diproklamasikan pertengahan abad ke-20 lalu oleh Soekarno dan Hatta ternyata belum sampai tujuan.
Cerita diawali dengan munculnya seorang laki-laki tua, kaya raya, tetapi sedang gelisah. Ia memiliki 220 juta burung perkutut di halaman rumahnya. Setiap pagi, burung-burung itu berkicau merdu. Tak ada siapa pun yang bisa diajak bicara oleh pak tua yang sedang gelisah itu. Hingga akhirnya, ia mendatangi salah satu sangkar.
Di sana, ia mulai berbicara panjang lebar tentang arti kemerdekaan, sedangkan si perkutut yang ada dalam sangkar itu menjadi pendengar yang setia.
“Bukan ini kemerdekaan yang kumaksud. Bukan ini. Kemerdekaan yang kumaksud adalah keadilan dan kesejahteraan,” kata laki-laki tua itu.
Usai mengatakan itu, pak tua menjadi seperti orang gila. Ia buka sangkar itu dan dengan kasar menyuruh penghuninya keluar supaya bisa menghirup udara kemerdekaan. Ia menginginkan burung itu terbang bebas menuju langit biru yang cerah. Namun, betapa marahnya pak tua itu, ketika si perkutut menolak untuk meninggalkan sangkarnya.
Si perkutut berargumentasi, jika meninggalkan sangkar, maka ia akan menjadi sasaran tembak dan bahkan mungkin dimangsa kucing. Selain itu, ia tak bisa lagi menikmati kemudahan-kemudahan yang didapatkan saat di dalam sangkar. Makanan, minuman dan terkadang buah-buahan datang dengan sendiri, tinggal santap.
Tak habis pikir, pak tua kemudian memukul sangkar si perkutut dengan sapu lidi dan lantas membantingnya ke tanah. Tapi si perkutut bergeming. Saking jengkelnya, pak tua pun akhirnya mengambil kayu yang terbungkus koran. Dia pukul sangkar itu berulang-ulang, hingga hancur berantakan. Si perkutut pun akhirnya terkulai, tak bernyawa, disaksikan oleh jutaan perkutut lainnya.
Pak tua yang jengkel dengan kepengecutan si perkutut itu semakin menjadi gila. Ia buka semua sangkar, hingga 220 juta perkututnya itu terbang bebas. Ia perintahkan burung-burung itu untuk mencari kemerdekaan sejati. Tak seperti si perkutut yang pengecut itu, 220 juta perkutut yang baru dilepas itu dengan senang hati mengepakkan sayapnya seperti keinginan pak tua, menuju langit biru.
Di sana sudah terhampar luas cita-cita kemerdekaan, keadilan dan kesejahteraan. Di angkasa itu, 220 juta perkutut berkicau bersama, hingga suaranya menembus bumi dengan sangat merdu. Uniknya, melihat 220 juta burung perkutut terbang bebas, si perkutut yang pengecut itu tiba-tiba bangun, ikut terbang bebas dan berkicau bersama teman-temannya. Ternyata si perkutut itu hanya pura-pura mati. ”Dasar perkutut oportunis,” kata pak tua jengkel.
Kini pak tua itu tinggal sendirian, menatapi sangkar-sangkar yang kosong. Ia termangu, dan terus termangu. Ia bahkan tak kunjung sadar ketika 220 juta perkutut yang terbang di atasnya buang air besar serentak, dan kotorannya menempel di atas kepala pak tua.
”Inilah pemimpin yang bingung, yang tidak tahu apa yang dikehendaki oleh rakyatnya,” kata Putu mengakhiri monolognya, Sabtu (5/7) lalu, diiringi dengan kicauan perkutut yang pelan-pelan berubah menjadi sebuah lagu kepahlawanan karya Iwan Fals. Seolah menyayat kalbu, seorang ibu yang duduk di bangku penonton terlihat meneteskan air mata.
Lewat cerita ini, Putu seolah ingin kembali mengatakan, generasi ke depan di negeri ini harus bangkit. Mereka harus menjadi lokomotif baru, supaya cita-cita kemerdekaan yakni keadilan dan kesejahteraan bisa terwujud di negeri ini, meskipun harus membayarnya dengan biaya mahal.
Karena keadilan dan kesejahteraan itulah hakikat sejati kemerdekaan. Bukan hanya hitung-hitungan teritorial seperti yang dipahami oleh para pemimpin bangsa ini.
http://www.sinarharapan.co.id/
Jakarta – Di salah satu ruangan Hotel Atlet Century sejarah tentang bumi nusantara seolah-olah direka ulang. Melalui monolog Putu Widjaya yang berkisah tentang perjalanan 220 juta burung perkutut, semuanya tampak begitu gamblang, bahwa kemerdekaan yang diproklamasikan pertengahan abad ke-20 lalu oleh Soekarno dan Hatta ternyata belum sampai tujuan.
Cerita diawali dengan munculnya seorang laki-laki tua, kaya raya, tetapi sedang gelisah. Ia memiliki 220 juta burung perkutut di halaman rumahnya. Setiap pagi, burung-burung itu berkicau merdu. Tak ada siapa pun yang bisa diajak bicara oleh pak tua yang sedang gelisah itu. Hingga akhirnya, ia mendatangi salah satu sangkar.
Di sana, ia mulai berbicara panjang lebar tentang arti kemerdekaan, sedangkan si perkutut yang ada dalam sangkar itu menjadi pendengar yang setia.
“Bukan ini kemerdekaan yang kumaksud. Bukan ini. Kemerdekaan yang kumaksud adalah keadilan dan kesejahteraan,” kata laki-laki tua itu.
Usai mengatakan itu, pak tua menjadi seperti orang gila. Ia buka sangkar itu dan dengan kasar menyuruh penghuninya keluar supaya bisa menghirup udara kemerdekaan. Ia menginginkan burung itu terbang bebas menuju langit biru yang cerah. Namun, betapa marahnya pak tua itu, ketika si perkutut menolak untuk meninggalkan sangkarnya.
Si perkutut berargumentasi, jika meninggalkan sangkar, maka ia akan menjadi sasaran tembak dan bahkan mungkin dimangsa kucing. Selain itu, ia tak bisa lagi menikmati kemudahan-kemudahan yang didapatkan saat di dalam sangkar. Makanan, minuman dan terkadang buah-buahan datang dengan sendiri, tinggal santap.
Tak habis pikir, pak tua kemudian memukul sangkar si perkutut dengan sapu lidi dan lantas membantingnya ke tanah. Tapi si perkutut bergeming. Saking jengkelnya, pak tua pun akhirnya mengambil kayu yang terbungkus koran. Dia pukul sangkar itu berulang-ulang, hingga hancur berantakan. Si perkutut pun akhirnya terkulai, tak bernyawa, disaksikan oleh jutaan perkutut lainnya.
Pak tua yang jengkel dengan kepengecutan si perkutut itu semakin menjadi gila. Ia buka semua sangkar, hingga 220 juta perkututnya itu terbang bebas. Ia perintahkan burung-burung itu untuk mencari kemerdekaan sejati. Tak seperti si perkutut yang pengecut itu, 220 juta perkutut yang baru dilepas itu dengan senang hati mengepakkan sayapnya seperti keinginan pak tua, menuju langit biru.
Di sana sudah terhampar luas cita-cita kemerdekaan, keadilan dan kesejahteraan. Di angkasa itu, 220 juta perkutut berkicau bersama, hingga suaranya menembus bumi dengan sangat merdu. Uniknya, melihat 220 juta burung perkutut terbang bebas, si perkutut yang pengecut itu tiba-tiba bangun, ikut terbang bebas dan berkicau bersama teman-temannya. Ternyata si perkutut itu hanya pura-pura mati. ”Dasar perkutut oportunis,” kata pak tua jengkel.
Kini pak tua itu tinggal sendirian, menatapi sangkar-sangkar yang kosong. Ia termangu, dan terus termangu. Ia bahkan tak kunjung sadar ketika 220 juta perkutut yang terbang di atasnya buang air besar serentak, dan kotorannya menempel di atas kepala pak tua.
”Inilah pemimpin yang bingung, yang tidak tahu apa yang dikehendaki oleh rakyatnya,” kata Putu mengakhiri monolognya, Sabtu (5/7) lalu, diiringi dengan kicauan perkutut yang pelan-pelan berubah menjadi sebuah lagu kepahlawanan karya Iwan Fals. Seolah menyayat kalbu, seorang ibu yang duduk di bangku penonton terlihat meneteskan air mata.
Lewat cerita ini, Putu seolah ingin kembali mengatakan, generasi ke depan di negeri ini harus bangkit. Mereka harus menjadi lokomotif baru, supaya cita-cita kemerdekaan yakni keadilan dan kesejahteraan bisa terwujud di negeri ini, meskipun harus membayarnya dengan biaya mahal.
Karena keadilan dan kesejahteraan itulah hakikat sejati kemerdekaan. Bukan hanya hitung-hitungan teritorial seperti yang dipahami oleh para pemimpin bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar