Yang Tak Terelakkan; Kerusakan
Nyalang matahari berkurang bersama hari merembang petang. Perlahan cahaya kuning keemasannya pudar memerah, tak lagi menyilaukan, menjadikan senja sebagai waktu istirah.
Di beranda sebuah rumah tepat di hadapanku, seorang laki-laki duduk dalam ayunan kursi goyang. Menatap jauh ke ruas jalan, di mana deru keseharian melintas pulang. Waktu yang tercipta menjadikan hari-hari tak seperti dulu.
Demikianlah. Sudah menjadi wataknya, sesuatu yang bersifat jasad, materi, raga, fisik menjadi sempurna —berguna— dari ketiadaannya, lantas terlindas dan menjadi rusak. Dari potongan kayu-kayu, tersusun menjadi kursi, lantas menjadi usang. Dari sepai-sepai onderdilnya, terakit menjadi sepeda motor, maka bertambah hari, tentu saja bertambah rusak. Dari kelahirannya sebagai bayi, manusia menjadi bebas bergerak dan menjelajah, lantas tua, melemah, dan rusak —mati—.
Tak lagi seperti dulu, dalam ingatanku tentang laki-laki itu. Usia menjadikan helai-helai rambut di kepalanya memutih dan meranggas jatuh. Usia menggerogoti kuat tubuhnya, menyita makanan-makanan kesukaannya, menghalangi laju kendaraannya, memangkas gerak sekian banyak aktifitasnya. Dan sebagainya.
Dalam diam memperhatikan laki-laki itu yang terus menatap jauh ke ruas jalan, aku berpikir bahwa fisik berlainan dengan non fisik. Jiwa. Ruh. Bersama perjalanan fisik yang menjadi rusak, baiknya ruh, jiwa, bertambah lebih mengarah sempurna. Yah, begitulah semestinya bagi manusia.
Sebentar dengan susah payah laki-laki itu beranjak. Rapuh melangkah dengan bantuan tongkat di tangan. Hari bertambah petang. Tak terelakkan.
Senyap Masa Lalu
Sendiri, laki-laki tua duduk di amben bambu di halaman rumah. Berkendara asap rokok kretek, mata laki-laki tua itu menembus remang malam di sela-sela dedaunan. Sepai-sepai waktu yang menumpuk tebal di masa lalu, acak terbuka di kepalanya.
Seperti kesempatan-kesempatan sebelumnya, laki-laki tua itu baru saja bercerita kepada cucunya; anak laki-laki sepuluh tahun yang telah satu tahunan ditinggal mati bapak dan ibunya dalam sebuah kecelakaan.
Selain masa lalu dari hidup manusia, apalagi yang bisa diceritakan kepada generasi berikutnya?! Sungguh, masa depan bagi manusia hanyalah sebuah rencana. Dan apalagi yang layak diceritakan kepada anak-cucu, selain sesuatu yang baik dan kebanggaan di masa lalu?! Seperti cerita-cerita sebelumnya, itulah yang kembali dilanggengkan laki-laki tua itu di kepala si cucu bersama harapan supaya ia meneladaninya dan tidak berbuat yang meresahkan.
Dan kini, sepeninggal si cucu masuk rumah lantaran malam melarut dengan udara yang mendinginkan badan, seperti juga pada kesempatan-kesempatan sebelumnya, ia kembali teringatkan pada kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya, yang dilanggengkan waktu; masa lalu. Juga kesalahannya; saat dia mengusir dan tak mengakui lagi anak perempuannya tersebab mencintai laki-laki yang tak pernah diharapkan menjadi menantunya. Tak lagi sebagai bapak, hingga mereka berdua meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan satu tahunan yang lalu, meninggalkan anak laki-laki sebatang kara.
Sendiri, laki-laki tua itu masih duduk di amben bambu di halaman rumah. Sementara malam bertambah larut. Sunyi dan dingin. Mungkin seperti pula, masa lalu yang terus membuntuti usia manusia. Senyap. (*) .
Rumah Tak Sempurna
Di tepi perempatan jalan itu, sebuah rumah tinggal rangkaian pondasi, dinding, atap, dan ubin tak sempurna. Tangan-tangan yang tak dicuci terlebih dulu, memberikan bekas hitam di dinding bercat rapi. Kian lebar membunuh panorama. Potret-potret keluarga tertindih pecahan kaca pigura.
Dasi kantor, sanggul, dan tas sekolah dengan aliran air kata-kata membunuh waktu ke gang-gang yang pernah dikutuk sebelumnya, di antara orang-orang yang onani dan masturbasi, membayangkan kekasih-kekasih yang telah pergi.
“Duhai, kekasih. Di mana kau bersembunyi?!”
Di jalan itu, sebuah rumah tinggal rangkaian pondasi, dinding, atap, dan ubin tak sempurna. Kulihat ada yang membuka pintu, setelah mendengar ratap lirih kekasih dari bawah tumpukan potret-potret keluarga yang tertindih pecahan kaca pigura.
Nyalang matahari berkurang bersama hari merembang petang. Perlahan cahaya kuning keemasannya pudar memerah, tak lagi menyilaukan, menjadikan senja sebagai waktu istirah.
Di beranda sebuah rumah tepat di hadapanku, seorang laki-laki duduk dalam ayunan kursi goyang. Menatap jauh ke ruas jalan, di mana deru keseharian melintas pulang. Waktu yang tercipta menjadikan hari-hari tak seperti dulu.
Demikianlah. Sudah menjadi wataknya, sesuatu yang bersifat jasad, materi, raga, fisik menjadi sempurna —berguna— dari ketiadaannya, lantas terlindas dan menjadi rusak. Dari potongan kayu-kayu, tersusun menjadi kursi, lantas menjadi usang. Dari sepai-sepai onderdilnya, terakit menjadi sepeda motor, maka bertambah hari, tentu saja bertambah rusak. Dari kelahirannya sebagai bayi, manusia menjadi bebas bergerak dan menjelajah, lantas tua, melemah, dan rusak —mati—.
Tak lagi seperti dulu, dalam ingatanku tentang laki-laki itu. Usia menjadikan helai-helai rambut di kepalanya memutih dan meranggas jatuh. Usia menggerogoti kuat tubuhnya, menyita makanan-makanan kesukaannya, menghalangi laju kendaraannya, memangkas gerak sekian banyak aktifitasnya. Dan sebagainya.
Dalam diam memperhatikan laki-laki itu yang terus menatap jauh ke ruas jalan, aku berpikir bahwa fisik berlainan dengan non fisik. Jiwa. Ruh. Bersama perjalanan fisik yang menjadi rusak, baiknya ruh, jiwa, bertambah lebih mengarah sempurna. Yah, begitulah semestinya bagi manusia.
Sebentar dengan susah payah laki-laki itu beranjak. Rapuh melangkah dengan bantuan tongkat di tangan. Hari bertambah petang. Tak terelakkan.
Senyap Masa Lalu
Sendiri, laki-laki tua duduk di amben bambu di halaman rumah. Berkendara asap rokok kretek, mata laki-laki tua itu menembus remang malam di sela-sela dedaunan. Sepai-sepai waktu yang menumpuk tebal di masa lalu, acak terbuka di kepalanya.
Seperti kesempatan-kesempatan sebelumnya, laki-laki tua itu baru saja bercerita kepada cucunya; anak laki-laki sepuluh tahun yang telah satu tahunan ditinggal mati bapak dan ibunya dalam sebuah kecelakaan.
Selain masa lalu dari hidup manusia, apalagi yang bisa diceritakan kepada generasi berikutnya?! Sungguh, masa depan bagi manusia hanyalah sebuah rencana. Dan apalagi yang layak diceritakan kepada anak-cucu, selain sesuatu yang baik dan kebanggaan di masa lalu?! Seperti cerita-cerita sebelumnya, itulah yang kembali dilanggengkan laki-laki tua itu di kepala si cucu bersama harapan supaya ia meneladaninya dan tidak berbuat yang meresahkan.
Dan kini, sepeninggal si cucu masuk rumah lantaran malam melarut dengan udara yang mendinginkan badan, seperti juga pada kesempatan-kesempatan sebelumnya, ia kembali teringatkan pada kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya, yang dilanggengkan waktu; masa lalu. Juga kesalahannya; saat dia mengusir dan tak mengakui lagi anak perempuannya tersebab mencintai laki-laki yang tak pernah diharapkan menjadi menantunya. Tak lagi sebagai bapak, hingga mereka berdua meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan satu tahunan yang lalu, meninggalkan anak laki-laki sebatang kara.
Sendiri, laki-laki tua itu masih duduk di amben bambu di halaman rumah. Sementara malam bertambah larut. Sunyi dan dingin. Mungkin seperti pula, masa lalu yang terus membuntuti usia manusia. Senyap. (*) .
Rumah Tak Sempurna
Di tepi perempatan jalan itu, sebuah rumah tinggal rangkaian pondasi, dinding, atap, dan ubin tak sempurna. Tangan-tangan yang tak dicuci terlebih dulu, memberikan bekas hitam di dinding bercat rapi. Kian lebar membunuh panorama. Potret-potret keluarga tertindih pecahan kaca pigura.
Dasi kantor, sanggul, dan tas sekolah dengan aliran air kata-kata membunuh waktu ke gang-gang yang pernah dikutuk sebelumnya, di antara orang-orang yang onani dan masturbasi, membayangkan kekasih-kekasih yang telah pergi.
“Duhai, kekasih. Di mana kau bersembunyi?!”
Di jalan itu, sebuah rumah tinggal rangkaian pondasi, dinding, atap, dan ubin tak sempurna. Kulihat ada yang membuka pintu, setelah mendengar ratap lirih kekasih dari bawah tumpukan potret-potret keluarga yang tertindih pecahan kaca pigura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar