Andry Deblenk
_Ponorogo Pos
Apabila berbicara tentang Ponorogo, kita tidak dapat melepaskan diri dari nilai-nilai budaya. Seperti kita ketahui bersama, ada dua hal yang dapat kita tengarai. Pertama, adalah substansi dari kesenian reyog itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, bahwasanya kesenian adiluhung ini made in asli dari daerah Ponorogo. yang sejak dulu menjadi ikon bagi masyarakat Ponorogo. Kedudukan reyog sangat vital, nyaris tak tergantikan.
Kedua, jika kita flash back pada sejarah berdirinya wilayah ini, pastilah kita mengenal nama Raden Bathoro Katong. Di dalam buku Babad Ponorogo yang ditulis oleh Poerwowidjojo diceritakan bahwa asal-usul nama Ponorogo bermula dari kesepakatan dan musyawarah antara Raden Katong dan Ki Ageng Mirah pada hari jum’at malam bulan purnama. Bertempat di tanah lapang dekat gumuk ( wilayah Katongan sekarang ). Di dalam musyawarah tersebut disepakati bahwa kota yang akan didirikan nanti dinamakan “Pramana raga” yang akhirnya lama kelamaan menjadi Ponorogo. Nah berawal dari sinil terbentuklah budaya Ponorogo yang baru.
Ponorogo dahulu merupakan tanah perdikan di bawah kekuasaan kerajaan Demak Bintoro, sebuah kerajaan Islam pertama di tanah Jawa ini. Bersama Ki Ageng Mirah, Raden Batoro Katong bahu-membahu membangun kadipaten ini, terlebih lagi dalam sisi religiusitas. Pengaruh Islam berkembang dengan pesat. Hal ini dapat dibuktikan dengan tumbuh suburnya pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama islam. Pesantren-pesantren tersebut (baik salafiyah maupun modern) menyebar hampir di seantero wilayah ini, Beberapa pesantren diantaranya pesantren Gebangtinatar, Pondok Modern Gontor,dan Wali Songo menjadi pusat studi islam terkemuka. Berdasarkan hal di atas, dapatlah kita tarik implikasi pencitraan Ponorogo sebagai kota santri, lengkap dengan elemen kebudayaannya. Poros ini berdampingan mesra dengan komunitas seni reyog beserta elemennya yang ”sebenarnya” kontradiktif.
Berangkat dari hal di atas, pada event grebeg suro 2010 komunitas seni rupa Shor Zambou di bawah navigasi Abdoel Karim Maspoor menggelar pameran bersama di gedung Sasana Praja Kabupaten Ponorogo. Pameran ini diikuti sebagain besar perupa lokal se-Kabupaten Ponorogo. Tema besar pameran ini adalah “Sitikultur(a)”. Banyak perupa yang mengeksplore tentang kebudayaan tradisional dan berbagai dinamikanya. Hal ini terlihat jelas pada karya-karya para perupa yang sebagian besar mengeksplorasi kesenian reyog Ponorogo dan seni kaligrafi dalam berbagai macam visual. Bahasa ungkap para perupa sangat beragam mulai dari lukisan, instalasi, dan performance art.
Tema ”Sitikultur(a)” berangkat dari karakter budaya masyarakat Ponorogo yang demikian kental. Siti (dalam Bahasa Jawa) adalah tanah, sedangkan Kultur berarti budaya. Tanah budaya dapat dimaknai sebagai lahan subur untuk menanami dan menyiangi pohon-pohon kebudayaan, terlebih bagi para pelaku budaya. Dalam konteks seni budaya, keberadaan seni (karya seni) memiliki korelasi kuat dengan ranah kebudayaan. Hal inilah yang membentuk struktur kebudayaan yakni kesenian, birokrasi, seniman-budayawan, dan elemen masyarakat yang inheren. Dari hal diatas, kiranya image Ponorogo sebagai tanah budaya selayaknya sudah matuti untuk disandang
Kata ”Sitikultur(a)” terinspirasi dari istilah biologi hortikultur(a) yang berarti tanaman budidaya. Kecenderungan dua kata ini sama sekali tidak berkaitan, namun dari esensial rasa, kedua kata ini memiliki ”Perselingkuhan yang erat”. Kok bisa…??? tanaman budidaya merupakan metafor dari kebudayaan itu sendiri. Secara realistik keduanya memerlukan ikhtiar dan tindakan logis. Bukankah kebudayaan teramat perlu untuk di”budidayakan” dan di uri-uri kelestariannya? mengingat Ponorogo secara eksplisit terkenal dengan slogannya sebagai bumi reyog yang sarat budaya.
Dewasa ini perkembangan budaya lokal mendapat kompetitor dari wilayah seberang. Budaya asing (modern) berlari kencang memasuki kawasan ini. Penetrasi budaya modern frontal menyerang dari berbagai lini. Hal ini seakan membentuk peradaban baru yang memengaruhi pola pikir dan sudut pandang masyarakat. Suatu hal yang patut diwaspadai, terlebih bagi keadiluhungan seni reyog maupun imanensi kultur pesantren. Namun, tidak semua kebudayaan asing berdampak negatif. Toh masih ada sisi positif yang dapat kita cari dari peradaban modernis tersebut.
Tema ”Sitikultur(a)” diharapkan dapat menggaungkan nama Ponorogo sendiri dalam perpustakaan kebudayaan nasional. Atau paling tidak, tema ini menjadi tonggak awal bagi karakteristik Ponorogo sebagai tanah budaya. Mungkin kedudukannya sejajar dengan Bali, Surakarta, atau Yogyakarta yang terkenal dengan ritual, kearifan lokal, arsitektur, koreografi, dan aktifitas keseniannya yang kulturistik. Sesuatu yang tak mudah digapai mengingat masih banyaknya benang kusut kebudayaan yang belum kita urai, kita kaji, dan kita analisis secara terperinci. Selain itu peran aktif pemerintah daerah dan masyarakat (selaku apresiator, penikmat, dan kritikus seni) teramat vital demi melambungnya seni budaya Ponorogo baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional.
Seniman dan budayawan mempunyai andil besar dalam terwujudnya Sitikultur(a). Ranah kebudayaan yang luas diharapkan menjadi ladang inspirasi bagi lahirnya proses, karya, dan pemikiran kreatif. Disinilah pentingnya kita sadari hakikat nilai seni. Nilai seni terletak pada efeknya. Seni bukan hanya memberikan kesenangan. Ia harus memberikan kekuatan baru pada manusia untuk menghadapi kejahatan dan kebusukan dunia. Seni bukan tempat pelarian. Seni harus memberi toleransi, kebijaksanaan, dan kemuliaan pada manusia. Nilai seni bukan pada keindahannya, tetapi pada perbuatannya yang tepat dan benar (Somerset Mougham).
Satu harapan terbesar bersemayam di hati kita, mulai sekarang atau kelak di suatu masa. Intensitas gerak kebudayaan seyogyanya membentuk paradigma Ponorogo sebagai Sitikultur(a) yang lebih bernuansa kental, dengan aroma yang sedap menyengat. Semoga ….
_Ponorogo Pos
Apabila berbicara tentang Ponorogo, kita tidak dapat melepaskan diri dari nilai-nilai budaya. Seperti kita ketahui bersama, ada dua hal yang dapat kita tengarai. Pertama, adalah substansi dari kesenian reyog itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, bahwasanya kesenian adiluhung ini made in asli dari daerah Ponorogo. yang sejak dulu menjadi ikon bagi masyarakat Ponorogo. Kedudukan reyog sangat vital, nyaris tak tergantikan.
Kedua, jika kita flash back pada sejarah berdirinya wilayah ini, pastilah kita mengenal nama Raden Bathoro Katong. Di dalam buku Babad Ponorogo yang ditulis oleh Poerwowidjojo diceritakan bahwa asal-usul nama Ponorogo bermula dari kesepakatan dan musyawarah antara Raden Katong dan Ki Ageng Mirah pada hari jum’at malam bulan purnama. Bertempat di tanah lapang dekat gumuk ( wilayah Katongan sekarang ). Di dalam musyawarah tersebut disepakati bahwa kota yang akan didirikan nanti dinamakan “Pramana raga” yang akhirnya lama kelamaan menjadi Ponorogo. Nah berawal dari sinil terbentuklah budaya Ponorogo yang baru.
Ponorogo dahulu merupakan tanah perdikan di bawah kekuasaan kerajaan Demak Bintoro, sebuah kerajaan Islam pertama di tanah Jawa ini. Bersama Ki Ageng Mirah, Raden Batoro Katong bahu-membahu membangun kadipaten ini, terlebih lagi dalam sisi religiusitas. Pengaruh Islam berkembang dengan pesat. Hal ini dapat dibuktikan dengan tumbuh suburnya pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama islam. Pesantren-pesantren tersebut (baik salafiyah maupun modern) menyebar hampir di seantero wilayah ini, Beberapa pesantren diantaranya pesantren Gebangtinatar, Pondok Modern Gontor,dan Wali Songo menjadi pusat studi islam terkemuka. Berdasarkan hal di atas, dapatlah kita tarik implikasi pencitraan Ponorogo sebagai kota santri, lengkap dengan elemen kebudayaannya. Poros ini berdampingan mesra dengan komunitas seni reyog beserta elemennya yang ”sebenarnya” kontradiktif.
Berangkat dari hal di atas, pada event grebeg suro 2010 komunitas seni rupa Shor Zambou di bawah navigasi Abdoel Karim Maspoor menggelar pameran bersama di gedung Sasana Praja Kabupaten Ponorogo. Pameran ini diikuti sebagain besar perupa lokal se-Kabupaten Ponorogo. Tema besar pameran ini adalah “Sitikultur(a)”. Banyak perupa yang mengeksplore tentang kebudayaan tradisional dan berbagai dinamikanya. Hal ini terlihat jelas pada karya-karya para perupa yang sebagian besar mengeksplorasi kesenian reyog Ponorogo dan seni kaligrafi dalam berbagai macam visual. Bahasa ungkap para perupa sangat beragam mulai dari lukisan, instalasi, dan performance art.
Tema ”Sitikultur(a)” berangkat dari karakter budaya masyarakat Ponorogo yang demikian kental. Siti (dalam Bahasa Jawa) adalah tanah, sedangkan Kultur berarti budaya. Tanah budaya dapat dimaknai sebagai lahan subur untuk menanami dan menyiangi pohon-pohon kebudayaan, terlebih bagi para pelaku budaya. Dalam konteks seni budaya, keberadaan seni (karya seni) memiliki korelasi kuat dengan ranah kebudayaan. Hal inilah yang membentuk struktur kebudayaan yakni kesenian, birokrasi, seniman-budayawan, dan elemen masyarakat yang inheren. Dari hal diatas, kiranya image Ponorogo sebagai tanah budaya selayaknya sudah matuti untuk disandang
Kata ”Sitikultur(a)” terinspirasi dari istilah biologi hortikultur(a) yang berarti tanaman budidaya. Kecenderungan dua kata ini sama sekali tidak berkaitan, namun dari esensial rasa, kedua kata ini memiliki ”Perselingkuhan yang erat”. Kok bisa…??? tanaman budidaya merupakan metafor dari kebudayaan itu sendiri. Secara realistik keduanya memerlukan ikhtiar dan tindakan logis. Bukankah kebudayaan teramat perlu untuk di”budidayakan” dan di uri-uri kelestariannya? mengingat Ponorogo secara eksplisit terkenal dengan slogannya sebagai bumi reyog yang sarat budaya.
Dewasa ini perkembangan budaya lokal mendapat kompetitor dari wilayah seberang. Budaya asing (modern) berlari kencang memasuki kawasan ini. Penetrasi budaya modern frontal menyerang dari berbagai lini. Hal ini seakan membentuk peradaban baru yang memengaruhi pola pikir dan sudut pandang masyarakat. Suatu hal yang patut diwaspadai, terlebih bagi keadiluhungan seni reyog maupun imanensi kultur pesantren. Namun, tidak semua kebudayaan asing berdampak negatif. Toh masih ada sisi positif yang dapat kita cari dari peradaban modernis tersebut.
Tema ”Sitikultur(a)” diharapkan dapat menggaungkan nama Ponorogo sendiri dalam perpustakaan kebudayaan nasional. Atau paling tidak, tema ini menjadi tonggak awal bagi karakteristik Ponorogo sebagai tanah budaya. Mungkin kedudukannya sejajar dengan Bali, Surakarta, atau Yogyakarta yang terkenal dengan ritual, kearifan lokal, arsitektur, koreografi, dan aktifitas keseniannya yang kulturistik. Sesuatu yang tak mudah digapai mengingat masih banyaknya benang kusut kebudayaan yang belum kita urai, kita kaji, dan kita analisis secara terperinci. Selain itu peran aktif pemerintah daerah dan masyarakat (selaku apresiator, penikmat, dan kritikus seni) teramat vital demi melambungnya seni budaya Ponorogo baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional.
Seniman dan budayawan mempunyai andil besar dalam terwujudnya Sitikultur(a). Ranah kebudayaan yang luas diharapkan menjadi ladang inspirasi bagi lahirnya proses, karya, dan pemikiran kreatif. Disinilah pentingnya kita sadari hakikat nilai seni. Nilai seni terletak pada efeknya. Seni bukan hanya memberikan kesenangan. Ia harus memberikan kekuatan baru pada manusia untuk menghadapi kejahatan dan kebusukan dunia. Seni bukan tempat pelarian. Seni harus memberi toleransi, kebijaksanaan, dan kemuliaan pada manusia. Nilai seni bukan pada keindahannya, tetapi pada perbuatannya yang tepat dan benar (Somerset Mougham).
Satu harapan terbesar bersemayam di hati kita, mulai sekarang atau kelak di suatu masa. Intensitas gerak kebudayaan seyogyanya membentuk paradigma Ponorogo sebagai Sitikultur(a) yang lebih bernuansa kental, dengan aroma yang sedap menyengat. Semoga ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar