Sastra Interdisipliner

Judul Buku : Antropologi Sastra Peranan Unsur-unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif
Penulis : Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U.
Penerbit : Pustaka Pelajar, 2011
Tebal : xiv + 530 halaman
Peresensi : Nyoman Tingkat
http://www.balipost.co.id/

DALAM studi sastra telah lama dikenal adanya sosiologi sastra dan psikologi sastra. Di Indonesia, misalnya, Sosiologi Sastra ditandai dengan lahirnya buku “Sosiologi Sastra : Sebuah Pengantar Ringkas” karya Sapardi Djoko Damono, 1978. Sementara itu, Psikologi Sastra ditandai dengan lahirnya buku Sastra, Psikologi, dan Masyarakat karya Darmanto Djatman, 1985. Baik Sosiologi Sastra maupun Psikologi Sastra merupakan konvergensi dua ilmu yang berbeda. Sosiologi sastra adalah kajian sastra dalam kaitannya dengan masyarakat (bertemunya kajian sastra dan sosiologi). Di sini berlaku dalil klasik dari A.Teeuw, sastra tidak lahir dari kevakuman sosial. Sementara itu, Psikologi Sastra adalah kajian terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kejiwaan para tokohnya (bertemunya kajian sastra dan psikologi).

Jika Sosiologi Sastra dan Psikologi Sastra telah lama dikenal dalam jagat keilmuan, tidak demikian halnya Antropologi Sastra. Cikal bakal lahirnya Antroplogi Sastra menurut Kutha Ratna dalam buku ini adalah Sosiologi sastra dan Psikologi Sastra. Alasannya, semua karya fiksi mengandung aspek-aspek sosiologis, psikologis, dan antropologis (hal. 73). Sejalan dengan penjelasan Sosiologi Sastra dan Psikologi Sastra, maka Antropologi Sastra merupakan kajian sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan (bertemunya kajian sastra dan kebudayaan). Dengan mempertemukan kajian sastra dan kebudayaan, maka sesuai dengan judul buku ini Antropologi Sastra : Peranan Unsur-unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif, Kutha Ratna hendak menegaskan tujuh unsur kebudayaan universal — sebagaimana dipopulerkan Kuntjaraningrat (1974)– bisa dilacak melalui karya sastra. Melacak keterhubungan tujuh unsur kebudayaan universal itu dalam karya sastra juga menegaskan pandangan Kutha Ratna akan pentingnya kajian Sastra Interdisipliner sehingga memacunya menulis buku Antropologi Sastra ini. Sebuah studi baru yang belum banyak dikenal oleh mahasiswa jurusan sastra (Indonesia). Jika kelak kajian ini bisa dimasukkan dalam silabus mata kuliah tersendiri bagi mahasiswa jurusan sastra (Indonesia), sebagaimana telah dirintis Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya sejak 2005 (hal. 32), tentu saja berdampak ganda bagi kedua bidang ilmu yang dikembangkan.

Antropologi

Pertama, antropologi tidak saja dikaji secara monolitik oleh antropolog, tetapi juga dijadikan ilmu bantu oleh sastrawan dalam mengkaji karya sastra. Sebaliknya, karya sastra tidak saja dikaji secara sektoral oleh sastrawan, tetapi juga dimanfaatkan oleh antropolog dalam penelitian Antropologi. Walaupun disadari bahwa karya sastra cenderung bermula dari kreativitas imajinatif yang bersifat fiksional, sementara, ladang garapan antropologi bermula dari fakta-fakta empiris, tidak berarti bahwa fiksi dan fakta adalah dua hal yang berseberangan sama sekali. Hal ini misalnya telah ditegaskan Ignas Kleden (2004: 405—451), dalam esainya berjudul “Fakta dan Fiksi Tentang Fakta dan Fiksi : Imajinasi dalam Sastra dan Ilmu-Ilmu Sosial”. Alasan Kleden (2004 :426) adalah, betapapun lainnya dunia fiksi ini dari dunia sehari-hari , dunia fiksi tak mungkin terbentuk terlepas dari rujukan kepada dunia sehari-hari. Dengan demikian, baik antropologi maupun karya sastra sesungguhnya bersifat mutualistik, saling menguntungkan, saling membina, dan saling mengembangkan. Hal ini sangat menguntungkan bagi Fakultas Sastra karena kedua disiplin ilmu ini berada dalam naungannya.

Kedua, bagi mahasiswa sastra terdapat pilihan baru untuk mengembangkan pola-pola penelitian di bidang sastra. Dengan bertambahnya ladang penelitian sastra, bertambah dan berkembang pula metode penelitiannya, teorinya, dan hasilnya. Hal ini akan menambah horizon harapan bagi peneliti. Cara-cara antropolog dalam meneliti bisa diadaptasi oleh para sastrawan dalam mengkaji karya sastra. Hal ini misalnya sangat mungkin dilakukan para mahasiswa pascasarjana dalam meneliti sastra (tradisi) lisan yang bertebaran di Nusantara. Objek sastra (tradisi) lisan ini, belakangan ini disadari sebagai salah satu khazanah Nusantara yang perlu terus dikaji dan dikembangkan karena di dalamnya tidak saja terkandung kearifan lokal tetapi juga terkandung nilai kemanusiaan universal yang menembus batas global.

Oleh karena itu, Antropologi Sastra yang menawarkan beragam metode dan pendekatan dalam meneliti karya sastra, perlu dikembangkan secara maksimal. Mengapa ? Kutha Ratna (hal.5) menjelaskan dengan lima argumentasi, yaitu, sastra berkaitan dengan manusia, sastra berkaitan dengan kebudayaan, banyak masalah masa lampau yang menjadi isu utama dalam karya sastra, timbulnya minat terhadap sastra (tradisi) lisan memerlukan data penunjang yang tersedia dalam disiplin antropologi, dan perkembangan ilmu sastra semakin luas, khususnya sebagai multidisiplin.

Semua alasan itu sangat logis. Tak seorang pun yang menggugat bahwa sastra berkaitan dengan manusia karena sastra lahir dari imajinasi pengarang. Fakta kemanusiaan di seputar pengarang adalah data yang diolah melalui proses imajinatif yang dituangkan ke dalam karya sastra. Begitu pula halnya, sastra berkaitan dengan kebudayaan tak terbantahkan lagi. Sastra sebagai karya seni persisnya adalah bagian dari kebudayaan. Jadi, sastra adalah subsistem dari suprasistem kebudayaan. Dengan demikian, sastra berpotensi mengembangkan dan membesarkan kebudayaan. Sementara itu, alasan ketiga masalah masa lampau yang menjadi isu utama dalam karya sastra menegaskan bahwa pengarang meredifinisikan peristiwa masa lalu ke masa kini, dan ini sejalan dengan pandangan Umar Yunus (1985) dalam buku Dari Peristiwa ke Imanjinasi. Selanjutnya, alasan keempat dan kelima, jelas menunjukkan bahwa peluang kedua bidang ilmu ini (antropologi dan sastra) untuk saling bersentuhan dan saling membutuhkan, tak terelakkan lagi. Rintisan ke arah multidisiplin malah telah ditancapkan secara tegas oleh program Pascasarjana Kajian Budaya Unud (Magister dan Doktor) sejak berdiri yang ditandai dengan kehadiran karya siswa dari berbagai disiplin ilmu di program tersebut.

Intelektualitas

Penegasan Kutha Ratna dalam buku ini menunjukkan tingkat intelektualitas seorang guru besar yang berupaya melihat persoalan-persoalan kemanusiaan dari berbagai perspektif keilmuan. Dengan demikian, disiplin ilmu tertentu tidak menjadi dominan di satu sisi pun tidak menjadi minor di sisi lain. Kesetaraan dalam ilmu dikedepankan karena pada semua bidang keilmuan tersedia jawaban untuk keluar dari persoalan yang membelit. Dalam konteks kajian sastra, Kutha Ratna melalui buku ini telah menegaskan diri sebagai penganut kajian sastra interdisipliner.

Oleh karena itu, seyogyanya buku ini dijadikan rujukan oleh para mahasiswa, guru, ilmuwan dalam bidang sosial humaniora untuk membedah persoalan secara lebih komprehensif melalui pendekatan interdisipliner. Dengan demikian, pendekatan monodisipliner yang membuat kotak keilmuan terpisah satu sama lain mulai dipertemukan. Konvergensi dua ilmu sebagaimana ditawarkan Kutha Ratna melalui Antropologi Sastra ini diharapkan mampu menjadi jembatan penghubung di tengah kebuntuan komunikasi sastra. Tegasnya, buku ini hendak membumikan kajian sastra dalam konteks kebudayaan.

Di tulis dengan menyajikan fakta-fakta sosial kontemporer dipadu dengan analisis karya sastra masa lampau, membuat buku ini menjadi monumen yang berkisah. Walaupun disadari sendiri oleh penulisnya, terjadi tumpang tindih dalam pembahasan dengan buku-bukunya terdahulu, terbitnya buku ke-8 dari Kutha Ratna ini merupakan suatu pencapaian yang luar biasa, bagi seorang guru besar yang menjelang purnabakti. Di tengah rendahnya jurnal ilmiah yang dihasilkan oleh kaum intelektual Indonesia, sebagaimana dilansir media massa belakangan ini, kehadiran buku ini, adalah jawaban intelek atas tuduhan itu. Kutha Ratna menjawab dengan menulis buku, tidak dengan perang wacana, yang cenderung mengedepankan popularitas dengan pencapaian instan.

* Nyoman Tingkat, SMAN 1 Kuta Selatan /24 Juni 2012