Tosa Poetra
http://sastra-indonesia.com/
Budaya patriarki menyebabkan stereotipe terhadap perempuan sehingga perempuan yang menyebabkan marginalisasi perempuan, eksploitasi perempuan maupun tindak kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan sehingga perempuan merasa diperlakukan tidak adil. Para sastrawan dan tokoh publik menggambarkan tentang perempuan baik pemberontakan kaum perempuan maupun penindasan yang dialami perempuan baik melalui karya tulis sastra (novel dan puisi) maupun karya tulis non sastra( esai).
Linus Suryadi AG dalam prosa liriknya “Pengakuan Pariem”, menggambarkan sosok perempuan dalam diri tokoh pariem yang penuh dengan kepasrahan dan kesumarahan. Pramudya Ananta Toer, menggambarkan perempuan dalam diri Nyai Ontosoroh dalam karyanya “Bumi Manusia”. YB Mangunwijaya dalam novelnya “Burung-burung Rantau” menggambarkan sosok perempuan dalam diri tokoh Marieneti Dianwidhi. Ayu Utami dalam novelnya yang berjudul “SAMAN” menggambarkan sosok perempuan dalam diri tokoh Cok. (http://sastra-indonesia.com/2008/12/empat-citra-perempuan-dalam-sastra-kita, diakses 24 Februari 2012).
Di dalam puisi-puisinya WS Rendra nampak perempuan dicitrakan sebagai manusia yang tereksploitasi, rentan menjadi objek kesewenang-wenangan, sebagai manusia pelengkap (Subordinat), sebagai objek sek laki-laki, sebagai manusia yang dependen dan tidak berdaya, sebagai makluk yang juga mendambakan kehidupan normal namun memiliki posisi tawar rendah. (Eti Nurhayati, 2010: 54-82)
“Masyarakat Indonesia masih berpandangan semi Feudal dan berpandangan bahwa wanita sebagai second sexs” (Nurani Soyomukti, 2008: 120). Dengan berbagai kekurangan dan kelemahannya perempuan seringkali mendapat perlakuan tidak adil baik dalam kehidupan berumah tanggga maupun menjalani kariernya.
“Terdapat enam hambatan yang menjadi penghalang utama bagi perempuan dalam berkiprah diantaranya: hambatan fisik, hambatan teologis/ perempuan adalah pendamping laki-laki, hambatann sosial budaya/ berupa stereotiip turun temurun terhadap perempuan, hambatan psikologis, hambatan sistem kemasyarakatan, hambatan historis”. (Marwah Daud Ibrahim dalam Sumjati AS, 2001: 148-149)
“Mansour Fakih dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial menegaskan bahwa ketidak adilan gender menyebabkan marginalisasi, subordinat, kekerasan dan beban kerja berlipat”.(Mufidah CH, 2004: 126). Peran utama perempuan dalam hidupnya dipandang masyarakat hanya sebagai istri dan ibu atau perannya mengasuh anak, rumah dan keluarga. “Masyarakat mempunyai pandangan yang berbeda atas peran perempuan dan peran laki-laki dalam kehidupan”.(Nawal El-Saadawi, 2002: 57). Di negara Eropa perjuangan perempuan dalam menyetarakan haknya sampai melahirkan falsafah feminisme dan neo feminisme, namun bangsa Eropa sendiri belum merasa puas dengan hal tersebut dan masalah-masalah keperempuanan juga tak terselesaikan, malah semakin menjadi rumit.
“ Henritte Roland Holst menyatakan bahwa feminisme atau neo feminisme tak mampu menutup keretakan yang ada dalam jiwa dan perikehidupan kaum perempuan, sejak kaum perempuan mencari nafkah dengan menjadi buruh, keretakan antara perempuan sebagai ibu dan istri dan perempuan sebagai pekerja masyarakat. Jiwa perempuan rindu kebahagiaan sebagai istri dan ibu, tetapi dengan menjadi pekerja masyarakat tidak dapat memberi waktu yang cukup kepada perempuan untuk bertindak sempurna sebagai ibu atau istri. Pergerakan feminisme dan neo-feminisme ternnyata tidak mampun menyembuhkan keretakan ini”.(Sukarno, 1963: 10).
Pada jaman jahiliyah perempuan dianggap makluk hina dan diperbudak, bahkan dianggap makluk tidak berguna Pada masa Jahiliyah Islam melakukan berbagai revisi terhadap tradisi jahiliah yang hal tersebut merupakan konsep penetaraan jender dalam hukum Islam.
“Ahmad Khayyarat mengemukakan sedikitnya ada tujuh refisi Islam pada tradisi Jahiliyah: Perempuan dalam Islam adalah orang yang dilindungi hak-haknya oleh undang-undang, perempuan memiliki hak memilih pasangan hidup secara mandiri, perempuan memiliki hak melepaskan ikatan perkawinan(talak), perempuan memiliki hak mengasuh anak, perempuan mempunyai hak mengatur/ membelanjakan harta karena merupakan simbol kemerdekaan dan kehormatan perempuan bagi setiap orang, perempuan memiliki hak hidup dengan caramennetapkan larangan melakukan pembunuhan terhadap anak perempuan yang menjadi tradisi bangsa Arab” .(Mufidah CH, 2004: 59).
Islam juga telah banyak berbicara dan mengatur tentang perempuan, membela perempuan, memuliakan perempuan dan bagaimana posisi perempuan. Allah telah menciptakan perempuan sebagai pasangan laki-laki sebagaimana disampaikan dalam QS AL Dzariyat: 49 “segala sesuatu Kami ciptakan berpasangan agar kamu menyadari kebesaran Allah”. Lebih lanjut disampaikan dalam QS Albaqoroh: 228 “Bagi perempuan (istri) ada hak yang sepadan dengan kewajiban atau beban yang dipikulnya, yang harus dipenuhi dengan cara yang makruf”. Dengan demikian dalam islam perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki sesuai kodratnya, islam membebaskan perempuan dari penindasan dan kekerasan. Islam mewajibkan laki-laki untuk melindungi perempuan sebagaimana dalam QS Albaqoror; 223 : ”di atas pundak ayah terletak tanggung jawab memberikan nafkah dan perlindungan bagi ibu anak-anaknya secara makruf”.
Dalam QS An nisa : 34 “ Kaum laki-laki (suami) itu pemimpin bagi kaum perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (suami) atas sebagiann lain (istri), karena mereka (suami) telah menafkahi (istri) dengan sebagian dari harta mereka( suami). Hal tersebut kadang kala ada yang menganggap sebagai dalil patriarki sehingga menganggap laki-laki serba lebih dari perempuan namun hakikatnya perempuan dan laki-laki adalah sama, hanya pada sifat kodratinya yang berbeda yaitu kodrat wanita sebagai tempat lahirnya generasi baru/ penerus keturunan sehingga wanita dikodratkan dapat menstruasi, hamil dan menyusui sedangkan laki-laki hanya dapat memberikan benih pada rahim perempuan.
Islam memuliakan perempuan lebih dari laki-laki sebagaimana tercantum dalam hadist berikut: Dari Abu Huraira r.a, dia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rosululah SAW, lalu bertanya: “Siapa orang yang pertama berhak memperoleh kebaktian?” Rosullulah menjawab:”Ibumu”, orang tersebut bertanya lagi: “lalu siapa lagi?”, Rosullulah menjawab:”Ibumu”, orang tersebut bertanya lagi: “lalu siapa lagi?, Rosullulah menjawab:”Ibumu”, orang tersebut bertanya lagi: “lalu siapa lagi? Rosullulah menjawab:”Ayahmu”.
Lain hal di atas perempuan dicitrakan memiliki perjuangan yang kuat dalam kehidupan-nya. Freud mencitrakan perempuan memiliki sifat masokhism yaitu cenderung lebih kuat bertahan dalam penderitaan dan kesakitan. (Ety Nurhayati, 2012: xxvii).Lebih lanjut perempuan dicitrakan memiliki kasih sayang dan keibuan.Psikologis perempuan dipandang dependen, berwatak mengasuh dan merawat. (Eti Nurhayati, 2012: xxviii).
Bertolak hal tersebut di atas saya melihat bagaimana ibu saya dulu semasa saya kecil berjuang mati-matian untuk menghidupi saya karena rasa kasih sayangnya. Kini pun banyak saya melihat perempuan-perempuan bekerja dan berjuang dalam kehidupan, demi dirinya sendiri dan demi anak-anak maupun keluarga, juga cita-cita. Seperti yang dialami beberapa kenalan saya yang bekerja di Hongkong, diantaranya Mei Tri Wahyuni, Dinda Ardiana, Nurul Rahma Yanti, Yulia Kadam, Adhe, Luluk Andrayani, Astry Manies, Lintang Panjer Sore, Qania Tiana, Umy Syarofah, Wild Dove,Titik Mundari dan masih banyak lainya yang susah untuk saya sebutkan satu demi satu. Dan yang menjadikan saya lebih salut lagi pada mereka selain rasa perjuangan dan kasih sayang yang tinggi mereka juga memiliki kemampuan dalam berkarya sastra. dan mereka terus berkarya dengan semangat yang tinggi, beberapa buku mereka telah terbit dan tersebar baik di Indonesia maupun di luar negeri. Hidup Perempuan-perempuan Indonesia.
24 April 2012
http://sastra-indonesia.com/
Budaya patriarki menyebabkan stereotipe terhadap perempuan sehingga perempuan yang menyebabkan marginalisasi perempuan, eksploitasi perempuan maupun tindak kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan sehingga perempuan merasa diperlakukan tidak adil. Para sastrawan dan tokoh publik menggambarkan tentang perempuan baik pemberontakan kaum perempuan maupun penindasan yang dialami perempuan baik melalui karya tulis sastra (novel dan puisi) maupun karya tulis non sastra( esai).
Linus Suryadi AG dalam prosa liriknya “Pengakuan Pariem”, menggambarkan sosok perempuan dalam diri tokoh pariem yang penuh dengan kepasrahan dan kesumarahan. Pramudya Ananta Toer, menggambarkan perempuan dalam diri Nyai Ontosoroh dalam karyanya “Bumi Manusia”. YB Mangunwijaya dalam novelnya “Burung-burung Rantau” menggambarkan sosok perempuan dalam diri tokoh Marieneti Dianwidhi. Ayu Utami dalam novelnya yang berjudul “SAMAN” menggambarkan sosok perempuan dalam diri tokoh Cok. (http://sastra-indonesia.com/2008/12/empat-citra-perempuan-dalam-sastra-kita, diakses 24 Februari 2012).
Di dalam puisi-puisinya WS Rendra nampak perempuan dicitrakan sebagai manusia yang tereksploitasi, rentan menjadi objek kesewenang-wenangan, sebagai manusia pelengkap (Subordinat), sebagai objek sek laki-laki, sebagai manusia yang dependen dan tidak berdaya, sebagai makluk yang juga mendambakan kehidupan normal namun memiliki posisi tawar rendah. (Eti Nurhayati, 2010: 54-82)
“Masyarakat Indonesia masih berpandangan semi Feudal dan berpandangan bahwa wanita sebagai second sexs” (Nurani Soyomukti, 2008: 120). Dengan berbagai kekurangan dan kelemahannya perempuan seringkali mendapat perlakuan tidak adil baik dalam kehidupan berumah tanggga maupun menjalani kariernya.
“Terdapat enam hambatan yang menjadi penghalang utama bagi perempuan dalam berkiprah diantaranya: hambatan fisik, hambatan teologis/ perempuan adalah pendamping laki-laki, hambatann sosial budaya/ berupa stereotiip turun temurun terhadap perempuan, hambatan psikologis, hambatan sistem kemasyarakatan, hambatan historis”. (Marwah Daud Ibrahim dalam Sumjati AS, 2001: 148-149)
“Mansour Fakih dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial menegaskan bahwa ketidak adilan gender menyebabkan marginalisasi, subordinat, kekerasan dan beban kerja berlipat”.(Mufidah CH, 2004: 126). Peran utama perempuan dalam hidupnya dipandang masyarakat hanya sebagai istri dan ibu atau perannya mengasuh anak, rumah dan keluarga. “Masyarakat mempunyai pandangan yang berbeda atas peran perempuan dan peran laki-laki dalam kehidupan”.(Nawal El-Saadawi, 2002: 57). Di negara Eropa perjuangan perempuan dalam menyetarakan haknya sampai melahirkan falsafah feminisme dan neo feminisme, namun bangsa Eropa sendiri belum merasa puas dengan hal tersebut dan masalah-masalah keperempuanan juga tak terselesaikan, malah semakin menjadi rumit.
“ Henritte Roland Holst menyatakan bahwa feminisme atau neo feminisme tak mampu menutup keretakan yang ada dalam jiwa dan perikehidupan kaum perempuan, sejak kaum perempuan mencari nafkah dengan menjadi buruh, keretakan antara perempuan sebagai ibu dan istri dan perempuan sebagai pekerja masyarakat. Jiwa perempuan rindu kebahagiaan sebagai istri dan ibu, tetapi dengan menjadi pekerja masyarakat tidak dapat memberi waktu yang cukup kepada perempuan untuk bertindak sempurna sebagai ibu atau istri. Pergerakan feminisme dan neo-feminisme ternnyata tidak mampun menyembuhkan keretakan ini”.(Sukarno, 1963: 10).
Pada jaman jahiliyah perempuan dianggap makluk hina dan diperbudak, bahkan dianggap makluk tidak berguna Pada masa Jahiliyah Islam melakukan berbagai revisi terhadap tradisi jahiliah yang hal tersebut merupakan konsep penetaraan jender dalam hukum Islam.
“Ahmad Khayyarat mengemukakan sedikitnya ada tujuh refisi Islam pada tradisi Jahiliyah: Perempuan dalam Islam adalah orang yang dilindungi hak-haknya oleh undang-undang, perempuan memiliki hak memilih pasangan hidup secara mandiri, perempuan memiliki hak melepaskan ikatan perkawinan(talak), perempuan memiliki hak mengasuh anak, perempuan mempunyai hak mengatur/ membelanjakan harta karena merupakan simbol kemerdekaan dan kehormatan perempuan bagi setiap orang, perempuan memiliki hak hidup dengan caramennetapkan larangan melakukan pembunuhan terhadap anak perempuan yang menjadi tradisi bangsa Arab” .(Mufidah CH, 2004: 59).
Islam juga telah banyak berbicara dan mengatur tentang perempuan, membela perempuan, memuliakan perempuan dan bagaimana posisi perempuan. Allah telah menciptakan perempuan sebagai pasangan laki-laki sebagaimana disampaikan dalam QS AL Dzariyat: 49 “segala sesuatu Kami ciptakan berpasangan agar kamu menyadari kebesaran Allah”. Lebih lanjut disampaikan dalam QS Albaqoroh: 228 “Bagi perempuan (istri) ada hak yang sepadan dengan kewajiban atau beban yang dipikulnya, yang harus dipenuhi dengan cara yang makruf”. Dengan demikian dalam islam perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki sesuai kodratnya, islam membebaskan perempuan dari penindasan dan kekerasan. Islam mewajibkan laki-laki untuk melindungi perempuan sebagaimana dalam QS Albaqoror; 223 : ”di atas pundak ayah terletak tanggung jawab memberikan nafkah dan perlindungan bagi ibu anak-anaknya secara makruf”.
Dalam QS An nisa : 34 “ Kaum laki-laki (suami) itu pemimpin bagi kaum perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (suami) atas sebagiann lain (istri), karena mereka (suami) telah menafkahi (istri) dengan sebagian dari harta mereka( suami). Hal tersebut kadang kala ada yang menganggap sebagai dalil patriarki sehingga menganggap laki-laki serba lebih dari perempuan namun hakikatnya perempuan dan laki-laki adalah sama, hanya pada sifat kodratinya yang berbeda yaitu kodrat wanita sebagai tempat lahirnya generasi baru/ penerus keturunan sehingga wanita dikodratkan dapat menstruasi, hamil dan menyusui sedangkan laki-laki hanya dapat memberikan benih pada rahim perempuan.
Islam memuliakan perempuan lebih dari laki-laki sebagaimana tercantum dalam hadist berikut: Dari Abu Huraira r.a, dia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rosululah SAW, lalu bertanya: “Siapa orang yang pertama berhak memperoleh kebaktian?” Rosullulah menjawab:”Ibumu”, orang tersebut bertanya lagi: “lalu siapa lagi?”, Rosullulah menjawab:”Ibumu”, orang tersebut bertanya lagi: “lalu siapa lagi?, Rosullulah menjawab:”Ibumu”, orang tersebut bertanya lagi: “lalu siapa lagi? Rosullulah menjawab:”Ayahmu”.
Lain hal di atas perempuan dicitrakan memiliki perjuangan yang kuat dalam kehidupan-nya. Freud mencitrakan perempuan memiliki sifat masokhism yaitu cenderung lebih kuat bertahan dalam penderitaan dan kesakitan. (Ety Nurhayati, 2012: xxvii).Lebih lanjut perempuan dicitrakan memiliki kasih sayang dan keibuan.Psikologis perempuan dipandang dependen, berwatak mengasuh dan merawat. (Eti Nurhayati, 2012: xxviii).
Bertolak hal tersebut di atas saya melihat bagaimana ibu saya dulu semasa saya kecil berjuang mati-matian untuk menghidupi saya karena rasa kasih sayangnya. Kini pun banyak saya melihat perempuan-perempuan bekerja dan berjuang dalam kehidupan, demi dirinya sendiri dan demi anak-anak maupun keluarga, juga cita-cita. Seperti yang dialami beberapa kenalan saya yang bekerja di Hongkong, diantaranya Mei Tri Wahyuni, Dinda Ardiana, Nurul Rahma Yanti, Yulia Kadam, Adhe, Luluk Andrayani, Astry Manies, Lintang Panjer Sore, Qania Tiana, Umy Syarofah, Wild Dove,Titik Mundari dan masih banyak lainya yang susah untuk saya sebutkan satu demi satu. Dan yang menjadikan saya lebih salut lagi pada mereka selain rasa perjuangan dan kasih sayang yang tinggi mereka juga memiliki kemampuan dalam berkarya sastra. dan mereka terus berkarya dengan semangat yang tinggi, beberapa buku mereka telah terbit dan tersebar baik di Indonesia maupun di luar negeri. Hidup Perempuan-perempuan Indonesia.
24 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar