Ichwan Prasetyo
http://www.facebook.com/ichwan.prasetyo
Hari Sabtu, 29 Oktober 2011, saya datang di acara Kongres Sastra Jawa (KSJ) III di Desa Wisata Jono, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Saya mendapat jatah berbicara di sesi tentang media massa berbahasa Jawa di tengah perkembangan media massa berbahasa Indonesia. KSJ III diselenggarakan tiga hari, Jumat-Minggu, 28-30 Oktober 2011.
Lokasi acara adalah sebuah desa berjarak 22 kilometer ke arah barat dari ibukota Kabupaten Bojonegoro. Sebuah desa yang sepi tapi bersih dan asri. Untuk menuju ke lokasi acara, panitia KSJ III menyediakan fasilitas penjemputan. Peserta datang dari berbagai wilayah di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur. Sarana transportasi umum menuju lokasi acara dari ibukota Kabupaten Bojonegoro hanya bus 3/4 jurusan Bojonegoro-Nganjuk PP yang kebetulan milik Kepala Desa Jono.
Namun, bus yang hanya beberapa unit itu jeda kedatangan dan keberangkatannya sangat lama, bisa lebih dari satu jam. Angkutan yang paling cepat adalah ojek, sekali jalan Rp 20.000-Rp 25.000 tergantung negosiasi dengan pengemudinya. Dari Solo saya sengaja memilih numpang bus angkutan umum, sekalian bernostalgia zaman muda dulu ketika sering beravonturir ditemani ransel, selembar kaus cadangan, sikat gigi, handuk kecil dan buku bacaan. Saya sampai di Terminal Bus Rajekwesi Bojonegoro pukul 11.30 WIB dan jatah sesi saya adalah pukul 13.30 WIB. Demi memburu waktu, saya memutuskan menyewa ojek.
Pak Sarno, tukang ojek itu, saya temui saat salat Duhur berjemaah di musala terminal bus itu. Orangnya sederhana. Dia sebenarnya petani. Saya dikenalkan dengan Pak Sarno oleh imam musala terminal itu. “Kalau mau ngojek dengan tukang ojek yang biasa salat di sini saja,” kata imam musala yang akrab disapa Pak Mardi itu.
Di sepanjang perjalanan yang memakan waktu sekitar 20 menit, Pak Sarno bercerita tentang kehidupan sehari-harinya. Dia sebenarnya petani dan peternak. Dia punya lahan di dekat Terminal Bus Rajekwesi. Dia punya beberapa ekor sapi. Ngojek dia sebut sebagai hiburan semata. “Yah, alhamdulillah, Mas, ada hiburan. Hari ini saya bersyukur setelah salat ketemu panjenengan, dengan diawali ibadah insya Allah rezeki saya barokah,” kata dia.
Pak Sarno memang sangat ramah, khas orang Jawa. Kami berboncengan sepeda motor Honda produksi tahun ’90-an menyusuri jalan beraspal nanmulus menuju Desa Jono, sebuah desa wisata di kawasan Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro. Satu kilometer sebelum lokasi acara, kami kehujanan.
Kami berteduh di sebuah toko batik khas Bojonegoro yang belakangan saya ketahui ternyata juga milik Kepala Desa Jono. Beberapa orang yang berada di toko itu, laki-laki dan perempuan, remaja dan tua, mempersilakan kami masuk ke dalam, namun kami tolak. Saya merasakan kembali keramahan khas wong Jawa.
Dan sebagaimana jamaknya wong Jawa, kami berdua sudah cukup puas diizinkan berteduh di tritisan toko batik itu. Sesekali, mereka mengajak ngobrol kami yang kedinginan berteduh di tritisan tokok itu. Sekitar 20 menit kami berteduh.
Setelah pamit kepada penunggu toko itu, kami melanjutkan perjalanan menuju lokasi acara. Pak Sarnolah yang bertanya-tanya rute menuju tempat KSJ III. Sekitar 300 meter dari lokasi acara terlihat spanduk dan umbul-umbul yang memandu arah menuju lokasi acara, sebuah rumah berdesain joglo yang sederhana, tak jauh dari rumah Kepala Desa Jono.
***
Tiba di lokasi acara pas makan siang. Saya yang sudah kelaparan langsung ikut antre makan di belakang pendapa bangunan joglo itu. Di sana, saya melihat sastrawan dan budayawan Arswendo Atmowiloto dan begawan sastra Jawa Suparto Broto berbaur dengan peserta lain, bersama-sama makan siang di tempat yang sederhana itu.
Mereka berdua tak diistimewakan. Ikut antre mengambil makanan, kemudian memilih tempat sendiri untuk duduk. Mereka akrab berbaur dan berbincang-bincang dengan komunitas sastrawan dan pencinta sastra Jawa yang sangat beragam itu, laki-laki perempuan, tua muda, bahkan ada beberapa remaja.
Bangunan joglo itu berdinding setengah batako dan setengah kayu. Lantainya hanya plesteran semen yang kasar. Menu makan siang yang disajikan adalah menu khas masakan desa di kawasan Bojonegoro. Semua serba pedas, tapi saya suka. Benar-benar masakah khas desa. Ada gudangan, sayur tewel atau gudek dengan kuah yang pedas rasanya, ada bothok, tempe goreng, nasi jagung, nasi liwet, nasi tiwul dan berbagai jenis masakan khas pedesaan lainnya.
Di acara itu saya juga bertemu Diah Hadaning, perempuan yang sudah berpuluh-puluh tahun menggeluti sastra Jawa. Ketemu pula dengan sastrawan Jawa Bambang Nursinggih dari Jogja yang masih produktif menulis cerita cekak (Cerkak). Dari kalangan muda ada Sucipto Hadi Purnomo, esais dan dosen sastra Jawa di Universitas Negeri semarang (Unnes). Saya lihat pula wajah-wajah yang tak asing di dunia sastra Jawa.
Sayang, saya tak ketemu Daniel Tito, mantan wartawan yang kini konsisten menggeluti sastra Jawa dan nyambi jadi kontraktor di Sragen. Dia datang hari Jumat. Saya juga tak ketemu dengan Ki Demang Sokowaten yang nama aslinya Sudharto yang kini punya website khusus tentang sastra dan budaya Jawa. Website milik Ki Demang asal Jogja ini diakses dari seluruh penjuru dunia, tingkat kunjungannya cukup tinggi. Situs ini selalu diperbarui dan lumayan menyediakan banyak referensi tentang budaya dan sastra Jawa.
Saya merasa mendapatkan sesuatu yang luar biasa di forum yang begitu cair. Kejawaan sangat terasa di acara itu. Semua orang ramah. Saling bertegur sapa walau tak kenal. Seorang lelaki separuh baya yang sempat menyapa saya, langsung memuji-muji dan menepuk pundak saya begitu saya memperkenalkan diri dari Harian Umum SOLOPOS. Laki-laki itu adalah dosen di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yang beberapa kali membaca suplemen berbahasa Jawa Jagad Jawa di SOLOPOS yang terbit tiap kamis.
“Wah, njenengan sing kerep nulis ning Jagad Jawa ya. Wah apik tenan, Mas. Apik banget,” kata dia sembari antre untuk mengambil nasi. Saya merasa senang karena ternyata media tempat saya bekerja dikenal banyak sastrawan Jawa. Dan memang tak hanya laki-laki itu yang langsung berbinar matanya ketika saya mengenalkan diri sebagai jurnalis SOLOPOS. Begitu mendengar kata SOLOPOS, mereka langsung menyebut Jagad Jawa.
Forum KSJ III memang sungguh luar biasa. Itu kesan saya. KSJ berasal dari ide para sastrawan Jawa yang merasa jengah dengan rutinitas Kongres Bahasa Jawa (KBJ) yang difasilitasi pemerintah, namun hingga kini tak kuasa membangkitkan budaya, bahasa dan sastra Jawa agar menjadi kuncara lagi. Sebagaimana dua KSJ sebelumnya, KSJ III juga diselenggarakan berbekal militansi murni.
Semua peserta, narasumber dan panitia urunan minimal Rp 100.000 untuk membiayai acara yang dihadiri kurang lebih 200 orang selama tiga hari itu. Menurut Ali Syafaat, salah seorang anggota panitia KSJ III, Pemkab Bojonegoro memberikan bantuan Rp 15 juta yang habis untuk biaya konsumsi. Pemprov Jatim punya komitmen memberi bantuan, tapi sampai acara terselenggara, uangnya belum cair.
Ketua KSJ III Bonari Nabonenar mengatakan KSJ memang terselenggara dengan bekal militansi. Semua peserta dan pembicara yang tergolong sastrawan Jawa senior, sastrawan Jawa yunior, pencinta sastra Jawa, guru dan dosen Bahasa Jawa, pengamat sastra Jawa dan lainnya, datang atas biaya sendiri, bahkan urunan untuk mendukung acara itu.
Tapi, menurut saya, justru itulah semangat yang sampai kini sanggup menghidupi dunia sastra Jawa. Dalam salah satu sesi diskusi, Diah Hadaning mengatakan sastrawan Jawa harus menjadi seniman sastra Jawa, bukan tukang sastra Jawa. Seniman sastra Jawa hadir dan berkarya karena panggilan nurani untuk melestarikan dan mengembangkan sastra Jawa. Sedangkan tukang sastra Jawa berkarya demi mendapatkan honor, bayaran atau keuntungan materi lainnya. Di dunia sastra Jawa–saat ini,kata Diah, tukang sastra Jawa takkan bertahan hidup.
“Tapi kondisi seperti ini memang tak boleh dibiarkan terus-menerus. Pemerintah tetap harus berperan serta, bahkan berada di garis depan, untuk menghidupkan, memberdayakan dan mengembangkan sastra Jawa,” kata Yusuf Susilo Hartono, sastrawan Jawa dari Jakarta, dalam salah satu sesi diskusi.
Menurut Bonari, strategi jangka panjang KSJ memang untuk mengangkat harkat dan martabat sastra Jawa–dan tentu saja dengan demikian juga budaya Jawa. Tiga kali KSJ diselenggarakan memang belum menunjukkan efek nyata atas kehidupan sastra Jawa. Sastra Jawa hingga kini tetap termarginalkan, terpinggirkan dari arus besar kebudayaan di negeri ini. Tetapi, militansi itu, kata Bonari, dia pastikan takkan luntur. Sastra Jawa yang tengah sakit terbukti tetap melahirkan sastrawan-sastrawan Jawa generasi muda.
JFX Hoeri, seorang laki-laki tua motor penggerak Pamarsudi Sastra Jawa Bojonegoro (PSJB) dan juga menjadi anggota panitia KSJ III, adalah salah satu tokoh senior sastra Jawa yang hingga kini tak kenal lelah menularkan kecintaannya pada sastra Jawa. Di PSJB, dia bersama Ali Syafaat dan pengurus lainnya tak pernah lelah menyelenggarakan workshop kecil-kecilan bagi generasi muda yang berminat dan tertarik dengan sastra Jawa. PSJB juga rutin menyelenggarakan lomba menulis geguritan dan Cerkak yang kemudian secara swadaya diterbitkan menjadi buku antologi.
Dalam KSJ III, Halim HD, pekerja jaringan kebudayaan dari Solo, mengingatkan bahwa narasi besar cita-cita menghidupkan dan memberdayakan sastra Jawa tak boleh lepas dari kebudayaan Jawa. Halim mengemukakan contoh keberhasilan Ki Hajar Dewantara di Taman Siswa mengembangkan kebudayaan Jawa. Menurut Halim, dengan mencontoh Ki Hajar Dewantara, narasi besar cita-cita menghidupkan dan mengembangkan sastra Jawa akan berhasil ketika kebudayaan Jawa hidup dan dihidupi dalam keluarga, dunia pendidikan dan masyarakat luas.
Saya sepakat dengan lontaran Halim ini. Dan saya juga sepakat bahwa kini sastra Jawa tetap hidup karena militansi para pencintanya. Militansi ini yang perlu dikembangkan guna menciptakan budaya literasi kejawaan. Sebenarnya, jika melihat sejarah, wong Jawa sesungguhnya masyarakat yang menjunjung tinggi budaya literasi. Karya-karya besar sastra Jawa era dulu adalah bukti tingginya budaya literasi wong Jawa.
Sayangnya, kini budaya literasi itu semakin menipis. Kini, generasi muda Jawa, memilih membelanjakan uang demi HP terbaru, atau gadget teknologi informasi dan komunikasi lainnya, daripada untuk membeli dan membaca buku–apalagi untuk bacaan berbahasa Jawa. Kesimpulan sementara saya, militansi para pencinta sastra Jawa itulah yang sampai kini menghidupi sastra Jawa. Militansi itu tak boleh surut. Sampai kapan pun selama masih ada wong Jawa. Militansi itu yang menjadi benteng terakhir budaya dan sastra Jawa dari gempuran globalisasi yang antikebudayaan dan kemanusiaan itu.
31 Oktober 2011
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/ichwan-prasetyo/militansi-yang-menghidupi-sastra-jawa/10150438439374874
http://www.facebook.com/ichwan.prasetyo
Hari Sabtu, 29 Oktober 2011, saya datang di acara Kongres Sastra Jawa (KSJ) III di Desa Wisata Jono, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Saya mendapat jatah berbicara di sesi tentang media massa berbahasa Jawa di tengah perkembangan media massa berbahasa Indonesia. KSJ III diselenggarakan tiga hari, Jumat-Minggu, 28-30 Oktober 2011.
Lokasi acara adalah sebuah desa berjarak 22 kilometer ke arah barat dari ibukota Kabupaten Bojonegoro. Sebuah desa yang sepi tapi bersih dan asri. Untuk menuju ke lokasi acara, panitia KSJ III menyediakan fasilitas penjemputan. Peserta datang dari berbagai wilayah di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur. Sarana transportasi umum menuju lokasi acara dari ibukota Kabupaten Bojonegoro hanya bus 3/4 jurusan Bojonegoro-Nganjuk PP yang kebetulan milik Kepala Desa Jono.
Namun, bus yang hanya beberapa unit itu jeda kedatangan dan keberangkatannya sangat lama, bisa lebih dari satu jam. Angkutan yang paling cepat adalah ojek, sekali jalan Rp 20.000-Rp 25.000 tergantung negosiasi dengan pengemudinya. Dari Solo saya sengaja memilih numpang bus angkutan umum, sekalian bernostalgia zaman muda dulu ketika sering beravonturir ditemani ransel, selembar kaus cadangan, sikat gigi, handuk kecil dan buku bacaan. Saya sampai di Terminal Bus Rajekwesi Bojonegoro pukul 11.30 WIB dan jatah sesi saya adalah pukul 13.30 WIB. Demi memburu waktu, saya memutuskan menyewa ojek.
Pak Sarno, tukang ojek itu, saya temui saat salat Duhur berjemaah di musala terminal bus itu. Orangnya sederhana. Dia sebenarnya petani. Saya dikenalkan dengan Pak Sarno oleh imam musala terminal itu. “Kalau mau ngojek dengan tukang ojek yang biasa salat di sini saja,” kata imam musala yang akrab disapa Pak Mardi itu.
Di sepanjang perjalanan yang memakan waktu sekitar 20 menit, Pak Sarno bercerita tentang kehidupan sehari-harinya. Dia sebenarnya petani dan peternak. Dia punya lahan di dekat Terminal Bus Rajekwesi. Dia punya beberapa ekor sapi. Ngojek dia sebut sebagai hiburan semata. “Yah, alhamdulillah, Mas, ada hiburan. Hari ini saya bersyukur setelah salat ketemu panjenengan, dengan diawali ibadah insya Allah rezeki saya barokah,” kata dia.
Pak Sarno memang sangat ramah, khas orang Jawa. Kami berboncengan sepeda motor Honda produksi tahun ’90-an menyusuri jalan beraspal nanmulus menuju Desa Jono, sebuah desa wisata di kawasan Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro. Satu kilometer sebelum lokasi acara, kami kehujanan.
Kami berteduh di sebuah toko batik khas Bojonegoro yang belakangan saya ketahui ternyata juga milik Kepala Desa Jono. Beberapa orang yang berada di toko itu, laki-laki dan perempuan, remaja dan tua, mempersilakan kami masuk ke dalam, namun kami tolak. Saya merasakan kembali keramahan khas wong Jawa.
Dan sebagaimana jamaknya wong Jawa, kami berdua sudah cukup puas diizinkan berteduh di tritisan toko batik itu. Sesekali, mereka mengajak ngobrol kami yang kedinginan berteduh di tritisan tokok itu. Sekitar 20 menit kami berteduh.
Setelah pamit kepada penunggu toko itu, kami melanjutkan perjalanan menuju lokasi acara. Pak Sarnolah yang bertanya-tanya rute menuju tempat KSJ III. Sekitar 300 meter dari lokasi acara terlihat spanduk dan umbul-umbul yang memandu arah menuju lokasi acara, sebuah rumah berdesain joglo yang sederhana, tak jauh dari rumah Kepala Desa Jono.
***
Tiba di lokasi acara pas makan siang. Saya yang sudah kelaparan langsung ikut antre makan di belakang pendapa bangunan joglo itu. Di sana, saya melihat sastrawan dan budayawan Arswendo Atmowiloto dan begawan sastra Jawa Suparto Broto berbaur dengan peserta lain, bersama-sama makan siang di tempat yang sederhana itu.
Mereka berdua tak diistimewakan. Ikut antre mengambil makanan, kemudian memilih tempat sendiri untuk duduk. Mereka akrab berbaur dan berbincang-bincang dengan komunitas sastrawan dan pencinta sastra Jawa yang sangat beragam itu, laki-laki perempuan, tua muda, bahkan ada beberapa remaja.
Bangunan joglo itu berdinding setengah batako dan setengah kayu. Lantainya hanya plesteran semen yang kasar. Menu makan siang yang disajikan adalah menu khas masakan desa di kawasan Bojonegoro. Semua serba pedas, tapi saya suka. Benar-benar masakah khas desa. Ada gudangan, sayur tewel atau gudek dengan kuah yang pedas rasanya, ada bothok, tempe goreng, nasi jagung, nasi liwet, nasi tiwul dan berbagai jenis masakan khas pedesaan lainnya.
Di acara itu saya juga bertemu Diah Hadaning, perempuan yang sudah berpuluh-puluh tahun menggeluti sastra Jawa. Ketemu pula dengan sastrawan Jawa Bambang Nursinggih dari Jogja yang masih produktif menulis cerita cekak (Cerkak). Dari kalangan muda ada Sucipto Hadi Purnomo, esais dan dosen sastra Jawa di Universitas Negeri semarang (Unnes). Saya lihat pula wajah-wajah yang tak asing di dunia sastra Jawa.
Sayang, saya tak ketemu Daniel Tito, mantan wartawan yang kini konsisten menggeluti sastra Jawa dan nyambi jadi kontraktor di Sragen. Dia datang hari Jumat. Saya juga tak ketemu dengan Ki Demang Sokowaten yang nama aslinya Sudharto yang kini punya website khusus tentang sastra dan budaya Jawa. Website milik Ki Demang asal Jogja ini diakses dari seluruh penjuru dunia, tingkat kunjungannya cukup tinggi. Situs ini selalu diperbarui dan lumayan menyediakan banyak referensi tentang budaya dan sastra Jawa.
Saya merasa mendapatkan sesuatu yang luar biasa di forum yang begitu cair. Kejawaan sangat terasa di acara itu. Semua orang ramah. Saling bertegur sapa walau tak kenal. Seorang lelaki separuh baya yang sempat menyapa saya, langsung memuji-muji dan menepuk pundak saya begitu saya memperkenalkan diri dari Harian Umum SOLOPOS. Laki-laki itu adalah dosen di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yang beberapa kali membaca suplemen berbahasa Jawa Jagad Jawa di SOLOPOS yang terbit tiap kamis.
“Wah, njenengan sing kerep nulis ning Jagad Jawa ya. Wah apik tenan, Mas. Apik banget,” kata dia sembari antre untuk mengambil nasi. Saya merasa senang karena ternyata media tempat saya bekerja dikenal banyak sastrawan Jawa. Dan memang tak hanya laki-laki itu yang langsung berbinar matanya ketika saya mengenalkan diri sebagai jurnalis SOLOPOS. Begitu mendengar kata SOLOPOS, mereka langsung menyebut Jagad Jawa.
Forum KSJ III memang sungguh luar biasa. Itu kesan saya. KSJ berasal dari ide para sastrawan Jawa yang merasa jengah dengan rutinitas Kongres Bahasa Jawa (KBJ) yang difasilitasi pemerintah, namun hingga kini tak kuasa membangkitkan budaya, bahasa dan sastra Jawa agar menjadi kuncara lagi. Sebagaimana dua KSJ sebelumnya, KSJ III juga diselenggarakan berbekal militansi murni.
Semua peserta, narasumber dan panitia urunan minimal Rp 100.000 untuk membiayai acara yang dihadiri kurang lebih 200 orang selama tiga hari itu. Menurut Ali Syafaat, salah seorang anggota panitia KSJ III, Pemkab Bojonegoro memberikan bantuan Rp 15 juta yang habis untuk biaya konsumsi. Pemprov Jatim punya komitmen memberi bantuan, tapi sampai acara terselenggara, uangnya belum cair.
Ketua KSJ III Bonari Nabonenar mengatakan KSJ memang terselenggara dengan bekal militansi. Semua peserta dan pembicara yang tergolong sastrawan Jawa senior, sastrawan Jawa yunior, pencinta sastra Jawa, guru dan dosen Bahasa Jawa, pengamat sastra Jawa dan lainnya, datang atas biaya sendiri, bahkan urunan untuk mendukung acara itu.
Tapi, menurut saya, justru itulah semangat yang sampai kini sanggup menghidupi dunia sastra Jawa. Dalam salah satu sesi diskusi, Diah Hadaning mengatakan sastrawan Jawa harus menjadi seniman sastra Jawa, bukan tukang sastra Jawa. Seniman sastra Jawa hadir dan berkarya karena panggilan nurani untuk melestarikan dan mengembangkan sastra Jawa. Sedangkan tukang sastra Jawa berkarya demi mendapatkan honor, bayaran atau keuntungan materi lainnya. Di dunia sastra Jawa–saat ini,kata Diah, tukang sastra Jawa takkan bertahan hidup.
“Tapi kondisi seperti ini memang tak boleh dibiarkan terus-menerus. Pemerintah tetap harus berperan serta, bahkan berada di garis depan, untuk menghidupkan, memberdayakan dan mengembangkan sastra Jawa,” kata Yusuf Susilo Hartono, sastrawan Jawa dari Jakarta, dalam salah satu sesi diskusi.
Menurut Bonari, strategi jangka panjang KSJ memang untuk mengangkat harkat dan martabat sastra Jawa–dan tentu saja dengan demikian juga budaya Jawa. Tiga kali KSJ diselenggarakan memang belum menunjukkan efek nyata atas kehidupan sastra Jawa. Sastra Jawa hingga kini tetap termarginalkan, terpinggirkan dari arus besar kebudayaan di negeri ini. Tetapi, militansi itu, kata Bonari, dia pastikan takkan luntur. Sastra Jawa yang tengah sakit terbukti tetap melahirkan sastrawan-sastrawan Jawa generasi muda.
JFX Hoeri, seorang laki-laki tua motor penggerak Pamarsudi Sastra Jawa Bojonegoro (PSJB) dan juga menjadi anggota panitia KSJ III, adalah salah satu tokoh senior sastra Jawa yang hingga kini tak kenal lelah menularkan kecintaannya pada sastra Jawa. Di PSJB, dia bersama Ali Syafaat dan pengurus lainnya tak pernah lelah menyelenggarakan workshop kecil-kecilan bagi generasi muda yang berminat dan tertarik dengan sastra Jawa. PSJB juga rutin menyelenggarakan lomba menulis geguritan dan Cerkak yang kemudian secara swadaya diterbitkan menjadi buku antologi.
Dalam KSJ III, Halim HD, pekerja jaringan kebudayaan dari Solo, mengingatkan bahwa narasi besar cita-cita menghidupkan dan memberdayakan sastra Jawa tak boleh lepas dari kebudayaan Jawa. Halim mengemukakan contoh keberhasilan Ki Hajar Dewantara di Taman Siswa mengembangkan kebudayaan Jawa. Menurut Halim, dengan mencontoh Ki Hajar Dewantara, narasi besar cita-cita menghidupkan dan mengembangkan sastra Jawa akan berhasil ketika kebudayaan Jawa hidup dan dihidupi dalam keluarga, dunia pendidikan dan masyarakat luas.
Saya sepakat dengan lontaran Halim ini. Dan saya juga sepakat bahwa kini sastra Jawa tetap hidup karena militansi para pencintanya. Militansi ini yang perlu dikembangkan guna menciptakan budaya literasi kejawaan. Sebenarnya, jika melihat sejarah, wong Jawa sesungguhnya masyarakat yang menjunjung tinggi budaya literasi. Karya-karya besar sastra Jawa era dulu adalah bukti tingginya budaya literasi wong Jawa.
Sayangnya, kini budaya literasi itu semakin menipis. Kini, generasi muda Jawa, memilih membelanjakan uang demi HP terbaru, atau gadget teknologi informasi dan komunikasi lainnya, daripada untuk membeli dan membaca buku–apalagi untuk bacaan berbahasa Jawa. Kesimpulan sementara saya, militansi para pencinta sastra Jawa itulah yang sampai kini menghidupi sastra Jawa. Militansi itu tak boleh surut. Sampai kapan pun selama masih ada wong Jawa. Militansi itu yang menjadi benteng terakhir budaya dan sastra Jawa dari gempuran globalisasi yang antikebudayaan dan kemanusiaan itu.
31 Oktober 2011
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/ichwan-prasetyo/militansi-yang-menghidupi-sastra-jawa/10150438439374874
Tidak ada komentar:
Posting Komentar