Hary B Kori’un
http://riaupos.com/
“Kami sangat bahagia, dari tahun ke tahun penyelenggaran festival ini semakin membaik dan diminati banyak penulis maupun pecinta sastra. Kami juga sangat senang, Ubud, juga Bali, kini telah kembali pulih, menjadi salah satu tujuan wisata dunia, setelah tragedi bom yang mengenaskan pada Oktober 2003. Kami bahagia, festival ini bisa diadakan setiap tahun dan kami terus berupaya melakukan perubahan menuju perbaikan…”
Janet De Neefe, perempuan asal Australia yang menikah dengan Ketut Suardana, pengusana kafe dan restoran di Ubud (Kabupaten Gianyar, Bali) —pemilik dua restoran besar dan ternama di sana, yakni Casa Luna dan Indus— tak bisa menyembunyikan kebahagiannya ketika memberi sambutan dalam Gala Opening Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2010 di Puri Ubud, Rabu, 6 Oktober 2010. Wanita asal Melbourne yang sudah hampir 20 tahun hidup di Ubud itu, adalah penggagas UWRF di bawah Yayasan Mudra Swari Saraswati, sebuah yayasan yang didirikannya bersama sang suami. Janet berharap, di tahun-tahun berikutnya, UWRF tetap menjadi salah satu festival sastra favorit, yang bisa memberi semangat para sastrawan untuk menghasilkan karya terbaiknya.
UWRF adalah salah satu festival sastra terbaik di Asia. Tak banyak sastrawan yang bisa ikut menjadi peserta di festival tersebut. Saya bahagia karena pada 2010 ini menjadi salah satu peserta undangan asal Indonesia yang dipilih tim kurator yang terdiri dari Triyanto Triwikromo (Semarang), Cok Sawitri (Bali) dan Aan Mansyur (Makassar). Saya juga bahagia karena bisa berkomunikasi dengan 100 lebih penulis dari 30 negara yang melamar untuk ikut dalam iven ini, meski dengan alat komunikasi yang sangat terbatas. Tetapi sastra, adalah alat komunikasi yang tanpa batas.
Peserta dari Indonesia yang diundang dari seleksi ratusan sastrawan yang melamar adalah Kurnia Effendi (Jakarta), Medy Loekito (Jakarta), Nusya Kuswatin (Jawa Timur), Hermawan Aksan (Bandung), Wendoko (Jakarta), Benny Arnas (Lubuklinggau), Imam Muhtarom (Surabaya), Hary B Kori’un (Pekanbaru), Iwan Darmawan (Bali), Magriza Novita Syahti (Padang), Ni Made Purnamasari (Bali), Arif Rizki (Padang), Andha S (Padang), Zelfina Wimra (Padang), Wa Ode Wulan Ratna (Jakarta) dan W Hariyanto (Surabaya). Selain kami, panitia juga mengundang Dewi Lestari, Sunaryono Basuki KS, Toenggoel Siagian, Sosiawan Leak, Debra Yatim, Noor Huda Ismail, dan beberapa penulis lainnya.
Keberadaan saya di Ubud, juga sebuah “kebetulan”. Ini berkali-kali saya tekankan kepada beberapa teman yang bertanya apakah benar saya diundang di festival yang selama ini tak pernah terpikirkan dalam angan saya ini –karena saya yakin sampai kapanpun tak akan bisa sampai ke sana. Faktor kebetulan ini memang benar adanya, karena saya tak pernah melamar (dengan mengirimkan karya berupa buku sastra yang sudah diterbitkan atau dalam bentuk cerpen, sajak, dan esai yang kemudian diseleksi para kurator). Lima bulan sebelum festival, saya diberi tahu oleh Syafruddin Azhar, senior editor Penerbit Kakilangit Kencana, bahwa nama saya lolos untuk ikut festival. Dua hari kemudian, panitia UWRF mengirimkan surat resmi melalui e-mail.
Saya harus berterima kasih kepada editor saya itu, karena novel terakhir saya yang diterbitkan penerbitnya, yakni Nyanyian Kemarau, dikirim oleh Syafruddin ke panitia UWRF bersama beberapa novel penulis lainnya. Novel yang juga “dihargai” menjadi nominator Anugerah Sagang 2010 itulah yang mengantarkan saya ke UWRF bersama tiga penulis dari Kakilangit Kencana lainnya, yakni Nusya Kuswantin dan Hermawan Aksan. Saya juga harus berterima kasih kepada Hivos yang telah membiayai keberangkatan saya dan menanggung semua kebutuhan saya selama di Ubud.
***
Ubud, yang menjadi salah satu kota utama tujuan wisata di Asia Pasifik, memang tempat favorit orang asing. Bukan hanya karena eksoktisme alamnya, mulai dari sawah terasering hingga pasar seni, juga keramahan penduduknya (yang menjadi salah satu setting film Hollywood yang kini sedang diputar di gedung-gedung bioskop di Indonesia yang diperankan oleh Julia Robert, yakni Eat Pray Love), Ubud memang sebuah tempat “yang dipersembahkan Dewata” –begitu penduduk Ubud meyakini. Ada ketenangan, aroma kembang yang relijius di semua tempat, orang-orang yang sabar di jalan yang selalu macet, hujan yang bisa datang berkali-kali dalam sehari…
“Lama-lama di sini, saya bisa meninggalkan keluarga di Jakarta untuk menetap di Ubud,” kata salah seorang teman yang tak mau namanya ditulis, yang merasa waktu seminggu menjadi sangat sebentar.
Hingga festival keenam 2009, UWRF telah mendapatkan predikat sebagai One of The World’s Great Book Festival oleh Conde Nast Travel and Leisure, Among The Top Six Literary Festival in World’s oleh Harper’s Bazzar dan The Best Art Event 2006 oleh The Beat Magazine.
UWRF pertama kali digelar tahun 2004 sebagai respon atas tragedi Bom Bali I 2003. Pasca Bom Bali itu, para turis asing banyak yang memilih pulang ke negerinya, atau tak mau dan tak bisa datang ke Bali karena travel warning yang dikeluarkan banyak negara agar tak berkunjung ke Indonesia, terutama Bali. Orang Australia dan Selandia Baru adalah turis asing terbanyak di Bali, terutama Ubud, selain Jepang, Amerika Serikat, Inggris, dan Hongkong. Ketika itu, Bali seperti menjadi pulau indah yang sepi dan lengang. Kafe-kafe, hotel, pantai atau bukit-bukit yang sebelumnya sangat ramai orang asing, tiba-tiba sepi. Ekonomi Bali yang mengandalkan sektor pariwisata, seperti mati suri.
Janet de Neefe, yang sangat mencintai Bali, sedih dengan keadaan itu. Dia kemudian mengajak teman-temannya sesama orang Australia untuk melakukan sesuatu agar orang asing mau kembali datang ke Ubud, untuk menjelaskan bahwa Bali (terutama Ubud) sangat aman bagi siapapun. Setelah berbagai pembicaraan dilakukan dengan teman-temannya, kemudian diputuskan bahwa iven UWRF menjadi pilihan. Janet kemudian merayu suaminya, Ketut Suardana, untuk meminjamkan modal penyelenggaraan awal, dan setelah itu didirikanlah Yayasan Mudra Swari Saraswati sebagai penyelenggara UWRF.
“Perjuangan Janet dan suaminya untuk menyelenggarakan iven ini sangat luar biasa hingga menjadi salah satu festival sastra terbaik di dunia hingga saat ini,” jelas Kadek Purnami, Community Development Manager UWRF.
Festival pertama berlangsung pada 11-17 Oktober 2004 dengan tema Through Darkness to Light/Habis Gelap Terbitlah Terang, yang diikuti oleh 128 penulis dari 11 negara. Kemudian yang kedua tahun 2005 dengan tema Between World’s/Antar Benua. Inilah festival yang diselenggarakan dalam suasana duka karena empat hari sebelum acara berlangsung, terjadi Bom Bali II. Namun Janet dan “pasukannya” tak patah arang. Festival tetap berlangsung diikuti 100 penulis, hanya beberapa penulis asing yang membatalkan kedatangannya. Hingga 2010 ini, UWRF sudah tujuh kali diselenggarakan, dan tahun ini dengan peserta terbanyak dari 30 negara. Tema 2010 adalah Bhineka Tunggal Ika (Harmony in Diversity), yang memberi penekanan pada pentingnya penghormatan pada keberagaman (pluralitas dan multikultur) saat dunia memasuki era tanpa batas.
“Dalam kondisi seperti ini, kearifan lokal amat penting. Kebudayaan lokal adalah kekayaan yang luar biasa, dan Indonesia memiliki ribuan budaya lokal. Saya kira, Anda harus bangga dengan itu sebagai orang Indonesia. Tidak semua negara memiliki kekayaan seperti itu,” ujar Ezra Bix, penyair asal Australia yang juga ikut berkunjung ke Pekanbaru dalam acara satelite event yang diselenggarakan UWRF.
***
YANG menarik dari festival ini adalah bagaimana penyelenggara menjadikan acara sastra, yakni panel diskusi, bisa menjadi sebuah “tontonan” yang mengundang orang untuk ikut di dalamnya dengan membeli tiket masuk yang harganya sangat tinggi. Untuk bisa mengikuti panel diskusi, seorang pengunjung festival harus membayar Rp200-500 ribu rupiah. Tentu ada beberapa iven yang diberikan gratis, seperti pertunjukan dan beberapa panel yang memang dibuat gratis.
Menjual sebuah diskusi sastra bukanlah perkara mudah. Di daerah-daerah di luar Ubud, di Pekanbaru misalnya, bahkan diberikan gratis dengan pembicara terkenal sekalipun, tak banyak orang yang mau mengikutinya. Tetapi di Ubud, hampir semua panel diskusi diserbu para pembaca sastra dari berbagai daerah di Indonesia yang sengaja hadir di sana, juga dari berbagai negara. “Ini festival sastra internasional yang sangat bergengsi, dan saya jauh-jauh datang dari Vietnam untuk bisa hadir di sini,” ujar Nguyen Van Pamh, seorang mahasiswa dari sebuah universitas di Ho Chi Mint, Vietnam, di Indus Cafe, saat sebuah panel berlangsung.
Saking mahalnya untuk ikut iven ini, banyak pecinta sastra yang “mengubah” dirinya menjadi volunteer untuk ikut ke Ubud. Kebetulan, panitia memang memerlukan ratusan volunteer, dan mereka datang dari berbagai negara, seperti Irlandia, Amerika Serikat, Australia, Vietnam, Inggris, Jerman, Prancis dan dari berbagai daerah di Indonesia. Hellen Sjuhada dan Jean Marlon Tahitoe, misalnya. Dua gadis asal Jakarta dan Bandung ini memiliki pekerjaan tetap di kotanya. Hellen adalah redaktur Majalah Femina, sedang Jean adalah seorang penyir radio di Bandung. Namun keduanya rela mengambil cuti untuk mendaftar menjadi relawan di acara ini.
“Kami tak langsung diterima, harus melamar dengan berbagai persyaratan yang ketat, dan pendaftarnya ribuan,” ujar Jeans, gadis berdarah Maluku ini. Sementara menurut Hellen yang juga masih berstatus mahasiswi di Komunikasi UI, dia mau menjadi relawan karena ingin sekaligus liputan di UWRF. “Soalnya, kalau mendaftar untuk meliput, sangat terbatas,” jelasnya.
Menurut Wayan Juniartha, Indonesiaan Program Coordinator UWRF, para penulis asing yang datang ke festival ini juga harus mengirimkan proposal dan membiayai diri sendiri karena panitia UWRF tak menyediakan fasilitas apapun dengan gratis. Dia mencontohkan, beberapa penulis asing seperti Rabih Alamanddine (Lebanon) didanai oleh Kedutaan Amerika untuk ikut ke UWRF; Ricardo M de Ungria (Filipona) mendapat didanai oleh National Commission for Culture and Arts of Philippines; Joan London (Australia) dibiayai oleh Australia Council; Sitor Situmorang (Indonesia/Prancis) didanai oleh Indonesian Heriatage Society; atau Anne-Ruth Wertheim (Belanda) yang dikirim oleh Letterenfonds and Kingdom of Netherlands. Sementara para penulis Indonesia didanai oleh Hivos, sebuah lembaga asing yang sangat konsen terhadap sastra dan budaya. Para penulis Indonesia, hampir semuanya didanai oleh Hivos.
“Tak ada penulis asing maupun Indonesia yang gratis datang ke UWRF. Kalau mereka tak didanai oleh founding, mereka biasanya dikirim oleh penerbitnya atau biaya sendiri,” jelas Juniartha yang juga wartawan The Jakarta Post itu.
Pengalaman para penulis baik dari Indonesia maupun asing, sangat beragam. Keterbatasan komunikasi (seluruh acara festival memakai Bahasa Inggris) adalah salah satunya. Namun, itu tak membatasi terjadinya dialog, karena ada penerjemah yang selalu ada jika dibutuhkan. Banyak penulis Indonesia yang menggunakan jasa penerjemah, selain beberapa yang memang fasih berbahasa Inggris.
“Saya baru sekali ini ikut sebuah acara sastra internasional. Ini adalah pengalaman sangat berharga bagi saya bisa berbagi pikiran dengan teman-teman sastrawan dari berbagai negara,” ujar Maghriza Novita Syahti, cerpenis asal Padang, yang merupakan peserta termuda dalam iven ini. Maghriza, yang dalam salah satu panel diskusi menjadi pembicara bersama Imam Muhtarom (Surabaya) dengan tema Surreal Worlds (Dunia yang Tak Nyata) dengan lugas dan tanpa takut bicara tentang latar belakang cerpen-cerpennya yang absurd. Salah satu cerpennya yang menjadi pembicaraan dalam diskusi dan peluncuran buku antologi adalah “Tiga Wanita dalam Hitam” yang diterjemahkan menjadi Three Women in Black oleh Toni Pollard. Menurut Pollard, untuk gadis berusia 20 tahun seperti Maghriza, apa yang ditulisnya sangat luar biasa.
Saya sendiri mendapat dua panel diskusi sebagai pembicara. Yang pertama bersama Kurnia Effendi dan Zelfeni Wimra pada Kamis (7/10) di Citibank Laiunge, dengan tema The Power of The Short. Ini tema yang agak “aneh” bagi saya, karena harus bercerita kekuatan karya-karya pendek seperti cerpen, sementara saya “terbiasa” menulis novel. Namun, sebenarnya, novel adalah karya yang “pendek” karena tak semua bercerita tentang keseluruha keseharian sang karakter. Saya menjelaskan bahwa salah satu kekuatan tema sastra Riau hari ini adalah tentang keterasingan masyarakat yang seolah menjadi penonton dalam proses sosial-ekonomi raksasa yang ada di tanahnya. Seorang peserta diskusi asal Jakarta, Hary Surjadi, yang juga aktivis lingkungan, sempat bertanya apakan latar realitas yang saya bawa dalam novel-novel saya, bisa mempengaruhi para pengambil keputusan. Saya jawab, bahwa tugas seorang pengarang adalah menulis, dan apa yang terjadi setelah itu adalah masalah lain, karena karya itu yang akan berbicara sendiri. Beberapa peserta asing sangat tertarik dengan sub-tema yang saya tawarkan, dan mereka berjanji akan mencari literatur tentang Riau hari ini.
Pada panel kedua bertajuk Journalists Making it Up, saya semeja dengan Nusya Kuswantin dan Ioannis Gatiounnis (penulis dan wartawan yang tinggal di Kuala Lumpur berdarah Yunani) di Indus Cafe. Ratusan peserta yang duduk di depan kami hampir semuanya bule. Pokok bahasannya adalah tentang “dunia terbelah” yang harus dilakukan oleh para wartawan yang juga menulis sastra. Kebetulan, Nusya adalah mantan wartawan Kompas dan Surya di Jatim. Nusya menjelaskan, pada dasarnya, ketika menjadi penulis sastra, seorang wartawan justru diuntungkan dengan banyaknya realitas yang sering didapatkan di lapangan. “Tetapi sebagai sebuah fiksi, karya yang ditulis juga harus ada unsur fiksi,” jelas penulis novel Lasmi, novel berlatar komunis tahun 1965 dengan setting di Jatim.
Ioannis juga demikian. Menurutnya, pekerjaan wartawan yang serius dan penulis yang lebih santai, akan memudahkan dirinya dalam mendapatkan tema-tema penting. “Tidak semua persoalan nyata yang saya dapatkan di lapangan bisa dijadikan fiksi. Fiksi tetap fiksi dengan segala aspeknya, dan jurnalistik adalah fakta yang tak bisa disamakan dengan fiksi. Namun keduanya saling membantu,” jelas penulis novel Velvet and Cinder Blocks ini.
Benarkah jurnalis mengada-ada ketika membawa persoalan nyata ke dunia fiksi? Saya dan Nusya sepakat, bahwa “mengada-ada” bukanlah kata yang tepat, karena dengan persoalan nyata tersebut, justru lebih memudahkan dalam membentuk karakter fiksi. Saya menjelaskan tentang karakter Martinus Amin dalam Nyanyian Batanghari dan Rusdi dalam Nyanyian Kemarau. Mereka adalah karakter fiksi, meski dalam plot mereka hidup di dunia “nyata” yang memang benar-benar terjadi. Kebetulan, kedua karakter itu pernah “hidup” dalam tragedi Mei 1998 yang menjatuhkan rezim Soeharto.
***
ADA ratusan panel diskusi yang tak semua bisa diikuti oleh semua penulis. Selain waktunya yang sering bersamaan, juga karena tidak semua panel bisa diikuti oleh para peserta yang nirbayar. Selain itu, tempat yang berjauhan juga menyulitkan semua peserta untuk ikut semua panel. Selain di Neka Museum, Citibank Laounge dan Indus Cafe (ketiganya di Jl Sanggingan Ubud), beberapa venue di luar Ubud juga dipakai, seperti di Denpasar, Singaraja atau Kuta.
“Inilah uniknya festival ini. Semua peserta yang ikut pasti mendapatkan waktu sebagai pembicara dalam panel diskusi, dan itu perjuangan yang tidak ringan dari kami di program acara,” ujar Wayan Juniartha dan Kadek Purnami yang sempat datang ke Pekanbaru dalam satelite event.
Dari tahun ke tahun, ujar Juniartha, peminat UWRF terus bertambah dan penyelenggara harus secara ketat melakukan seleksi. “Tapi yakinlah, peserta dari Indonesia tetap terbanyak, 15 orang, dan semua mendapatkan minimal 2 panel diskusi, mengisi workshop dan membacakan karya,” jelas Juniarta.
UWRF memang festival sastra yang unik, menarik, eksoktik, megah dan inspiratif. Kita seolah berada di alam lain, di luar keseharian sastrawan Indonesia lainnya. Ketika mengikuti Gala Opening, saya merasa menjadi sangat minoritas di Puri Ubud, sebab, dari hampir 2 ribu orang yang hadir, hampir semuanya orang asing, dan orang Indonesia yang hadir di sana bisa dihitung dengan jari. “Kita jadi minoritas di negeri sendiri,” kata Yudhi Herwibowo, novelis asal Solo.
“Tapi ini menarik, karena hampir semuanya adalah pecinta sastra. Tak banyak orang Indonesia yang mencintai dan membeli buku sastra,” sambung Imam Muhtarom.
“Sepulang dari sini, saya akan menulis novel, karena saya tak berhasil menulis novel selama ini,” ujar Benny Arnas yang baru saja menerbitkan kumpulan cerpennya, Bulan Celurit Api.
Ya, banyak hal yang didapat di sana. Tentang bagaimana menghargai kerja kebudayaan, mencintai buku sastra, antusiasme para pembaca, atau tentang bagaimana mengelola iven sastra agar dihargai masyarakat di luar sastra. Dan UWRF berhasil melakukannya, meski kelemahan tetap ada di sana-sini.***
*) Wartawan Riau Pos dan penulis novel yang kebetulan diundang ke Ubud Writers & Readers Festival 2010.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Alexander
A. Anzieb
A. Aziz Masyhuri
A. Dahana
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.C. Andre Tanama
A.J. Susmana
A.S. Laksana
A’an Jindan AS
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Lathif
Abdul Malik
Abdul Rauf Singkil
Abdul Walid
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abid Rohmanu
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adhitia Armitrianto
Adhy Rical
Adi Faridh
Adian Husaini
Adin
Aditya Ardi N
Adreas Anggit W.
Adrizas
Adu Pesona Sang Wakil Presiden RI
AF. Tuasikal
Afri Meldam
Afrizal Malna
AG. Alif
Agama
Agama Para Bajingan
Agit Yogi Subandi
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Rakasiwi
Agus Sulton
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Aguslia Hidayah
AH J Khuzaini
Ah. Atok Illah
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Anshori
Ahmad Damanik
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Gaus
Ahmad Hasan MS
Ahmad Jauhari
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainul Fiah
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhmad Siddiq
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Aksin Wijaya
Al-Fairish
Al-Ma'ruf I
Al-Ma'ruf II
Alang Khoiruddin
Albert Camus
Ali Mahmudi Ch
Alia Swastika
Alvi Puspita
Alvin
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aming Aminoedhin
Ana Mustamin
Anam Rahus
Anas AG
Andhi Setyo Wibowo
Andi Gunawan
Andry Deblenk
Angela
Anggie Melianna
Anindita S. Thayf
Anis Ceha
Anitya Wahdini
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anugerah Ronggowarsito
Anwar Nuris
Aprillia Ika
Arida Fadrus
Aridus
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Junianto
Ariel Heryanto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Armawati
Arswendo Atmowiloto
Art Sabukjanur
Arti Bumi Intaran
Arwan
Aryo Wisanggeni
Aryo Wisanggeni Gentong
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Ashadi Ik
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Asro Kamal Rokan
Astrid Reza
Asvi Warman Adam
Atafras
Atok Witono
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azwar Nazir
Baca Puisi
Badrus Siroj
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bambang kempling
Bambang Riyanto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Bernarda Rurit
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Bre Redana
Brunel University
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Jay Utomo
Budi P. Hatees
Budi Palopo
Budi Setyarso
Budi Sp. Indrajati
Budiman S. Hartoyo
Budiman Sudjatmiko
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Candrakirana
Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Choirul Rikzqa
Christian Heru Cahyo Saputro
Cover Buku
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dadang Widjanarko
Damiri Mahmud
Dani Fuadhillah
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Dati Wahyuni
Dawet Jabung Ponorogo
Dedykalee
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Desa Glogok Karanggeneng Lamongan
Deshinta Arofah Dewi
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan
Dewi Anggraeni
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Didik Kusbiantoro
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Djulianto Susantio
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Dorothea Rosa Herliany
Dr Andi Irawan
Dr Siti Muti’ah Setiawati
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Drs H Choirul Anam
Drs. Solihin
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo Maksum
Dyah Ayu Fitriana
Eddi Koben
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy Apriyanto Sudiyono
Edy Firmansyah
Edy Susanto
Efri Ritonga
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eko Hartono
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
El Sahra Mahendra
Elita Sitorini
Elly Trisnawati
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Em. Syuhada'
Emha Ainun Nadjib
Encep Abdullah
Eni Sulistiyawati
Eny Rose
Esai
Ester Lince Napitupulu
Etik Widya
Evan Ys
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Fahrur Rozi
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathan Mubarak
Fathul Qodir
Fathul Qorib
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Festival Seni Surabaya 2011
Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan
Fikri. MS
Fiqih Arfani
Firman Daeva
Forum Lingkar Pena Lamongan
Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L)
Forum Santri Nasional
Forum Santri Nasional (FSN)
Free Hearty
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Ganug Nugroho Adi
Gedung Sabudga UNISDA Lamongan
Gendut Riyanto
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gesit Ariyanto
Gita Pratama
Glenn Fredly
Goenawan Mohamad
Golput
Gombloh
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gugun el-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hafis Azhari
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamid Dabashi
Han Gagas
Hardi Hamzah
Hari Prasetyo
Haris Del Hakim
Haris Saputra
Hary B Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Hendro Situmorang
Henri Nurcahyo
Henry H Loupias
Hera Khaerani
Heri CS
Heri Kris
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Kuntoyo
Heru Kurniawan
Hikmat Darmawan
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humaidi
Humam S Chudori
I Made Asdhiana
I Nyoman Suaka
I. B. Putera Manuaba
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ichwan Prasetyo
Ida Fitri
Ignas Kleden
Ilham Safutra
Ilham Wancoko
Imam Munadjat
Imam Nawawi
Imam Zanatul Huaeri
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Herdiana
Imron Arlado
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indigo Art Space Madiun
Indra Tjahyadi
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Iqmal Tahir
Is Faridatul Arifah
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Isra’ Mi’raj
Iswadi Pratama
Iswara N Raditya
Iva Titin Shovia
Iwan Awaluddin Yusuf
Iwan Gunadi
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Jansen Sinamo
Janu Jolang
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jemie Simatupang
Jenny Ang
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jl Simo
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Joko Budhiarto
Joko Sadewo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jones Gultom
Joni Ariadinata
Joresan Mlarak Ponorogo
Joseph E. Stiglitz
Jual Buku Paket Hemat
Junus Satrio
Jurnalisme Sastra
K. Hirzuddin Hasbullah
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma’ruf Amin
K.H. Masrikhan Asy'ari
K.H. Mudzakir Ma'ruf
Kadjie MM
Kajian Kitab Nashoihul 'Ibad
Kang Daniel
Karanggeneng
Kartika Foundation
Kasanwikrama
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kekal Hamdani
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Kesenian
KH. M. Najib Muhammad
KH. Ma'ruf Amin
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Khoirul Anwar
Khoirul Inayah
Khoirul Naim
Khoirul Rosyadi
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Koko Sudarsono
Komaruddin Hidayat
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA)
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Kopi Bubuk Mbok Djum
Kopuisi
Korban Gempa di Lombok
Kospela
KPRI IKMAL Lamongan
Kris Razianto Mada
Kritik Sastra
Kurnia Sari Aziza
Kurniawan
Kusni Kasdut
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
Lagu
Laili Rahmawati
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lan Fang
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Latif Fianto
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Listiyono Santoso
Liya Izzatul Iffah
Liza Wahyuninto
Lucky Aditya Ramadhan
Ludruk Jawa Timur
Lukisan
Lukman Alm
Lukman Santoso Az
Luqman Almishr
Lustantini Septiningsih
Lutfi S. Mendut
Lynglieastrid Isabellita
M Ismail
M Zainuddin
M. Afif Hasbullah
M. Faizi
M. Iqbal Dawami
M. Irfan Hidayatullah
M. Latief
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Mushthafa
M. Riza Fahlevi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M’Shoe
Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1
Maghfur Munif
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahwi Air Tawar
Majelis Ulama Indonesia
Makalah Tinjauan Ilmiah
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mantan Pastur Hafidz Al-Qur'an
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Hatch
Marwan Ja'far
Marwita Oktaviana
Marzuki Mustamar
Mashuri
Masjid Tegalsari di Pesantren Gerbang Tinatar
Masuki M. Astro
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Max Arifin
Maya Handhini
Mbah Kalbakal
Medco
Media Jawa Timur
Medri Osno
Mega Vristian
Mei Anjar Wintolo
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Menggalang Dana Amal
Mentari Meida
Mh Zaelani Tammaka
Michael Gunadi Widjaja
Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno)
Misbahul Huda
Misbahus Surur
Moch. Faisol
Mochammad A. Tomtom
Moh Samsul Arifin
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Afifi
Mohammad Rafi Azzamy
Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ghannoe
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Rain
Muhammad Taufik
Muhammad Yasir
Muhammad Zia Ulhaq
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukafi Niam
Mukhsin Amar
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Mun'im Sirry
Muntamah Cendani
Museum Bikon Blewut Ledalero
Musfarayani
Musfi Efrizal
Musyayana
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nabi Adam
Nanang Fahrudin
Nandang Darana
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Ni Luh Made Pertiwi F
Nindya Herdianti
Ninin Nurzalina Wati
Nitis Sahpeni
Nono Anwar Makarim
Noor H. Dee
Noorsam
Noval Jubbek
Novel Pekik
Novianti Setuningsih
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Hamzah
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nuswantoro
Nyimas
Nyoman Tingkat
Obrolan
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Opini
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Padepokan Lemah Putih Surakarta
Pagelaran Musim Tandur
Pameran Seni Rupa
Panda MT Siallagan
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Pekan Literasi Lamongan
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Jumartono
Pelukis Saron
Pelukis Senior Tarmuzie
Pendidikan
Penerbit SastraSewu
Penerbitan dan Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan
Pengajian
Pengetahuan
Perang
Peringatan Hari Pahlawan 10 November
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
Pesantren An Nawawi Tanara (Penata)
Pesantren Kampung Inggris
Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011
Petrik Matanasi
Pilang Tejoasri Laren Lamongan
Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur
Pilkada
Piramid Giza
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pradana Boy ZTF
Pradaningrum Mijarto
Pramoedya Ananta Toer
Prih Prawesti Febriani
Pringadi AS
Prof Dr Achmad Zahro
Prof Dr Aminuddin Kasdi
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Puji Hartanto
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Puspita Rose
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Satria Kusuma
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.Ng. Ronggowarsito
Rabdul Rohim
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sazaly
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Rengga AP
Reni Lismawati
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Riadi Ngasiran
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Rieke Diah Pitaloka
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Rizka Halida
Rizky Putri Pratimi
Robin Al Kautsar
Rocky Gerung
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohmad Hadiwijoyo
Rohmah Maulidia
Rohman Abdullah
Rojiful Mamduh
Rosdiansyah
Rosi
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rumah Budaya Pantura Lamongan
Rumah Literasi
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Saifur Rohman
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Sardono W Kusumo
Sartika Sari
Sarworo Sp
Sastra Facebook
Satmoko Budi Santoso
Satrio Lintang
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Savidapius
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis
SelaSAstra Boenga Ketjil
SelaSAstra Boenga Ketjil #23
SelaSAstra Boenga Ketjil #24
Seni Ambeng Ponorogo
Senirupa
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Shofiyatuz Zahroh
Shohebul Umam JR
Sholihul Huda
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Silfia Hanani
Sindu Putra
Sita Planasari Aquadini
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Hadi Purnomo
Soediro Satoto
Soegiharto
Soeprijadi Tomodihardjo
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sreismitha Wungkul
Sri Igustin
Sri Mulyani
Sri Wintala Achmad
Sriyanto Danoesiswoyo
Stefanus P. Elu
Stevani Elisabeth
STKIP PGRI Ponorogo
Student Center Kampus ISI Yogyakarta
Subagio Sastrowardoyo
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Ariyadi
Sukitman
Sumenep
Sumiati Anastasia
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungelebak
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Suyadi San
Syafrizal Sahrun
Syaifuddin Gani
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Syamsul Arifin
Syamsul Rizal
Syi'ir
Syifa Amori
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajuddin Noor Ganie
Tamrin Bey dan Robin Al Kautsar
TanahmeraH ArtSpace
Tarpin A. Nasri
Taufik Rachman
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater
Teater Air
Teater Bias
Teater Biru
Teater Cepak
Teater Dua
Teater Kanjeng
Teater Lingkar Merah Putih
Teater Mikro
Teater nDrinDinG
Teater Nusa
Teater Padi
Teater Roda UNISDA Lamongan
Teater Sakalintang
Teater Tali Mama
Teater Taman
Teater Tawon
Teater Tewol
Teguh LR
Temu Karya Teater Jawa Timur XXI
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Teori Darwin
Teori Fisika Hawking
Tgk Abdullah Lam U
Tharie Rietha
The Ibrahim Hosen Institute
Theresia Purbandini
Thomas Koten
Tien Rostini
Timur Arif Riyadi
Tjahjono Widarmanto
Tjut Zakiyah Anshari
Toeti Adhitama
Tosa Poetra
Tri Andhi S
Triyanto triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tutut Herlina
Ucu Agustin
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Jember
Usman Arrumy
Ustadz Bangun Samudra
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Vassilisa Agata
Veven Sp. Wardhana
Viddy AD Daery
Video
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vita Devi Ajeng Pratiwi
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wakos R. Gautama
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Suryandoko
William Shakespeare
Wisnu Kisawa
Wiwik Widiyati
Wong Wing King
Wuri Kartiasih
Y. Wibowo
Yayasan Thoriqotul Hidayah 1
Yayat R. Cipasang
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yulianto
Yuliawati
Yunanto Sutyastomo
Yunus Supriyanto
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf AN
Yusuf Suharto
Yusuf Wibisono
Yuval Noah Harari
Yuyuk Sugarman
Z. Mustopa
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zarra Martsella
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zen Hae
Zii
Zuhdi Swt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar