Rabu, 21 Maret 2012

Tentang Ubud yang Eksoktik dan Keterasingan yang Unik

Hary B Kori’un
http://riaupos.com/

“Kami sangat bahagia, dari tahun ke tahun penyelenggaran festival ini semakin membaik dan diminati banyak penulis maupun pecinta sastra. Kami juga sangat senang, Ubud, juga Bali, kini telah kembali pulih, menjadi salah satu tujuan wisata dunia, setelah tragedi bom yang mengenaskan pada Oktober 2003. Kami bahagia, festival ini bisa diadakan setiap tahun dan kami terus berupaya melakukan perubahan menuju perbaikan…”

Janet De Neefe, perempuan asal Australia yang menikah dengan Ketut Suardana, pengusana kafe dan restoran di Ubud (Kabupaten Gianyar, Bali) —pemilik dua restoran besar dan ternama di sana, yakni Casa Luna dan Indus— tak bisa menyembunyikan kebahagiannya ketika memberi sambutan dalam Gala Opening Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2010 di Puri Ubud, Rabu, 6 Oktober 2010. Wanita asal Melbourne yang sudah hampir 20 tahun hidup di Ubud itu, adalah penggagas UWRF di bawah Yayasan Mudra Swari Saraswati, sebuah yayasan yang didirikannya bersama sang suami. Janet berharap, di tahun-tahun berikutnya, UWRF tetap menjadi salah satu festival sastra favorit, yang bisa memberi semangat para sastrawan untuk menghasilkan karya terbaiknya.

UWRF adalah salah satu festival sastra terbaik di Asia. Tak banyak sastrawan yang bisa ikut menjadi peserta di festival tersebut. Saya bahagia karena pada 2010 ini menjadi salah satu peserta undangan asal Indonesia yang dipilih tim kurator yang terdiri dari Triyanto Triwikromo (Semarang), Cok Sawitri (Bali) dan Aan Mansyur (Makassar). Saya juga bahagia karena bisa berkomunikasi dengan 100 lebih penulis dari 30 negara yang melamar untuk ikut dalam iven ini, meski dengan alat komunikasi yang sangat terbatas. Tetapi sastra, adalah alat komunikasi yang tanpa batas.

Peserta dari Indonesia yang diundang dari seleksi ratusan sastrawan yang melamar adalah Kurnia Effendi (Jakarta), Medy Loekito (Jakarta), Nusya Kuswatin (Jawa Timur), Hermawan Aksan (Bandung), Wendoko (Jakarta), Benny Arnas (Lubuklinggau), Imam Muhtarom (Surabaya), Hary B Kori’un (Pekanbaru), Iwan Darmawan (Bali), Magriza Novita Syahti (Padang), Ni Made Purnamasari (Bali), Arif Rizki (Padang), Andha S (Padang), Zelfina Wimra (Padang), Wa Ode Wulan Ratna (Jakarta) dan W Hariyanto (Surabaya). Selain kami, panitia juga mengundang Dewi Lestari, Sunaryono Basuki KS, Toenggoel Siagian, Sosiawan Leak, Debra Yatim, Noor Huda Ismail, dan beberapa penulis lainnya.

Keberadaan saya di Ubud, juga sebuah “kebetulan”. Ini berkali-kali saya tekankan kepada beberapa teman yang bertanya apakah benar saya diundang di festival yang selama ini tak pernah terpikirkan dalam angan saya ini –karena saya yakin sampai kapanpun tak akan bisa sampai ke sana. Faktor kebetulan ini memang benar adanya, karena saya tak pernah melamar (dengan mengirimkan karya berupa buku sastra yang sudah diterbitkan atau dalam bentuk cerpen, sajak, dan esai yang kemudian diseleksi para kurator). Lima bulan sebelum festival, saya diberi tahu oleh Syafruddin Azhar, senior editor Penerbit Kakilangit Kencana, bahwa nama saya lolos untuk ikut festival. Dua hari kemudian, panitia UWRF mengirimkan surat resmi melalui e-mail.

Saya harus berterima kasih kepada editor saya itu, karena novel terakhir saya yang diterbitkan penerbitnya, yakni Nyanyian Kemarau, dikirim oleh Syafruddin ke panitia UWRF bersama beberapa novel penulis lainnya. Novel yang juga “dihargai” menjadi nominator Anugerah Sagang 2010 itulah yang mengantarkan saya ke UWRF bersama tiga penulis dari Kakilangit Kencana lainnya, yakni Nusya Kuswantin dan Hermawan Aksan. Saya juga harus berterima kasih kepada Hivos yang telah membiayai keberangkatan saya dan menanggung semua kebutuhan saya selama di Ubud.
***

Ubud, yang menjadi salah satu kota utama tujuan wisata di Asia Pasifik, memang tempat favorit orang asing. Bukan hanya karena eksoktisme alamnya, mulai dari sawah terasering hingga pasar seni, juga keramahan penduduknya (yang menjadi salah satu setting film Hollywood yang kini sedang diputar di gedung-gedung bioskop di Indonesia yang diperankan oleh Julia Robert, yakni Eat Pray Love), Ubud memang sebuah tempat “yang dipersembahkan Dewata” –begitu penduduk Ubud meyakini. Ada ketenangan, aroma kembang yang relijius di semua tempat, orang-orang yang sabar di jalan yang selalu macet, hujan yang bisa datang berkali-kali dalam sehari…

“Lama-lama di sini, saya bisa meninggalkan keluarga di Jakarta untuk menetap di Ubud,” kata salah seorang teman yang tak mau namanya ditulis, yang merasa waktu seminggu menjadi sangat sebentar.

Hingga festival keenam 2009, UWRF telah mendapatkan predikat sebagai One of The World’s Great Book Festival oleh Conde Nast Travel and Leisure, Among The Top Six Literary Festival in World’s oleh Harper’s Bazzar dan The Best Art Event 2006 oleh The Beat Magazine.

UWRF pertama kali digelar tahun 2004 sebagai respon atas tragedi Bom Bali I 2003. Pasca Bom Bali itu, para turis asing banyak yang memilih pulang ke negerinya, atau tak mau dan tak bisa datang ke Bali karena travel warning yang dikeluarkan banyak negara agar tak berkunjung ke Indonesia, terutama Bali. Orang Australia dan Selandia Baru adalah turis asing terbanyak di Bali, terutama Ubud, selain Jepang, Amerika Serikat, Inggris, dan Hongkong. Ketika itu, Bali seperti menjadi pulau indah yang sepi dan lengang. Kafe-kafe, hotel, pantai atau bukit-bukit yang sebelumnya sangat ramai orang asing, tiba-tiba sepi. Ekonomi Bali yang mengandalkan sektor pariwisata, seperti mati suri.

Janet de Neefe, yang sangat mencintai Bali, sedih dengan keadaan itu. Dia kemudian mengajak teman-temannya sesama orang Australia untuk melakukan sesuatu agar orang asing mau kembali datang ke Ubud, untuk menjelaskan bahwa Bali (terutama Ubud) sangat aman bagi siapapun. Setelah berbagai pembicaraan dilakukan dengan teman-temannya, kemudian diputuskan bahwa iven UWRF menjadi pilihan. Janet kemudian merayu suaminya, Ketut Suardana, untuk meminjamkan modal penyelenggaraan awal, dan setelah itu didirikanlah Yayasan Mudra Swari Saraswati sebagai penyelenggara UWRF.

“Perjuangan Janet dan suaminya untuk menyelenggarakan iven ini sangat luar biasa hingga menjadi salah satu festival sastra terbaik di dunia hingga saat ini,” jelas Kadek Purnami, Community Development Manager UWRF.

Festival pertama berlangsung pada 11-17 Oktober 2004 dengan tema Through Darkness to Light/Habis Gelap Terbitlah Terang, yang diikuti oleh 128 penulis dari 11 negara. Kemudian yang kedua tahun 2005 dengan tema Between World’s/Antar Benua. Inilah festival yang diselenggarakan dalam suasana duka karena empat hari sebelum acara berlangsung, terjadi Bom Bali II. Namun Janet dan “pasukannya” tak patah arang. Festival tetap berlangsung diikuti 100 penulis, hanya beberapa penulis asing yang membatalkan kedatangannya. Hingga 2010 ini, UWRF sudah tujuh kali diselenggarakan, dan tahun ini dengan peserta terbanyak dari 30 negara. Tema 2010 adalah Bhineka Tunggal Ika (Harmony in Diversity), yang memberi penekanan pada pentingnya penghormatan pada keberagaman (pluralitas dan multikultur) saat dunia memasuki era tanpa batas.

“Dalam kondisi seperti ini, kearifan lokal amat penting. Kebudayaan lokal adalah kekayaan yang luar biasa, dan Indonesia memiliki ribuan budaya lokal. Saya kira, Anda harus bangga dengan itu sebagai orang Indonesia. Tidak semua negara memiliki kekayaan seperti itu,” ujar Ezra Bix, penyair asal Australia yang juga ikut berkunjung ke Pekanbaru dalam acara satelite event yang diselenggarakan UWRF.
***
YANG menarik dari festival ini adalah bagaimana penyelenggara menjadikan acara sastra, yakni panel diskusi, bisa menjadi sebuah “tontonan” yang mengundang orang untuk ikut di dalamnya dengan membeli tiket masuk yang harganya sangat tinggi. Untuk bisa mengikuti panel diskusi, seorang pengunjung festival harus membayar Rp200-500 ribu rupiah. Tentu ada beberapa iven yang diberikan gratis, seperti pertunjukan dan beberapa panel yang memang dibuat gratis.

Menjual sebuah diskusi sastra bukanlah perkara mudah. Di daerah-daerah di luar Ubud, di Pekanbaru misalnya, bahkan diberikan gratis dengan pembicara terkenal sekalipun, tak banyak orang yang mau mengikutinya. Tetapi di Ubud, hampir semua panel diskusi diserbu para pembaca sastra dari berbagai daerah di Indonesia yang sengaja hadir di sana, juga dari berbagai negara. “Ini festival sastra internasional yang sangat bergengsi, dan saya jauh-jauh datang dari Vietnam untuk bisa hadir di sini,” ujar Nguyen Van Pamh, seorang mahasiswa dari sebuah universitas di Ho Chi Mint, Vietnam, di Indus Cafe, saat sebuah panel berlangsung.

Saking mahalnya untuk ikut iven ini, banyak pecinta sastra yang “mengubah” dirinya menjadi volunteer untuk ikut ke Ubud. Kebetulan, panitia memang memerlukan ratusan volunteer, dan mereka datang dari berbagai negara, seperti Irlandia, Amerika Serikat, Australia, Vietnam, Inggris, Jerman, Prancis dan dari berbagai daerah di Indonesia. Hellen Sjuhada dan Jean Marlon Tahitoe, misalnya. Dua gadis asal Jakarta dan Bandung ini memiliki pekerjaan tetap di kotanya. Hellen adalah redaktur Majalah Femina, sedang Jean adalah seorang penyir radio di Bandung. Namun keduanya rela mengambil cuti untuk mendaftar menjadi relawan di acara ini.

“Kami tak langsung diterima, harus melamar dengan berbagai persyaratan yang ketat, dan pendaftarnya ribuan,” ujar Jeans, gadis berdarah Maluku ini. Sementara menurut Hellen yang juga masih berstatus mahasiswi di Komunikasi UI, dia mau menjadi relawan karena ingin sekaligus liputan di UWRF. “Soalnya, kalau mendaftar untuk meliput, sangat terbatas,” jelasnya.

Menurut Wayan Juniartha, Indonesiaan Program Coordinator UWRF, para penulis asing yang datang ke festival ini juga harus mengirimkan proposal dan membiayai diri sendiri karena panitia UWRF tak menyediakan fasilitas apapun dengan gratis. Dia mencontohkan, beberapa penulis asing seperti Rabih Alamanddine (Lebanon) didanai oleh Kedutaan Amerika untuk ikut ke UWRF; Ricardo M de Ungria (Filipona) mendapat didanai oleh National Commission for Culture and Arts of Philippines; Joan London (Australia) dibiayai oleh Australia Council; Sitor Situmorang (Indonesia/Prancis) didanai oleh Indonesian Heriatage Society; atau Anne-Ruth Wertheim (Belanda) yang dikirim oleh Letterenfonds and Kingdom of Netherlands. Sementara para penulis Indonesia didanai oleh Hivos, sebuah lembaga asing yang sangat konsen terhadap sastra dan budaya. Para penulis Indonesia, hampir semuanya didanai oleh Hivos.

“Tak ada penulis asing maupun Indonesia yang gratis datang ke UWRF. Kalau mereka tak didanai oleh founding, mereka biasanya dikirim oleh penerbitnya atau biaya sendiri,” jelas Juniartha yang juga wartawan The Jakarta Post itu.

Pengalaman para penulis baik dari Indonesia maupun asing, sangat beragam. Keterbatasan komunikasi (seluruh acara festival memakai Bahasa Inggris) adalah salah satunya. Namun, itu tak membatasi terjadinya dialog, karena ada penerjemah yang selalu ada jika dibutuhkan. Banyak penulis Indonesia yang menggunakan jasa penerjemah, selain beberapa yang memang fasih berbahasa Inggris.

“Saya baru sekali ini ikut sebuah acara sastra internasional. Ini adalah pengalaman sangat berharga bagi saya bisa berbagi pikiran dengan teman-teman sastrawan dari berbagai negara,” ujar Maghriza Novita Syahti, cerpenis asal Padang, yang merupakan peserta termuda dalam iven ini. Maghriza, yang dalam salah satu panel diskusi menjadi pembicara bersama Imam Muhtarom (Surabaya) dengan tema Surreal Worlds (Dunia yang Tak Nyata) dengan lugas dan tanpa takut bicara tentang latar belakang cerpen-cerpennya yang absurd. Salah satu cerpennya yang menjadi pembicaraan dalam diskusi dan peluncuran buku antologi adalah “Tiga Wanita dalam Hitam” yang diterjemahkan menjadi Three Women in Black oleh Toni Pollard. Menurut Pollard, untuk gadis berusia 20 tahun seperti Maghriza, apa yang ditulisnya sangat luar biasa.

Saya sendiri mendapat dua panel diskusi sebagai pembicara. Yang pertama bersama Kurnia Effendi dan Zelfeni Wimra pada Kamis (7/10) di Citibank Laiunge, dengan tema The Power of The Short. Ini tema yang agak “aneh” bagi saya, karena harus bercerita kekuatan karya-karya pendek seperti cerpen, sementara saya “terbiasa” menulis novel. Namun, sebenarnya, novel adalah karya yang “pendek” karena tak semua bercerita tentang keseluruha keseharian sang karakter. Saya menjelaskan bahwa salah satu kekuatan tema sastra Riau hari ini adalah tentang keterasingan masyarakat yang seolah menjadi penonton dalam proses sosial-ekonomi raksasa yang ada di tanahnya. Seorang peserta diskusi asal Jakarta, Hary Surjadi, yang juga aktivis lingkungan, sempat bertanya apakan latar realitas yang saya bawa dalam novel-novel saya, bisa mempengaruhi para pengambil keputusan. Saya jawab, bahwa tugas seorang pengarang adalah menulis, dan apa yang terjadi setelah itu adalah masalah lain, karena karya itu yang akan berbicara sendiri. Beberapa peserta asing sangat tertarik dengan sub-tema yang saya tawarkan, dan mereka berjanji akan mencari literatur tentang Riau hari ini.

Pada panel kedua bertajuk Journalists Making it Up, saya semeja dengan Nusya Kuswantin dan Ioannis Gatiounnis (penulis dan wartawan yang tinggal di Kuala Lumpur berdarah Yunani) di Indus Cafe. Ratusan peserta yang duduk di depan kami hampir semuanya bule. Pokok bahasannya adalah tentang “dunia terbelah” yang harus dilakukan oleh para wartawan yang juga menulis sastra. Kebetulan, Nusya adalah mantan wartawan Kompas dan Surya di Jatim. Nusya menjelaskan, pada dasarnya, ketika menjadi penulis sastra, seorang wartawan justru diuntungkan dengan banyaknya realitas yang sering didapatkan di lapangan. “Tetapi sebagai sebuah fiksi, karya yang ditulis juga harus ada unsur fiksi,” jelas penulis novel Lasmi, novel berlatar komunis tahun 1965 dengan setting di Jatim.

Ioannis juga demikian. Menurutnya, pekerjaan wartawan yang serius dan penulis yang lebih santai, akan memudahkan dirinya dalam mendapatkan tema-tema penting. “Tidak semua persoalan nyata yang saya dapatkan di lapangan bisa dijadikan fiksi. Fiksi tetap fiksi dengan segala aspeknya, dan jurnalistik adalah fakta yang tak bisa disamakan dengan fiksi. Namun keduanya saling membantu,” jelas penulis novel Velvet and Cinder Blocks ini.

Benarkah jurnalis mengada-ada ketika membawa persoalan nyata ke dunia fiksi? Saya dan Nusya sepakat, bahwa “mengada-ada” bukanlah kata yang tepat, karena dengan persoalan nyata tersebut, justru lebih memudahkan dalam membentuk karakter fiksi. Saya menjelaskan tentang karakter Martinus Amin dalam Nyanyian Batanghari dan Rusdi dalam Nyanyian Kemarau. Mereka adalah karakter fiksi, meski dalam plot mereka hidup di dunia “nyata” yang memang benar-benar terjadi. Kebetulan, kedua karakter itu pernah “hidup” dalam tragedi Mei 1998 yang menjatuhkan rezim Soeharto.
***

ADA ratusan panel diskusi yang tak semua bisa diikuti oleh semua penulis. Selain waktunya yang sering bersamaan, juga karena tidak semua panel bisa diikuti oleh para peserta yang nirbayar. Selain itu, tempat yang berjauhan juga menyulitkan semua peserta untuk ikut semua panel. Selain di Neka Museum, Citibank Laounge dan Indus Cafe (ketiganya di Jl Sanggingan Ubud), beberapa venue di luar Ubud juga dipakai, seperti di Denpasar, Singaraja atau Kuta.

“Inilah uniknya festival ini. Semua peserta yang ikut pasti mendapatkan waktu sebagai pembicara dalam panel diskusi, dan itu perjuangan yang tidak ringan dari kami di program acara,” ujar Wayan Juniartha dan Kadek Purnami yang sempat datang ke Pekanbaru dalam satelite event.

Dari tahun ke tahun, ujar Juniartha, peminat UWRF terus bertambah dan penyelenggara harus secara ketat melakukan seleksi. “Tapi yakinlah, peserta dari Indonesia tetap terbanyak, 15 orang, dan semua mendapatkan minimal 2 panel diskusi, mengisi workshop dan membacakan karya,” jelas Juniarta.

UWRF memang festival sastra yang unik, menarik, eksoktik, megah dan inspiratif. Kita seolah berada di alam lain, di luar keseharian sastrawan Indonesia lainnya. Ketika mengikuti Gala Opening, saya merasa menjadi sangat minoritas di Puri Ubud, sebab, dari hampir 2 ribu orang yang hadir, hampir semuanya orang asing, dan orang Indonesia yang hadir di sana bisa dihitung dengan jari. “Kita jadi minoritas di negeri sendiri,” kata Yudhi Herwibowo, novelis asal Solo.

“Tapi ini menarik, karena hampir semuanya adalah pecinta sastra. Tak banyak orang Indonesia yang mencintai dan membeli buku sastra,” sambung Imam Muhtarom.

“Sepulang dari sini, saya akan menulis novel, karena saya tak berhasil menulis novel selama ini,” ujar Benny Arnas yang baru saja menerbitkan kumpulan cerpennya, Bulan Celurit Api.

Ya, banyak hal yang didapat di sana. Tentang bagaimana menghargai kerja kebudayaan, mencintai buku sastra, antusiasme para pembaca, atau tentang bagaimana mengelola iven sastra agar dihargai masyarakat di luar sastra. Dan UWRF berhasil melakukannya, meski kelemahan tetap ada di sana-sini.***

*) Wartawan Riau Pos dan penulis novel yang kebetulan diundang ke Ubud Writers & Readers Festival 2010.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Alexander A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Dahana A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.C. Andre Tanama A.J. Susmana A.S. Laksana A’an Jindan AS Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Rauf Singkil Abdul Walid Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adek Alwi Adhi Pandoyo Adhitia Armitrianto Adhy Rical Adi Faridh Adian Husaini Adin Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrizas Adu Pesona Sang Wakil Presiden RI AF. Tuasikal Afri Meldam Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agit Yogi Subandi Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Rakasiwi Agus Sulton Agus Wibowo Agus Wirawan Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ah. Atok Illah Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Anshori Ahmad Damanik Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Hasan MS Ahmad Jauhari Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad S. Zahari Ahmad Syafii Maarif Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fiah Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Siddiq Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al-Fairish Al-Ma'ruf I Al-Ma'ruf II Alang Khoiruddin Albert Camus Ali Mahmudi Ch Alia Swastika Alvi Puspita Alvin Amien Wangsitalaja Aminah Aming Aminoedhin Ana Mustamin Anam Rahus Anas AG Andhi Setyo Wibowo Andi Gunawan Andry Deblenk Angela Anggie Melianna Anindita S. Thayf Anis Ceha Anitya Wahdini Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anugerah Ronggowarsito Anwar Nuris Aprillia Ika Arida Fadrus Aridus Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Ariel Heryanto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Arwan Aryo Wisanggeni Aryo Wisanggeni Gentong AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Ashadi Ik Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asro Kamal Rokan Astrid Reza Asvi Warman Adam Atafras Atok Witono Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azwar Nazir Baca Puisi Badrus Siroj Bahrul Ulum A. Malik Balada Bambang kempling Bambang Riyanto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berita Utama Bernando J. Sujibto Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Bre Redana Brunel University Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Jay Utomo Budi P. Hatees Budi Palopo Budi Setyarso Budi Sp. Indrajati Budiman S. Hartoyo Budiman Sudjatmiko Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Choirul Rikzqa Christian Heru Cahyo Saputro Cover Buku D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dadang Widjanarko Damiri Mahmud Dani Fuadhillah Daniel Paranamesa Darju Prasetya Dati Wahyuni Dawet Jabung Ponorogo Dedykalee Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Deshinta Arofah Dewi Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan Dewi Anggraeni Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Didik Kusbiantoro Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dorothea Rosa Herliany Dr Andi Irawan Dr Siti Muti’ah Setiawati Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Drs. Solihin Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddi Koben Edeng Syamsul Ma’arif Edy Apriyanto Sudiyono Edy Firmansyah Edy Susanto Efri Ritonga EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hartono Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elita Sitorini Elly Trisnawati Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Em. Syuhada' Emha Ainun Nadjib Encep Abdullah Eni Sulistiyawati Eny Rose Esai Ester Lince Napitupulu Etik Widya Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathan Mubarak Fathul Qodir Fathul Qorib Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Seni Surabaya 2011 Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fikri. MS Fiqih Arfani Firman Daeva Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Forum Santri Nasional (FSN) Free Hearty Galuh Tulus Utama Gandis Uka Ganug Nugroho Adi Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gendut Riyanto Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Pratama Glenn Fredly Goenawan Mohamad Golput Gombloh Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Hadi Napster Hafis Azhari Halim HD Halimi Zuhdy Hamid Dabashi Han Gagas Hardi Hamzah Hari Prasetyo Haris Del Hakim Haris Saputra Hary B Kori’un Hasan Basri Marwah Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Hendro Situmorang Henri Nurcahyo Henry H Loupias Hera Khaerani Heri CS Heri Kris Heri Latief Heri Listianto Herman RN Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Kuntoyo Heru Kurniawan Hikmat Darmawan Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humaidi Humam S Chudori I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I. B. Putera Manuaba IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ichwan Prasetyo Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Munadjat Imam Nawawi Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Herdiana Imron Arlado Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indigo Art Space Madiun Indra Tjahyadi Indrian Koto Ingki Rinaldi Iqmal Tahir Is Faridatul Arifah Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Isra’ Mi’raj Iswadi Pratama Iswara N Raditya Iva Titin Shovia Iwan Awaluddin Yusuf Iwan Gunadi J. Sumardianta Jamrin Abubakar Jansen Sinamo Janu Jolang Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jemie Simatupang Jenny Ang Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jl Simo Jo Batara Surya Jodhi Yudono Joko Budhiarto Joko Sadewo Joko Sandur Joko Widodo Jones Gultom Joni Ariadinata Joresan Mlarak Ponorogo Joseph E. Stiglitz Jual Buku Paket Hemat Junus Satrio Jurnalisme Sastra K. Hirzuddin Hasbullah K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.H. Masrikhan Asy'ari K.H. Mudzakir Ma'ruf Kadjie MM Kajian Kitab Nashoihul 'Ibad Kang Daniel Karanggeneng Kartika Foundation Kasanwikrama Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kekal Hamdani Kemah Budaya Panturan (KBP) Kesenian KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Anwar Khoirul Inayah Khoirul Naim Khoirul Rosyadi Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Koko Sudarsono Komaruddin Hidayat Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopuisi Korban Gempa di Lombok Kospela KPRI IKMAL Lamongan Kris Razianto Mada Kritik Sastra Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kusni Kasdut Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto Lagu Laili Rahmawati Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Latif Fianto Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Listiyono Santoso Liya Izzatul Iffah Liza Wahyuninto Lucky Aditya Ramadhan Ludruk Jawa Timur Lukisan Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lustantini Septiningsih Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Ismail M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Iqbal Dawami M. Irfan Hidayatullah M. Latief M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Mushthafa M. Riza Fahlevi M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Maghfur Munif Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahwi Air Tawar Majelis Ulama Indonesia Makalah Tinjauan Ilmiah Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mantan Pastur Hafidz Al-Qur'an Maqhia Nisima Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Marsel Robot Martin Aleida Martin Hatch Marwan Ja'far Marwita Oktaviana Marzuki Mustamar Mashuri Masjid Tegalsari di Pesantren Gerbang Tinatar Masuki M. Astro Matroni el-Moezany Matroni Muserang Max Arifin Maya Handhini Mbah Kalbakal Medco Media Jawa Timur Medri Osno Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Misbahul Huda Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh Samsul Arifin Moh. Ghufron Cholid Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ghannoe Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Rain Muhammad Taufik Muhammad Yasir Muhammad Zia Ulhaq Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukhsin Amar Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Mun'im Sirry Muntamah Cendani Museum Bikon Blewut Ledalero Musfarayani Musfi Efrizal Musyayana Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nabi Adam Nanang Fahrudin Nandang Darana Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Ni Luh Made Pertiwi F Nindya Herdianti Ninin Nurzalina Wati Nitis Sahpeni Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noorsam Noval Jubbek Novel Pekik Novianti Setuningsih Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Hamzah Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nuswantoro Nyimas Nyoman Tingkat Obrolan Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Opini Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Pameran Seni Rupa Panda MT Siallagan Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit SastraSewu Penerbitan dan Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Pengajian Pengetahuan Perang Peringatan Hari Pahlawan 10 November Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pesantren Kampung Inggris Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Petrik Matanasi Pilang Tejoasri Laren Lamongan Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pilkada Piramid Giza Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pradana Boy ZTF Pradaningrum Mijarto Pramoedya Ananta Toer Prih Prawesti Febriani Pringadi AS Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Hartanto Puji Santosa Puput Amiranti N Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Satria Kusuma Putu Setia Putu Wijaya R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.Ng. Ronggowarsito Rabdul Rohim Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sazaly Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Rengga AP Reni Lismawati Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Rieke Diah Pitaloka Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rizka Halida Rizky Putri Pratimi Robin Al Kautsar Rocky Gerung Rodli TL Rofiqi Hasan Rohmad Hadiwijoyo Rohmah Maulidia Rohman Abdullah Rojiful Mamduh Rosdiansyah Rosi Rosidi Roso Titi Sarkoro Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rumah Literasi Rx King Motor S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Saifur Rohman Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Sardono W Kusumo Sartika Sari Sarworo Sp Sastra Facebook Satmoko Budi Santoso Satrio Lintang Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Savidapius Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Sejarah Sekolah Literasi Gratis SelaSAstra Boenga Ketjil SelaSAstra Boenga Ketjil #23 SelaSAstra Boenga Ketjil #24 Seni Ambeng Ponorogo Senirupa Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Shofiyatuz Zahroh Shohebul Umam JR Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Silfia Hanani Sindu Putra Sita Planasari Aquadini Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Hadi Purnomo Soediro Satoto Soegiharto Soeprijadi Tomodihardjo Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Igustin Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Sriyanto Danoesiswoyo Stefanus P. Elu Stevani Elisabeth STKIP PGRI Ponorogo Student Center Kampus ISI Yogyakarta Subagio Sastrowardoyo Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Ariyadi Sukitman Sumenep Sumiati Anastasia Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungelebak Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Suyadi San Syafrizal Sahrun Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syamsul Rizal Syi'ir Syifa Amori Syifa Aulia T.A. Sakti Tajuddin Noor Ganie Tamrin Bey dan Robin Al Kautsar TanahmeraH ArtSpace Tarpin A. Nasri Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Roda UNISDA Lamongan Teater Sakalintang Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tawon Teater Tewol Teguh LR Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Teori Darwin Teori Fisika Hawking Tgk Abdullah Lam U Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute Theresia Purbandini Thomas Koten Tien Rostini Timur Arif Riyadi Tjahjono Widarmanto Tjut Zakiyah Anshari Toeti Adhitama Tosa Poetra Tri Andhi S Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Tutut Herlina Ucu Agustin Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Uniawati Unieq Awien Universitas Jember Usman Arrumy Ustadz Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vassilisa Agata Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Video Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vita Devi Ajeng Pratiwi W. Haryanto W.S. Rendra Wakos R. Gautama Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Suryandoko William Shakespeare Wisnu Kisawa Wiwik Widiyati Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yayat R. Cipasang Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yulianto Yuliawati Yunanto Sutyastomo Yunus Supriyanto Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf AN Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Yuyuk Sugarman Z. Mustopa Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zarra Martsella Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zen Hae Zii Zuhdi Swt