Denny Mizhar *
http://sastra-indonesia.com/
Dengan artistik yang minimalis dan musik yang sederhana, pentas monolog Jendral Markus pun berlangsung. Adegan awal yang dimulai dengan sapa tokoh kepada penonton, layaknya seorang yang sedang orasi ditengah kerumunan massa. Hal tersebut nampak pada pemilihan bentuk panggung arena yakni upaya tak mengambil jarak dengan penonton.
Lontaran pertanyaan-pertanyaan pada penonton tentang dirinya (Jendral Markus) terus berulang, tetapi penonton pun tak menjawab siapa Jendral Markus, hanya senyum dan bingung tampak pada ekpresi para penonton di Sasana Krida Budaya. Akhirnya Jendral Markus pun mengenalkan dirinya sendiri, bahwa ia yang menjaga kota ketika kota dilanda kekacauan, pembakaran pertokoan. Tak hanya sampai situ, penonton di bawa pada alur mundur akan pertemuan dengan seorang ibu yang menanyakan anaknya yang hilang. Anak seorang ibu yang bergabung dalam dunia aktivisme dan sering melakukan demontrasi menentang kekuasaan. Kali ini Jendral Markus tak berdaya, tak dapat menemukan anak dari seorang ibu yang hilang. Bagi Jendral, itu adalah tanggung jawabnya dengan begitu ia tak berhenti hingga anak dari ibu tersebut ditemukan sudah tewas di pinggir sungai. Jendral bingung, harus menjelaskan dengan cara apa pada ibu yang melaporkan anaknya yang hilang dan ditemukan olehnya sedang tewas.
Konfik menjadi tajam, ketika kedatangan seorang pemuda yang membawa kabar tentang keselamatan dirinya, tetapi ditolaknya bahkan ia mengatakan bahwa hidupnya jauh dari selamat. Keselamatan yang ditawarkan oleh pemuda tersebut adalah keikutsertaan akan suatu rencana dan dirinya akan dilibatkan dalam rencana tersebut. Dari penolakannya, membuat semuanya menjadi suram setelah empat orang mendatangi rumahnya tetap saja ia tak mau, akhirnya rumahnya dibakar anaknya hilang dan istrinya entah kemana.
Dibalik kesuraman hidupnya atas penolakan rencana kejahatan, ia meratap. Ratapan hanya sementara, ia pun tersenyum dan tertawa kembali karena ia masih memiliki nurani. Ia pun berkeliling ke mana-mana, tetap mengangkat hormat pada negerinya.
Tak lama kemudian setelah Jendral Markus melakukan perjalanannya dan berkeliling ke sana-kemari, menghadiri pertemuan-pertemuan dan perutnya mulai lapar, fikiranya mulai tak waras ia terjatuh. Lampu pun padam dan pertunjukan pun usai.
***
Jika kita mengingat-ingat tragedi kemanusiaan pada era Orde Baru yakni penculikan, pencekalan apabila seseorang melawan dan tidak mengikuti aturan penguasa maka nyawa akan hilang; entah nyawanya sendiri atau nyawa kerabat dekatnya. Ancaman akan bertubi-tubi datang kepadanya hingga seorang tersebut mengalami depresi dan akhirnya gila. Kewarasan nurani ternyata membawa kegilaan bagi Jendral Masrkus, hal ini menjadi berita umum hidup di bangsa ini ketika masih mengunakan nuraninya maka tak akan selamat. Banyak kisah sudah terjumpai, aktivis 98, penegak ham Munir, dan masih banyak yang lainya yang tak terberitakan. Maka hidup di bangsa ini bila ingin selamat harus mengubur nurani. Sebuah refleksi bagi kita semua, bila ingin bangsa ini menjadi lebih baik maka nurani harus tetap terjaga. Kemungkinan hal ini juga masih terjadi dalam era kekininan dalam bentu lain. Akronim nama Markus yang ramai dibicarakan oleh media massa yakni mafia kasus menjadi misteri tersendiri. Karena Markus dalam lakon pertunjukan monolog kali ini tak meiliki sikap sebagai mafia kasus, tetapi sebaliknya. Jendal Markus tokoh yang diperankan oleh Cucuk Espe dari Teater Kopi Hitam Jombang di Sasana Krida Budaya Universitas Negeri Malang pada tanggal 30 Juni 2011 pukul 19.30 yang bekerja sama dengan Teater Hampa Indonesia Univeristas Negeri Malang. Pertunjukan yang disutradarai oleh Farid Khuzaini, penata artistiknya Anjrah LB, penata musiknya Doel Khamdani dan naskah ditulis oleh antornya sendiri yakni Cucuk Espe yang telah telah berkeliling dibeberapa kota. Jika kita mengacu pada pendapat Aristotelis bahwa kesenian adalah duplikasi, maka pertunjukan monolog Jendral Markus adalah “duplikasi” kasus-kasus yang terjadi dibangsa ini yang dikemas dengan pendekatan seni pertunjukan. Selain itu memberikan kesadaran akan kondisi bangsa yang carut marut, orang benar dan baik tak bisa hidup tenang di negeri ini.
Pertunjukan monolog Jendral Markus di Sasana Krida budaya UM masih ada beberapa cela yang kurang maksimal tergarap, di antaranya adalah soal panggung arena yang tak sampai pada keutuhan tampaknya aktor di atas panggung oleh penonton yang melingkar. Hal itu dikarenakan aktor hanya bermain di titik-titik panggung yang menghadap pada penonton sebagian dan sebagaian lainya tak tampak karena tertutup properti meja kursi serta arah pandang aktor yang tak seimbang sehinga ketakterjarakan pada konsep panggung arena antara aktor dan penonton juga belum maksimal terjadi.
Begitu juga pergantian tokoh, ketika tokoh Jendral Markus kehadiran seorang ibu dan berpindah menjadi tokoh ibu yang bercerita perihal kehilangan anaknya tak ada bedanya: ada kesamaan antara Jendral Markus dan Ibu, begitu pula dengan Tokoh pemuda dan empat tamu yang datang padanya. Keterjagaan akan tokoh sebagai Jendral Markus dan tokoh-tokoh lainnya yang dihadirkan secara imajiner tak dapat nampak dengan baik.
*) Anggota Teater Sampar Indonesia Malang dan Koordinator Pelangi Sastra Malang
http://sastra-indonesia.com/
Dengan artistik yang minimalis dan musik yang sederhana, pentas monolog Jendral Markus pun berlangsung. Adegan awal yang dimulai dengan sapa tokoh kepada penonton, layaknya seorang yang sedang orasi ditengah kerumunan massa. Hal tersebut nampak pada pemilihan bentuk panggung arena yakni upaya tak mengambil jarak dengan penonton.
Lontaran pertanyaan-pertanyaan pada penonton tentang dirinya (Jendral Markus) terus berulang, tetapi penonton pun tak menjawab siapa Jendral Markus, hanya senyum dan bingung tampak pada ekpresi para penonton di Sasana Krida Budaya. Akhirnya Jendral Markus pun mengenalkan dirinya sendiri, bahwa ia yang menjaga kota ketika kota dilanda kekacauan, pembakaran pertokoan. Tak hanya sampai situ, penonton di bawa pada alur mundur akan pertemuan dengan seorang ibu yang menanyakan anaknya yang hilang. Anak seorang ibu yang bergabung dalam dunia aktivisme dan sering melakukan demontrasi menentang kekuasaan. Kali ini Jendral Markus tak berdaya, tak dapat menemukan anak dari seorang ibu yang hilang. Bagi Jendral, itu adalah tanggung jawabnya dengan begitu ia tak berhenti hingga anak dari ibu tersebut ditemukan sudah tewas di pinggir sungai. Jendral bingung, harus menjelaskan dengan cara apa pada ibu yang melaporkan anaknya yang hilang dan ditemukan olehnya sedang tewas.
Konfik menjadi tajam, ketika kedatangan seorang pemuda yang membawa kabar tentang keselamatan dirinya, tetapi ditolaknya bahkan ia mengatakan bahwa hidupnya jauh dari selamat. Keselamatan yang ditawarkan oleh pemuda tersebut adalah keikutsertaan akan suatu rencana dan dirinya akan dilibatkan dalam rencana tersebut. Dari penolakannya, membuat semuanya menjadi suram setelah empat orang mendatangi rumahnya tetap saja ia tak mau, akhirnya rumahnya dibakar anaknya hilang dan istrinya entah kemana.
Dibalik kesuraman hidupnya atas penolakan rencana kejahatan, ia meratap. Ratapan hanya sementara, ia pun tersenyum dan tertawa kembali karena ia masih memiliki nurani. Ia pun berkeliling ke mana-mana, tetap mengangkat hormat pada negerinya.
Tak lama kemudian setelah Jendral Markus melakukan perjalanannya dan berkeliling ke sana-kemari, menghadiri pertemuan-pertemuan dan perutnya mulai lapar, fikiranya mulai tak waras ia terjatuh. Lampu pun padam dan pertunjukan pun usai.
***
Jika kita mengingat-ingat tragedi kemanusiaan pada era Orde Baru yakni penculikan, pencekalan apabila seseorang melawan dan tidak mengikuti aturan penguasa maka nyawa akan hilang; entah nyawanya sendiri atau nyawa kerabat dekatnya. Ancaman akan bertubi-tubi datang kepadanya hingga seorang tersebut mengalami depresi dan akhirnya gila. Kewarasan nurani ternyata membawa kegilaan bagi Jendral Masrkus, hal ini menjadi berita umum hidup di bangsa ini ketika masih mengunakan nuraninya maka tak akan selamat. Banyak kisah sudah terjumpai, aktivis 98, penegak ham Munir, dan masih banyak yang lainya yang tak terberitakan. Maka hidup di bangsa ini bila ingin selamat harus mengubur nurani. Sebuah refleksi bagi kita semua, bila ingin bangsa ini menjadi lebih baik maka nurani harus tetap terjaga. Kemungkinan hal ini juga masih terjadi dalam era kekininan dalam bentu lain. Akronim nama Markus yang ramai dibicarakan oleh media massa yakni mafia kasus menjadi misteri tersendiri. Karena Markus dalam lakon pertunjukan monolog kali ini tak meiliki sikap sebagai mafia kasus, tetapi sebaliknya. Jendal Markus tokoh yang diperankan oleh Cucuk Espe dari Teater Kopi Hitam Jombang di Sasana Krida Budaya Universitas Negeri Malang pada tanggal 30 Juni 2011 pukul 19.30 yang bekerja sama dengan Teater Hampa Indonesia Univeristas Negeri Malang. Pertunjukan yang disutradarai oleh Farid Khuzaini, penata artistiknya Anjrah LB, penata musiknya Doel Khamdani dan naskah ditulis oleh antornya sendiri yakni Cucuk Espe yang telah telah berkeliling dibeberapa kota. Jika kita mengacu pada pendapat Aristotelis bahwa kesenian adalah duplikasi, maka pertunjukan monolog Jendral Markus adalah “duplikasi” kasus-kasus yang terjadi dibangsa ini yang dikemas dengan pendekatan seni pertunjukan. Selain itu memberikan kesadaran akan kondisi bangsa yang carut marut, orang benar dan baik tak bisa hidup tenang di negeri ini.
Pertunjukan monolog Jendral Markus di Sasana Krida budaya UM masih ada beberapa cela yang kurang maksimal tergarap, di antaranya adalah soal panggung arena yang tak sampai pada keutuhan tampaknya aktor di atas panggung oleh penonton yang melingkar. Hal itu dikarenakan aktor hanya bermain di titik-titik panggung yang menghadap pada penonton sebagian dan sebagaian lainya tak tampak karena tertutup properti meja kursi serta arah pandang aktor yang tak seimbang sehinga ketakterjarakan pada konsep panggung arena antara aktor dan penonton juga belum maksimal terjadi.
Begitu juga pergantian tokoh, ketika tokoh Jendral Markus kehadiran seorang ibu dan berpindah menjadi tokoh ibu yang bercerita perihal kehilangan anaknya tak ada bedanya: ada kesamaan antara Jendral Markus dan Ibu, begitu pula dengan Tokoh pemuda dan empat tamu yang datang padanya. Keterjagaan akan tokoh sebagai Jendral Markus dan tokoh-tokoh lainnya yang dihadirkan secara imajiner tak dapat nampak dengan baik.
*) Anggota Teater Sampar Indonesia Malang dan Koordinator Pelangi Sastra Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar