Sabrank Suparno
**
Sang Mentari.
Aku selalu datang penuhi janjiku. Sosok lelaki kekar itu tak sekedar bersumpah serapah. Perawakannya yang dempal tak asing lagi menyapa seribu kekasih yang selalu menunggu belaian kemesraan. Dia lelaki pantang. Tak sedetikpun waktunya terhadang. Rona wajah merahnya bukanlah guratan marah, malah senyum ditebar seluas pesona. Kepalanya bersorban ufuk. Sebentuk tubuhnya serupa bola mata. Ia merangkak ke bumi, menapaki perbukitan, memanjati pepohonan, menyusuri tebing, menyelinap di antara dahan, mengintip dari celah dedaunan. Sejenak kemudin bertengger diatas bebatuan, dan ngangkang di sawah-sawah, di atas kota, di antara gunung.
Aku pecinta sejati. Kehangatan cintaku terpancar moncer. Menerpai setiap lipatan. Membelai seluruh kerisauan. Aku singkap selimut hitam. Aku telanjangi bulat-bulat eksotis tubuhmu yang aduhai! Dan tinggallah aku gerayangi separuh tubuhmu dengan kegairahan cintaku yang membara. Kesetiaanku adalah sinar yang aku pancarkan sejak berjuta-juta tahun lalu , yang hari ini menyentuhmu.
** Kepada malam.
Kepada malam aku berkata. Gulunglah selimut kabutmu yang kau gelar setiap aku hendak pulang. Menyingirlah, berlari dibalik umpatan. Bukankah tugasmu membuai mimpi telah usai! Kau elus elus kelalaian dalam timangan cecap, redam gelembung pendaran. Sembunyikan juga binatang malammu di balik ketiak daun pisang atau di goa sekalian. Kornea mata mereka tak bersahabat dengan tatapanku. Silau- silau. Kemaslah burung hantumu lolong srigala, garayang musang, sebab mereka akan berbalik tingkah. Pudarkan niat lacut si bandit, para maling, wts jajahan, waria jalanan, antrian kigolog, agar mereka tak tertangkap pengelihatanku. Ingat malam! Aku selalu datang tepat waktu, mengikis usia di ujung rambut, menyusut rona jadi keriput.
**Kepada pohon.
Kepada pohon aku memohon. Cernai sesuatu yang aku bingkis kusus buatmu.Olah bingkisanku ditungku klorofil. Meski aku bukanlah warna, jadikan aku hijau. Biar aku dapat meresap masuk ke pori indera dan relung hati. Aku berkapasitas tak tentu ketika aku nyekoki isap lidahmu. Seberapa jatuh miringku, disitu tolak ukur baikku. Ka kutungguimu hingga bunga bermekaran, dan buahmu bergelantungan. Atau hanya sekedar rindang, tempat seju berlelahan.
**Kepada air.
Gemercik riakmu berkilauan saat kutempa dijatuh miringku. Aku tak bisa mencumbuimu selain meninggikanmu menjadi uap saat kubakar dengan panasku. Aku selalu melirikmu dalam setiap perjalanan yang kau tempuh. Hulu, ke muara jalan berliku. Mengucur deras ketitik rendah. Kau tidak bisa dipecah. Kau tidak bisa dilukai. Dibelah berkali-kalipun! Kau tetap kembali. Dihantampun, gelombang lingkarmu menari-nari. Tiap kali aku panasi, kau menjelma menjadi uap, titik-titik air yang berterbangan. Dan pada ahirnya uappun menggumpal menjadi awan.
**Tenatang awan.
Kepada awan, Sang Mentari tak pernah berbicara. Awan berkhotbah dengan bahasa bisunya.
Aku awan berarak. Yang selalu tampak putih di kejauhan. Aku terbang melintasi pulau-pulau dan benuah. Angin memboncengku kesana kemari. Dari samudera Pasivik sampai lautan Hindia. Dari awang-awang sini aku menyaksikan ribuan mata memandang, dan mereka menyangka bahwa dirinya kelak akan berubah seperti aku. Aku memang bersama angin, tapi aku lebih kerap bersahabat dengan hawa. Acapkali aku melakukan perundingan panjang dengan hawa untuk memutuskan aku turun di suatu tempat. Aku tak pernah turun sendirian. Aku selalu kerahkan pasukan. Dan ketika pasukanku bergumpal merampak, serdaduku dijuluki “sang mendung”. Satu persatu kami tejun ke permukaan dengan telanjang tanpa parasut. Kami hanya setitik, meski berupa jarum. Sebutirku dihantar satu cahaya pembagi makna.
**Tentang hujan.
Akulah hujan yang dilahirkan sang matahari. Aku bersembunyi dibalik awan dan mendung bergayut. Hanya saja jika jendela awan terbuka, aku biaskan matahari menjadi lukisan pelangi. Itupu jika angkasa memesannya, dan sesekali saja. Setiap saat aku ingin bermanja dengan bumi yang tidak pernah sama aku singgahi rautnya. Namun digaris belah ini aku hadir dalam masa separuh putaran bumi. Aku kirim kabar ke kulit katak, yang lalu kemudian berdendang untuk semut. Semut berduyun-duyun hijrah dari lubang gua ke atas tangga. Barisan semut dicermati laba-laba yang kemudian berbalik kepala. Tak lama kemudian serdadu burung terik berputar-putar mengali sumur di angkasa. “wahai sang bumi! Enam purnama sudah aku berkelana. Aku kangen mencintaimu. Aku kembali untukmu. Akan aku curahkan seluruh milikku padamu. Aku lepas dahagamu. Aku guyur kering kerontangmu. Aku sejukkan panasmu. Aku saput debumu. Resaplah aku kedalam jiwamu. Biar aku gemburkan kerasnya hatimu. Da tumbuhlah bebijian dari perutmu. Wahai sang bumi! Pohonmu kalaparan. Daun berguguran. Ranting berserakan. Pulihkan dahan yang ringkih. Rindangkan daun yang tercukur. Sementara aku akan mengaliri sepanjang sungaimu yang keset. Aku juga akan tambarkan asinnya aram lautmu. Aku genangi lubang-lubang telagamu. Wahai bumi! Aku risih ulah para dukun yang mengusikku. Ulah mereka hanya membuat alam cidera. Saatnya aku turun menjamaimu dengan derasku.
**Tentang bumi.
Ketabahan bumi adalah menunggu waktu. Ia bersetia membopong setiap apa yang pundaknya.kesetiaan bumi adalah revolusi, mendampingi matahari ditengah ganesa. Pengabdian bumi adalah rotasi, berputar melingkari nasib manusia. Rotasi kemudian lahirkan siang dan malam, gelap dan terang. Dan hidup hanyalah tak lebih berjalan dari gelap mencari terang. Siang- malam lahirkan waktu yang dihitung berdasarkan terbit dan tenggelamnya matahari. Dan dari waktu inilah semua jatah selalu dikurangi. Waktu kikis diujung rambut, digugur daun, dan jemputan bermacam prahara.
Bumi yang dulu cantik kini bopeng. Keriput tuanya menggurat wajah. Kekebalan tubuhnya kian merenta. Penyakit dalam mulai mulai bersarang. Sering murus dan batuk dahak. Tempramennya kian tinggi, gampang tersinggung dan uring-uringan.
“Wahai hujan! Aku tak sanggup lagi bergairah cinta seperti dulu. Aku sekedar saja meladenimu. Tenagaku loyo, dan kensentrasiku rancu. Aku kelelahan hujan. Hari-hariku dipaksa meladeni nafsu. Disenggamai tanpa henti oleh beribu kalamin yang kian menjulur. Aku ditelanjangi bugil. Gunungku yang montok dijilati bibir. Pepohonan rambutkupun gundul tercukur. Sungaiku, yang aku pakai membagi derasmu tak muat lagi. Karna gundukan sampah menyumbat alirmu.
**Tentang prahara.
Bumi dan hujan, mendung dan awan, matahari dan malam, air dan akar, diam-diam menyelenggarakan rencana-rencana panjang. Panderitaan, kekecewaan, dendam dan amarah yang lama terpendam meletu-letup. Ubun-ubun cakrawala berpengap pengap. Angin yang lembut jadi beringas. Berputar-putar, meliuk-liuk. Mengeram serak bergemuruh. Gelegar petir membentak-bentak. Matanya tajam berkilat-kilat. Mendung menggalang likatan pekat.
Tepat di suatu tanda yang disebut prahara, mereka bertemu dalam suatu pusaran muara. Bumi, hujan, mendung, awan, angin, pohon dan air, meminta restu Matahari, untuk menjadi prahara. Prahara berkata! “kita harus bersatu, bekumpul di suatu tempat dan bertamasya bersama. Kita telusuri hutan, lereng dan jurang, sungai perdesaan, kampung dan kota-kota. Serempak ditabuhi genderang petir, disko kilat, irama siluet gemuruh angin, dan jerit tangis bersautan. Mula-mula kita akan melakukan gerakan kecil, hujan deras tanpa henti. Kemudian kita beratraksi banjir bandang, demonstrasi tanah longsor, joget bergoyang gempa, tarian angin puting beliung. Kita juga berjingkrak-jingkrak sampai arena ludes luluh lantah.
Kita akan rubah warna baru agar tampak lebih menor. Langit pasti tersenyum, rembulan mengintip dari balik jendela. Ia tersenyum anyir nyinyir. Sementara bintang gemintang bertaburan menghalau do,a. kita kubur angan dan cita-cita. Kita tenggelamkan nama sejarah. Kita libas segala yang berdaya hendak menghancurkan. Baik dan buruk kita aduk-aduk. Soal perhitungan kita kerjakan belakangan.
Kemarahan kita adalah curahan kasih sayang. Sedang pengumbaran kita adalah penjerumusan. Tidklah lebih apa yang kita kerjakan, kecuali ini memang yang mereka inginkan. Kita tinggal mengabulkannya.
Aku berpesan pada kalian. Jangan libas seluruhnya. Tinggalkan kenangan untuk cerita. Tempat ibadah seperti masjid, gereja, pure, wihara tinggalkan saja. Dengan cacatan, dibangun di atas sandaran Tuhan. Dan bukan agama sebagai lencana.
Kita leburkan setiap sel atom. Sebab setelah kematian di mungkikan tumbuh kehidupan baru yang lebih bersahaja. Kehancuran bukanlah sekedar bencana dan prahara. Tetapi apa sebenarnya yang menyebabkan bencana dan prahara itulah yang harus disibak rahasianya.
Matahari, bumi, awan, dan hujan tetaplah bergerak sealamiah. Tetapi untuk bertingkah, terserah persahabatan kita. Kalor yang dilepas sebandig degan kalor yang diterima. Sedangkan rerumputan yang tak mengerti apa-apa hanya bisa bertengadah.
Jagat raya hanyalah lukisan fana. Hendak dibingkai, dipajang di dinding rumah, dicoret, atau dimusnahkan, itu terserah Pemiliknya.
*)Penulis cerpen, esai, opini, buku. Petani, aktif di Jama,ah Padhang mBulan, Komunitas Penulis Jombang.dan berkreasi di Lincak Sastera Dowong. Beralamat di Dowong, Ds. Plosokerep, Kec, Sumobito, Kab. Jombang Jawa Timur. Hp:081-359-913-627
**
Sang Mentari.
Aku selalu datang penuhi janjiku. Sosok lelaki kekar itu tak sekedar bersumpah serapah. Perawakannya yang dempal tak asing lagi menyapa seribu kekasih yang selalu menunggu belaian kemesraan. Dia lelaki pantang. Tak sedetikpun waktunya terhadang. Rona wajah merahnya bukanlah guratan marah, malah senyum ditebar seluas pesona. Kepalanya bersorban ufuk. Sebentuk tubuhnya serupa bola mata. Ia merangkak ke bumi, menapaki perbukitan, memanjati pepohonan, menyusuri tebing, menyelinap di antara dahan, mengintip dari celah dedaunan. Sejenak kemudin bertengger diatas bebatuan, dan ngangkang di sawah-sawah, di atas kota, di antara gunung.
Aku pecinta sejati. Kehangatan cintaku terpancar moncer. Menerpai setiap lipatan. Membelai seluruh kerisauan. Aku singkap selimut hitam. Aku telanjangi bulat-bulat eksotis tubuhmu yang aduhai! Dan tinggallah aku gerayangi separuh tubuhmu dengan kegairahan cintaku yang membara. Kesetiaanku adalah sinar yang aku pancarkan sejak berjuta-juta tahun lalu , yang hari ini menyentuhmu.
** Kepada malam.
Kepada malam aku berkata. Gulunglah selimut kabutmu yang kau gelar setiap aku hendak pulang. Menyingirlah, berlari dibalik umpatan. Bukankah tugasmu membuai mimpi telah usai! Kau elus elus kelalaian dalam timangan cecap, redam gelembung pendaran. Sembunyikan juga binatang malammu di balik ketiak daun pisang atau di goa sekalian. Kornea mata mereka tak bersahabat dengan tatapanku. Silau- silau. Kemaslah burung hantumu lolong srigala, garayang musang, sebab mereka akan berbalik tingkah. Pudarkan niat lacut si bandit, para maling, wts jajahan, waria jalanan, antrian kigolog, agar mereka tak tertangkap pengelihatanku. Ingat malam! Aku selalu datang tepat waktu, mengikis usia di ujung rambut, menyusut rona jadi keriput.
**Kepada pohon.
Kepada pohon aku memohon. Cernai sesuatu yang aku bingkis kusus buatmu.Olah bingkisanku ditungku klorofil. Meski aku bukanlah warna, jadikan aku hijau. Biar aku dapat meresap masuk ke pori indera dan relung hati. Aku berkapasitas tak tentu ketika aku nyekoki isap lidahmu. Seberapa jatuh miringku, disitu tolak ukur baikku. Ka kutungguimu hingga bunga bermekaran, dan buahmu bergelantungan. Atau hanya sekedar rindang, tempat seju berlelahan.
**Kepada air.
Gemercik riakmu berkilauan saat kutempa dijatuh miringku. Aku tak bisa mencumbuimu selain meninggikanmu menjadi uap saat kubakar dengan panasku. Aku selalu melirikmu dalam setiap perjalanan yang kau tempuh. Hulu, ke muara jalan berliku. Mengucur deras ketitik rendah. Kau tidak bisa dipecah. Kau tidak bisa dilukai. Dibelah berkali-kalipun! Kau tetap kembali. Dihantampun, gelombang lingkarmu menari-nari. Tiap kali aku panasi, kau menjelma menjadi uap, titik-titik air yang berterbangan. Dan pada ahirnya uappun menggumpal menjadi awan.
**Tenatang awan.
Kepada awan, Sang Mentari tak pernah berbicara. Awan berkhotbah dengan bahasa bisunya.
Aku awan berarak. Yang selalu tampak putih di kejauhan. Aku terbang melintasi pulau-pulau dan benuah. Angin memboncengku kesana kemari. Dari samudera Pasivik sampai lautan Hindia. Dari awang-awang sini aku menyaksikan ribuan mata memandang, dan mereka menyangka bahwa dirinya kelak akan berubah seperti aku. Aku memang bersama angin, tapi aku lebih kerap bersahabat dengan hawa. Acapkali aku melakukan perundingan panjang dengan hawa untuk memutuskan aku turun di suatu tempat. Aku tak pernah turun sendirian. Aku selalu kerahkan pasukan. Dan ketika pasukanku bergumpal merampak, serdaduku dijuluki “sang mendung”. Satu persatu kami tejun ke permukaan dengan telanjang tanpa parasut. Kami hanya setitik, meski berupa jarum. Sebutirku dihantar satu cahaya pembagi makna.
**Tentang hujan.
Akulah hujan yang dilahirkan sang matahari. Aku bersembunyi dibalik awan dan mendung bergayut. Hanya saja jika jendela awan terbuka, aku biaskan matahari menjadi lukisan pelangi. Itupu jika angkasa memesannya, dan sesekali saja. Setiap saat aku ingin bermanja dengan bumi yang tidak pernah sama aku singgahi rautnya. Namun digaris belah ini aku hadir dalam masa separuh putaran bumi. Aku kirim kabar ke kulit katak, yang lalu kemudian berdendang untuk semut. Semut berduyun-duyun hijrah dari lubang gua ke atas tangga. Barisan semut dicermati laba-laba yang kemudian berbalik kepala. Tak lama kemudian serdadu burung terik berputar-putar mengali sumur di angkasa. “wahai sang bumi! Enam purnama sudah aku berkelana. Aku kangen mencintaimu. Aku kembali untukmu. Akan aku curahkan seluruh milikku padamu. Aku lepas dahagamu. Aku guyur kering kerontangmu. Aku sejukkan panasmu. Aku saput debumu. Resaplah aku kedalam jiwamu. Biar aku gemburkan kerasnya hatimu. Da tumbuhlah bebijian dari perutmu. Wahai sang bumi! Pohonmu kalaparan. Daun berguguran. Ranting berserakan. Pulihkan dahan yang ringkih. Rindangkan daun yang tercukur. Sementara aku akan mengaliri sepanjang sungaimu yang keset. Aku juga akan tambarkan asinnya aram lautmu. Aku genangi lubang-lubang telagamu. Wahai bumi! Aku risih ulah para dukun yang mengusikku. Ulah mereka hanya membuat alam cidera. Saatnya aku turun menjamaimu dengan derasku.
**Tentang bumi.
Ketabahan bumi adalah menunggu waktu. Ia bersetia membopong setiap apa yang pundaknya.kesetiaan bumi adalah revolusi, mendampingi matahari ditengah ganesa. Pengabdian bumi adalah rotasi, berputar melingkari nasib manusia. Rotasi kemudian lahirkan siang dan malam, gelap dan terang. Dan hidup hanyalah tak lebih berjalan dari gelap mencari terang. Siang- malam lahirkan waktu yang dihitung berdasarkan terbit dan tenggelamnya matahari. Dan dari waktu inilah semua jatah selalu dikurangi. Waktu kikis diujung rambut, digugur daun, dan jemputan bermacam prahara.
Bumi yang dulu cantik kini bopeng. Keriput tuanya menggurat wajah. Kekebalan tubuhnya kian merenta. Penyakit dalam mulai mulai bersarang. Sering murus dan batuk dahak. Tempramennya kian tinggi, gampang tersinggung dan uring-uringan.
“Wahai hujan! Aku tak sanggup lagi bergairah cinta seperti dulu. Aku sekedar saja meladenimu. Tenagaku loyo, dan kensentrasiku rancu. Aku kelelahan hujan. Hari-hariku dipaksa meladeni nafsu. Disenggamai tanpa henti oleh beribu kalamin yang kian menjulur. Aku ditelanjangi bugil. Gunungku yang montok dijilati bibir. Pepohonan rambutkupun gundul tercukur. Sungaiku, yang aku pakai membagi derasmu tak muat lagi. Karna gundukan sampah menyumbat alirmu.
**Tentang prahara.
Bumi dan hujan, mendung dan awan, matahari dan malam, air dan akar, diam-diam menyelenggarakan rencana-rencana panjang. Panderitaan, kekecewaan, dendam dan amarah yang lama terpendam meletu-letup. Ubun-ubun cakrawala berpengap pengap. Angin yang lembut jadi beringas. Berputar-putar, meliuk-liuk. Mengeram serak bergemuruh. Gelegar petir membentak-bentak. Matanya tajam berkilat-kilat. Mendung menggalang likatan pekat.
Tepat di suatu tanda yang disebut prahara, mereka bertemu dalam suatu pusaran muara. Bumi, hujan, mendung, awan, angin, pohon dan air, meminta restu Matahari, untuk menjadi prahara. Prahara berkata! “kita harus bersatu, bekumpul di suatu tempat dan bertamasya bersama. Kita telusuri hutan, lereng dan jurang, sungai perdesaan, kampung dan kota-kota. Serempak ditabuhi genderang petir, disko kilat, irama siluet gemuruh angin, dan jerit tangis bersautan. Mula-mula kita akan melakukan gerakan kecil, hujan deras tanpa henti. Kemudian kita beratraksi banjir bandang, demonstrasi tanah longsor, joget bergoyang gempa, tarian angin puting beliung. Kita juga berjingkrak-jingkrak sampai arena ludes luluh lantah.
Kita akan rubah warna baru agar tampak lebih menor. Langit pasti tersenyum, rembulan mengintip dari balik jendela. Ia tersenyum anyir nyinyir. Sementara bintang gemintang bertaburan menghalau do,a. kita kubur angan dan cita-cita. Kita tenggelamkan nama sejarah. Kita libas segala yang berdaya hendak menghancurkan. Baik dan buruk kita aduk-aduk. Soal perhitungan kita kerjakan belakangan.
Kemarahan kita adalah curahan kasih sayang. Sedang pengumbaran kita adalah penjerumusan. Tidklah lebih apa yang kita kerjakan, kecuali ini memang yang mereka inginkan. Kita tinggal mengabulkannya.
Aku berpesan pada kalian. Jangan libas seluruhnya. Tinggalkan kenangan untuk cerita. Tempat ibadah seperti masjid, gereja, pure, wihara tinggalkan saja. Dengan cacatan, dibangun di atas sandaran Tuhan. Dan bukan agama sebagai lencana.
Kita leburkan setiap sel atom. Sebab setelah kematian di mungkikan tumbuh kehidupan baru yang lebih bersahaja. Kehancuran bukanlah sekedar bencana dan prahara. Tetapi apa sebenarnya yang menyebabkan bencana dan prahara itulah yang harus disibak rahasianya.
Matahari, bumi, awan, dan hujan tetaplah bergerak sealamiah. Tetapi untuk bertingkah, terserah persahabatan kita. Kalor yang dilepas sebandig degan kalor yang diterima. Sedangkan rerumputan yang tak mengerti apa-apa hanya bisa bertengadah.
Jagat raya hanyalah lukisan fana. Hendak dibingkai, dipajang di dinding rumah, dicoret, atau dimusnahkan, itu terserah Pemiliknya.
*)Penulis cerpen, esai, opini, buku. Petani, aktif di Jama,ah Padhang mBulan, Komunitas Penulis Jombang.dan berkreasi di Lincak Sastera Dowong. Beralamat di Dowong, Ds. Plosokerep, Kec, Sumobito, Kab. Jombang Jawa Timur. Hp:081-359-913-627
Tidak ada komentar:
Posting Komentar