Muhammadun AS*
http://travel.kompas.com/
Judul buku : Filsafat Hukum; Membangun Hukum, Membela Keadilan
Penulis : Andre Ata Ujan
Penerbit : Kanisius Jakarta
Cetakan : 1, 2009
Tebal : 238 halaman
Tertib sosial hanya dapat tercipta apabila hukum dibangun dengan kesadaran dan tanggungjawab moral untuk membela keadilan. Tanpa keadilan sebagai tujuan ultimnya, maka hukum hanya akan terperosok menjadi alat pembenaran kesewenang-wenangan mayoritas atau pihak penguasa terhadap minoritas atau pihak yang dikuasai. Tak salah kalau Aristoteles melihat bahwa keadilan merupakan keutamaan yang lengkap dibandingkan dengan keutamaan lainnya. Menegakkan keadilan dalam hukum merupakan tugas krusial lembaga negara dalam menegakkan hakekat keadilan itu sendiri dan menegakkan cahaya hakekat kebenaran yang akan memancar menebarkan kedamaian dan ketertiban sosial.
Dalam menegakkan keadilan inilah, terjadi silang sengkarut yang problematik, khususnya dalam realisasi praksisnya di lapangan politik. Seringkali fakta yang telah diletakkan penyelidikan hukum bisa berubah sekejap saja menjadi fakta politik yang kebal hukum. Disamping juga tidak sedikit aparat penegak hukum seringkali memainkan perundang-undangan yang berlaku, sehingga menjadikan hukum semakin menjauh dari idealitas yang tertuang dalam teks hukum. Gejolak politik, mau tidak mau, menjadi faktor paling dominan yang telah meletakkan hukum dalam hukum rimba yang saling menerkam satu dengan lainnya, bahkan antar penegak hukum itu sendiri.
Untuk itulah, gejolak politik yang berpengaruh kuat atas problematika hukum, haruslah disingkap dengan kritis lewat pintu analisis filsafat hukum. Dan buku bertajuk “Filsafat Hukum; Membangun Hukum, Membela Keadilan” memberikan gambaran analisis yang kritis untuk memandu kita memahami fakta social secara filosofis serta menjangkaukan kita dalam wilayah argumentatif soal berbagai kemungkinan hukum yang terkadang rumit dan penuh jebakan. Karena berkitar dalam jengkauan filosofis, pastilah menyuguhkan berbagai kemungkinan dan kemusykilan yang, bisa jadi, belum berbayang sebelumnya.
Dalam menentukan status makna hukum saja, penulis melihatnya secara problematic-paradoksal. Penulis mendefinisian hukum sebagai seperangkat aturan yang bertujuan menciptakan tatanan sosial (social order) demi melindungi dan menjamin kepentingan umum. Terdapat sisi paradoksal di sini, yakni di satu sisi, hukum memfasilitasi kebebasan masyarakat untuk mengejar dan merealisasi kepentingannya. Akan tetapi di sisi lain, hukum membatasi ruang kebebasan masyarakat.
Sisi paradoksal mencerminkan posisi dilematis hukum ketika bersentuhan dengan fakta sosial riil di publik. Seringkali ketidakberdayaan hukum berada dalam ruang yang sedemikian hampa. Karena kebebasan individu yang sangat kuat dan dihargai akan semakin berkembang, menyesuaikan dengan arah gelombang politik yang menebarkan aroma kepicikan dan kemunafikan. Tafsir kritis atas hukum akhirnya juga banyak terjebak dalam kubangan kepentingan dan kebebasan yang melandasi segala yang terimajinasikan dalam gerak langkah kehidupan hukum di lapangan.
Toh demikian, sebebas dan sekuat apapun individu, hukum tetap berada diatasnya. Karena hukum bukanlah membela kepentingan dan kebebasan individu, tetapi hukum memang berpijak kepada kepentingan dan keteraturan publik. Hukum sangat mengecam individu yang kebal hukum. Bahkan individu yang demikian itulah yang akan menjadi target lembaga penegak hukum dalam merealisasikan penegakan keadilan. Karena keadilan milik semuanya, bukan memandang status dan jabatan, maka demi tegaknya keadilan, hukum akan berindak secara prosedural dalam memberantas praktek manipulatif yang merugikan publik. Bagi Thomas Aquinas, hukum pasti akan menegakkan keadilan. Tak ada hukum kalau tidak ada keadilan.
Katidakadilan, bagi Aquinas, adalah kekerasan, dan tidak pantas dianggap hukum.
Karena itulah, moralitas harus dikedepankan bagi para penegak hukum. Para penganut realisme hukum percaya bahwa norma moral tidak bisa dilepaskan dari hukum, terutama karena prinsip moral berperan sebagai uji kritis terhadap hukum positif. Moralitas juga akan membangun sistem hukum itu sendiri mendekat kepada kebenaran dan keadilan, sehingga akan mendekatkan kepada idealitas hukum sebagai penegak keadilan.
Moralitas juga membangun nalar suci para hakim, sehingga tidak terjebak dalam keraguan dan kebimbangan dalam menjatuhkan pilihan status hukum. Karena salah sedikit saja dalam sebuah pertimbangan, putusan majlis hakim akan sangat berpengaruh terhaap fakta sosial yang terjadi di publik. Sedangkan hakim yang menegakkan moralitasnya, pastilah akan menghasilkan putusan majlis hakim yang bisa memberikan ketenangan dan kedamian bagi masyarakat.
Dalam konteks ini, menarik sekali ketika penulis mengutip pendapat Immanuel Kant bahwa diperlukan yang namanya “prejuridical society” (masyarakat hukum). “Prejuridical society” yang diandaikan Kant adalah menuntut bahwa pelaksanaan hak (hukum) harus disertai dengan kesediaan memikul kewajiban dan tanggungjawab demi kebaikan bersama. Tanggungjawab ini muncul bukan karena warga negara memiliki kewajiban moral natural terhadap Negara. Individu tidak memiliki moral natural terhadap Negara, tetapi pertama-tama dan terutama karena setiap warga Negara atau individu memiliki tanggungjawab moral natural terhadap sesama, yakni kewajiban bukan saja untuk tidak merugikan, tetapi lebih dari itu, melakukan sesuatu demi pemenuhan hak-hak sesama.
Masyarakat hukum dan Negara hukum inilah yang bisa memberikan “jaminan hukum” bahwa hukum dibangun memang untuk menegakkan keadilan. Bukan untuk membuka kesewenang-wenangan dan kemunafikan. Tetapi membuka jalan kebahagiaan dan ketentraman.
*) Mantan Pemred Majalah Adokasia Fak. Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
http://travel.kompas.com/
Judul buku : Filsafat Hukum; Membangun Hukum, Membela Keadilan
Penulis : Andre Ata Ujan
Penerbit : Kanisius Jakarta
Cetakan : 1, 2009
Tebal : 238 halaman
Tertib sosial hanya dapat tercipta apabila hukum dibangun dengan kesadaran dan tanggungjawab moral untuk membela keadilan. Tanpa keadilan sebagai tujuan ultimnya, maka hukum hanya akan terperosok menjadi alat pembenaran kesewenang-wenangan mayoritas atau pihak penguasa terhadap minoritas atau pihak yang dikuasai. Tak salah kalau Aristoteles melihat bahwa keadilan merupakan keutamaan yang lengkap dibandingkan dengan keutamaan lainnya. Menegakkan keadilan dalam hukum merupakan tugas krusial lembaga negara dalam menegakkan hakekat keadilan itu sendiri dan menegakkan cahaya hakekat kebenaran yang akan memancar menebarkan kedamaian dan ketertiban sosial.
Dalam menegakkan keadilan inilah, terjadi silang sengkarut yang problematik, khususnya dalam realisasi praksisnya di lapangan politik. Seringkali fakta yang telah diletakkan penyelidikan hukum bisa berubah sekejap saja menjadi fakta politik yang kebal hukum. Disamping juga tidak sedikit aparat penegak hukum seringkali memainkan perundang-undangan yang berlaku, sehingga menjadikan hukum semakin menjauh dari idealitas yang tertuang dalam teks hukum. Gejolak politik, mau tidak mau, menjadi faktor paling dominan yang telah meletakkan hukum dalam hukum rimba yang saling menerkam satu dengan lainnya, bahkan antar penegak hukum itu sendiri.
Untuk itulah, gejolak politik yang berpengaruh kuat atas problematika hukum, haruslah disingkap dengan kritis lewat pintu analisis filsafat hukum. Dan buku bertajuk “Filsafat Hukum; Membangun Hukum, Membela Keadilan” memberikan gambaran analisis yang kritis untuk memandu kita memahami fakta social secara filosofis serta menjangkaukan kita dalam wilayah argumentatif soal berbagai kemungkinan hukum yang terkadang rumit dan penuh jebakan. Karena berkitar dalam jengkauan filosofis, pastilah menyuguhkan berbagai kemungkinan dan kemusykilan yang, bisa jadi, belum berbayang sebelumnya.
Dalam menentukan status makna hukum saja, penulis melihatnya secara problematic-paradoksal. Penulis mendefinisian hukum sebagai seperangkat aturan yang bertujuan menciptakan tatanan sosial (social order) demi melindungi dan menjamin kepentingan umum. Terdapat sisi paradoksal di sini, yakni di satu sisi, hukum memfasilitasi kebebasan masyarakat untuk mengejar dan merealisasi kepentingannya. Akan tetapi di sisi lain, hukum membatasi ruang kebebasan masyarakat.
Sisi paradoksal mencerminkan posisi dilematis hukum ketika bersentuhan dengan fakta sosial riil di publik. Seringkali ketidakberdayaan hukum berada dalam ruang yang sedemikian hampa. Karena kebebasan individu yang sangat kuat dan dihargai akan semakin berkembang, menyesuaikan dengan arah gelombang politik yang menebarkan aroma kepicikan dan kemunafikan. Tafsir kritis atas hukum akhirnya juga banyak terjebak dalam kubangan kepentingan dan kebebasan yang melandasi segala yang terimajinasikan dalam gerak langkah kehidupan hukum di lapangan.
Toh demikian, sebebas dan sekuat apapun individu, hukum tetap berada diatasnya. Karena hukum bukanlah membela kepentingan dan kebebasan individu, tetapi hukum memang berpijak kepada kepentingan dan keteraturan publik. Hukum sangat mengecam individu yang kebal hukum. Bahkan individu yang demikian itulah yang akan menjadi target lembaga penegak hukum dalam merealisasikan penegakan keadilan. Karena keadilan milik semuanya, bukan memandang status dan jabatan, maka demi tegaknya keadilan, hukum akan berindak secara prosedural dalam memberantas praktek manipulatif yang merugikan publik. Bagi Thomas Aquinas, hukum pasti akan menegakkan keadilan. Tak ada hukum kalau tidak ada keadilan.
Katidakadilan, bagi Aquinas, adalah kekerasan, dan tidak pantas dianggap hukum.
Karena itulah, moralitas harus dikedepankan bagi para penegak hukum. Para penganut realisme hukum percaya bahwa norma moral tidak bisa dilepaskan dari hukum, terutama karena prinsip moral berperan sebagai uji kritis terhadap hukum positif. Moralitas juga akan membangun sistem hukum itu sendiri mendekat kepada kebenaran dan keadilan, sehingga akan mendekatkan kepada idealitas hukum sebagai penegak keadilan.
Moralitas juga membangun nalar suci para hakim, sehingga tidak terjebak dalam keraguan dan kebimbangan dalam menjatuhkan pilihan status hukum. Karena salah sedikit saja dalam sebuah pertimbangan, putusan majlis hakim akan sangat berpengaruh terhaap fakta sosial yang terjadi di publik. Sedangkan hakim yang menegakkan moralitasnya, pastilah akan menghasilkan putusan majlis hakim yang bisa memberikan ketenangan dan kedamian bagi masyarakat.
Dalam konteks ini, menarik sekali ketika penulis mengutip pendapat Immanuel Kant bahwa diperlukan yang namanya “prejuridical society” (masyarakat hukum). “Prejuridical society” yang diandaikan Kant adalah menuntut bahwa pelaksanaan hak (hukum) harus disertai dengan kesediaan memikul kewajiban dan tanggungjawab demi kebaikan bersama. Tanggungjawab ini muncul bukan karena warga negara memiliki kewajiban moral natural terhadap Negara. Individu tidak memiliki moral natural terhadap Negara, tetapi pertama-tama dan terutama karena setiap warga Negara atau individu memiliki tanggungjawab moral natural terhadap sesama, yakni kewajiban bukan saja untuk tidak merugikan, tetapi lebih dari itu, melakukan sesuatu demi pemenuhan hak-hak sesama.
Masyarakat hukum dan Negara hukum inilah yang bisa memberikan “jaminan hukum” bahwa hukum dibangun memang untuk menegakkan keadilan. Bukan untuk membuka kesewenang-wenangan dan kemunafikan. Tetapi membuka jalan kebahagiaan dan ketentraman.
*) Mantan Pemred Majalah Adokasia Fak. Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar