http://embun-tajali.blogspot.com
SANG PENYAIR
( I )
Duhai, Penyair, sudah berapa banyak kata yang kautuliskan? Sudah berapa banyak puisi yang kauhasilkan? Apakah hari akan setia menemanimu dengan kata yang kaupetik dari lelangit aksara? Aku menunggu kauserahkan puisi terakhirmu untuk kubacakan di muka para pendengar.
Panggung ini sepi dari para pengunjung sejak kau tinggalkan kursi dan kertas kerja berserakan. Pena ini tak akan kehabisan tinta; lalu apalagi yang kau khawatirkan? Kemarilah, temani aku di sini membaca puisipuisi yang kaugubah.
Sering kunyanyikan lagu dari baitbait puisimu. Pemain kecapi dan seruling telah biasa memadukannya. Kini, apalagi yang kau risaukan? Apakah kau tak lagi dapat menulis, karena jemari telah lemah dan tubuh sudah renta? Puisipuisimu tak akan pernah berhenti mengalir, walau kau hanya sanggup gerakkan mata sebagai tanda.
( II )
Musim semi telah tiba. Bungabunga berubah warna. Daun dan ranting berguguran. Angin mengantar berita dari daerah yang paling jauh. Kemudian, berhenti di depan sosok perempuan berwajah lembut. Ia serahkan surat berisi cerita dari negeri asing. Kabar tentang lelaki merindu senja.
Apakah yang telah membuat gelisah hati perempuan itu? Rasa rindu ingin bertemu? Ataukah nyeri karena perpisahan? Angin masih terdiam menanti jawaban perempuan.
Duhai, Penyair, mengapa kauhentikan goresan demi goresan pena yang biasa menari lincah di atas kertas kerjamu? Bukankah baitbait ini begitu indah? Bahkan mawar pun bersedia menggadaikan wanginya demi mendengarkan baitbait puisi cintamu? Mengapa tak kau lanjutkan kisah cinta dalam setiap puisimu? Apakah nasib memaksamu berhenti dan membuat ingatanmu letih?
Pada akhir surat terselip tandatangan kematian kata; dan Penyair tak lagi bercerita.
(Jombang, 12 Oktober 2008)
BEGITU INDAH.
apa benar Tuhan mengirimmu untuk menjadi kekasihku? menyertai langkah kakiku mengarungi arus nasib ke muara tuju. apa benar kau kasih tercintaku? jika memang kaulah perempuan itu, akan kurapatkan hatiku ke hatimu. tangan saling genggam. kaki sama langkah. bersamamu kusalin cerita ke dalam lagu nan syahdu.
apa benar Tuhan menciptamu sebagai pendampingku? akan kuhambakan diriku. kukuduskan namamu. kusujudkan keningku. kunapaskan namamu.
kau yang begitu indah. perempuan anggun pengusir gundah. pengobat sepi penghibur lara. menarilah dalam jingkat perlahan. satu langkah satu langkah. lentik jarimu gemulai menjelma sayap burung enggang. aku mengikutimu sebagai naga langit terbang. seperti dalam kisah leluhur kita sebelum dayak terbelah.
apa benar Tuhan membelahmu dari satu jiwaku? karena kulihat wajahmu terlihat wajahku. kulihat diriku terlihat dirimu. dari jiwaku yang satu, kita bikin jiwa beribu.
SENJA
lelaki yang terdiri di tepi lautan
menanti kabar tentang senja
serintis angin tak juga kelar beri kabar
perempuan yang mengutuk cintanya
lelaki mencari senja di balik cakrawala
tak juga ia temukan
--sampai kapan?
hari mempertua usia
belum usai pencarian
payah badan tak berdaya
dari balik kabut
sosok bayang menjelma perempuan
lelaki terdiam
“senja
itu bukan kau!”
WAHAY, APA ITU CINTA?
Aku memandang nyalang, pada manusia lalu lalang
Kulihat, tanpa sedikitpun segan, mereka menggamitkan jemari tangan
Kata cinta menguar di angkasa, menghayutkan gemawan mega
Mangaburkan keindahan bintang gemintang, panji dan agungnya bentara
Namun di sini, berdiri aku dalam keraguan
Tak mengerti dan terus bertanya :
Apakah segalon cinta lebih manis ketimbang sececap cita?
Dan apakah bahagia terwujudi harus dengan dimiliki?
Dan apakah seorang pangeran hanya dapat menjadi raja,
Pabila mempersandingkan permaisuri di sisinya?
Dan tanya itu menggiringku masuk ke dalam labirin tua
Lorong pekat penuh lembap yang dindingnya berkeropeng dusta
Penuh tipu daya, tiap simpangannya menyesatkan pengelana
Aku ikuti setitik cahya, dan kulihat jawab di ujungnya
Aku bertanya lantang, “Wahai, apakah itu cinta?”
Kulihat sepasang muda-mudi bergelayutan mesra
Sang gadis tertawa mengikik, sang pemuda menggeliat laknat
Sahutnya, cinta adalah hari ini
Yang tergantikan segera oleh hari esok
Dia adalah kesenangan yang berkelindan selalu
Birahi yang terpuaskan, nikmat yang berseliweran
Aku tercenung, dan terus termenung
Jika cinta adalah pesta pora, lalu apa arti cerita Majnun
Cinta baginya adalah kisaran derita
Tetapi Majnun hanya tahu itu cinta, walau dia buta
Oh, betapa takdir cintanya berakhir nestapa
Aku berpaling dari mereka yang mencemooh nakal
Lalu aku pergi menuju ujung lain lorong teka-teki
Kuikuti suara-suara merdu, tawa, dan musik syahdu
Walau gelap pekat, suara itu menuntunku pasti
Dan akhirnya kulihat panggung megah berdiri kokoh
Dipenuhi penyair dan pujangga sepanjang masa
Dadaku serasa bergolak, aku menyeruak dan berteriak, “Wahai apakah itu cinta?”
Seorang pujangga menoleh, berdiri, dan menjawab panggilanku lalu mulai bersyair,
Cinta adalah roman tanpa batas
Inspirasi yang takkan mati; Api yang takkan padam
Yang geloranya membuatmu remuk redam
Tapi, bagai kecanduan, kau akan terus menyesapnya
Membuatmu merasa terbang menuju menuju mentari yang menyala perkasa
Sekali lagi, keraguan menyelinap dan membisik
Mestikah begitu, sebab kulihat nyala sangat redup
Menyambangi jalinan pernikahan yang suci
Gairah sejoli telah berakhir, tapi tidak memupus ikatannya
Tapi mereka masih menyebutnya cinta
Walau madunya telah habis, Sang kumbang masih hinggap di atas kembang
Aku melengos tak puas, dan berjalan tak tahu ke mana
Kususuri lorong berliku, begitu panjang jalanan, begitu terjal undakan
Dan pada satu tangganya, kulihat seorang pengemis renta mengharap derma
Dia berkata, “berikanlah milikmu yang terbaik, dan kusampaikan kebijaksanaanku”
Aku sebenarnya tak ingin percaya, tapi kakiku terlalu letih mencari jawab
Kuulurkan sebongkah batu mirah sembari bertanya, “Wahai, apakah itu cinta?”
Si pengemis diam dalam takzim, dan menjawab,
Cinta adalah menghamba tanpa bertanya
Ketaatan tanpa memerlukan jawaban
Kau memuja, dan menjadikan dirimu budak dengan sukarela
Kata-kata cinta adalah perintah yang tiada terbantah
Aku terpekur dan tak henti berpikir
Jika cinta merupakan penghambaan, lalu apa arti cinta Ilahi?
Dia yang menurunkan hujan, dan lebih agung dari apapun jua
Dia yang memberikan rizki kepada orang paling durjana sekalipun
Dia yang mencintai makhluk-Nya, dan tak memerlukan apapun dari makhluk-Nya
Aku merasa rugi atas permata yang terbuang percuma
Ini bukanlah kebijaksanaan; melainkan kedunguan!
Cinta si pengemis selamanya menjadikan dirinya pengemis
Yang mengiba, meminta, dan mengharap sejumput kasih
Jika ini dinamakan cinta, maka terkutuklah kata cinta!
Aku muak atas pencarian ini, lalu memutuskan keluar
Labirin tua tak lagi mengurungku, dan bau laut seakan memanggilku
Ini adalah aroma kebebasan yang menarik para pemberani
Dan seperti cerita lama, aku berlayar menuju samudera berombak, –sendiri
Angin kencang membantu lajuku, dan kapalku menuju horizon di tapal batas
Mencari dunia baru untuk ditaklukkan
Di ujung dek aku berteriak penuh kegembiraan
Walau kegembiraan itu kadang dibayar oleh rasa hampa di tengah lautan
Oh, tahun-tahun berselang; musim-musim berganti datang
Waktu-penuh-kenangan yang berkandung duka dan suka
Namun, pada suatu hari yang mengejutkan
Badai datang menenggelamkan apa yang tersisa
Aku lihat puing-puing yang karam, dan onggokan
Sementara aku hanyut ditemani tongkang yang terombang-ambing
Entah mengantarkanku ke mana
Di suatu tempat, saat aku membuka mataku
Aku rasai pasir lembut yang harum baunya
Dan riak ombak bermain-main di sekujur tubuhku
Apakah ini tanah orang- orang mati, ataukah aku masih hidup?
Oh, betapa hausnya aku…seteguk air akan mengobatiku
Dan, aku lihat sesosok datang mendekat
Sorot matanya menatapku lekat
Lalu menuangkan seteguk air pada bibirku yang kekeringan sangat
Pandanganku terasa kabur, dan dunia terasa berputar begitu cepat
Aku berharap dia adalah malaikat tak bersayap yang memberikan jawab
Aku merasa maut sebentar lagi menjemput,
Jadi tak ada salahnya bertanya, toh rasa malu akan terbawa lalu
Setelah sekian lama, sekali lagi aku bertanya, “Wahai, apakah itu cinta?”
Dia termangu,dan hanya tersenyum
Untuk menenangkan jiwaku yang sekarat, dia menatapku lembut
Dan kata-kata bagai menetes dari mulutnya
Kata-kata serasa madu yang manisnya teringat selalu, Jawabnya :
Cinta bukanlah benda untuk dimiliki
Tetapi tindakan untuk diperjuangkan
Cinta adalah kebaikan tanpa imbalan
Pernahkah mentari bertanya padamu atas sinarnya yang terang
Dan pernahkah pepohonan meminta jawaban atas keteduhannya
Jika kau memberikan segelas air pada orang asing,
Dan dia tak berhutang padamu apapun
Itulah cinta.
Bagaikan petani, kau menanam benihnya
Lalu orang lain memakan buahnya, menghilangkan rasa laparnya
Tetap ingatlah, cinta adalah pilihan hatimu
Bukan keterpaksaan dari rasa takut
Sebab cinta tidak pernah membuatmu merasa kehilangan
Dia terus membuat hatimu merasa kaya
Namun, sungguh dunia telah tercerai berai,
Dan manusia menjadi tersesat oleh makna cinta
Tergelincir keserakahan, cinta menjadi memabukkan
Untuk memiliki, bukannya memberikan
Untuk menguasai, bukannya mengasihi
Jika cinta tinggallah nafsu diri belaka
Yang tersisa hanyalah kerusakan semata
Tiada peduli sesama; Semuanya mengagungkan diri jua
Orang menamakannya cinta; tapi itu hanyalah dusta
Hari itu, aku tahu
Bahwa perjalananku bukannya berakhir,
Tetapi baru saja dimulai
Lalu aku mengatup mata
Dan mulai mendoa
Untuk satu pilihan kata di hati.
SANG PENYAIR
( I )
Duhai, Penyair, sudah berapa banyak kata yang kautuliskan? Sudah berapa banyak puisi yang kauhasilkan? Apakah hari akan setia menemanimu dengan kata yang kaupetik dari lelangit aksara? Aku menunggu kauserahkan puisi terakhirmu untuk kubacakan di muka para pendengar.
Panggung ini sepi dari para pengunjung sejak kau tinggalkan kursi dan kertas kerja berserakan. Pena ini tak akan kehabisan tinta; lalu apalagi yang kau khawatirkan? Kemarilah, temani aku di sini membaca puisipuisi yang kaugubah.
Sering kunyanyikan lagu dari baitbait puisimu. Pemain kecapi dan seruling telah biasa memadukannya. Kini, apalagi yang kau risaukan? Apakah kau tak lagi dapat menulis, karena jemari telah lemah dan tubuh sudah renta? Puisipuisimu tak akan pernah berhenti mengalir, walau kau hanya sanggup gerakkan mata sebagai tanda.
( II )
Musim semi telah tiba. Bungabunga berubah warna. Daun dan ranting berguguran. Angin mengantar berita dari daerah yang paling jauh. Kemudian, berhenti di depan sosok perempuan berwajah lembut. Ia serahkan surat berisi cerita dari negeri asing. Kabar tentang lelaki merindu senja.
Apakah yang telah membuat gelisah hati perempuan itu? Rasa rindu ingin bertemu? Ataukah nyeri karena perpisahan? Angin masih terdiam menanti jawaban perempuan.
Duhai, Penyair, mengapa kauhentikan goresan demi goresan pena yang biasa menari lincah di atas kertas kerjamu? Bukankah baitbait ini begitu indah? Bahkan mawar pun bersedia menggadaikan wanginya demi mendengarkan baitbait puisi cintamu? Mengapa tak kau lanjutkan kisah cinta dalam setiap puisimu? Apakah nasib memaksamu berhenti dan membuat ingatanmu letih?
Pada akhir surat terselip tandatangan kematian kata; dan Penyair tak lagi bercerita.
(Jombang, 12 Oktober 2008)
BEGITU INDAH.
apa benar Tuhan mengirimmu untuk menjadi kekasihku? menyertai langkah kakiku mengarungi arus nasib ke muara tuju. apa benar kau kasih tercintaku? jika memang kaulah perempuan itu, akan kurapatkan hatiku ke hatimu. tangan saling genggam. kaki sama langkah. bersamamu kusalin cerita ke dalam lagu nan syahdu.
apa benar Tuhan menciptamu sebagai pendampingku? akan kuhambakan diriku. kukuduskan namamu. kusujudkan keningku. kunapaskan namamu.
kau yang begitu indah. perempuan anggun pengusir gundah. pengobat sepi penghibur lara. menarilah dalam jingkat perlahan. satu langkah satu langkah. lentik jarimu gemulai menjelma sayap burung enggang. aku mengikutimu sebagai naga langit terbang. seperti dalam kisah leluhur kita sebelum dayak terbelah.
apa benar Tuhan membelahmu dari satu jiwaku? karena kulihat wajahmu terlihat wajahku. kulihat diriku terlihat dirimu. dari jiwaku yang satu, kita bikin jiwa beribu.
SENJA
lelaki yang terdiri di tepi lautan
menanti kabar tentang senja
serintis angin tak juga kelar beri kabar
perempuan yang mengutuk cintanya
lelaki mencari senja di balik cakrawala
tak juga ia temukan
--sampai kapan?
hari mempertua usia
belum usai pencarian
payah badan tak berdaya
dari balik kabut
sosok bayang menjelma perempuan
lelaki terdiam
“senja
itu bukan kau!”
WAHAY, APA ITU CINTA?
Aku memandang nyalang, pada manusia lalu lalang
Kulihat, tanpa sedikitpun segan, mereka menggamitkan jemari tangan
Kata cinta menguar di angkasa, menghayutkan gemawan mega
Mangaburkan keindahan bintang gemintang, panji dan agungnya bentara
Namun di sini, berdiri aku dalam keraguan
Tak mengerti dan terus bertanya :
Apakah segalon cinta lebih manis ketimbang sececap cita?
Dan apakah bahagia terwujudi harus dengan dimiliki?
Dan apakah seorang pangeran hanya dapat menjadi raja,
Pabila mempersandingkan permaisuri di sisinya?
Dan tanya itu menggiringku masuk ke dalam labirin tua
Lorong pekat penuh lembap yang dindingnya berkeropeng dusta
Penuh tipu daya, tiap simpangannya menyesatkan pengelana
Aku ikuti setitik cahya, dan kulihat jawab di ujungnya
Aku bertanya lantang, “Wahai, apakah itu cinta?”
Kulihat sepasang muda-mudi bergelayutan mesra
Sang gadis tertawa mengikik, sang pemuda menggeliat laknat
Sahutnya, cinta adalah hari ini
Yang tergantikan segera oleh hari esok
Dia adalah kesenangan yang berkelindan selalu
Birahi yang terpuaskan, nikmat yang berseliweran
Aku tercenung, dan terus termenung
Jika cinta adalah pesta pora, lalu apa arti cerita Majnun
Cinta baginya adalah kisaran derita
Tetapi Majnun hanya tahu itu cinta, walau dia buta
Oh, betapa takdir cintanya berakhir nestapa
Aku berpaling dari mereka yang mencemooh nakal
Lalu aku pergi menuju ujung lain lorong teka-teki
Kuikuti suara-suara merdu, tawa, dan musik syahdu
Walau gelap pekat, suara itu menuntunku pasti
Dan akhirnya kulihat panggung megah berdiri kokoh
Dipenuhi penyair dan pujangga sepanjang masa
Dadaku serasa bergolak, aku menyeruak dan berteriak, “Wahai apakah itu cinta?”
Seorang pujangga menoleh, berdiri, dan menjawab panggilanku lalu mulai bersyair,
Cinta adalah roman tanpa batas
Inspirasi yang takkan mati; Api yang takkan padam
Yang geloranya membuatmu remuk redam
Tapi, bagai kecanduan, kau akan terus menyesapnya
Membuatmu merasa terbang menuju menuju mentari yang menyala perkasa
Sekali lagi, keraguan menyelinap dan membisik
Mestikah begitu, sebab kulihat nyala sangat redup
Menyambangi jalinan pernikahan yang suci
Gairah sejoli telah berakhir, tapi tidak memupus ikatannya
Tapi mereka masih menyebutnya cinta
Walau madunya telah habis, Sang kumbang masih hinggap di atas kembang
Aku melengos tak puas, dan berjalan tak tahu ke mana
Kususuri lorong berliku, begitu panjang jalanan, begitu terjal undakan
Dan pada satu tangganya, kulihat seorang pengemis renta mengharap derma
Dia berkata, “berikanlah milikmu yang terbaik, dan kusampaikan kebijaksanaanku”
Aku sebenarnya tak ingin percaya, tapi kakiku terlalu letih mencari jawab
Kuulurkan sebongkah batu mirah sembari bertanya, “Wahai, apakah itu cinta?”
Si pengemis diam dalam takzim, dan menjawab,
Cinta adalah menghamba tanpa bertanya
Ketaatan tanpa memerlukan jawaban
Kau memuja, dan menjadikan dirimu budak dengan sukarela
Kata-kata cinta adalah perintah yang tiada terbantah
Aku terpekur dan tak henti berpikir
Jika cinta merupakan penghambaan, lalu apa arti cinta Ilahi?
Dia yang menurunkan hujan, dan lebih agung dari apapun jua
Dia yang memberikan rizki kepada orang paling durjana sekalipun
Dia yang mencintai makhluk-Nya, dan tak memerlukan apapun dari makhluk-Nya
Aku merasa rugi atas permata yang terbuang percuma
Ini bukanlah kebijaksanaan; melainkan kedunguan!
Cinta si pengemis selamanya menjadikan dirinya pengemis
Yang mengiba, meminta, dan mengharap sejumput kasih
Jika ini dinamakan cinta, maka terkutuklah kata cinta!
Aku muak atas pencarian ini, lalu memutuskan keluar
Labirin tua tak lagi mengurungku, dan bau laut seakan memanggilku
Ini adalah aroma kebebasan yang menarik para pemberani
Dan seperti cerita lama, aku berlayar menuju samudera berombak, –sendiri
Angin kencang membantu lajuku, dan kapalku menuju horizon di tapal batas
Mencari dunia baru untuk ditaklukkan
Di ujung dek aku berteriak penuh kegembiraan
Walau kegembiraan itu kadang dibayar oleh rasa hampa di tengah lautan
Oh, tahun-tahun berselang; musim-musim berganti datang
Waktu-penuh-kenangan yang berkandung duka dan suka
Namun, pada suatu hari yang mengejutkan
Badai datang menenggelamkan apa yang tersisa
Aku lihat puing-puing yang karam, dan onggokan
Sementara aku hanyut ditemani tongkang yang terombang-ambing
Entah mengantarkanku ke mana
Di suatu tempat, saat aku membuka mataku
Aku rasai pasir lembut yang harum baunya
Dan riak ombak bermain-main di sekujur tubuhku
Apakah ini tanah orang- orang mati, ataukah aku masih hidup?
Oh, betapa hausnya aku…seteguk air akan mengobatiku
Dan, aku lihat sesosok datang mendekat
Sorot matanya menatapku lekat
Lalu menuangkan seteguk air pada bibirku yang kekeringan sangat
Pandanganku terasa kabur, dan dunia terasa berputar begitu cepat
Aku berharap dia adalah malaikat tak bersayap yang memberikan jawab
Aku merasa maut sebentar lagi menjemput,
Jadi tak ada salahnya bertanya, toh rasa malu akan terbawa lalu
Setelah sekian lama, sekali lagi aku bertanya, “Wahai, apakah itu cinta?”
Dia termangu,dan hanya tersenyum
Untuk menenangkan jiwaku yang sekarat, dia menatapku lembut
Dan kata-kata bagai menetes dari mulutnya
Kata-kata serasa madu yang manisnya teringat selalu, Jawabnya :
Cinta bukanlah benda untuk dimiliki
Tetapi tindakan untuk diperjuangkan
Cinta adalah kebaikan tanpa imbalan
Pernahkah mentari bertanya padamu atas sinarnya yang terang
Dan pernahkah pepohonan meminta jawaban atas keteduhannya
Jika kau memberikan segelas air pada orang asing,
Dan dia tak berhutang padamu apapun
Itulah cinta.
Bagaikan petani, kau menanam benihnya
Lalu orang lain memakan buahnya, menghilangkan rasa laparnya
Tetap ingatlah, cinta adalah pilihan hatimu
Bukan keterpaksaan dari rasa takut
Sebab cinta tidak pernah membuatmu merasa kehilangan
Dia terus membuat hatimu merasa kaya
Namun, sungguh dunia telah tercerai berai,
Dan manusia menjadi tersesat oleh makna cinta
Tergelincir keserakahan, cinta menjadi memabukkan
Untuk memiliki, bukannya memberikan
Untuk menguasai, bukannya mengasihi
Jika cinta tinggallah nafsu diri belaka
Yang tersisa hanyalah kerusakan semata
Tiada peduli sesama; Semuanya mengagungkan diri jua
Orang menamakannya cinta; tapi itu hanyalah dusta
Hari itu, aku tahu
Bahwa perjalananku bukannya berakhir,
Tetapi baru saja dimulai
Lalu aku mengatup mata
Dan mulai mendoa
Untuk satu pilihan kata di hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar