Matroni el-Moezany
http://cetak.kompas.com/
Kompleksitas budaya: perlu adanya reinterpretasi ulang dengan pelibatan subyek, obyek, dan predikat, bahkan keterangan sekaligus. Sebelum sampai pada interpretasi ke sana, setidaknya dalam ilmu kebudayaan di Indonesia ada dua cara untuk kontemplasi.
Dalam ranah membaca, merasa, dan menghayati kebudayaan, yakni pertama, dengan teori dalam sistematisasi rasional dan filsafat seni budaya. Kedua, bergumul dengan budaya sebagai keseharian yang diberi makna secara sederhana dan efektif agar eksistensi estetis berlangsung terus-menerus. Dengan kata lain, budaya dibahasakan melalui komunikasi intuitif dengan pisau penghayatan, pembaharuan, dan perayaan dalam bentuk apa pun.
Dari kedua pencerahan itu, penghayatan, pembaharuan, dan perayaan adalah domain dalam tata cara mayoritas kita melakukan interpretasi budaya. Sehingga kesan artifisial, sekadar seremonial, membaca berkacamata kepentingan pragmatis, sampai prosesi penodaan budaya dengan perspektif pemihakan politis seolah wajar-wajar saja. Padahal, logika budaya, masuk di dalamnya unsur pelestarian dan inventarisasi, sangat beda dengan konteks dan politik seseorang, meski pengambil kebijakan dalam pemerintah sekali pun.
Anomali dan gilanya kultur politik kita, semakin terjebaknya kebanyakan kita sebagai orang tanpa jabatan politis-birokratis untuk turut berebut "roti" kekuasaan entah alasan ideologis atau sekadar pengganjal perut. Dukung-mendukung jelang pilgub tak hanya dilakukan orang-orang pengatas nama paguyuban, ormas, OKP, dan semacamnya yang sebenarnya berperan guna penguatan basis partisipasi yang mencerahkan masyarakat, tapi memasuki ranah paling irasional dari yang tak masuk akal, yang terjadi adalah depolitisasi budaya.
Anomali inilah, mungkin, fenomena baru kebangkrutan budaya kita di tengah gencarnya kelahiran teori atau ilmu alat kaji urai, yakni cultural studies dan atau analisa-analisa budaya baru, sebagai reaksi tahapan penyempurnaan epistemologis.
Dengan berjuta-juta potensi unik dan otentik dari warisan budaya kita, tak hanya sekadar penambah kemajemukan atau konsekuensi logis keragaman bangsa, tapi juga sebagai estetika peradaban dan memberikan manfaat. Baik warisan budaya yang tampak nyata, seperti artefak budaya atau benda-benda bersejarah, maupun yang tidak tampak, seperti lagu daerah, local wisdom, dan lain sebagainya. Ini kemudian berkelindan dan menstimulan kelahiran lembaga-lembaga kreativitas masyarakat atau wujud perhatian dengan mendirikan organisasi berbasiskan kebudayaan.
Politik pencitraan dan pengidentifikasian warisan budaya sebagai kepemilikan bersama seharusnya dimaksudkan untuk mengembalikan warisan budaya sebagai citra kolektivitas. Entah melalui sosialisasi atau pendidikan dalam pengertian yang lebih luas guna menghasilkan kesadaran baru. Dan para pelaku budaya, yaitu pencipta atau pelestari, harus tegas memberi batasan, indikator, dan output sebelum mengatakan budaya itu maju, mundur, punah, atau bahkan stagnan. Kelancangan kata mengatakan tanpa fakta, menerobos laku budaya dalam hegemonik, belum lagi oportunis tanpa nilai adalah tingkah pengkhianatan substansi dari tujuan budaya itu sendiri.
Maju tidaknya budaya sebenarnya adalah tanggung jawab pelaku kebudayaan. Pemerintah, lembaga, institusi, paguyuban, atau apa pun ketika berniat memajukan budaya harus melibatkan diri dalam teatrikal, bergumul untuk berperan sebagai pencipta atau pelestari. Rumusannya, untuk mencipta dan melestarikan, tidak dapat ditinggalkan dua cara membaca kebudayaan rumusan di atas.
Dengan penelitian untuk sampai pada pencetusan teori dalam sistematisasi rasional dan filsafat kebudayaan dengan budaya dalam keseharian, utamanya penghayatan dan perayaan. Bukan sekadar mengatakan, apalagi tendensius karena mengungkit pendistribusian dana, yang sebenarnya sekadar stimulus untuk sampai pada tahapan pelaku. Ketika jatuh antara politik kebudayaan, apalagi memolitisasi kebudayaan, persoalan menjadi aneh sekaligus bermasalah. Inilah yang jadi penghancur budaya oleh para seniman sendiri, lebih sporadis, dan membahayakan ketimbang imperealisme kebudayaan.
Rekam jejak
Bangsa kita merekam jejak bahwa kebudayaan pernah jadi alat politik. Sejarah mencatat, perseteruan antara Lembaga Kebudayaan Rakyat dan Manifes Kebudayaan (Manikebu) adalah salah satu fakta kebangkrutan budaya. Dalam konteks ini, wajah lokal yang masih perlu polesan untuk melengkapi struktur kreasi budaya, belum-belum, oleh orang yang tidak bertanggung jawab dijadikan alat dukung-mendukung. Sedemikian efektif dan pentingkah dukungan yang mengatasnamakan budaya? Seberapa berpengaruh budaya yang terlembagakan itu mampu memberikan kekuatan politis? Selain sekadar mencoreng wajah budaya itu sendiri.
Kecelakaan dan publikasi memalukan adalah ketika entitas pelaku budaya larut dalam aksi politik murahan, mendukung, atau menolak seseorang untuk "menjadi" atau menduduki jabatan politis. Luar biasanya lagi pengaruh pragmatisme politik hingga menyeret institusi pengembang estetika ke ranah perebutan kekuasaan, apalagi yang hanya sekadar "mendukung".
Dari sini, lalu lahir sebuah cerminan makro budaya seseorang yang pasti dipengaruhi paradigmanya mengenai realitas itu sendiri. Misalnya, seseorang yang materialistis, maka berkecenderungan ke ranah konsumerisme, hingga langkah praktis dan perenungan intensitasnya tertuju pada terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pragmatis. Maka, penting sekali membuat pelurusan paradigma baru dalam berkebudayaan. Pelurusan orientasi yang jelas dalam pelembagaan budaya, terutama setelah melanggar dan menodai budaya itu sendiri.
Konteks keterlibatan antara pembauran kebutuhan nurani dan reorientasi untuk mengonstruksi manifestasi berkebudayaan jika telah melanggar apalagi menodai, maka konsekuensi logisnya adalah menggelar pertobatan budaya.
Ironis sekali memang, ketika sekadar merasa terbantu atau hanya baru sebatas membuat tata budaya, lalu melembagakan budaya. Dapat dikatakan belum memberikan kontribusi estetis, tiba-tiba "mendukung" atau masuk dalam ranah politik praktis. Inilah sejarah dukungan politik paling menyedihkan plus memalukan yang pernah ada dalam dunia berkebudayaan dan anomali ini hanya ada pada pilkada dan nanti wapres dan cawapres.
*) Pemerhati Kebudayaan dan Seni Kutub, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
http://cetak.kompas.com/
Kompleksitas budaya: perlu adanya reinterpretasi ulang dengan pelibatan subyek, obyek, dan predikat, bahkan keterangan sekaligus. Sebelum sampai pada interpretasi ke sana, setidaknya dalam ilmu kebudayaan di Indonesia ada dua cara untuk kontemplasi.
Dalam ranah membaca, merasa, dan menghayati kebudayaan, yakni pertama, dengan teori dalam sistematisasi rasional dan filsafat seni budaya. Kedua, bergumul dengan budaya sebagai keseharian yang diberi makna secara sederhana dan efektif agar eksistensi estetis berlangsung terus-menerus. Dengan kata lain, budaya dibahasakan melalui komunikasi intuitif dengan pisau penghayatan, pembaharuan, dan perayaan dalam bentuk apa pun.
Dari kedua pencerahan itu, penghayatan, pembaharuan, dan perayaan adalah domain dalam tata cara mayoritas kita melakukan interpretasi budaya. Sehingga kesan artifisial, sekadar seremonial, membaca berkacamata kepentingan pragmatis, sampai prosesi penodaan budaya dengan perspektif pemihakan politis seolah wajar-wajar saja. Padahal, logika budaya, masuk di dalamnya unsur pelestarian dan inventarisasi, sangat beda dengan konteks dan politik seseorang, meski pengambil kebijakan dalam pemerintah sekali pun.
Anomali dan gilanya kultur politik kita, semakin terjebaknya kebanyakan kita sebagai orang tanpa jabatan politis-birokratis untuk turut berebut "roti" kekuasaan entah alasan ideologis atau sekadar pengganjal perut. Dukung-mendukung jelang pilgub tak hanya dilakukan orang-orang pengatas nama paguyuban, ormas, OKP, dan semacamnya yang sebenarnya berperan guna penguatan basis partisipasi yang mencerahkan masyarakat, tapi memasuki ranah paling irasional dari yang tak masuk akal, yang terjadi adalah depolitisasi budaya.
Anomali inilah, mungkin, fenomena baru kebangkrutan budaya kita di tengah gencarnya kelahiran teori atau ilmu alat kaji urai, yakni cultural studies dan atau analisa-analisa budaya baru, sebagai reaksi tahapan penyempurnaan epistemologis.
Dengan berjuta-juta potensi unik dan otentik dari warisan budaya kita, tak hanya sekadar penambah kemajemukan atau konsekuensi logis keragaman bangsa, tapi juga sebagai estetika peradaban dan memberikan manfaat. Baik warisan budaya yang tampak nyata, seperti artefak budaya atau benda-benda bersejarah, maupun yang tidak tampak, seperti lagu daerah, local wisdom, dan lain sebagainya. Ini kemudian berkelindan dan menstimulan kelahiran lembaga-lembaga kreativitas masyarakat atau wujud perhatian dengan mendirikan organisasi berbasiskan kebudayaan.
Politik pencitraan dan pengidentifikasian warisan budaya sebagai kepemilikan bersama seharusnya dimaksudkan untuk mengembalikan warisan budaya sebagai citra kolektivitas. Entah melalui sosialisasi atau pendidikan dalam pengertian yang lebih luas guna menghasilkan kesadaran baru. Dan para pelaku budaya, yaitu pencipta atau pelestari, harus tegas memberi batasan, indikator, dan output sebelum mengatakan budaya itu maju, mundur, punah, atau bahkan stagnan. Kelancangan kata mengatakan tanpa fakta, menerobos laku budaya dalam hegemonik, belum lagi oportunis tanpa nilai adalah tingkah pengkhianatan substansi dari tujuan budaya itu sendiri.
Maju tidaknya budaya sebenarnya adalah tanggung jawab pelaku kebudayaan. Pemerintah, lembaga, institusi, paguyuban, atau apa pun ketika berniat memajukan budaya harus melibatkan diri dalam teatrikal, bergumul untuk berperan sebagai pencipta atau pelestari. Rumusannya, untuk mencipta dan melestarikan, tidak dapat ditinggalkan dua cara membaca kebudayaan rumusan di atas.
Dengan penelitian untuk sampai pada pencetusan teori dalam sistematisasi rasional dan filsafat kebudayaan dengan budaya dalam keseharian, utamanya penghayatan dan perayaan. Bukan sekadar mengatakan, apalagi tendensius karena mengungkit pendistribusian dana, yang sebenarnya sekadar stimulus untuk sampai pada tahapan pelaku. Ketika jatuh antara politik kebudayaan, apalagi memolitisasi kebudayaan, persoalan menjadi aneh sekaligus bermasalah. Inilah yang jadi penghancur budaya oleh para seniman sendiri, lebih sporadis, dan membahayakan ketimbang imperealisme kebudayaan.
Rekam jejak
Bangsa kita merekam jejak bahwa kebudayaan pernah jadi alat politik. Sejarah mencatat, perseteruan antara Lembaga Kebudayaan Rakyat dan Manifes Kebudayaan (Manikebu) adalah salah satu fakta kebangkrutan budaya. Dalam konteks ini, wajah lokal yang masih perlu polesan untuk melengkapi struktur kreasi budaya, belum-belum, oleh orang yang tidak bertanggung jawab dijadikan alat dukung-mendukung. Sedemikian efektif dan pentingkah dukungan yang mengatasnamakan budaya? Seberapa berpengaruh budaya yang terlembagakan itu mampu memberikan kekuatan politis? Selain sekadar mencoreng wajah budaya itu sendiri.
Kecelakaan dan publikasi memalukan adalah ketika entitas pelaku budaya larut dalam aksi politik murahan, mendukung, atau menolak seseorang untuk "menjadi" atau menduduki jabatan politis. Luar biasanya lagi pengaruh pragmatisme politik hingga menyeret institusi pengembang estetika ke ranah perebutan kekuasaan, apalagi yang hanya sekadar "mendukung".
Dari sini, lalu lahir sebuah cerminan makro budaya seseorang yang pasti dipengaruhi paradigmanya mengenai realitas itu sendiri. Misalnya, seseorang yang materialistis, maka berkecenderungan ke ranah konsumerisme, hingga langkah praktis dan perenungan intensitasnya tertuju pada terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pragmatis. Maka, penting sekali membuat pelurusan paradigma baru dalam berkebudayaan. Pelurusan orientasi yang jelas dalam pelembagaan budaya, terutama setelah melanggar dan menodai budaya itu sendiri.
Konteks keterlibatan antara pembauran kebutuhan nurani dan reorientasi untuk mengonstruksi manifestasi berkebudayaan jika telah melanggar apalagi menodai, maka konsekuensi logisnya adalah menggelar pertobatan budaya.
Ironis sekali memang, ketika sekadar merasa terbantu atau hanya baru sebatas membuat tata budaya, lalu melembagakan budaya. Dapat dikatakan belum memberikan kontribusi estetis, tiba-tiba "mendukung" atau masuk dalam ranah politik praktis. Inilah sejarah dukungan politik paling menyedihkan plus memalukan yang pernah ada dalam dunia berkebudayaan dan anomali ini hanya ada pada pilkada dan nanti wapres dan cawapres.
*) Pemerhati Kebudayaan dan Seni Kutub, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar