Raudal Tanjung Banua
http://www.jawapos.com/
SIANG itu, di masa laluku yang seliar ikan-ikan, aku sedang memandang gugusan awan yang bergelantungan di langit, dan tiba-tiba aku merasakannya serupa kawanan ikan yang berenangan hingga ke batas cakrawala. Makin lama makin banyak, berarak seperti digiring tangan gaib penguasa lautan; yang kecil-kecil liar, yang besar-besar bergerak lamban, dan semuanya berkumpul di timur laut, di atas sebuah tempat yang sebentar lagi akan dibasuh deras hujan. Aku membayangkan, bila awan-awan bengkak itu mencurahkan kandungannya, maka ikan-ikan akan jumpalitan turun ke bumi, menukik kencang dari palung langit, lalu menghunjam dan berloncatan ke palung lautan –tempat yang semestinya untuk berbiak dan berenangan– sebagian yang mendarat di tepi-tepi, tinggal berpindah ke dalam keranjang….
Aku terkesiap, astaga, ikan-ikan di langit! Ikan-ikan tebaran langit! Ini tidak saja mengingatkanku pada pelabuhan dan kapal-kapal, tapi kota, dua kota, yang sama-sama kubayangkan penuh ikan. Ikan-ikan di kota itu –di kedua kota itu!– tak hanya menumpuk di lambung kapal, pelabuhan dan keranjang-keranjang rotannya, juga masuk ke kamar mandi dan ruang tamu rumah penduduk, menggelepar di balkon madrasah, kubah masjid, atap kedai kopi, nangkring di tiang listrik, pohonan, rumput dan pasir, hingga jalanan dan parit-paritnya. Ikan-ikan itu juga berloncatan ke atas kap mobil yang melaju, menyelinap ke sanggul ibu-ibu, meloncat jinak ke pangkuan anak-anak, masuk ke topi miring pengayuh becak atau gaun harum wanita hamil, dan sesekali menggigit halus jari-jari kaki pasangan sedang bercinta sehingga membuat mereka kegelian. Sementara dari jendela yang terbuka mereka akan melihat kawanan ikan-ikan lain berenangan di langit cerlang, di antara bintang-bintang; sisik dan sirip-siripnya berkilauan seperti keringat di dahi, di punggung dan pundak mereka; dan ketika mereka lupa menutup jendela hingga pagi tiba, matahari akan melemparkan senar kailnya –yang tak lain sulur-sulur cahaya hangat– dan saat itulah mereka tersintak, melompat, dan yang laki-laki segera berangkat ke pelabuhan sebagai manusia jelmaan ikan pemburu yang kuat dan kukuh, siap mengarungi lautan untuk semusim lamanya. Demikianlah kota itu hidup dan dihidupi, dengan kekayaannya yang melimpah, penghuni yang manusiawi, laut dan langit sama saja; berbagi cakrawala.
Tar! Petir menyambar. Awan-awan pecah, dan hujan pun turun. Aku terhenyak, susah-payah menyusun kembali ingatanku yang sejati. Ingatan tentang kota ikan, dua kota ikan. Sama tak terlupakan. Nun di sana.
***
SEPANJANG pengalamanku merumuskan segala yang tertinggal, kata ”nun di sana” setidaknya mengandung dua hal; waktu dan tempat –keduanya jauh dan samar. Jika aku menyebut dua kota ikan nun di sana, berarti aku telah mengenalnya sejak lama meski tak pasti di mana ia berada, bagaimana keadaannya dan apa yang membuat aku begitu mengangankannya. Ya, sekalipun aku kerap membayangkannya secara keterlaluan. Bukan saja tentang ikan-ikannya yang berenangan sampai ke jalanan dan langit kota, juga tentang kotanya yang bisa dimiringkan sedemikian rupa sehingga separo daratannya terendam air laut. Penduduknya yang terbiasa dengan pasang dan asin garam tidak takut, sebab mereka punya kapal dan perahu dengan cadik yang kuat. Setelah beberapa waktu dimiringkan, kota akan dikembalikan ke tataran semula oleh lengan-lengan para nelayan yang otot-ototnya bertonjolan selayaknya sedang menarik pukat di lautan; air akan surut dan ikan-ikan terjebak di setiap petak rumah dan di bagian apa pun yang tadi terendam.
Sekali waktu kubayangkan kedua kota itu tenggelam –satu ke kedalaman teluk, yang satu lagi ke muara sungai besar– tapi ribuan jangkar kapal serentak menahan dan menariknya kembali bahkan lebih tinggi dari posisinya semula, sehingga rawa-rawa mengering, pantai-pantai yang tersedu karena abrasi pulih dan sembuh dengan sendirinya….
Kota yang digemakan suara bersin ketika ikan-ikan serentak berenangan di dalam kuali, dibungkus jadi penganan, mengalahkan harga ikan asin yang dijemur berhari-hari.
Kota yang pernah diserbu pasukan lalat ketika beberapa hari matahari tak datang dan ikan-ikan lembab di pembaringan, tapi segera pihak pabrik mengambil alih semua stok yang menumpuk untuk digiling menjadi pakan ternak, dan para nelayan tetap berhak mendapat harga jual yang layak.
Kota yang memiliki gudang-gudang pelabuhan, tikar-tikar bambu untuk jemuran, dan tong-tong bekas bahan bakar yang dicuci kembali untuk mengawetkan ikan-ikan basah sehingga tahan dibawa ke kota-kota lain melebihi sehari semalam perjalanan.
Kota dengan dermaga yang menjorok jauh ke air, di mana bersandar kapal-kapal yang dicat ulang setiap Lebaran atau hari raya Cina; bendera, panji-panji dan samanera yang diganti secara teratur, sehingga kota itu senantiasa tampak seperti habis dicuci atau memakai pakaian baru.
Kota yang memiliki jalur-jalur truk untuk menurunkan dan menaikkan muatan, mulai bahan bakar, gentong-gentong air, es balok yang digiling, sampai pada segala kebutuhan pelaut; semua itu segera bertukar tempat dengan tuna, lemak hiu, dan segala jenis ikanan segar, secepat klakson truk yang bersahutan dengan lenguh mesin kapal.
Kota penuh gerobak dorong, yang rodanya berderak-derak melewati jalan beton, air ikan menetes-netes sampai ke tempat timbangan, di sana para penjual dan pembeli saling berbagi rokok dan tembakau, asapnya menyatu dengan asap pabrik yang ramping.
Kota milik semua orang. Bukan hanya milik syahbandar, para juragan serta pelaut berkapal besar yang berlayar dalam hitungan bulan, namun juga kepunyaan induk semang sekadar, pelaut yang berangkat petang pulang pagi, kuli angkat, tukang besi, buruh gerobak dorong, kelasi yang lelah dan berhenti, tukang tadah, tukang las, juru timbang, kernet dan mekanik, penjahit layar, perajut jala, pengurai kusut nilon dan temali, para pembual, pemijat buta, pengemis yang tampak necis dalam pakaian kebesaran bergaris-garis lebar, perempuan-perempuan kedai, penjual es tongtong dan nasi uduk, bahkan kucing kurap dan anjing buduk seperti tak ingin melepaskan cengkeraman kepemilikannya; dan anak-anak, miliknyalah segala yang ada di tengah dan di tepi…
Kota yang didatangi banyak kapal dan truk –apa bedanya?– dari luar pulau dan kota-kota besar, mengangkut tak hanya ikan-ikan kering atau basah, tapi juga berkarung-karung pakan ternak, berpeti-peti ikan kalengan, dan makanan apa saja berasa ikan, beraroma ikan.
Ya, kota yang dibangun dari pabrik pakan ternak dan pengalengan ikan.
O, semakin aku merunut anganan, semakin dekat aku pada kenyataan!
Maka baiknya, kuceritakan keduanya dalam satu ingatan.
***
RASA-rasanya tidak ada yang tidak pernah mendengar nama kedua kota itu, terlebih mereka yang menamatkan bangku sekolah menengahnya sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Setiap anak di sekolah pada tahun-tahun tersebut pastilah mendengar nama kota penghasil ikan terbesar di tanah air: Bagan Siapi-api dan Muncar di Banyuwangi. Bersama nama-nama kota dan daerah lain, dengan berbagai-ragam kekayaan alam, nama kedua kota itu tercantum anggun di buku pelajaran kami. Ada Martapura penghasil intan di Kalimantan, Pulau Buton penghasil aspal, Bangka penghasil timah dan lada, Sawahlunto dengan batubaranya, Rejang Lebong dengan emasnya, Dumai dengan minyak buminya, Jawa dengan padinya, Tembagapura tentu dengan tembaganya pula, dan banyak yang lain –seturut hapalan.
Aku tidak tahu bagaimana perasaan masing anak setiap kali melafalkan atau menghapalkan nama-nama itu, apakah terharu, biasa saja atau tak peduli. Tapi untuk diriku sendiri selalu ada perasaan ganjil yang sulit dirumuskan tiap kali bapak-ibu guru yang mulia itu menceritakan kekayaan alam dan hasil bumi berbagai penjuru negeri. Dan, pikiranku terutama selalu singgah dan bermuara di kedua kota itu, kota penghasil ikan terbesar di Indonesia itu. Mengapa aku sangat tertarik padanya? Barangkali karena ia lebih nyata bagiku. Emas dan tembaga, aspal dan batubara, susah sungguh; bagaimana ia diolah dan ditambang, bahkan bagaimana rupanya pun sulit kubayangkan, maklumlah pelajaran di sekolah tak punya banyak penjelasan –seperti kubilang, seturut hapalan– sehingga bagaimana mungkin aku menyangkutkan ingatan padanya? Memang ada sawah dan padi di kampung kami, tapi kau tahu, itu tak lebih sawah tadah hujan sehingga tak akrablah kami dengan kesuburan rahim Dewi Sri. Ada seutas jalan aspal di kampung kami, boyak penuh lobang, sulit membedakannya dengan sungai kering atau jalan berbatu kasar. Emas? Aku hanya sesekali melihat emas gram murahan bergayut secuil di telinga ibu atau adikku yang dekil, untuk dijual kembali bila musim paceklik ikan tiba.
Jadi, sungguh beralasan mengapa aku lebih tertarik pada dua kota ikan yang disebutkan. Aku tinggal di kampung tepi pantai barat Sumatera, yang memiliki sebuah muara berair keruh, lebar dan landai, tempat kapal-kapal kayu yang kami sebut bagan membongkar muatan berkeranjang-keranjang ikan. Sebagai anak pantai, indraku akan merasakan dan mencium aroma ikan dengan sendirinya begitu kata ikan diucapkan. Atau cukup kau ucapkanlah kata sisik, maka instingku akan berkelit untuk tidak lebih dulu menghubungkannya dengan ular atau makhluk apa pun yang bersisik, kecuali ikan! Hasratku akan bangkit begitu laut dan kapal disebut –dan hanya pikiranku yang tidak pernah sampai mencerna mengapa semua itu dianggap sebagai kekayaan. Kekayaan? Kekayaan apa? Dapatkah ikan-ikan yang melimpah disebut kekayaan sedang aku tahu rumah-rumah di kampungku tak lebih gubuk-gubuk satu kamar, berdiri di atas tiang kayu bakau yang bengkok dan goyah, bergoyangan, seolah berdiri di atas punggung lunak ubur-ubur? Kekayaankah namanya ikan-ikan itu, jika ternyata tetap sulit ditukar dengan setekong dua tekong beras, minyak tanah, apalagi pakaian sekolah yang sudah sekusam wajah bapak, paman, dan nelayan kami semua?
Ya, ya, aku melihat wajah orang kampungku kebanyakan tetap kusam dan murung di jalan ke muara, sekalipun musim ikan telah tiba. Aku bertanya-tanya, apa yang membuat mereka tetap murung di saat seharusnya bersikap sedikit riang? Bahkan camar-camar di laut dan keruh muara tampak gembira. Tidakkah sebaiknya bapak, paman, dan nelayan kampung kami sesekali berpesta di warung-warung terbuka? Tapi tidak. Warung-warung langganan mereka –tempat hutang selilit pinggang, ibarat tali pukat yang membuatnya genting– telah lebih dulu murung. Tentang ini, aku pernah punya pengalaman khusus yang sampai sekarang seolah terpampang di semua layar. Waktu itu, aku habis membaca sebuah puisi di koran bekas pembungkus belanjaan ibu dari pasar, entah karangan siapa, tapi baitnya kuingat benar: ”Kekasih, wajahmu sumringah duyung pinangan, aku nelayan riang menjelang.” Di tanganku, kata-kata itu berubah dalam coretan: ”Nelayan, wajah-wajahmu semurung warung, kami si anak riang telanjang.”
Suatu hari, Pak Darkoni, memelototi tulisan di buku tulisku itu, lalu ia balik memelototiku, ”Kau anggap sama semua nelayan, he? Ayah saya juga nelayan, beliau lebih suka ke masjid daripada ke warung, dan kami adik-beradik selalu pakai baju bahkan jika bermain hujan!” Dan dia lantas menyeringai. Aku menggigil, merasa bersalah sebab menyama-ratakan kehidupan nelayan.
Berapa waktu kemudian, antara putus asa dan keinginan melawan, bait itu kuubah diam-diam: ”Bapak, wajahmu semurung warung, aku si anak tak bisa riang.” Dengan demikian, aku merasa tak menyinggung perasaan siapa pun, dan lagi pula, buku itu lantas tak pernah lagi kubawa ke sekolah, kutinggal di kolong dipan.
Namun, semuanya tak selesai dalam sebait puisi. Pertanyaan demi pertanyaan terus menguntit keriangan masa kecil dan remajaku, ke sudut kampung mana pun aku pergi. Mengapa para nelayan belum tentu bisa berganti baju sekali setahun, bahkan berganti kulit yang terbakar dan terkelupas lebih mungkin? Apa yang membuat mereka tetap sulit ke luar dari cangkang pengab nasib ini? Sementara, mengapa para induk semang tetap bisa ongkang-ongkang kaki, membangun rumah bertingkat dan berpenghasilan berkali lipat?
Semua kenyataan yang menusuk mata kanak dan remajaku inilah agaknya yang membuat diriku jadi suka membuat perbandingan dan anganan. Dan makin mengasyikkan ketika kudapatkan padanan pada Bagan dan Muncar. Jika kampungku yang tak tercantum dalam peta saja, bahkan tak punya dermaga, hasil ikannya cukup melimpah, bagaimanakah gerangan kota penghasil ikan terbesar? Mungkinkah di sana nelayannya hidup berkecukupan, tak pernah murung, jauh dari nestapa? Apakah ikan-ikan di sana lebih berharga sebab ada perusahaan pengolah ikan, pabrik terasi dan pengalengan, serta pedagang yang bukan sekadar tengkulak? Apakah para nelayan mendapatkan jatah hasil keringatnya lebih banyak, dan juragan kapal tak mungkin menahan hak mereka?
Begitulah kiranya, bertahun-tahun, setiap kali aku merasakan langit nestapa di atas kampung pesisirku yang merana, tanpa sadar aku selalu membandingkannya dengan dua kota ikan itu entah di mana. Hanya dalam angan. Dan selalu dalam angan. Maka, jangan salahkan kalau keduanya, lambat-laun, terbangun dengan imajinasiku yang berlebihan.
***
BERTAHUN-tahun sesudahnya, barulah aku memahami kedua kota ikan itu dengan agak mendekati kenyataan. Ada banyak peta, bacaan dan referensi yang dapat kutelusuri untuk mengenalnya lebih baik, tidak lagi sekadar angan yang keterlaluan.
Jika saja aku seorang guru, maka aku dapat menceritakannya lebih dari sekadar hapalan, dan membuat jam pelajaran tak bakal cukup dengan lima atau sepuluh kali pertemuan. Namun, aku tahu semuanya terlambat. Aku bukan seorang guru, dan kedua nama kota itu tak lagi tercantum di buku pelajaran anak-anak kita yang murni itu. Biarlah pengetahuan sederhana ini kujadikan bekal bagi diriku sendiri untuk melihat kenyataan lebih dekat, supaya tak lagi jauh, samar, dan kelabu.
Demikianlah aku tahu, bahwa Bagan Siapi-api terletak di tepi Selat Malaka, masuk wilayah Riau, dulu bagian Kabupaten Bengkalis, sekarang masuk wilayah pemekaran baru, Rokan Hilir. Bagan Siapi-api kini menjadi ibu kota kabupaten dengan segala beban dan harapannya. Jalan-jalan diperlebar, pasar diperbesar, dan seperti biasa baliho dan papan-papan iklan berebut tumbuh. Di setiap persimpangan dipasang lampu lalu-lintas meskipun yang melintas sepi saja, tapi bersama proyek trotoarisasi seluruh sisi jalan, bukankah itu penting untuk menandainya sebagai kota harapan? Harapan itu juga ada di ruko-ruko yang dibangun lebih banyak lagi, meski dari gambar aku sangsi, benarkah bangunan-bangunan besar tinggi itu semuanya berfungsi sebagai rumah dan toko?
Di sebuah buku terbitan pemerintah setempat aku membaca pengantar editornya yang bersemangat, ”Bagan Siapi-api punya legenda tersendiri. Jika sejak dulu Minas dan Lirik dikenal sebagai penghasil minyak, Logas penghasil emas, maka Bagan pernah menjadi kota penghasil ikan terbesar di negeri ini, bahkan tercatat sebagai penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Norwegia.” Tapi kalimat itu lantas berujung murung, mungkin juga geram, ”Kini legenda itu mengabur. Alam Bagan tak lagi mampu melayani rakusnya eksploitasi.”* Di lain waktu kudengar alasan, hasil ikan di Bagan menyusut karena sedimentasi Selat Malaka disebabkan lumpur Sungai Rokan yang hutan-hutannya ditebangi di hulu. Apa pun penyebabnya, tak bakal membuatku lari dari kenyataan. Meskipun sampai sekarang aku belum pernah menginjakkan kaki di Kota Bagan, toh kenyataan yang kucerna dari berbagai sumber itu telah kuterima sebagai bagian kepahitan juga –tak jauh beda dari kampung di masa kecilku yang merana. Ah, pelabuhan dan kota ikan di mana-mana sama; sedih dan nestapa, bahkan yang pernah jaya pun kini tinggal nama! (Dan salah besarlah Pak Darkoni –jika kata terkutuk tak pantas untuk seorang guru).
Tapi, tunggu dulu! Bagaimana dengan Muncar? Bukankah ia, bersama Pelabuhan Pengambengan di Jembrana, Bali Barat, tetap bersinar dengan ikan-ikan lemurunya yang terkenal berprotein tinggi? Bukankah banyak pabrik pengalengan ikan di situ yang selalu membutuhkan pasokan ikan untuk diolah atau dikalengkan? Aku berharap Muncar lebih baik, sehingga tak semua pelabuhan melulu sedih, tak semua lautan menyimpan kecemasan. (Semoga lepaslah Pak Darkoni dari gugatan –jika kata dendam terlalu sentimentil untuk seseorang di masa silam).
Suatu hari di bulan November, untuk pertama kali kuputuskan mengunjungi Muncar. Bertahun-tahun ngendon di palung ingatan, seperti ikan-ikannya yang berdenyar, kini ia terbentang di depan mataku seperti seorang gadis duyung, ramping dengan tanjung dan teluk. Teluknya dalam! Lama aku terpana, untuk akhirnya tahu bahwa Muncar tetaplah kota kecil dengan pelabuhan ikan yang besar; atau sebaliknya, pelabuhan besar dengan kotanya yang kecil: diramaikan sejumlah toko emas berjeruji besi, memiliki lebih selusin pabrik pengalengan dan pengolahan ikan dengan cerobong-cerobong lancip mencat langit, rumah-rumah penduduk yang padat, dan sebuah masjid besar berkubah keramik hijau lumut. Kapal-kapal kayu, yang jumlahnya entah berapa ratus, dengan andang-andang tempat nakhoda berhiaskan gambar-gambar Ratu Kidul, Gus Dur, Garuda Pancasila, dan semuanya, berbaur aman dalam ketenangan teluk yang dilingkungi Bukit Sembulungan.
Dan, meski bangunan-bangunan tinggi menjulang tampak terus tumbuh, rasanya agak sulit bagi Muncar untuk berubah status pula menjadi ibu kota. Sebab, bahkan Genteng, kota pelintasan yang ramai dan mempunyai sejumlah bank di utara, yang berhasrat besar menjadi ibu kota kabupaten pemekaran di Bumi Blambangan belum lagi kesampaian. Dan kalaupun terjadi pemekaran, setelah melihat langsung kenyataan, aku pikir Muncar belum tentu lebih baik. Mungkin akan tetap hidup di antara limbah pabrik yang menyengat, tempat pelelangan ikan yang becek, gudang-gudang tak terurus, ikan-ikan lemuru yang tidak selalu laku, teronggok busuk di tepi pelabuhan, sebagian dibuang kembali ke laut, dan para ABK tetap saja bergaji kecil. Di parit-parit dangkal, perempuan-perempuan setengah bongkok mengumpulkan limbah pabrik untuk diolah kembali jadi terasi atau belacan!
Kami melanjutkan perjalanan lebih ke selatan, memasuki lorong-lorong dan jalan-jalan sempit Kota Muncar; jalan yang mestinya diperlebar tanpa harus menjadikan deretan pohon asam tua sebagai alasan. Kini aku pun benar-benar tak punya alasan untuk menghindar dari kenyataan bahwa pelabuhan dan kota ikan di mana-mana sama saja!
Bersama Iqbal, kawan yang mengantar keliling Muncar, aku menepi ke kedai kopi. Kami tidak bisa menikmati lezat lemuru, karena tak ada kedai ikan bakar. Kota pelabuhan tanpa kedai ikan bakar, hmm…. jelas ada yang kurang, tapi sudahlah, akan semakin banyak kekurangan jika terus dirunut dan disebutkan. Kami pesan saja kopi pahit dan tahu petis yang ternyata sangat pedas. Mataku berair dan berkunang-kunang, campuran lelah dan putus asa.
Saat itulah aku kembali melihat gugusan awan seperti di masa laluku yang seliar ikan-ikan, sebagaimana kuceritakan di bagian awal: aku melihat awan-awan yang bergelantungan, tapi kali ini berupa makhluk-makhluk kecil ajaib dengan sirip mengembang. Berlesatan. Gentayangan. Bukan ikan-ikan. Juga bukan ikan terbang. Makin lama makin banyak, berarak, tak hanya ke satu tempat, tapi ke banyak tempat yang berderet di pinggir jalan dan pemukiman. Mereka melayang, menukik kencang, datang dan pergi, seperti limbubu yang sebentar berpencar sebentar kembali. Suara mereka riuh dan nyaring mengalahkan camar dan bahkan lenguh kapal. O, mereka menuju bangunan-bangunan beton menjulang tinggi, masif, tidak menarik, kecuali hanya bulatan-bulatan lobang angin untuk keluar-masuk tubuh ceking mereka. Saking larutnya menyusuri pelabuhan, ternyata aku agak abai mencermati bangunan-bangunan aneh yang memenuhi hampir seluruh sisi kota. Gambar bangunan ini juga kiranya yang kulihat berderet-deret di tengah Kota Bagan Siapi-api, di buku yang pernah aku baca.
Menarik napas bukan lagi karena pedas, aku kini paham: sejak ikan kian menjauh dari tangkapan, pelayaran tak banyak menjanjikan keuntungan, kapal-kapal kian lapuk tanpa peremajaan, biaya melaut semakin mahal, sementara di depan hidung harga sarang walet sangat menggiurkan, banyaklah rumah-rumah walet orang dirikan. Pun di kedua kota ikan, Bagan dan Muncar! Maka, ketika awan-awan bengkak itu tiba-tiba mencurahkan kandungannya, kulihat burung-burung walet jumpalitan turun ke bumi, sebagian melayang ke langit tinggi, seolah mengabarkan nasib kota-kota ikan yang kian tersisihkan. Kalah. Merana. Meski tak hendak menyerah. O, cinta samudera, betapa sengitnya!
Banyuwangi-Jogja, 2008-2009
Catatan:
*) Lihat pengantar Ramon Damora, Pimred Pos Metro Batam dalam buku Kalam Media Membingkai Rohil (Akar Indonesia-Pemda Rokan Hilir, 2007.
http://www.jawapos.com/
SIANG itu, di masa laluku yang seliar ikan-ikan, aku sedang memandang gugusan awan yang bergelantungan di langit, dan tiba-tiba aku merasakannya serupa kawanan ikan yang berenangan hingga ke batas cakrawala. Makin lama makin banyak, berarak seperti digiring tangan gaib penguasa lautan; yang kecil-kecil liar, yang besar-besar bergerak lamban, dan semuanya berkumpul di timur laut, di atas sebuah tempat yang sebentar lagi akan dibasuh deras hujan. Aku membayangkan, bila awan-awan bengkak itu mencurahkan kandungannya, maka ikan-ikan akan jumpalitan turun ke bumi, menukik kencang dari palung langit, lalu menghunjam dan berloncatan ke palung lautan –tempat yang semestinya untuk berbiak dan berenangan– sebagian yang mendarat di tepi-tepi, tinggal berpindah ke dalam keranjang….
Aku terkesiap, astaga, ikan-ikan di langit! Ikan-ikan tebaran langit! Ini tidak saja mengingatkanku pada pelabuhan dan kapal-kapal, tapi kota, dua kota, yang sama-sama kubayangkan penuh ikan. Ikan-ikan di kota itu –di kedua kota itu!– tak hanya menumpuk di lambung kapal, pelabuhan dan keranjang-keranjang rotannya, juga masuk ke kamar mandi dan ruang tamu rumah penduduk, menggelepar di balkon madrasah, kubah masjid, atap kedai kopi, nangkring di tiang listrik, pohonan, rumput dan pasir, hingga jalanan dan parit-paritnya. Ikan-ikan itu juga berloncatan ke atas kap mobil yang melaju, menyelinap ke sanggul ibu-ibu, meloncat jinak ke pangkuan anak-anak, masuk ke topi miring pengayuh becak atau gaun harum wanita hamil, dan sesekali menggigit halus jari-jari kaki pasangan sedang bercinta sehingga membuat mereka kegelian. Sementara dari jendela yang terbuka mereka akan melihat kawanan ikan-ikan lain berenangan di langit cerlang, di antara bintang-bintang; sisik dan sirip-siripnya berkilauan seperti keringat di dahi, di punggung dan pundak mereka; dan ketika mereka lupa menutup jendela hingga pagi tiba, matahari akan melemparkan senar kailnya –yang tak lain sulur-sulur cahaya hangat– dan saat itulah mereka tersintak, melompat, dan yang laki-laki segera berangkat ke pelabuhan sebagai manusia jelmaan ikan pemburu yang kuat dan kukuh, siap mengarungi lautan untuk semusim lamanya. Demikianlah kota itu hidup dan dihidupi, dengan kekayaannya yang melimpah, penghuni yang manusiawi, laut dan langit sama saja; berbagi cakrawala.
Tar! Petir menyambar. Awan-awan pecah, dan hujan pun turun. Aku terhenyak, susah-payah menyusun kembali ingatanku yang sejati. Ingatan tentang kota ikan, dua kota ikan. Sama tak terlupakan. Nun di sana.
***
SEPANJANG pengalamanku merumuskan segala yang tertinggal, kata ”nun di sana” setidaknya mengandung dua hal; waktu dan tempat –keduanya jauh dan samar. Jika aku menyebut dua kota ikan nun di sana, berarti aku telah mengenalnya sejak lama meski tak pasti di mana ia berada, bagaimana keadaannya dan apa yang membuat aku begitu mengangankannya. Ya, sekalipun aku kerap membayangkannya secara keterlaluan. Bukan saja tentang ikan-ikannya yang berenangan sampai ke jalanan dan langit kota, juga tentang kotanya yang bisa dimiringkan sedemikian rupa sehingga separo daratannya terendam air laut. Penduduknya yang terbiasa dengan pasang dan asin garam tidak takut, sebab mereka punya kapal dan perahu dengan cadik yang kuat. Setelah beberapa waktu dimiringkan, kota akan dikembalikan ke tataran semula oleh lengan-lengan para nelayan yang otot-ototnya bertonjolan selayaknya sedang menarik pukat di lautan; air akan surut dan ikan-ikan terjebak di setiap petak rumah dan di bagian apa pun yang tadi terendam.
Sekali waktu kubayangkan kedua kota itu tenggelam –satu ke kedalaman teluk, yang satu lagi ke muara sungai besar– tapi ribuan jangkar kapal serentak menahan dan menariknya kembali bahkan lebih tinggi dari posisinya semula, sehingga rawa-rawa mengering, pantai-pantai yang tersedu karena abrasi pulih dan sembuh dengan sendirinya….
Kota yang digemakan suara bersin ketika ikan-ikan serentak berenangan di dalam kuali, dibungkus jadi penganan, mengalahkan harga ikan asin yang dijemur berhari-hari.
Kota yang pernah diserbu pasukan lalat ketika beberapa hari matahari tak datang dan ikan-ikan lembab di pembaringan, tapi segera pihak pabrik mengambil alih semua stok yang menumpuk untuk digiling menjadi pakan ternak, dan para nelayan tetap berhak mendapat harga jual yang layak.
Kota yang memiliki gudang-gudang pelabuhan, tikar-tikar bambu untuk jemuran, dan tong-tong bekas bahan bakar yang dicuci kembali untuk mengawetkan ikan-ikan basah sehingga tahan dibawa ke kota-kota lain melebihi sehari semalam perjalanan.
Kota dengan dermaga yang menjorok jauh ke air, di mana bersandar kapal-kapal yang dicat ulang setiap Lebaran atau hari raya Cina; bendera, panji-panji dan samanera yang diganti secara teratur, sehingga kota itu senantiasa tampak seperti habis dicuci atau memakai pakaian baru.
Kota yang memiliki jalur-jalur truk untuk menurunkan dan menaikkan muatan, mulai bahan bakar, gentong-gentong air, es balok yang digiling, sampai pada segala kebutuhan pelaut; semua itu segera bertukar tempat dengan tuna, lemak hiu, dan segala jenis ikanan segar, secepat klakson truk yang bersahutan dengan lenguh mesin kapal.
Kota penuh gerobak dorong, yang rodanya berderak-derak melewati jalan beton, air ikan menetes-netes sampai ke tempat timbangan, di sana para penjual dan pembeli saling berbagi rokok dan tembakau, asapnya menyatu dengan asap pabrik yang ramping.
Kota milik semua orang. Bukan hanya milik syahbandar, para juragan serta pelaut berkapal besar yang berlayar dalam hitungan bulan, namun juga kepunyaan induk semang sekadar, pelaut yang berangkat petang pulang pagi, kuli angkat, tukang besi, buruh gerobak dorong, kelasi yang lelah dan berhenti, tukang tadah, tukang las, juru timbang, kernet dan mekanik, penjahit layar, perajut jala, pengurai kusut nilon dan temali, para pembual, pemijat buta, pengemis yang tampak necis dalam pakaian kebesaran bergaris-garis lebar, perempuan-perempuan kedai, penjual es tongtong dan nasi uduk, bahkan kucing kurap dan anjing buduk seperti tak ingin melepaskan cengkeraman kepemilikannya; dan anak-anak, miliknyalah segala yang ada di tengah dan di tepi…
Kota yang didatangi banyak kapal dan truk –apa bedanya?– dari luar pulau dan kota-kota besar, mengangkut tak hanya ikan-ikan kering atau basah, tapi juga berkarung-karung pakan ternak, berpeti-peti ikan kalengan, dan makanan apa saja berasa ikan, beraroma ikan.
Ya, kota yang dibangun dari pabrik pakan ternak dan pengalengan ikan.
O, semakin aku merunut anganan, semakin dekat aku pada kenyataan!
Maka baiknya, kuceritakan keduanya dalam satu ingatan.
***
RASA-rasanya tidak ada yang tidak pernah mendengar nama kedua kota itu, terlebih mereka yang menamatkan bangku sekolah menengahnya sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Setiap anak di sekolah pada tahun-tahun tersebut pastilah mendengar nama kota penghasil ikan terbesar di tanah air: Bagan Siapi-api dan Muncar di Banyuwangi. Bersama nama-nama kota dan daerah lain, dengan berbagai-ragam kekayaan alam, nama kedua kota itu tercantum anggun di buku pelajaran kami. Ada Martapura penghasil intan di Kalimantan, Pulau Buton penghasil aspal, Bangka penghasil timah dan lada, Sawahlunto dengan batubaranya, Rejang Lebong dengan emasnya, Dumai dengan minyak buminya, Jawa dengan padinya, Tembagapura tentu dengan tembaganya pula, dan banyak yang lain –seturut hapalan.
Aku tidak tahu bagaimana perasaan masing anak setiap kali melafalkan atau menghapalkan nama-nama itu, apakah terharu, biasa saja atau tak peduli. Tapi untuk diriku sendiri selalu ada perasaan ganjil yang sulit dirumuskan tiap kali bapak-ibu guru yang mulia itu menceritakan kekayaan alam dan hasil bumi berbagai penjuru negeri. Dan, pikiranku terutama selalu singgah dan bermuara di kedua kota itu, kota penghasil ikan terbesar di Indonesia itu. Mengapa aku sangat tertarik padanya? Barangkali karena ia lebih nyata bagiku. Emas dan tembaga, aspal dan batubara, susah sungguh; bagaimana ia diolah dan ditambang, bahkan bagaimana rupanya pun sulit kubayangkan, maklumlah pelajaran di sekolah tak punya banyak penjelasan –seperti kubilang, seturut hapalan– sehingga bagaimana mungkin aku menyangkutkan ingatan padanya? Memang ada sawah dan padi di kampung kami, tapi kau tahu, itu tak lebih sawah tadah hujan sehingga tak akrablah kami dengan kesuburan rahim Dewi Sri. Ada seutas jalan aspal di kampung kami, boyak penuh lobang, sulit membedakannya dengan sungai kering atau jalan berbatu kasar. Emas? Aku hanya sesekali melihat emas gram murahan bergayut secuil di telinga ibu atau adikku yang dekil, untuk dijual kembali bila musim paceklik ikan tiba.
Jadi, sungguh beralasan mengapa aku lebih tertarik pada dua kota ikan yang disebutkan. Aku tinggal di kampung tepi pantai barat Sumatera, yang memiliki sebuah muara berair keruh, lebar dan landai, tempat kapal-kapal kayu yang kami sebut bagan membongkar muatan berkeranjang-keranjang ikan. Sebagai anak pantai, indraku akan merasakan dan mencium aroma ikan dengan sendirinya begitu kata ikan diucapkan. Atau cukup kau ucapkanlah kata sisik, maka instingku akan berkelit untuk tidak lebih dulu menghubungkannya dengan ular atau makhluk apa pun yang bersisik, kecuali ikan! Hasratku akan bangkit begitu laut dan kapal disebut –dan hanya pikiranku yang tidak pernah sampai mencerna mengapa semua itu dianggap sebagai kekayaan. Kekayaan? Kekayaan apa? Dapatkah ikan-ikan yang melimpah disebut kekayaan sedang aku tahu rumah-rumah di kampungku tak lebih gubuk-gubuk satu kamar, berdiri di atas tiang kayu bakau yang bengkok dan goyah, bergoyangan, seolah berdiri di atas punggung lunak ubur-ubur? Kekayaankah namanya ikan-ikan itu, jika ternyata tetap sulit ditukar dengan setekong dua tekong beras, minyak tanah, apalagi pakaian sekolah yang sudah sekusam wajah bapak, paman, dan nelayan kami semua?
Ya, ya, aku melihat wajah orang kampungku kebanyakan tetap kusam dan murung di jalan ke muara, sekalipun musim ikan telah tiba. Aku bertanya-tanya, apa yang membuat mereka tetap murung di saat seharusnya bersikap sedikit riang? Bahkan camar-camar di laut dan keruh muara tampak gembira. Tidakkah sebaiknya bapak, paman, dan nelayan kampung kami sesekali berpesta di warung-warung terbuka? Tapi tidak. Warung-warung langganan mereka –tempat hutang selilit pinggang, ibarat tali pukat yang membuatnya genting– telah lebih dulu murung. Tentang ini, aku pernah punya pengalaman khusus yang sampai sekarang seolah terpampang di semua layar. Waktu itu, aku habis membaca sebuah puisi di koran bekas pembungkus belanjaan ibu dari pasar, entah karangan siapa, tapi baitnya kuingat benar: ”Kekasih, wajahmu sumringah duyung pinangan, aku nelayan riang menjelang.” Di tanganku, kata-kata itu berubah dalam coretan: ”Nelayan, wajah-wajahmu semurung warung, kami si anak riang telanjang.”
Suatu hari, Pak Darkoni, memelototi tulisan di buku tulisku itu, lalu ia balik memelototiku, ”Kau anggap sama semua nelayan, he? Ayah saya juga nelayan, beliau lebih suka ke masjid daripada ke warung, dan kami adik-beradik selalu pakai baju bahkan jika bermain hujan!” Dan dia lantas menyeringai. Aku menggigil, merasa bersalah sebab menyama-ratakan kehidupan nelayan.
Berapa waktu kemudian, antara putus asa dan keinginan melawan, bait itu kuubah diam-diam: ”Bapak, wajahmu semurung warung, aku si anak tak bisa riang.” Dengan demikian, aku merasa tak menyinggung perasaan siapa pun, dan lagi pula, buku itu lantas tak pernah lagi kubawa ke sekolah, kutinggal di kolong dipan.
Namun, semuanya tak selesai dalam sebait puisi. Pertanyaan demi pertanyaan terus menguntit keriangan masa kecil dan remajaku, ke sudut kampung mana pun aku pergi. Mengapa para nelayan belum tentu bisa berganti baju sekali setahun, bahkan berganti kulit yang terbakar dan terkelupas lebih mungkin? Apa yang membuat mereka tetap sulit ke luar dari cangkang pengab nasib ini? Sementara, mengapa para induk semang tetap bisa ongkang-ongkang kaki, membangun rumah bertingkat dan berpenghasilan berkali lipat?
Semua kenyataan yang menusuk mata kanak dan remajaku inilah agaknya yang membuat diriku jadi suka membuat perbandingan dan anganan. Dan makin mengasyikkan ketika kudapatkan padanan pada Bagan dan Muncar. Jika kampungku yang tak tercantum dalam peta saja, bahkan tak punya dermaga, hasil ikannya cukup melimpah, bagaimanakah gerangan kota penghasil ikan terbesar? Mungkinkah di sana nelayannya hidup berkecukupan, tak pernah murung, jauh dari nestapa? Apakah ikan-ikan di sana lebih berharga sebab ada perusahaan pengolah ikan, pabrik terasi dan pengalengan, serta pedagang yang bukan sekadar tengkulak? Apakah para nelayan mendapatkan jatah hasil keringatnya lebih banyak, dan juragan kapal tak mungkin menahan hak mereka?
Begitulah kiranya, bertahun-tahun, setiap kali aku merasakan langit nestapa di atas kampung pesisirku yang merana, tanpa sadar aku selalu membandingkannya dengan dua kota ikan itu entah di mana. Hanya dalam angan. Dan selalu dalam angan. Maka, jangan salahkan kalau keduanya, lambat-laun, terbangun dengan imajinasiku yang berlebihan.
***
BERTAHUN-tahun sesudahnya, barulah aku memahami kedua kota ikan itu dengan agak mendekati kenyataan. Ada banyak peta, bacaan dan referensi yang dapat kutelusuri untuk mengenalnya lebih baik, tidak lagi sekadar angan yang keterlaluan.
Jika saja aku seorang guru, maka aku dapat menceritakannya lebih dari sekadar hapalan, dan membuat jam pelajaran tak bakal cukup dengan lima atau sepuluh kali pertemuan. Namun, aku tahu semuanya terlambat. Aku bukan seorang guru, dan kedua nama kota itu tak lagi tercantum di buku pelajaran anak-anak kita yang murni itu. Biarlah pengetahuan sederhana ini kujadikan bekal bagi diriku sendiri untuk melihat kenyataan lebih dekat, supaya tak lagi jauh, samar, dan kelabu.
Demikianlah aku tahu, bahwa Bagan Siapi-api terletak di tepi Selat Malaka, masuk wilayah Riau, dulu bagian Kabupaten Bengkalis, sekarang masuk wilayah pemekaran baru, Rokan Hilir. Bagan Siapi-api kini menjadi ibu kota kabupaten dengan segala beban dan harapannya. Jalan-jalan diperlebar, pasar diperbesar, dan seperti biasa baliho dan papan-papan iklan berebut tumbuh. Di setiap persimpangan dipasang lampu lalu-lintas meskipun yang melintas sepi saja, tapi bersama proyek trotoarisasi seluruh sisi jalan, bukankah itu penting untuk menandainya sebagai kota harapan? Harapan itu juga ada di ruko-ruko yang dibangun lebih banyak lagi, meski dari gambar aku sangsi, benarkah bangunan-bangunan besar tinggi itu semuanya berfungsi sebagai rumah dan toko?
Di sebuah buku terbitan pemerintah setempat aku membaca pengantar editornya yang bersemangat, ”Bagan Siapi-api punya legenda tersendiri. Jika sejak dulu Minas dan Lirik dikenal sebagai penghasil minyak, Logas penghasil emas, maka Bagan pernah menjadi kota penghasil ikan terbesar di negeri ini, bahkan tercatat sebagai penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Norwegia.” Tapi kalimat itu lantas berujung murung, mungkin juga geram, ”Kini legenda itu mengabur. Alam Bagan tak lagi mampu melayani rakusnya eksploitasi.”* Di lain waktu kudengar alasan, hasil ikan di Bagan menyusut karena sedimentasi Selat Malaka disebabkan lumpur Sungai Rokan yang hutan-hutannya ditebangi di hulu. Apa pun penyebabnya, tak bakal membuatku lari dari kenyataan. Meskipun sampai sekarang aku belum pernah menginjakkan kaki di Kota Bagan, toh kenyataan yang kucerna dari berbagai sumber itu telah kuterima sebagai bagian kepahitan juga –tak jauh beda dari kampung di masa kecilku yang merana. Ah, pelabuhan dan kota ikan di mana-mana sama; sedih dan nestapa, bahkan yang pernah jaya pun kini tinggal nama! (Dan salah besarlah Pak Darkoni –jika kata terkutuk tak pantas untuk seorang guru).
Tapi, tunggu dulu! Bagaimana dengan Muncar? Bukankah ia, bersama Pelabuhan Pengambengan di Jembrana, Bali Barat, tetap bersinar dengan ikan-ikan lemurunya yang terkenal berprotein tinggi? Bukankah banyak pabrik pengalengan ikan di situ yang selalu membutuhkan pasokan ikan untuk diolah atau dikalengkan? Aku berharap Muncar lebih baik, sehingga tak semua pelabuhan melulu sedih, tak semua lautan menyimpan kecemasan. (Semoga lepaslah Pak Darkoni dari gugatan –jika kata dendam terlalu sentimentil untuk seseorang di masa silam).
Suatu hari di bulan November, untuk pertama kali kuputuskan mengunjungi Muncar. Bertahun-tahun ngendon di palung ingatan, seperti ikan-ikannya yang berdenyar, kini ia terbentang di depan mataku seperti seorang gadis duyung, ramping dengan tanjung dan teluk. Teluknya dalam! Lama aku terpana, untuk akhirnya tahu bahwa Muncar tetaplah kota kecil dengan pelabuhan ikan yang besar; atau sebaliknya, pelabuhan besar dengan kotanya yang kecil: diramaikan sejumlah toko emas berjeruji besi, memiliki lebih selusin pabrik pengalengan dan pengolahan ikan dengan cerobong-cerobong lancip mencat langit, rumah-rumah penduduk yang padat, dan sebuah masjid besar berkubah keramik hijau lumut. Kapal-kapal kayu, yang jumlahnya entah berapa ratus, dengan andang-andang tempat nakhoda berhiaskan gambar-gambar Ratu Kidul, Gus Dur, Garuda Pancasila, dan semuanya, berbaur aman dalam ketenangan teluk yang dilingkungi Bukit Sembulungan.
Dan, meski bangunan-bangunan tinggi menjulang tampak terus tumbuh, rasanya agak sulit bagi Muncar untuk berubah status pula menjadi ibu kota. Sebab, bahkan Genteng, kota pelintasan yang ramai dan mempunyai sejumlah bank di utara, yang berhasrat besar menjadi ibu kota kabupaten pemekaran di Bumi Blambangan belum lagi kesampaian. Dan kalaupun terjadi pemekaran, setelah melihat langsung kenyataan, aku pikir Muncar belum tentu lebih baik. Mungkin akan tetap hidup di antara limbah pabrik yang menyengat, tempat pelelangan ikan yang becek, gudang-gudang tak terurus, ikan-ikan lemuru yang tidak selalu laku, teronggok busuk di tepi pelabuhan, sebagian dibuang kembali ke laut, dan para ABK tetap saja bergaji kecil. Di parit-parit dangkal, perempuan-perempuan setengah bongkok mengumpulkan limbah pabrik untuk diolah kembali jadi terasi atau belacan!
Kami melanjutkan perjalanan lebih ke selatan, memasuki lorong-lorong dan jalan-jalan sempit Kota Muncar; jalan yang mestinya diperlebar tanpa harus menjadikan deretan pohon asam tua sebagai alasan. Kini aku pun benar-benar tak punya alasan untuk menghindar dari kenyataan bahwa pelabuhan dan kota ikan di mana-mana sama saja!
Bersama Iqbal, kawan yang mengantar keliling Muncar, aku menepi ke kedai kopi. Kami tidak bisa menikmati lezat lemuru, karena tak ada kedai ikan bakar. Kota pelabuhan tanpa kedai ikan bakar, hmm…. jelas ada yang kurang, tapi sudahlah, akan semakin banyak kekurangan jika terus dirunut dan disebutkan. Kami pesan saja kopi pahit dan tahu petis yang ternyata sangat pedas. Mataku berair dan berkunang-kunang, campuran lelah dan putus asa.
Saat itulah aku kembali melihat gugusan awan seperti di masa laluku yang seliar ikan-ikan, sebagaimana kuceritakan di bagian awal: aku melihat awan-awan yang bergelantungan, tapi kali ini berupa makhluk-makhluk kecil ajaib dengan sirip mengembang. Berlesatan. Gentayangan. Bukan ikan-ikan. Juga bukan ikan terbang. Makin lama makin banyak, berarak, tak hanya ke satu tempat, tapi ke banyak tempat yang berderet di pinggir jalan dan pemukiman. Mereka melayang, menukik kencang, datang dan pergi, seperti limbubu yang sebentar berpencar sebentar kembali. Suara mereka riuh dan nyaring mengalahkan camar dan bahkan lenguh kapal. O, mereka menuju bangunan-bangunan beton menjulang tinggi, masif, tidak menarik, kecuali hanya bulatan-bulatan lobang angin untuk keluar-masuk tubuh ceking mereka. Saking larutnya menyusuri pelabuhan, ternyata aku agak abai mencermati bangunan-bangunan aneh yang memenuhi hampir seluruh sisi kota. Gambar bangunan ini juga kiranya yang kulihat berderet-deret di tengah Kota Bagan Siapi-api, di buku yang pernah aku baca.
Menarik napas bukan lagi karena pedas, aku kini paham: sejak ikan kian menjauh dari tangkapan, pelayaran tak banyak menjanjikan keuntungan, kapal-kapal kian lapuk tanpa peremajaan, biaya melaut semakin mahal, sementara di depan hidung harga sarang walet sangat menggiurkan, banyaklah rumah-rumah walet orang dirikan. Pun di kedua kota ikan, Bagan dan Muncar! Maka, ketika awan-awan bengkak itu tiba-tiba mencurahkan kandungannya, kulihat burung-burung walet jumpalitan turun ke bumi, sebagian melayang ke langit tinggi, seolah mengabarkan nasib kota-kota ikan yang kian tersisihkan. Kalah. Merana. Meski tak hendak menyerah. O, cinta samudera, betapa sengitnya!
Banyuwangi-Jogja, 2008-2009
Catatan:
*) Lihat pengantar Ramon Damora, Pimred Pos Metro Batam dalam buku Kalam Media Membingkai Rohil (Akar Indonesia-Pemda Rokan Hilir, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar